Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DAMPAK KORUPSI TERHADAP NEGARA DAN


MASYARAKAT DI INDONESIA

AHMAD SAPUTRA

NIM:03180007

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul DAMPAK KORUPSI
TERHADAP NEGARA DAN MASYARAKAT DI INDONESIA tepat waktu.

Makalah DAMPAK KORUPSI TERHADAP NEGARA DAN


MASYARAKAT DI INDONESIA disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Hukum Tindak Pidana Korupsi di Universitas Jakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak


Sudarmanto, S.H, M.H selaku dosen. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 17 November 2020

Ahmad Saputra
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Rumusan Masalah
1.3. Manfaat dan Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Korupsi


2.2. Dampak Korupsi
2.3. Solusi Pemberantasan Korupsi

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Korupsi bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul
dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi
hadiah kepada pejabat/pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
pelayanan.

Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai prosedur”.
Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil
korupsinya secara demonstratif.Politisi tidak lagi mengabdi kepada konstituennya. Partai
Politik bukannya dijadikan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak,
melainkan menjadi ajang untuk mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak
pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan dapat pula merusak Nilai-
nilai Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak
pidana korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi
yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara
dan perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak
hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan
sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa
(extra-ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan “secara biasa”,tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary
crimes).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda- beda dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Dengan maraknya korupsi yang ada di Indonesia, maka dibentuklah Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga
yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.

KPK juga merupakan lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh dalam
melaksanakan tugasnya, seperti yang tercantum pada Pasal 3 Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. Mereka para koruptor bisa dikatakan pemberani,
karena tidak takut dengan sanksi yang akan mereka dapatkan. Sanksi dibuat agar
memberikan efek jera dan tidak akan mengulangi korupsi lagi. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 telah dijelaskan mengenai sanksi-sanksi
dalam berbagai macam tindak korupsi. Pada kenyataannya masih saja banyak ditemukan
kasus korupsi, seakan-akan mereka tidak takut dengan hukuman atau sanksi yang akan
mereka dapat setelah terbukti sebagai koruptor nantinya. Hukuman dan sanksi yang telah
dirumuskan untuk para pelaku korupsi rasanya hanya dianggap sebagai angin lalu saja.
Karena hal tersebut muncul gagasan mengenai hukuman mati bagi koruptor untuk
memberikan efek jera, namun gagasan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Kondisi
Negara yang menderita kerugian akibat kasus korupsi sangat memprihatinkan. Ketika
upaya pemberantasan korupsi dengan membebankan sanksi yang berat kepada koruptor
belum juga mampu membuat korupsi lenyap, maka upaya pencegahan mulai
dipertimbangkan. Karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Selain itu bila hanya
menekankan pada hukuman yang diberikan pada koruptor tidak akan ada habisnya. Kasus
korupsi akan selalu muncul, dari generasi ke generasi.

Berbagai upaya pemberantasan korupsi, pada umumnya masyarakat masih dinilai


belum menggambarkan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih
belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih
ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia..
1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah penting


sebagai berikut:

1. Apa pengertian korupsi?


2. Apa dampak korupsi terhadap Negara dan masyarakat di Indonesia?
3. Bagaimana solusi untuk pemberantasan korupsi di Indonesia?

1.3. MANFAAT DAN TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan beberapa manfaat dan tujuan
penulisan penting sebagai berikut:

1. Menjelaskan pengertian korupsi;


2. Menjelaskan dampak korupsi terhadap Negara dan masyarakat di Indonesia;
3. Menjelaskan solusi untuk pemberantasan korupsi di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN KORUPSI

Kata “korupsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi
atau orang lain. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-
honest (ketidakjujuran).

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang
lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt”
(Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi
secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN


1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 jo. Pasal
3 menyebutkan bahwa, korupsi adalah perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara.

2.2. DAMPAK KORUPSI


1. Dampak Korupsi Terhadap Sosial Kemiskinan
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin
akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung
menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika
melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi
sendiri dan imbalan materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui
ditengah–tengah masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung
mengabaikan proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi
biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun
minim manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen
menjelang kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari
masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini
dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak
sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan
menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan
tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia
umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia
menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi
berbelit–belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bisa dipersulit kenapa
dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan
masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan
Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk
mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan
negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama
sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut
harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan
semakin mahal, dan pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin
telah menyetor 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin
membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak
tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak
diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk
kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui
kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk
kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin.
Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang
rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat
miskin.
2. Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin
oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI
akibat korupsi:
a. Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang
kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih
mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk
mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang
sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada
kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.
b. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan
dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan
ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara
keseluruhan.
c. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya
juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak
memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga
hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang
mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI
memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
d. Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan
semanagat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer
yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan
bersenjata maupun atas nama pribadi.

3. Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi


Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan
substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih
tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-
aspek yang terkait dengan pemilihan umum.
Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat
meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat
memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang
tampuk kekuasaan.

4. Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum


Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah
diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29
Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu
berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-
undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan
zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas
yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat
legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun
keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka
ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan
masyarakat.
Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang
yang dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971.
kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara
independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih
sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau
menjalankan hukum tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada
kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti kinerja aparat penegak
hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk hukum
di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undang-undang yang
dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan
politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-
undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat
atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan
penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan.
Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di
Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat
negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk
mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat
tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan
yang istimewa, dan pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak
diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan
dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.

2.3. SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI

Korupsi merupakan penyakit moral, oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh dan sistematis dengan menerapkan strategi yang komprehensif.
Presiden melalui inpres no 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi
menyatakan langkah-langkah efektif dalam memberantas korupsi adalah sebagai :

1. Membersihkan kantor keprisidenan kantor wapres sekretariat negara


serta yayasan-yayasan;
2. Mengawasi pengadaan barang disemua departemen;
3. Mencegah penyimpangan dalam pembangunan infrastruktur ke
depan;
4. Menyelidiki penyimpangan di lembaga negara seperti departemen
dan BUMN;
5. Memburu terpidana korupsi yang kabur ke luar negeri;
6. Meningkatkan intensitas pemberantasan penebangan liar;
7. Meneliti pembayar pajak dan cukai
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Korupsi adalah suatu tindakan memperkaya diri yang secara langsung merugikan
negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua
aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek
penggunaan uang Negara untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain,
ketiadaan dan kelemahan pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme,
penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras,
kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya
manusia, serta struktur ekonomi. Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang
diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara. Oleh karena itu,
korupsi adalah musuh bersama yang harus dibasmi bukan dilestarikan, karna korupsi
bukan budaya.

3.2. SARAN

Dengan penulisan makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat
memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi
agar kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi. Karena korupsi bisa berawal dari hal-hal
kecil yang dianggap sepele.
DAFTAR PUSTAKA

Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika.

hal. 3

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari
Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang


No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai