Anda di halaman 1dari 14

KERACUNAN GAS CO

RADA TANIA ( 102020043)

PBL 1 BLOK 7

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 11510
E-mail: rada.102020043@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Karbon monoksida (CO) merupakan salah satu bahan toksik yang sangat berbahaya jika
terhirup oleh manusia, senyawa yang tidak berbau, tidak berasa pada suhu udara normal
berbentuk gas yang tidak bewarna. Karbon monoksida terbentuk apabila terdapat kekurangan
oksigen dalam proses pembakaran. CO yang terhirup akan dengan mudah bersaing dengan O2
untuk berikatan dengan hemoglobin dan membentuk COHb dalam darah. Hal ini jelas akan
menganggu pengangkutan oksigen dari paru ke jaringan. Akibatnya jaringan tubuh akan mati
karena tidak mendapat oksigen untuk melakukan proses bio-oksidasi. inilah yang menyebabkan
hipoksia, dimana kemampuan hemoglobin untuk mengikat O2 menjadi rendah sehingga tidak
dapat menghantarkan O2 ke sel-sel tubuh dengan baik. Seseorang yang keracunan CO akan
menunjukkan gejala-gejala seperti denyut jantung meningkat, sesak nafas, gangguan kecemasan,
gangguan penglihatan, bahkan dapat menyebabkan koma hingga kematian.

Kata Kunci: Karbon monoksida, Hemoglobin, gangguan pengangkut oksigen

Abstarck
Carbon monoxide (CO) is a toxic material that is very dangerous if inhaled by humans, a
compound that is odorless, tasteless at normal air temperature in the form of a colorless gas.
Carbon monoxide is formed when there is a lack of oxygen in the combustion process. The
inhaled CO will easily compete with O2 to bind to hemoglobin and form COHb in the blood.
This will obviously interfere with the transport of oxygen from the lungs to the tissues. As a
result, body tissues will die because they do not get oxygen to carry out the bio-oxidation
process. This is what causes hypoxia, where the ability of hemoglobin to bind O2 is low so that it
cannot deliver O2 to body cells properly. A person who is poisoned with CO will show symptoms
such as increased heart rate, shortness of breath, anxiety disorders, visual disturbances, and can
even lead to coma and death.

Key words : Carbon monoxide, hemoglobin, oxygen transport disorders

Pendahuluan
Karbon monoksida (CO) merupakan silent killer karena sifat fisiknya yang tidak berasa,
tidak berwarna, dan tidak berbau sehingga gas CO tidak dapat dideteksi oleh manusia melalui
rasa maupun bau, tetapi dalam konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada
manusia yang terpapar dengan cepat (Cooper dan Allert, 2011). Semua jenis pembakaran
senyawa karbon yang tidak sempurna akan menghasilkan CO. Karbon monoksida terbentuk
apabila terdapat kekurangan oksigen dalam proses pembakaran. Proses pembakaran yang
sempurna seharusnya mengubah unsur karbon menjadi karbon dioksida. Dua-duanya, CO dan
CO2, merupakan gas yang beracun bagi tubuh manusia. Namun karakteristik dan dosis
keberacunan keduanya sangatlah berbeda.
Ketika manusia bernafas gas yang ada di udara, seperti oksigen, nitrogen, karbon monoksida,
dan gas lainnya, akan terhirup ke paru-paru mengalir ke alveoli dan masuk ke aliran darah. Gas
CO masuk ke aliran darah dan meningkatkan kadar gas CO dalam tubuh. Gas CO yang masuk
dalam tubuh melalui sistem pernapasan terdifusi melalui membran alveolar bersama-sama
dengan oksigen. Setelah larut dalam darah, CO berikatan dengan hemoglobin membentuk
COHb. Ikatan antara CO dan Hb terjadi dalam kecepatan yang sama antara ikatan O2 dan CO,
tetapi ikatan untuk CO 245 kali lebih kuat daripada O2. Jadi antara CO dan O2 bersaing untuk
berikatan dengan hemoglobin, tetapi tidak seperti oksigen yang mudah melepaskan diri dari
hemoglobin, CO mengikat lebih lama (WHO, 2010).
Secara normal hemoglobin darah berfungsi dalam sistem transpor untuk membawa oksigen
dalam membentuk oksihemoglobin (O2Hb) dari paru-paru ke sel-sel tubuh dan membawa gas
CO2 dalam bentuk CO2Hb dari sel-sel tubuh ke paru-paru. Dengan adanya COHb maka
kemampuan darah untuk transpor oksigen ke jaringan tubuh menjadi berkurang. Pada akhirnya
jaringan dan sel-sel tubuh mengalami kekurangan oksigen, keadaan ini disebut hipoksia.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, CO memiliki Nilai
Ambang Batas (NAB) sebesar 25 ppm. Menurut WHO (1999), batas pemaparan CO pada
manusia yaitu 80 ppm untuk 15 menit, 48 ppm untuk 30 menit, 24 ppm untuk 1 jam, dan 8 ppm
untuk 8 jam. Jika mendapatkan paparan lebih dari itu, maka tubuh akan menunjukkan gejala-
gejala yang buruk bahkan dapat berujung pada kematian.

Sistem buffer pada tubuh


A. Sistem buffer dalam darah
Darah sebagai larutan penyangga, Ada beberapa faktor yang terlibat dalam pengendalian pH
darah, diantaranya penyangga karbonat, penyangga hemoglobin dan penyangga fosfat.10
1. Penyangga Karbonat
Penyangga karbonat berasal dari campuran asam karbonat (H 2 CO 3 ) dengan basa konjugasi
bikarbonat (HCO 3 ).
H 2 CO 3 (aq) –> HCO 3(aq) + H + (aq)
Penyangga karbonat sangat berperan penting dalam mengontrol pH darah. Contohnya : Pelari
maraton dapat mengalami kondisi asidosis, yaitu penurunan pH darah yang disebabkan oleh
metabolisme yang tinggi sehingga meningkatkan produksi ion bikarbonat. Kondisi asidosis ini
dapat mengakibatkan penyakit jantung, ginjal, diabetes miletus (penyakit gula) dan diare, contoh
yang lain orang yang mendaki gunung tanpa oksigen tambahan dapat menderita alkalosis, yaitu
peningkatan pH darah. Kadar oksigen yang sedikit di gunung dapat membuat para pendaki
bernafas lebih cepat, sehingga gas karbondioksida yang dilepas terlalu banyak, padahal CO 2
dapat larut dalam air menghasilkan H 2 CO 3 . Hal ini mengakibatkan pH darah akan naik.
Kondisi alkalosis dapat mengakibatkan hiperventilasi (bernafas terlalu berlebihan, kadang-
kadang karena cemas dan histeris).10
2. Penyangga Hemoglobin
Pada darah, terdapat hemoglobin yang dapat mengikat oksigen untuk selanjutnya dibawa ke
seluruh sel tubuh. Reaksi kesetimbangan dari larutan penyangga oksi hemoglobin adalah:
HHb + O 2 (g) HbO 2 - + H +
Asam hemoglobin ion aksi hemoglobin
Keberadaan oksigen pada reaksi di atas dapat memengaruhi konsentrasi ion H +, sehingga pH
darah juga dipengaruhi olehnya. Pada reaksi di atas O2 bersifat basa. Hemoglobin yang telah
melepaskan O2 dapat mengikat H + dan membentuk asam hemoglobin. Sehingga ion H + yang
dilepaskan pada peruraian H2CO3 merupakan asam yang diproduksi oleh CO2 yang terlarut
dalam air saat metabolisme.
Hemoglobin juga bertindak sebagai penyangga pH dalam darah. Hal ini karena protein
hemoglobin dapat secara bergantian mengikat H+ (pada protein) maupun O2 (pada Fe dari
“gugus heme”), tetapi ketika salah satu dari zat tersebut diikat, maka zat yang lain dilepaskan.
Hemoglobin membantu mengontrol pH darah dengan mengikat beberapa proton berlebih yang
dihasilkan dalam otot. Pada saat yang sama, molekul oksigen dilepaskan untuk digunakan oleh
otot tersebut.10
3. Penyangga Fosfat
Pada cairan intra sel, kehadiran penyangga fosfat sangat penting dalam mengatur pH darah.
Penyangga ini berasal dari campuran dihidrogen fosfat (H2PO4- ) dengan monohidrogen fosfat
(HPO32- ).
H 2 PO 4 - (aq) + H + (aq) –> H 2 PO 4(aq)
H 2 PO 4 - (aq) + OH - (aq) –> HPO 4 2- (aq) ) + H 2 O (aq)
Penyangga fosfat dapat mempertahankan pH darah 7,4. Penyangga di luar sel hanya sedikit
jumlahnya, tetapi sangat penting untuk larutan penyangga urin.

B. Sistem buffer dalam hemoglobin


Hemoglobin adalah metal-protein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel
darah merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin terdiri dari globin,
apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi.
Pada darah hemoglobin dapat mengikat oksigen untuk selanjutnya dibawa ke seluruh sel tubuh.
Reaksi kesetimbangan dari larutan penyangga oksi hemoglobin adalah:
HHb + O2 (g) « HbO 2 - + H +
Asam hemoglobin ion aksi hemoglobin
Keberadaan oksigen pada reaksi di atas dapat memengaruhi konsentrasi ion H+, sehingga pH
darah juga dipengaruhi olehnya. Pada reaksi di atas O2 bersifat basa. Hemoglobin yang telah
melepaskan O2 dapat mengikat H+ dan membentuk asam hemoglobin. Sehingga ion H+ yang
dilepaskan pada peruraian H2CO3 merupakan asam yang diproduksi oleh CO2 yang terlarut
dalam air saat metabolisme.
Penggabungan oksigen dengan molekul hemoglobin (Hb) merupakan reaksi yang sangat
kompleks. HbO2 adalah oksihemoglobin, kompleks hemoglobin yang menjadi alat transportasi
oksigen ke jaringan. Tetapan kesetimbangannya adalah sebagai berikut :
Kc = [HbO2] per [HbO2] [O2]
Pada ketinggian 3 km tekanan parsial oksigen kira-kira hanya 0,14 atm, sedangkan tekanan
parsial permukaan laut sekitar 0,2 atm .
Menurut prinsip Le Chatelier, pengurangan konsentrasi oksigen akan menggeser kesetimbangan
diatas dari kanan ke kiri. Hal ini mengakibatkan berubahnya kadar oksigen hemoglobin , tubuh
memerlukan waktu yang lama. Kesetimbangan akan bergeser dari kiri ke kanan sejalan dengan
terbentuknya oksihemoglobin. Penambahan jumlah hemoglobin sangat lambat yaitu dua sampai
tiga minggu untuk membentuknya. Terkadang untuk mengembalikan kadarnya ke kondisi
normal dibutuhkan beberapa tahun.10

Mekanisme pertukaran gas dalam pernafasan


Pertukaran gas di tingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung secara difusi pasif
sederhana O2 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial. Peristiwa difusi merupakan peristiwa
pasif yang tidak memerlukan energi ekstra. Tidak terdapat mekanisme transport aktif dalam
pertukaran gas-gas ini. Suatu tekanan yang ditimbulkan secara independen atau tersendiri oleh
masing-masing gas dalam suatu campuran gas disebut tekanan parsial gas.11
Dalam Hukum Dalton disebutkan bahwa total tekanan suatu campuran gas adalah sama
dengan jumlah tekanan parsial dari masing-masing bagian gas.6 Sebagai contoh, udara yang kita
hirup merupakan campuran gas, terdiri dari Nitrogen (N2) 79%, Oksigen (O2) 21%, dan 1%
terdiri dariuap air (H2O), karbondioksida (CO2) dan gas lain-lain. Berdasarkan hal tersebut maka
79% dari tekanan atmosfer 760 mmHg (sekitar 600 mmHg) ditimbulkan oleh molekul N2, begitu
juga dengan oksigen yaitu21% dari tekanan atmosfer (sekitar 160 mmHg) ditimbulkan oleh
molekul O2 diudara. Untuk tekanan udara atmosfer dapat dituliskan sebagai PN2 + PO2 + PH2O
+PCO2 + Pgaslain = 760 mmHg.

Tekanan Parsial O2 dan CO2Di Alveolus


Saat udara melewati rongga hidung, udara difiltrasi, dihangatkan dan dilembabkan. Filtrasi dan
pelembaban udara berlanjut selama udara melalui faring, trachea, dan bronkus. Semua hal tadi
akan merubah karakteristik udara atmosfer ketika memasuki jalan napas.4 Saat mencapai alveoli,
udara yang baru masuk akan bercampur dengan udara residu alveoli dari siklus napas
sebelumnya. Udara alveoli mengandung lebih banyak CO2 dan lebih sedikit O2 dibanding udara
atmosfer. Selama ekspirasi, udara yang keluar dari alveoli bercampur dengan 150 ml udara di
dead space menghasilkan campuran udara yang berbeda dengan udara atmosfer dan udara
alveoli.4,6,7 Saat udara atmosfer memasuki jalan napas yang lembab, maka segera udara tersebut
akan jenuh oleh H2O. Pada suhu tubuh tekanan parsial H2O sekitar 47 mmHg. Sehingga masing-
masing gas dalam campuran gas udara atmosfer akan “diencerkan” oleh tekanan uap air
kemudian tekanannya akan menurun, dengan kata lain tekanan campuran gas berubah menjadi
713 mmHg dalam saluran napas. Maka dapat diperkirakan dalam udara lembab PN2 sekitar 563
mmHg dan PO2 150 mmHg.2,7Pada akhir inspirasi, kurang 15% udara di alveolus adalah udara
segar karena udara yang masuk selain mengalami pelembaban juga bercampur dengan udara sisa
ekspirasi sebelumnya dan udara di dead space paru. Akibat dari pelembaban dan pertukaran
udara alveolus yang rendah maka PO2 di alveolus rerata adalah 100 mmHg.2,6 Pada CO2 terjadi
situasi serupa tetapi berkebalikan dengan O2 pada jalur napas. Alveoli mengandung lebih banyak
CO2 dan lebih sedikit O2 dibanding udara atmosfer akibat produksi CO2 sebagai sisa
metabolisme. Di kapiler paru CO2 berdifusi menuruni gradien tekanannya dari darah ke alveoli,
maka sewaktu di alveoli konsentrasi CO2 di alveoli ditambahkan dengan konsentrasi CO2 yang
terkandung,dalam udara inspirasi sehingga tekanannya pun meningkat. Seperti halnya PO2,
PCO2 di alveoli juga relatif tetap tetapi dengan nilai yang berbeda yaitu 40 mmHg.11
Kelarutan gas (O2 dan CO2) dalam darah secara kimia
Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang
menyelubungi alveolus, sebagian besar diikat oleh hemoglobin (65%) untuk diangkut ke sel-sel
jaringan tubuh. Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini tersusun
oleh senyawa hemin yang mengandung unsur Fe2+ dan globin yang berupa protein.1

Secara sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin ditulis sebagai: O2 + HHb ⇆ HbO2 +
H+. Reaksi tersebut dipengaruhi oleh kadar O2/CO2, tekanan O2, perbedaan kadar O2 dalam
jaringan, dan kadar O2 di udara. Tekanan seluruh udara lingkungan sekitar 1 atmosfer atau 760
mmHg, sedangkan tekanan O2 di lingkungan sekitar 160 mmHg. Tekanan oksigen di atmosfer
lebih tinggi dari pada tekanan oksigen dalam alveolus paru-paru dan arteri yang hanya 104 mm
Hg. Oleh karena itu oksigen dapat masuk ke paru-paru secara difusi.1,2

Sedangkan pada pengangkutan CO2 keluar dari tubuh umumnya berlangsung menurut reaksi:
CO2 + H2O (enzim karbonat anhydrase) ⇆ H2CO3 ⇆ H+ + HCO-3. Sebagian besar
karbondioksida dibawa dalam bentuk bikarbonat, terutama dalam plasma. Ion bikarbonat yang
terbentuk berdifusi ke dalam sel plasma dan hanya menyisakan ion bermuatan positif berlebihan.
Untuk menetralkan elektrokimia, ion bermuatan negatif, yang sebagian besar ion klorida (Cl-),
bergerak ke dalam untuk menyamakan perbedaan muatan yang terjadi. Hal inilah yang disebut
pergeseran klorida. Kandungan klorida di dalam vena memiliki konsentrasi karbondioksida lebih
banyak dibandingkan di arteri. Ion hidrogen bermuatan positif yang terlepas akibat disosiasi
asam karbonat, berikatan dengan hemoglobin untuk meminimisasi perubahan pH.1,2

Kelarutan CO dalam darah


Gas CO yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami difusi melalui bersama dengan
oksigen. Setelah larut dalam darah, CO berikatan dengan hemoglobin membentuk COHb. Ikatan
antara CO dan Hb terjadi dalam kecepatan yang sama antara ikatan O2 dan CO, tetapi ikatan
untuk CO terjadi 245 kali lebih kuat daripada O2. Karena itulah CO dan O2 saling bersaing agar
mendapatkan posisi untuk berikatan dengan hemoglobin. Tidak seperti oksigen yang mudah
melepaskan diri dari hemoglobin , CO mengikat lebih lama pada hemoglobin. Dengan paparan
terus menerus karbon monoksida akan terus mengikat hemoglobin dan akan semakin sedikit
hemoglobin yang berikatan dengan oksigen.2
CO diikat oleh Hb melalui Fe2+ membentuk COHb dalam enzim katalase dan
peroksidase. Enzim tersebut merupakan enzim yang berfungsi melindungi tubuh dari
penyempitan pembuluh darah. Pada keadaan ikatan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
enzim dan menyebabkan aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) sehingga menyebabkan
tekanan darah meningkat.
Kadar COHb dapat mencapai pada konsentrasi keseimbangan yang akan dipertahankan selama
kadar CO lingkungan tidak meningkat. Namun dengan meningkatnya kadar CO mengakibatkan
meningkatnya kadar COHb dalam darah. Konsentrasi keseimbangan akan meningkat apabila
terdapat paparan CO yang lebih banyak daripada keadaan awalnya. Kadar gas CO sebesar 2,5-5
ppm dapat meningkatkan kadar COHb darah menjadi 2,5-5%. Setiap kenaikan kadar CO pada
lingkungan sebesar 50-100 ppm, maka kadar COHb darah juga akan ikut meningkat sebesar 5-
10%. Sedangkan jika kadar CO lingkungan meningkat hingga 650 ppm, maka kadar COHb
darah meningkat hingga 50%.3
Pemeriksaan COHb pada darah dapat diambil melalui pembuluh balik (vena) untuk
mengetahui tingkat paparan CO dalam tubuh. Pemeriksaan kadar CO pada tubuh ini tidak dapat
menggunakan pengukuran urin, rambut ataupun kuku. Pengambilan sampel darah dari pembuluh
vena kemudian dianalisis menggunakan alat spektofotometri.
Tanda-tanda keracunan gas CO terutama terkait dengan otak dan jantung, dua organ
tubuh yang paling sensitif terhadap keadaan hipoksia. Seseorang yang keracunan CO akan
menunjukan gejala hipoksia seperti denyut jantung yang kencang, sesak nafas, gangguan
kecemasan, gangguan indra penglihatan, lemas, mual dan muntah. Pada hipoksia tingkat kronis
dapat menyebabkan koma bahkan kematian.4

Sifat kimiawi Co
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon monoksida (CO)
sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil
pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa
dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Senyawa karbon monoksida
(CO) mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang
kuat dengan pigmen darah yaitu haemoglobin. 5

Prinsip kelarutan gas dalam liquid


Hukum Henry menjelaskan tentang pengaruh tekanan gas pada kelarutan gas dalam
cairan pada suhu yang tetap. Dengan pemberian tekanan yang lebih tinggi maka kelarutan gas
dalam darah akan semakin tinggi. Jumlah gas yang terlarut dalam cairan sebanding dengan
tekanan parsial gas yang bersentuhan dengan cairan atau jaringan. Alveoli akan memiliki
tekanan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tekanan pada kapiler paru-paru. Keadaan
inilah yang memungkinkan gas-gas seperti O2 berdifusi ke dalam darah dan CO2 keluar menuju
atmosfer. Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat dengan hemoglobin, yang
97% jenuh pada tekanan atmosfer. Hukum ini digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan
ketegangan oksigen jaringan dengan terapi hiperbarik.6

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan gas


1. Temperatur
Suhu berpengaruh terhadap kelarutan suatu benda. Jika suhu semakin naik maka saturasi
akan turun, sebaliknya jika suhu turun maka saturasi akan naik. Hal ini berkaitan dengan energi
kinetik gas tersebut, dimana pada suhu yang tinggi akan memiliki energi kinetik yang tinggi
pula.1
2. Tekanan
Tekanan suatu gas mempengaruhi kelarutannya dalam cairan. Sesuai dengan bunyi
hukum henry, pada tekanan yang tinggi maka kelarutan gas dalam liquid akan semakin tinggi.
Prinsip tekanan ini juga diterapkan pada terapi pemberian 100% oksigen pada tubuh di tekanan
yang tinggi.1
3. Zat terlarut yang lain.
Pemberian zat terlarut yang lain akan menurunkan kelarutan suatu zat. Semakin banyak
zat terlarut maka kelarutan akan semakin rendah.1

Macam-macam gas dalam darah beserta mekanisme transport


Mekanisme transport o2
Sistem pengangkut O2 di tubuh terdiri atas paru dan sistem kardiovaskular.
Pengangkutan O2 menuju jaringan tertentu bergantung pada jumlah O2 yang masuk ke dalam
paru, adanya pertukaran gas di paru yang adekuat, aliran darah yang menuju jaringan, dan
kapasitas darah untuk mengangkut O2. Aliran darah bergantung pada derajat konstriktusijalinan
vaskular di jaringan serta curah jantung. Jumlah O2 di dalam darah ditentukan oleh jumlah O2
yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah, dan afinitas hemoglobin terhadap O2.7
Terdapat tiga keadaan penting yang mempengaruhi kurva disosiasi hemoglobin-oksigen
yaitu pH suhu dan kadar 2,3 BPG. Peningkatan suhu atau penurunan pH mengakibatkan PO2
yang lebih tinggi diperlukan agar hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2. Sebaliknya,
penurunan suhu atau peningkatan pH dibutuhkan PO2 yang lebih rendah untuk mengikat
sejumlah O2. Suatu penurunan pH akan menurunkan afinitas emoglobin terhadap O2, yang
merupakan suatu pengaruh yang disebut pergeseran Bohr. Karena CO2 berekasi dengan air
untuk membentuk asam karbonat, maka jaringan aktif akan menurunkan pH di sekelilingnya dan
menginduksi hemoglobin supaya melepaskan lebih banyak oksigennya, sehingga dapat
digunakan untuk respirasi selular.7,8
Mekanisme transport co2
Selain perannya dalam transpor oksigen, hemoglobin juga membantu darah untuk
mengangku karbon dioksida dan membantu dalam penyanggan pH darah yaitu, mencegah
perubahan pH yang membahayakan. Sekitar 7% dari karbon dioksida yang dibebeaskan oleh sel-
sel yang berespirasi diangkut sebagai CO2 yang terlarut dalam plasma darah. Sebanyak 23%
karbon dioksida terikat dengan banyak gugus amino hemoglobin.9
Sebagain besar karbon dioksida, sekitar 70%, diangkut dalam darah dalam bentuk ion
bikarbonat. Karbon dioksida yang dilepaskan oleh sel-sel yang berespirasi berdifusi masuk ke
dalam plasma darah dan kemudian masuk ke dalam sel darah merah, dimana CO2 tersebut
diubah menjadi bikarbonat.
Mekanisme bentuk pengangkutan ion bikarbonat dalam plasma adalah sebagai berikut,
darah akan masuk ke dalam kapiler paru-paru yang mengangkut sebagian besar karbon dioksida.
Karbondioksida yang berdifusi ke dalam sel darah merah dapat dengan cepat mengalami hidrasi
menjadi H2CO3, yang disebabkan adanya aktivitas ensim anhidrase karbonat (C.A) Selanjutnya
H2CO3, berdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. sebagai ion bikarbonat (HCO3–) dan H2CO3,
yang keluar dari eritrosit akan masuk ke plasma dan digantikan dengan Cl(Cloride shift) dengan
persamaan reaksi seperti berikut:9

Sisa karbon dioksida berdifusi keluar dari dalam darah dan melakukan reaksi sebagai berikut:
Enzim karbonat anhidrase yang terdapat dalam sel-sel darah merah dapat mempercepat reaksi.
Ketika reaksi berlangsung, hemoglobin melepaskan ion - ion hidrogen yang telah diangkut; HHb
menjadi Hb. Hb merupakan singkatan dari haemoglobin, yaitu jenis protein dalam sel darah
merah. Selanjutnya, hemoglobin mengikat oksigen dan menjadi oksihemoglobin (HbO2).

Pembahasan Skenario
VG, seorang petenis kenamaan era 90-an meninggal akibat keracunan gas CO. Ia
menginap di suatu apartemen yang memiliki kolam renang dengan pemanas. Namun sayangnya
instalasi pemanas air tersebut tidak dipasang dengan benar. Pipa yang menyalurkan gas hasil
pembakaran tidak tersambung ke luar (ke udara bebas), tetapi masuk ke dalam ruangan. Pada
saat dinyatakan meninggal, kadar CO di ruangan adalah 2700 ppm (kadar yang masih dianggap
aman adalah 50 ppm).

Identifikasi Istilah
PPM
Parts per million atau Bagian per sejuta (PPM) adalah rasio yang digunakan untuk
menggambarkan jumlah kontaminan atau konsentrasi yang terdapat dalam suatu zat.

Rumusan masalah
Seorang petenis meninggal akibat keracunan gas co.

Kesimpulan
Karbon monoksida (CO) merupakan gas yang berasal dari pembakaran senyawa karbon
yang tidak sempurna, keracunan CO dapat menyebabkan kematian karena CO memiliki afinitas
yang lebih tinggi terhadap Hb dibandingkan dengan O2, gas CO yang berlebihan berikatan
dengan Hb secara cepat dan tidak memberi O2 tempat, maka akan terjadi hipoksia, dimana
jaringan tubuh akan kekurangan pasokan oksigen.
Daftar Pustaka

1. Sloane, E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC;h.266-77

2. Utami, A F. Wardoyo, A Y P. & Hidayat, A. Pengukuran Faktor Emisi Gas


Karbon Monoksida (CO) dan Karbon Dioksida (CO2) pada Asap Mainstream
Rokok Non Filter. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang. 2014.

3. WHO. Air Quality Guidelines for Europe Second Edition. 2000. Diakses dari
www.euro.who.int/__data/ assets/pdf_file/0005/74732/E71922.pdf (sitasi tanggal
21 April 2020).

4. WHO. Expert Report on Diet, Nutrition and The Prevention of Chronic Disease.
2003. United Nations: Technical Report Series 916.

5. Rivanda A. Pengaruh paparan karbon monoksida terhadap daya konduksi trakea.


Jurnal Majority. 2015 Nov 1;4(8):153-60.

6. Dewanti, I R. Kadar Gas CO, Kadar COHb Darah, dan Keluhan Kesehatan Pada
Pekerja di Basement Apartemen Waterplace, Skripsi. Surabaya: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2015

7. Asih NGY, Effendy C. Keperawatan medikal bedah klien dengan gangguan


sistem pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. h. 16-8.

8. Asmadi. Teknik prosedural perawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2008. h. 19-21.

9. Marks, DB, dkk. Biokimia Kedokteran Dasar Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta:
EGC, 2011, hal. 35-40.

10. Viswanatha PA, KAH P. Keseimbangan Asam Basa. Gangguan Keseimbangan


Air-Elektrolit dan Asam-Basa. 2017:60-71.
11. Petersson J., Glenny R.W. Gas Exchange And Ventilation–Perfusion
Relationships In The Lung. European Respiratory Journal, 2014; 44: 1023–1041.

Anda mungkin juga menyukai