Anda di halaman 1dari 6

Muhammad Feldi Rahman

20810334097

Manajemen Pemasaran Gunungkidul

Tugas Resume PAI Modul 6


KONSEP AKHLAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM ISLAM

KEGIATAN BELAJAR 1: PENGERTIAN DAN DASAR-DASAR AKHLAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER


DALAM ISLAM

A. Pengertian Akhlak, Karakter, dan Pendidikan Karakter

Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan
kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi Muhammad saw. Dalam khazanah
perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral,
etika, nilai, dan karakter. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila,
tata krama atau sopan santun (Ismail, 1998: 178). Pada dasarnya secara konseptual kata etika
dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan
perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam
aplikasinya etika lebih bersifat teoretis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai,
sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang (Sa’id, 1986: 23-24). Etika memandang perilaku secara universal, sedang moral
secara memandangnya secara lokal.

Kata ‘akhlak’ yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq adalah bentuk jamak dari kata
alkhuluq menurut Ibnu Mandzur (Yaljan, 2003: 33) berarti al-thabi’ah, artinya: tabiat, watak,
pembawaan (Munawwir, 1997: 838) atau al-sajiyyah, artinya: tabiat, pembawaan, karakter
(Munawwir, 1997: 613). Dari makna etimologis yang dijelaskan dalam kitab Lisan al-‘Arab
karya Ibnu Mandzur, Yaljan menyimpulkan bahwa al-khuluq memiliki tiga makna, yaitu: 1)
kata al-khuluq menunjuk pada sifat-sifat alami dalam penciptaan manusia yang fitri yaitu
keadaan yang lurus dan teratur; 2) akhlak juga menunjuk pada sifat-sifat yang diupayakan
dan terjadi seakan-akan tercipta bersamaan dengan wataknya; dan 3) akhlak memiliki dua
sisi, sisi kejiwaan yang bersifat batin dan sisi perilaku yang bersifat lahir (Yaljan, 2003: 34).
Jadi, akhlak tidak semata-mata terwujud pada perilaku seseorang yang tanpak secara lahir,
tetapi juga bagaimana orang itu memiliki sikap batin ketika melakukan perilaku tersebut.

B. Dasar-dasar Akhlak dan Pendidikan Karakter dalam Islam

Dari pengertian akhlak dan karakter di atas, dapat dipahami sebenarnya kedua istilah itu tidak
berbeda jauh, atau bisa dikatakan sama, terutama dilihat dari makna secara etimologis. Dalam
perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses
penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi akidah yang kokoh.
Ibarat bangunan, karakter/akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah
fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri
seseorang jika ia tidak memiliki akidah dan syariah yang benar. Seorang muslim yang
memiliki akidah atau iman yang benar pasti akan terwujud pada sikap dan perilaku sehari-
hari yang didasari oleh imannya. Sebagai contoh, orang yang memiliki iman yang benar
kepada Allah ia akan selalu mengikuti seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-
larangan-Nya. Dengan demikian, ia akan selalu berbuat yang baik dan menjauhi hal-hal yang
dilarang (buruk). Iman kepada yang lain (malaikat, kitab, dan seterusnya) akan menjadikan
sikap dan perilakunya terarah dan terkendali, sehingga akan mewujudkan akhlak atau
karakter mulia. Hal yang sama juga terjadi dalam hal pelaksanaan syariah. Semua ketentuan
syariah Islam bermuara pada terwujudnya akhlak atau karakter mulia.

Mengkaji dan mendalami konsep akhlak bukanlah yang terpenting, tetapi merupakan
sarana yang dapat mengantarkan seseorang dapat bersikap dan berperilaku mulia seperti yang
dipesankan oleh Nabi saw. Dengan pemahaman yang jelas dan benar tentang konsep akhlak,
seseorang akan memiliki pijakan dan pedoman untuk mengarahkannya pada tingkah laku
sehari-hari, sehingga dapat dipahami apakah yang dilakukannya benar atau tidak, termasuk
karakter mulia (akhlaq mahmudah) atau karakter tercela (akhlaq madzmumah). Sistem
moralitas yang pertama (moral agama) dapat ditemukan pada sistem moralitas Islam (akhlak).
Hal ini karena Islam menghendaki dikembangkannya al-akhlaq al-karimah yang pola
perilakunya dilandasi dan untuk mewujudkan nilai Iman, Islam, dan Ihsan. Iman sebagai al-
quwwah al-dakhiliah, kekuatan dari dalam yang membimbing orang terus melakukan
muraqabah (mendekatkan diri kepada Tuhan) dan muhasabah (melakukan perhitungan)
terhadap perbuatan yang akan, sedang, dan sudah dikerjakan. Sedangkan sistem moralitas
yang kedua (moral sekular) adalah sistem yang dibuat atau sebagai hasil pemikiran manusia
(secular moral philosophies) dengan mendasarkan pada sumber-sumber sekular, baik murni
dari hukum yang ada dalam kehidupan, intuisi manusia, pengalaman, maupun karakter
manusia (Ismail, 1998: 181). Di antara tokoh yang sangat terkenal dalam aliran
utilitarianisme adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Aliran yang lain adalah aliran
intuisi yang menggunakan kekuatan batiniyah sebagai tolok ukur yang kebenarannya,
menurut Islam, bersifat nisbi. Kemudian ada juga aliran adat kebiasan yang memegangi adat
kebiasaan yang sudah dipraktikkan oleh kelompok masyarakat sebagai ukurannya tanpa
menilai dari sumber nilai universal (Alquran).

KEGIATAN BELAJAR 2: RUANG LINGKUP AKHLAK DAN PENDIDIKAN


KARAKTER DALAM ISLAM

A. Dua Bentuk Akhlak dan Pendidikan Karakter

Secara umum akhlak atau karakter dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua, yaitu karakter
mulia (al-akhlaq al-mahmudah) dan karakter tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Karakter
mulia harus diterapkan dalam kehidupan setiap muslim sehari-hari, sedang karakter tercela
harus dijauhkan dari kehidupan setiap muslim. Jika dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak atau
karakter dalam Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu karakter terhadap Khaliq (Allah Swt.)
dan karakter terhadap makhluq (makhluk/selain Allah Swt.). Akhlak terhadap makhluk bisa
dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti karakter terhadap sesama manusia, karakter
terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta karakter
terhadap benda mati (lingkungan alam). Pada umumnya orang menilai bahwa akhlak
dikonotasikan positif (akhlak mulia), begitu juga karakter. Padahal sebenarnya akhlak atau
karakter bisa bernilai positif dan bisa bernilai negatif. Orang yang berakhlak atau berkarakter
adalah orang yang benar-benar menunjukkan sikap dan perilaku positif (mulia) dan
meninggalkan sikap dan perilaku negatif (tercela). Dengan demikian, pendidikan karakter
atau pendidikan akhlak adalah proses untuk mewujudkan sikap dan perilaku mulia pada diri
seseorang sekaligus menjauhkannya dari sikap dan perilaku tercela.

B. Ruang Lingkup Akhlak dan Pendidikan Karakter

Islam menjadikan akidah sebagai fondasi syariah dan akhlak. Karena itu, karakter yang mula-
mula dibangun setiap muslim adalah karakter terhadap Allah Swt. Ini bisa dilakukan
misalnya dengan cara menjaga kemauan dengan meluruskan ubudiyah dengan dasar tauhid
(Q.S. Al-Ikhlash, 112: 1–4; Q.S. Adz-Dzariyat, 51: 56), menaati perintah Allah atau bertakwa
(Q.S. Ali ‘Imran, 3: 132), ikhlas dalam semua amal (Q.S. Al-Bayyinah, 98: 5), cinta kepada
Allah (Q.S. Al-Baqarah, 2: 165), takut kepada Allah (Q.S. Fathir, 35: 28), berdoa dan penuh
harapan (raja’) kepada Allah Swt. Alquran banyak mengaitkan karakter atau akhlak terhadap
Allah dengan akhlak kepada Rasulullah. Jadi, seorang muslim yang berkarakter mulia kepada
sesama manusia harus memulainya dengan bernkarakter mulia kepada Rasulullah. Sebelum
seorang muslim mencintai sesamanya, bahkan terhadap dirinya, ia harus terlebih dahulu
mencintai Allah dan Rasulullah. Kualitas cinta kepada sesama tidak boleh melebihi kualitas
cinta kepada Allah dan Rasulullah (Q.S. At-Taubah, 9: 24). Karakter yang lain terhadap
Rasulullah adalah taat kepadanya dan mengikuti sunnahnya (Q.S. An-Nisa’, 4: 59) serta
mengucapkan shalawat dan salam kepadanya (Q.S. Al-Ahzab, 33: 56). Islam melarang
mendustakan Rasulullah dan mengabaikan sunnah-sunnahnya.

Islam juga mengajarkan kepada setiap muslim untuk berkarakter mulia terhadap
dirinya sendiri. Manusia yang telah diciptakan dalam sibghah Allah Swt. dan dalam potensi
fitriahnya berkewajiban menjaganya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin (Q.S.
At-Taubah, 9: 108), memelihara kerapihan (Q.S. Al-A’raf, 7: 31), menambah pengetahuan
sebagai modal amal (Q.S. Az-Zumar, 39: 9), membina disiplin diri (Q.S. At-Takatsur, 102: 1-
3), dan lain-lainnya. Sebaliknya Islam melarang seseorang berbuat aniaya terhadap dirinya
(Q.S. Al-Baqarah, 2: 195); melakukan bunuh diri (Q.S. An-Nisa’, 4: 29-30); minum minuman
keras atau yang sejenisnya dan suka berjudi (Q.S. Al-Maidah, 5: 90-91); dan yang lainnya.
Selanjutnya setiap muslim harus membangun karakter dalam lingkungan keluarganya.
Karakter mulia terhadap keluarga dapat dilakukan misalnya dengan berbakti kepada kedua
orang tua (Q.S. Al-Isra’, 17: 23), bergaul dengan ma’ruf (Q.S. An-Nisa’, 4: 19), memberi
nafkah dengan sebaik mungkin (Q.S. Ath-Thalaq, 65: 7), saling mendoakan (Q.S. Al-
Baqarah, 2: 187), bertutur kata lemah lembut (Q.S. Al-Isra’, 17: 23), dan lain sebagainya.
Setiap muslim jangan sekali-kali melakukan yang sebaliknya, misalnya berani kepada kedua
orang tua, suka bermusuhan, dan lain sebagainya.
KEGIATAN BELAJAR 3: POLA PENGEMBANGAN AKHLAK DAN PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM ISLAM

A. Pola Pengembangan Akhlak menurut Ulama Islam

Pengalaman Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab hingga menjadi manusia yang
berkarakter mulia (masyarakat madani) memakan waktu yang cukup panjang. Pembinaan ini
dimulai dari membangun akidah mereka selama kurang lebih tiga belas tahun, yakni ketika
Nabi masih berdomisili di Makkah. Selanjutnya selama kurang lebih sepuluh tahun Nabi
melanjutkan pembentukan karakter mereka dengan mengajarkan syariah (hukum Islam)
untuk membekali ibadah dan muamalah mereka sehari-hari. Dengan modal akidah dan
syariah serta didukung dengan keteladanan sikap dan perilakunya, Nabi berhasil membangun
masyarakat madani (yang berkarakter mulia). Masyarakat berkarakter ini terus berlanjut pada
masa-masa selanjutnya sepeninggal Nabi hingga berakhirnya masa al-khulafa’ al-rasyidun
(para khalifah yang bijak). Para ahli akhlak (etika) Islam memberikan wacana yang bervariasi
dalam rangka pencapaian manusia paripurna (insan kamil) yang dipengaruhi oleh landasan
teologis yang bervariasi pula. Majid Fakhry mengupas secara detail pemikiran para ahli etika
Islam dengan mendasarkan pada karya-karya mereka yang monumental. Mereka adalah
Hasan al-Basri, Ibnu Abi al-Dunya, Abu al-Hasan al-Mawardi, Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, al-
Raghib alAsfahani, Fakhr al-Din al-Razi, dan al-Ghazali (Fakhry, 1996). Dari karya-karya
merekalah, Majid Fakhry mencoba menemukan ide-ide tentang pengembangan etika religius
(Islam) secara bervariasi, terutama dalam rangka pencapaian menjadi manusia suci atau
dalam kajian ini disebut manusia berkarakter (mulia).

Di antara tokoh-tokoh etika tersebut yang idenya relevan dalam tulisan adalah
alRaghib al-Asfahani dan al-Ghazali. Al-Asfahani menuangkan ide-ide penyucian jiwa
(berkarakter mulia) bagi manusia dalam kitabnya yang diberi judul al-Dzari’ah ila Makarim
alSyari’ah. Menurut al-Asfahani, landasan kemuliaan agama adalah kesucian jiwa yang
dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan keadilan.
Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui pelaksanaan
perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui kesederhanaan, keberanian dicapai
melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat diperoleh melalui keadilan (Fakhry, 1996: 102).
Al-Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara aktivitas agama dengan karakter
(akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat organis. Menurutnya, ibadah merupakan
prasarat bagi terwujudnya karakter mulia. Ia menegaskan, Tuhan tidak memerintahkan
kewajiban beribadah kepada manusia demi keuntungan-Nya, karena Tuhan Maha Kaya,
tetapi Tuhan memerintahkan kewajiban itu kepada manusia dengan tujuan membersihkan
ketidaksucian dan penyakit-penyakit jiwa manusia, yang dengannya manusia akan mampu
mencapai kehidupan abadi dan sejahtera di kemudian hari. Menurut alAsfahani penyucian
diri hanya mungkin dilakukan melalui perbuatan yang selaras dengan hukum agama di satu
sisi dan melalui penanaman perilaku moral dan kedewasaan intelektual yang secara filosofis
ditekankan oleh para ahli moral sebagai prasarat bagi kewajiban moral (Fakhry, 1996: 104).
B. Pola Pengembangan Akhlak menurut Ahli Etika

Dalam salah satu bukunya, 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth
Settings (1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara untuk bisa meningkatkan nilai
dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang bisa dikelompokkan ke dalam lima
metode, yaitu: 1) inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas); 2)
modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas); 3) facilitating values and
morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas); 4) skills for value development and moral
literacy (keterampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan 5) developing a
values education program (mengembangkan program pendidikan nilai).

ika dikaji dua pola pengembangan karakter yang ditawarkan oleh para tokoh etika Islam
(akhlak) dan para tokoh sekular (filosof etika), terlihat jelas perbedaannya. Para tokoh Islam
Islam mendasari pengembangan karakter manusia dengan fondasi teologis (akidah) yang
benar, meskipun pemahaman teologi mereka berbeda-beda. Dengan fondasi teologis itulah
mereka membangun ide bagaimana seharusnya manusia dapat mencapai kesempurnaan
agamanya sehingga menjadi orang yang benar-benar berkarakter mulia. Sedang para tokoh
etika (karakter sekuler) lebih menekankan para proses apa yang harus ditempuh oleh
seseorang dalam rangka mencapai tujuan itu. Proses ini sama sekali mengabaikan landasan
teologi (akidah). Proses inilah yang sekarang banyak dikembangkan di lembaga-lembaga
pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal, karena hasilnya lebih mudah dan cepat
terlihat. Namun, harus diakui ketiadaan fondasi teologis (akidah) tidak bisa menjamin untuk
terwujudnya karakter mulia dalam diri seseorang yang sebenarnya, terutama dalam perspektif
Islam. Karakter, dalam pandangan tokoh etika sekular, hanya terfokus pada hubungan
manusia dengan sesamanya atau dengan alam sekitarnya, sementara dalam pandangan tokoh
Islam, karakter harus dimulai dengan membangun hubungan yang baik dengan Allah dan
Rasulullah, lalu berlanjut pada hubungan dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.

C. Refleksi untuk Umat Islam Indonesia

Indonesia adalah negara yang mayotitas penduduknya beragama Islam dan umat Islam di
Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia. Jika umat Islam Indonesia memiliki karakter
mulia, maka Indonesia telah berhasil membangun karakter bangsanya sekaligus membangun
karakter umat Islam dunia. Sebaliknya jika umat Islam Indonesia hanya bangga dalam hal
kuantitas, tetapi tidak memperhatikan kualitas (terutama karakternya), maka Indonesia telah
gagal membangun bangsanya juga umat Islamnya. Kenyataan membuktikan bahwa Indonesia
banyak bermasalah dalam hal karakter. Hal ini berarti bangsa Indonesia yang didominasi oleh
umat Islam belum mengamalkan ajaran agama Islam dengan baik (kaffah) sesuai tuntutan
Alquran (Q.S. Al-Baqarah, 2: 208).

Akhlak atau karakter sebenarnya tidaklah sulit untuk diperbincangkan, tetapi sangatlah sulit
untuk diterapkan dan diamalkan. Adagium ini hendaknya menjadi pemicu terbentuknya
manusia yang berakhlak mulia atau yang sekarang disebut manusia yang berkarakter. Untuk
bisa berakhlak mulia, seseorang tidak harus mulai dari memahami apa itu akhlak dan apa saja
nilai-nilai mulia dalam akhlak, tetapi yang terpenting adalah ia dapat merealisasikan nilai-
nilai akhak dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, pemahaman yang benar
tentang akhlak juga menjadi dasar awal bagi seseorang sehingga memiliki motivasi yang kuat
untuk bisa berakhak atau berkarakter mulia. Untuk bisa terealisasikannya nilai-nilai akhlak
dalam kehidupan nyata dibutuhkan banyak hal, mulai dari pemahaman yang benar tentang
akhlak beserta nilai-nilai karakter di dalamnya, fasilitasi yang cukup, aturan-aturan yang
tegas (law inforcement), dan keteladanan (role model).

Anda mungkin juga menyukai