Anda di halaman 1dari 15

Dosen Pengajar : Asri Dwi Novianti,.S.kep.,Ns.,M.

Kep

Tugas :

LAPORAN PENDAHULUAN

“INFEKSI TORCH PADA MASA KEHAMILAN”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1

1) ANITA HARUNA (P201901042)


2) NURLIAH (P201901043)

PRODI. S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA KENDARI
TA .2021
A. Konsep Medis
1. Pengertian

Infeksi TORCH (toksoplasma, rubela, cytomegalovirus/CMV dan herpes


simplex) adalah sekelompok infeksi yang dapat ditularkan dari wanita hamil kepada
bayinya. Ibu hamil yang terinfeksi TORCH berisiko tinggi menularkan kepada
janinnya yang bisa menyebabkan cacat bawaan. Dugaan terhadap infeksi TORCH
baru bisa dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan darah atau skrining. Jika
hasilnya positif, atau terdapat infeksi aktif, selanjutnya disarankan pemeriksaan
diagnostik berupa pengambilan sedikit cairan ketuban untuk diperiksa di laboratorium
(Fajar, 2012).

Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai


keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik
pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan
pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam
(Rukiyah, 2011).

Infeksi TORCH adalah akronim dari beberapa penyakit yaitu toksoplasmosis,


rubella, sytomegalovirus, dan herpes simpleks yang sering menimbulkan infeksi
kongenital dalam bentuk hampir sama yaitu mikrosefali, ketulian dan kebutaan,
kehamilan dapat terjadi abortus, persalinan prematur, dan pertumbuhan janin
terlambat(Yadav, 2014).Sebagian infeksi ini mempunyai obat khusus tetapi sebagian
tidak ada obatnya dan bergantung pada kekebalan yang didapatkan akibat infeksi
pertama. Bila terjadi reinfeksi maka terbentuk kekebalan yang cukup sehingga tidak
akan menimbulkan kelainan kongenital (Manuaba, 2010).

a. Toksoplasmosis adalah sejenis infeksi yang disebabkan oleh sejenis parasit


toksoplasma gondi yang biasanya ditemukan pada kucing. Infeksi ini dapat
menyebabkan pertumbuhan janin menjadi terhambat, kelainan mata, cacat otak,
abortus atau malah mati saat dilahirkan (Nirwana, 2011)

b. Rubella adalah infeksi virus yang dapat menyebabkan infeksi kronik


intrauterin, mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin. Rubella disebabkan
oleh virus plemorfis yang mengandung RNA. Virus ini ditularkan melalui droplet
dari ibu hamil kepada janin (Fadlun, 2014).

c. Cytomegalovirus atau lebih sering disebut CMV adalah infeksi


oportiunistik yang berhubungan dengan HIV. Virus ini dibawah oleh sekitar 50%
populasi dan 90% penderita dengan HIV. Cytomegalovirus juga merupakan anggota
keluarga virus herpes yang disebut herpes viridae. CMV sering disebut sebagai “virus
paradoks” karena bila menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga
hanya diam didalam tubuh penderita seumur hidupnya (Rukiyah, 2010).

d. Herpes simplex atau herpes genitalia adalah infeksi virus herpes simpleks
pada atau disekitar vagina, vulva (bibir vagina) dan anus (wanita)(Robson, 2011).
Herpes dapat menyebabkan luka pada daerah mulut, dan hidung, pada daerah
kemaluan (laki-laki dan wanita) dan daerah anus, atau pada mata, jari dan tangan.
Terdapat dua jenis virus herpes simpleks yaitu herpes 1 dan 2 (Nugraheny, 2010).

2. Klasifikasi
Penularan dapat disebut penularan dari ibu ke anak (mother-to-child
transmission). Infeksi yang dapat ditularkan vertical dapat disebut infeksi perinatal
(perinatal infaction) jika ditularkan pada periode perinatal, yaitu periode yang dimulai
pada masa gestasional 22 minggu sampai 28 ( dengan variasi regional untuk definisi)
dan berakhir tujuh hari penuh setelah kelahiran. Istilah infeksi kongenital (congenital
infection) dapat digunakan jika infeksi uang ditularkan vertical itu masih terus
dialami setelah melahirkan. Contoh : Beberapa infeksi yang ditularkan vertikel
dimasukkan ke dalam kompleks TORCH, yang merupakan singkatan dari:
T- Toxoplasmosis / toxoplasma gondii
O- Other infections (see below)
R- Rubella
C- Cytomegalovirus
H- Herpes simplex virus-2 atau neonatal herpes simplex
Huruf O nerujuk pada other agentsatau penyebab lain termasuk :
Coxsackievirus, Chickenpox atau cacar air disebabkan oleh varicella zoster virus,
Parvovirus Chlamydia, HIV, Human T-lymphotropic virus, Syphilis Hepatitis B juga
dapat digolongkan sebagai infeksi yang ditularkan vertikal, tetapi virus hepatitis B
berukuran besar dan tidak dapat menembus ke plasenta, sehingga tidak dapat
menginfeksi janin kecuali ada kebocoran pada barier ibubayi, misalnya pada
pendarahan pada waktu melahirkan atau amniocentesis.
3. Etiologi
1) Infeksi pada kategori ini dapat disebabkan oleh berbagai virus.
Organisme lainnya seperti bakteri, spirokaeta. protozoa. atau jamur
juga bisa menyebabkan infeksi maternal, yang berbahaya untuk janin
yang berkembang. Meskipun infeksi pada ibu bisa sangat ringan
efeknya pada janin dapat berbahaya.

2) Organisme infeksius mungkin didapat selama hubungan seksual


melalul penggunaan bahan-bahan yang terkontammasi, seperti Jarum;
dan cairan tubuh manusia (semen, saliva, darah, urine, lendir serviks,
ASI, dan feses); dengan memakan makanan yang kurang matang
atau melalui kontak dengan tinja kucing yang terinfeksi pada kotak
kotorannya. kotak pasir. atau tanah kebun.
3) Sebagian besar organisme menembus plasenta dan menginfeki janin.
yang menyebabkan anomali kelahiran. Janin dapat juga mendapatkan
organisme saat melewati jalan lahir selama persalinan. yang
menyebabkan penyakit setelah lahir.

4. Patofisiologi
1) Toxoplasma Toxoplasma gondii mempunyai 3 fase dalam hidupnya. Tiga
fase ini terbagi lagi menjadi 5 tingkat siklus : fase proliferatif, stadium
kista, fase schizogoni, gematogoni, dan fase ookista. Siklus aseksual
terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista.Fase ini dapat terjadi dalam
bermacam-macam inang, sedangkan siklus seksual secara spesifik hanya
terdapat pada kucing. Kucing menjadi terinfeksi setelah ia memakan
mamalia, seperti tikus yang terinfeksi. Kista dalam tubuh kucing dapat
terbentuk setelah infeksi kronis yang berhubungan dengan imunutas
tubuh.Kiista terbentuk intraseldan kemudian terdapat secara bebas di
dalam jaringan sebagai stadium tidak aktif dan dapat menetap dalam
jaringan tanpa menimbulkan reaksi inflamasi.Kista pada binatang yang
terinfeksi menjadi infeksius, jika termakan oleh kornivora dan
toksoplasma tersebut masuk melalui usus.Infeksi pada manusia dapat
terjadi saat makan daging yang kurang matang, sayur-sayuran yang tidak
di masak, makanan yang terkontaminasi kotoran kucing melalui lalat atau
serangga.Juga ada kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara yang
terdapat ookista yang beterbangan. Cara penularang lain yang sangat
penting adalah pada jalur maternofetal. Ibu yang mendapat infeksi akut
saat kehamilannya dapat menularkannya pada janin melalui
plasenta.Imunitas maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap
penularan transplasental parasite tersebut.Dengan demikian,
toxoplasmosis kongenital dapat terjadi jika ibu mendapatkan infeksi
tersebut selama kehamilannya.
2) Rubella Virus sesudah masuk melalui saluran pernafasan akan
menyebabkan peradangan pada mukosa saluran pernafasan untuk
kemudian menyebar keseluruh tubuh. dari saluran pernafasan inilah virus
akan menyerang ke sekelilingnya. Pada infeksi rubella yang diperoleh post
natal virus rubella akan dieksresikan dari faring. pada rubella yang
kongenal saluran pernafasan dan urin akan tetap mengeksresikan virus
sampai usia 2 tahun. hal ini perlu diperhatikan dalam perawatan bayi di
rumah sakit dan di rumah untuk mencegah terjadinya penularan. Sesudah
sembuh tubuh akan membentuk kekebalan baik berupa antibodi maupun
kekebalan seluler yang akan mencegah terjadinya infeksi ulangan.
3) Cytomegalovirus Masa inkubasi CMV: a. Setelah lahir 3-12 minggu b.
Setelah tranfusi 3-12 minggu c. Setelah transplatasi 4 minggu – 4 bulan d.
Urin sering mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa
tahun setelah infeksi.Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh
seseorang tetapi masih dapat diaktifkan kembali. Hingga kini beluum ada
imunisasi untuk mencegah penyakit ini
4) Herpes HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan yang
terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata.HSV-2 atau
herpes genital ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan
vegina terlihat seperti bercak dengan luka mungkin muncul iritasi,
penurunan kesadaran yang disertai pusing, dan kekuningan pada kulit
(jaundice) dan kesulitan bernafas atau kejang.Biasanya hilang dalam 2
minggu infeksi, infeksi pertama HSV adalah yang paling berat dan
dimulai setelah masa inkubasi 4-6 hari.Gejala yang timbul meliputi nyeri,
inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema), dan diikuti dengan
pembentukan gelembung-gelembung yang berisi cairan bening yang
selanjutnya dapat berkembang menjadi nanah diikuti dengan pembentukan
keropeng atau kerang (scab).Setelah infeksi pertama, HSV memiliki
kemampuan unik untuk bermigrasi sampai pada syaraf sensorik tepi
menuju spinal ganglia dan berdormansi sampai diaktifasi kembali.
Pengaktifan virus yang berdormansi tersebut dapat disebabkan penurunan
daya tahan tubuh, stress, depresi, alergi pada makanan, demam, trauma
pada mukosa genital, menstruasi, kurang tidur, dan sinar ultraviolet.
5. Manifestasi Klinik
1) Toksoplasmosis Gejala klinik yang muncul pada ibu hamil sebagian
asimtomatik, limpadenopati disertai malaise,nyeri kepala, nyeri
tenggorokan, nyeri otot, dan kelelahan disertai demam. Sedangkan pada
bayi baru lahir tampak hidrosefalus, retardasi mental, chorioretinitis,
hepatitis, pneumonia, miositis, dan limpadenopati (fadlun, 2014). Nyeri
pada kelenjar limphe yang membesar, dapat disertai pneumonia,
polimiositis, dan miokarditis, serta limphafingitis (Nugraheny, 2010)
2) Rubella Gejala klinis infeksi virus rubella berupa pembengkakan pada
kelenjar getah benih, demam diatas 380C, mata terasa nyeri, muncul
bintik-bintik diseluruh tubuh, kulit kering, sakit pada persendian, sakit
kepala, dan hilang nafsu makan (Rukiyah, 2010).
3) Cytomegalovirus Pada umumnya infeksi CMV tidak menimbulkan gejala,
bila menimbulkan gejala, gejalanya tidak spesifik seperti flu dan sakit
tenggorokan (Esty, 2010). Gejala klinis infeksi cytomegalovirus seperti
mononukleosis; demam, pharingitis, poliarthritis, limfadenopati
(Manuaba, 2007).d. Herpes Gejalanya berupa luka yang terasa nyeri atau
benjolan berisi cairan disekitar bulu kemaluan,vagina,vulva atau anus.
Bisa juga terasa nyeri saat pipis. Serta gejala virus umumnya seperti
demam, rasa tidak enak badan serta sangat lelah. Luka herpes genital bisa
muncul di sekitar vagina, vulva, liang vagina atau anus, begitu terinfeksi
virus ini, virus akan menetap ditubuh dan bisa aktif berkali-kali. Gejala
awalnya bisa berupa rasa geli/gatal pada daerah yang terkena (Nugraheny,
2010).
6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus toxoplasmosis bergantung pada jenisnya. Secara


umum, regimen obat yang digunakan adalah pyrimethamine dan sulfadiazine,
diberikan selama 6 minggu.
1) Berobat Jalan
Pengobatan toxoplasmosis diberikan dengan rute oral sehingga bila tidak ada
indikasi rawat inap, dapat dilakukan rawat jalan.
2) Persiapan Rujukan
Rujukan dilakukan bagi mereka dengan keterlibatan organ mata dan susunan
saraf pusat agar pengobatan dapat segera diberikan untuk mencegah kerusakan organ
lebih lanjut. Individu dengan faktor risiko (imunokompromais, ibu hamil dan bayi
baru lahir dari ibu terinfeksi toksoplasma) juga perlu ditindaklanjuti dengan spesialis
terkait untuk skrining toxoplasmosis.
3) Medikamentosa
Pemberian terapi medikamentosa diberikan hanya kepada pasien
imunokompeten yang bergejala, pasien imunokompromais, dan anak < 5 tahun.
Terapi pada dewasa yang diberikan adalah sebagai berikut:
Regimen 1
Regimen 1 diberikan selama 6 minggu dengan 4 alternatif obat yang dapat diberikan:
 Dosis awal: Pyrimethamine 100 mg
 Dosis lanjutan alternatif 1: pyrimethamine 25-50 mg/hari + sulfadiazine 2-4
g/hari dalam dosis terbagi 4 kali/hari
 Dosis lanjutan alternatif 2: pyrimethamine 25-50 mg/hari + klindamisin 300
mg 4 kali/hari
 Dosis lanjutan alternatif 3: pyrimethamine 25-50 mg/hari + azithromycin 500
mg/hari 2 kali/hari
 Dosis lanjutan alternatif 4: pyrimethamine 25-50 mg/hari + atovaquone 750
mg 2 kali/hari
Regimen 2
Regimen 2 diberikan selama 4 minggu sebagai berikut:
 Trimethoprim (TMP) 10 mg/kg/hari + sulfamethoxazole (SMX) 50 mg/kg /hari
selama 4 minggu[25]
Regimen 2 dapat digunakan pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap
pyrimethamine.
Toxoplasmosis Gestasional
Pencegahan transmisi vertikal yang dapat diberikan pada ibu hamil dengan
kecurigaan infeksi toksoplasma dan di bawah usia gestasi 18 minggu adalah
pemberian spiramisin melalui rute oral dalam dosis 1 gram sebanyak 3 kali per hari.
Spiramisin dapat diteruskan selama masa kehamilan bila hasil PCR
dari amniosentesis dinyatakan negatif. Pada hasil positif PCR dari cairan amnion, tata
laksana yang direkomendasikan adalah pemberian pyrimethamine, sulfadiazine dan
asam folinik.[7,20]
Toxoplasmosis Kongenital
Regimen pengobatan yang direkomendasikan untuk toxoplasmosis kongenital yang
dipakai saat ini adalah pyrimethamine dan sulfadiazine dengan leukovorin (asam
folinik).[6]
Pengobatan pada toxoplasmosis kongenital rekomendasi dari American Academy of
Pediatric adalah:
 Pyrimethamine: 2 mg/kgBB per hari terbagi dalam 2 dosis selama 2 hari pertama,
dilanjutkan dengan 1mg/kgBB per hari kemudian 1 mg/kgBB dalam 3 kali per
minggu, tergantung pada kondisi klinis
 Sulfadiazine: 100mg/kgBB per hari terbagi dalam 2 dosis
 Asam Folinik: 10 mg sebanyak 3 kali per minggu[28]
Toxoplasmosis Okular
Pada toxoplasmosis okular, kombinasi pyrimethamine dan azitromisin lebih menjadi
pilihan karena ditoleransi lebih baik dibandingkan dengan kombinasi pyrimethamine
dan sulfadiazine. Dosis pyrimethamine yang digunakan adalah 100 mg/hari diberikan
beberapa hari kemudian diturunkan menjadi 50 mg/hari. Dosis azitromisin yang
diberikan adalah 250 mg/hari. Dosis sulfadiazine 75 mg/kg/hari terbagi 4 dosis.
Kortikosteroid (prednisone 0.5-1 mg/kg/hari) diberikan kecuali pada pasien
imunokompromais. Jika penggunaan pyrimethamine tidak dapat ditoleransi maka
dapat diberikan klindamisin 450-600 mg/hari.[3]
Toxoplasmosis Ensefalitis (Serebral)
Terapi toksoplasma ensefalitis dimulai bila didapatkan satu atau lebih lesi desak
ruang (space occupying lesion) pada CT scan atau MRI, pemeriksaan serologi
toksoplasma positif dan jumlah CD4 < 100 sel/mm3. Regimen terapi primer untuk
toxoplasmosis pada kondisi imunokompromais adalah pyrimethamine dengan dosis
awal 100-200 mg yang terbagi dalam 2 dosis, sulfadiazine 4-6 gram/hari per oral
dalam 4 kali pemberian, dan asam folinik 10-20 mg/hari. Dosis rumatan yang
digunakan adalah setengah dari dosis awal. Terapi rumatan dihentikan bila setidaknya
selama 6 bulan jumlah CD4 > 200 /mm3, asimtomatis dan tidak ditemukan lesi
penyengatan pada MRI.[5,28]
Relaps setelah terapi dihentikan dapat terjadi dan regimen obat yang
direkomendasikan adalah pyrimethamine 25-50 mg/hari, sulfadiazine 2-4 gram / hari
dalam 4 kali pemberian, dan asam folinik 10 mg /hari po. Profilaksis primer diberikan
pada pasien HIV dengan seropositif dan jumlah CD4 <100 /mm3. Regimen yang
disarankan adalah cotrimoxazole double strength atau dapsone-pyrimethamine dan
asam folinik. [6,11,17] Profilaksis dapat dihentikan apabila ada respon positif
terhadap HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), CD4 meningkat > 200
/mm3 selama minimal 3 bulan.[18]
4) Pembedahan
Terapi pembedahan tidak umum pada infeksi toksoplasma, kecuali pada kasus
okular. Pembedahan untuk komplikasi berat toxoplasmosis okular telah dicoba
namun terapi medikamentosa tetap perlu dioptimalkan karena stres pembedahan
dapat memperburuk gejala klinis dan meningkatkan tingkat kekambuhan.[10]
5) Terapi Suportif
Asam folinik (leukovorin) 10-25 mg/hari diberikan pada semua pasien untuk
mencegah depresi sumsum tulang dan toksisitas hematologi dari pyrimethamine.
Steroid pada toxoplasmosis okular umum digunakan walaupun peranannya dalam
terapi toxoplasmosis okular belum jelas. Kondisi seperti reaksi inflamasi vitreous
yang berat, penurunan penglihatan menurun, dan lesi yang besar menjadi
pertimbangan penggunaan steroid.[29]
7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul bergantung pada organ yang terganggu.

1) Mata
Pada bagian mata, komplikasi yang dapat timbul adalah kebutaan, iridosiklitis
kronis, edema makula, neovaskularisasi pada koroid, katarak, glaukoma (sekunder)
dan ablasio retina.[30]
2) Saraf
Pada bagian saraf, komplikasi yang dapat timbul adalah penurunan kesadaran
hingga koma, manifestasi neurologis fokal maupun multifokal dan kematian.[11]
3) Komplikasi pada Ibu Hamil
Komplikasi yang timbul pada ibu hamil dengan toksoplasma adalah penularan
secara vertikal ke bayinya.
4) Komplikasi pada Pasien Imunokompromais
Pada pasien imunokompromais, toxoplasmosis dapat menyebabkan
ensefalitis, korioretinitis, miokarditis, dan pneumonitis.[5,23]
8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan screening berupa tes darah guna


mendeteksi sekelompok infeksi pada tubuh anda. TORCH merupakan singkatan dari
toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex.

Toxoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii


yang biasanya ditularkan oleh hewan, seperti kucing, burung. Penyebaran bisa terjadi
lewat kotoran binatang, transfusi darah atau transplantasi organ, mengonsumsi
makanan yang terkontaminasi, atau mengonsumsi daging (sapi, kambing, babi)
mentah atau setengah matang.

Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi
diderita oleh ibu hamil. Kini, diagnosis untuk penyakit infeksi telah berkembang antar
lain ke arah pemeriksaan secara imunologis. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah
deteksi adanya zat anti (antibodi) yang spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi
tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda asing (kuman).
Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglobulin
G (IgG). 

Paket TORCH meliputi tes-tes di bawah ini:

1) Anti-toxoplasma IgG: Tes anti-toxoplasma IgG adalah tes yang menguji


antibodi IgG yang muncul jika seseorang pernah terkena infkesi
Toxoplasmosis yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii.
Toxoplasmosis yang terjadi pada wanita hamil bisa menyebabkan keguguran
atau bayi lahir prematur. Janin yang sedang dikandung juga bisa tertularkan
infeksi ini melalui plasenta, yang bisa memicu cacat lahir atau kerusakan
organ. Wanita yang sedang hamil disarankan untuk melakukan tes ini setiap
tiga bulan. Tes Anti-toxoplasma IgG dilakukan menggunakan sampel darah
yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan.
2) Anti-toxoplasma IgM: Berbeda dengan IgG, tes anti-toxoplasma bertujuan
untuk mendeteksi antibodi IgM yang pertama kali muncul ketika seseorang
pertama kali terinfeksi Toxoplasmosis. Antibodi IgM biasanya akan
menghilang setelah beberapa bulan. Sama seperti antibodi IgG, tes anti-
toxoplasma IgM sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan. Tesnya dilakukan
menggunakan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena yang
diambil dari lengan.
3) Anti-rubella IgG: Virus rubella, atau biasa disebut campak Jerman, bila
menyerang wanita hamil bisa mempengaruhi perkembangan bayi dan
menyebabkan kerusakan jantung, mata, telinga, dan keterbelakangan mental.
Rubella juga bisa menyebabkan keguguran atau kelahiran prematur. Tes anti-
rubella IgG bertujuan untuk mendeteksi antibodi IgG yang muncul setelah
seseorang terinfeksi rubella dan bisa bertahan seumur hidup. Wanita hamil
disarankan melakukan tes ini setiap tiga bulan. Tes ini dilakukan
menggunakan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena pada
lengan.
4) Anti-rubella IgM: Antibodi IgM adalah antibodi pertama yang muncul dalam
darah jika seseorang terinfeksi virus rubella dan akan menghilang setelah
beberapa bulan. Jadi, tes anti-rubella IgM bertujuan untuk mengecek apakah
seseorang--khususnya ibu hamil--terinfeksi virus rubella atau tidak dan
dianjurkan untuk dilakukan setiap tiga bulan. Tes ini dilakukan menggunakan
sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena pada lengan.
5) Anti-CMV IgG: Cytomegalovirus (CMV) adalah virus yang bisa ditularkan
oleh ibu hamil kepada bayinya, baik melalui plasenta atau pada saat proses
persalinan dan menyusui. Virus ini bisa menyebabkan kerusakan
pendengaran, penglihatan, dan keterbelakangan mental pada bayi, yang bisa
muncul saat remaja atau dewasa. Tes anti-CMV IgG bertujuan untuk
mengetes ada tidaknya antibodi IgG terhadap Cytomegalovirus. Tes ini
dianjurkan untuk dilakukan setiap tiga bulan pada ibu hamil dan dilakukan
menggunakan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena pada
lengan.
6) Anti-CMV IgM: Tes anti-CMV IgM bertujuan untuk mengetes ada tidaknya
antibodi IgM yang muncul saat seseorang baru terinfeksi Cytomegalovirus.
Antibodi ini biasanya hilang dalam beberapa bulan. Tes ini dianjurkan agar
dilakukan setiap tiga bulan sekali pada ibu hamil, dan dilakukan
menggunakan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena pada
lengan.
7) Anti-HSV II IgG: Herpes Simplex Virus tipe 2 adalah infeksi herpes yang
terjadi pada alat kelamin dan biasanya ditularkan oleh ibu kepada bayi saat
proses persalinan. Bayi yang terinfeksi HSV II berisiko mengalami gangguan
kesehatan seperti kerusakan pada mata dan trakea, meningitis, pneumonia,
dan encephalitis (radang otak). Tes anti-HSV II IgG bertujuan mendeteksi
antibodi IgG yang muncul setelah seseorang terinfeksi HSV II dan dilakukan
menggunakan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena pada
lengan. 
8) Anti-HSV II IgM: Tes anti-HSV II IgM bertujuan mendeteksi antibodi IgM
yang muncul saat seseorang pertama kali terinfeksi HSV II. Tes ini dilakukan
menggunakan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena pada
lengan dan ibu hamil disarankan melakukan tes setiap tiga bulan.
B. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian

-  Identitas klien:
a.       Keluhan utama
b.      Riwayat kesehatan:
 Suhu tubuh meningkat
 Malaise
 Sakit tenggorokan
 Mual dan muntah
 Nyeri otot
c.    Riwayat kesehatan dahulu: 
    1. Kliensering berkontak langsung dengan binatang 
    2. Klien sering mengkonsumsi daging setengah matang
    3. Klien pernah mendapatkan tranfusi darah
d.   data psikologis
e.      data spiritual
f.       data social dan ekonomi
g.      Pemeriksaan fisik
 Mata : Nyeri
 Perut : Diare, mula dan muntah
 Integument: suka berkeringat malam, suhu tubuh meningkat, timbulnya
rash pada     kulit
 Muskuloskletal: Nyeri dan kelemahan
 Hepar : Hepatomegali dan icterus
2. Diagnosa

a. Nyeri b.d adanya proses infeksi / inflamasi.


b. Hipertemia b. d peningkatan tingkat metabolisme penyakit ditandai
dengan suhu 390c tubuh menggigil.
c. Kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya masukan makanan dan
cairan ditandai  dengan diare.
3. Intervensi

Diagnose 1: Nyeri b/d adanya proses infeksi / inflamasi.


a. Tujuan : mengurangi nyeri
b. Kriterian hasil :
 Klien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
 Klien tampak rileks, Klien mampu tidur/istirahat dengan tepat.
c. Intervensi
 Berikan lingkungan yang tenang sesuai kebutuhan.
R/ menurunkan reaksi stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan
meningkatkan istirahat/reaksi.
 Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting.
R/ menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri.
 Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian analgesic seperti
asetamenofen.
R/ Untuk menghilangkan rasa nyeri yang berat.
Diagnose 2: Hipertemia b.d peningkatan tingkat metabolisme penyakit ditandai
dengan suhu 39, 50C , tubuh menggigil
a. Tujuan: Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal
b. Kriteria hasil:
 Terjadi peningkatan suhu
 Kulit kemerahan dan hangat waktu disentuh
 Peningkatan tingkat pernapasan
c.       Intervensi:
 Monitor tanda-tanda vital : suhu tubuh
R : Sebagai indikator untuk mengetahui status hipertermi
 Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat sedikitnya
2000ml/ hari untuk mencegah dehidrasi
R : Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu
timbulnya dehidrasi
 Berikan kompres dengan air biasa pada lipatan ketiak dan femur
R : Menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi
vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi
panas tubuh melalui penguapan.
 Anjurka klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R : Kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan
jamur, juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam
kulit.
Diagnose 3: Kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya masukan makanan dan
cairan ditandai dengan, diare
a. Tujuan: memenuhi kebutuhan cairan tubuh
b. Kriteria hasil:
 Mempertahankan volume sirkulasi adekuat
 Tanda – tanda vital dalam batas normal
 Nadi ferifer teraba
 Haluaran urine adekuat
 Membrane mukosa lembab
 Turgor kulit baik.
c.       Intervensi :
 Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. Berikan makan sedikit dalam
frekwensi sering dan tawarkan makan pagi paling besar.
R : Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anoreksia
juga paling buruk selama siang hari, membuat maskan makanan yang sulit
pada sore hari.
 Berikan perawatan mulut sebelum makan;
R : Menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan napsu makan.
 Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
R : Menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan
pemasukan.
 Konsul pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai
kebutuhan pasien, dengan masukan lemak dan protein sesuai toleransi. R :
Berguna dalam program diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu
DAFTAR PUSTAKA

Hasdina, H. (2017). Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Infeksi TORCH di


Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Pertiwi, Rumah Sakit Khusus Ibu
dan Anak Siti Fatimah, dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Sitti Khadijah I
Makassar 2016 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar).

S.Sutisna, Nathania. 2020. Penetalaksanaan Toxoplasmosis.


https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit
infeksi/toxoplasmosis/penatalaksanaan (diakses pada tanggal 3 april 2021)

Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan


Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.

Annisa, Puspita. (DOC) Makalah Torch https://www.academia.edu/38463405/


Makalah_TORCH (diakses pada tanggal 1 april 2021).

R. Stright, Barbara. 2004. Keperawatan Ibu Bayi Baru Lahir. EGC.

Anda mungkin juga menyukai