Anda di halaman 1dari 1

Nama : Mona Sherti Agusti

Nim :10012682024030
Kelas : Non Reguler (Jumat-Sabtu) Palembang

Pandemi Covid-19 bukan hanya menjadi persoalan medis dan ekonomis, tapi juga menyangkut
persoalan etis.saya sependapat dengan 2 ahli etika yaitu Professor Jeffrey kahn dan professor Nancy
kass, yang merupakan direktur dan wakil direktur berman institute bioetika di universitas johns Hopkins,
Tahun 2020 merupakan era media sosial dan semua orang banyak mendapatkan informasi tentang covid-
19 sehingga menimbulkan begitu banyak ketakutan dan perasaan khawatir pada masyarakat. Hampir
seluruh orang menjadi takut untuk berobat dan memeriksakan dirinya ke dokter atau datang ke rumah sakit
karena mereka sangat khawatir jika dilakukan rapid test dan hasilnya reaktif kemudian dilanjutkan dengan
swab antigen lalu swab PCR. Orang-orang berasumsi, jika mereka positif dan nama mereka sekarang
akan terbuka untuk umum disuatu tempat, kemudian mereka dijauhi oleh tetangga mereka dan ada banyak
tindakan menyalahkan yang sangat ditakuti di masyarakat. Kesehatan masyarakat telah dipelajari selama
bertahun-tahun bahwa itu sama efektifnya tanpa menyebut nama. Jadi ini semacam prinsip inti dari etika
kesehatan masyarakat bahwa jika anda bisa sama efektifnya dan menghindari beberapa hal negative dan
bahaya, itulah cara yang paling efektif untuk menjaga kode etik pasien. Jelas terkadang itu mungkin
mengarah untuk mempersempit siapa individu tersebut, dan itu sekali lagi keseimbangan yang harus
dicapai dan pertimbangan untuk otoritas kesehatan masyarakat.
Isu-isu tentang kesehatan masyarakat terkait covid-19 begitu sangat saya rasakan dimana saya
bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin yang diajak bergabung dalam tim SATGAS
COVID-19. Kami menjalankan berbagai macam tugas lebih dari rutinitas sebelum terjadinya pandemic
covid-19. Seluruh perkantoran, rumah makan, tempat ibadah, pasar dan semua tempat umum yang ada di
Sekayu telah kami masuki untuk mensosialisasikan bahaya covid-19 dan apa saja yang harus diterapkan
untuk menghindari covid-19. Akibat beban kerja yang padat dan imunitas menurun sehingga menyebabkan
kondisi tubuh tidak fit. Beberapa diantara kami terdiagnosa reaktif rapid test, namun hasil swab antigen dan
PCR mengatakan NEGATIF COVID-19, akan tetapi di lingkungan kantor dinas kesehatan yang mayoritas
pegawainya adalah basic kesehatan, menampakkan sikap yang tidak bersahabat dan menjauhi rekan kerja
yang terdiagnosa reaktif tersebut walaupun hasil swab pcr nya telah dinyatakan negative dan telah
melakukan isolasi mandiri dirumah selama 14 hari. Dari pengalaman tersebut, hal yang bisa kita ambil
yaitu betapa pentingnya menjaga kerahasiaan data pribadi pasien walaupun dalam lingkup perkantoran
dengan rekan-rekan yang telah dikenal, karena akan sangat membuat psikis seseorang terganggu dan
merasa dikucilkan di lingkungan kerja nya, tentunya akan berpengaruh juga kepada kesehatan. Dari hal
tersebut juga dapat dilihat bahwa tingkat Pendidikan seseorang tidak mencerminkan perilaku dan etika
yang ditampilkan. Begitu juga yang terjadi pada para dokter dan perawat yang terdiagnosa positif covid.
Pasti akan diperlakukan berbeda oleh lingkungannya. Apalagi dikalangan masyarakat biasa. Banyak sekali
masyarakat yang melakukan justifikasi terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebar virus
corona dilingkungannya. Dampak dari stigma ini adalah memunculkan kegaduhan dan ketidaknyamanan
dari orang-orang sekitar pastinya. Lebih baik melakukan konfirmasi dan koordinasi apabila memang
terdapat tanda-tanda mencurigakan seseorang terkena infeksi virus corona. Tentunya dengan cara yang
santun dan tidak terkesan sedang menghakimi seseorang layaknya maling. Koordinasikan dengan pihak
medis setempat untuk melakukan pemeriksaan agar hasilnya valid, bukan opini semata, tidak melakukan
diskriminasi terhadap pasien positif virus corona dan juga keluarganya, juga tidak melakukan diskriminasi
terhadap ODP dan OTG. Hal ini menjadi penting karena dengan melakukan tindak diskriminasi bisa
memengaruhi kesehatan mental seseorang. Siapapun pasti setuju bahwa diskriminasi bukan cara yang
bijak, cukup jaga jarak tetapi tidak perlu mendiskriminasi.

Selain itu, ada semacam kewajiban timbal balik yg dimiliki oleh tenaga medis. Ada harapan bahwa
mereka akan bekerja dilingkungan seaman mungkin. Jadi ada kewajiban menjaga kesehatan institusi atau
perusahaan utk memastikan bahwa ada cukup alat pelindung, masker, udara yg disaring, hal-hal yang
sebenarnya dikonsep agar bekerja dilingkungan yang seaman mungkin. Secara harfiah bahkan punya
waktu untuk pulang dan tidur, sehingga mereka aktif dan menjamin mereka, bahwa mereka akan
mendapatkan perawatan jika mereka sakit. Saya piker ada juga sekelompok karyawan yg bekerja di
institusi perawatan kesehatan yang sering tidak kita pikirkan. Para dokter dan perawat mengambil sumpah
profesi semacam ini, bahwa mereka akan merespon pada saat darurat. Tapi petugas kebersihan, orang
yang membersihkan kamar, melakukan pelayanan makanan dirumah sakit, tidak pernah mengambil
sumpah seperti itu. Itu adalah pekerjaan yang harus mereka lakukan dan memastikan bahwa kami berhati-
hati dalam melindungi mereka, memastikan bahwa mereka juga dialokasikan untuk bekerja dengan aman
tanpa perbedaan.

Anda mungkin juga menyukai