Anda di halaman 1dari 8

Muhammad Feldi Rahman

20810334097

Manajemen Pemasaran Gunungkidul

Resume PAI Modul 10

KEGIATAN BELAJAR 1: KONSEP PERNIKAHAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Pernikahan


1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawaja. Secara etimologi, nikah
berasal dari akar kata bahasa Arab: nakaha – yankihu – nikahan bisa diartikan ”wathi”
atau ”jima’ yang berarti ”mengumpulkan”, atau berkumpul atau persetubuhan
(Taqiyuddin, 1997: 337). Sedangkan kata zawaja secara istilah berarti pasangan.
Pemaknaan ini memberikan kesan bahwa antara suami isteri saling melengkapi, saling
memberi dan saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan
demikian, secara terminologi perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang
semula terpisah dan berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra
(Nasution, 2002: 4).
Definisi Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdaasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut KHI (Kompilasi Hukum
Islam) Pasal 2 ”Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidlon
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”. Sedang yang
dimaksud ”akad” di sini adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul
yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya dan disaksikan oleh dua orang
saksi. (KHI, 1991: Pasal 1).

2. Tujuan Pernikahan
Berbagai macam pendapat tentang definisi pernikahan sudah anda pahami, kini
melangkah menuju materi berikutnya tujuan pernikahan. Perkawinan sebagai bentuk
yang telah disyariatkan oleh agama Islam mempunyai beberapa tujuan yang baik
untuk mengatur kehidupan umatnya.
Di antara tujuan-tujuan pernikahan adalah:
a. Pemenuhan kebutuhan biologis.
b. Memperoleh keturunan yang sah. Masyarakat diharapkan dapat melestarikan
kehidupan umat manusia sesuai ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah.
c. Menjalin rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan isteri. UU No. 1 tahun
1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 1). Dalam
Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan tidak menggunakan kata ”bahagia”
melainkan ”sakinah, mawaddah, dan rahmah”. ”Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah”
(KHI, 1991: Pasal 3).
d. Menjaga Kehormatan. Kehormatan yang dimaksud disini adalah kehormatan diri
sendiri, anak dan kehormatan keluarga.
e. Beribadah kepada Allah Swt

3. Fungsi Perkawinan
a. Mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah wa rahmah )
b. Menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Pernikahan akan berfungsi
bagi para suami/Istri menjaga pandangan mata dan kehormatan, Nabi Muhammad
saw. menegaskan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari, ”Wahai pemuda, barang
siapa di antara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah
maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang
tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan
diri.” (H.R. al-Bukhari).
c. Untuk mendapatkan keturunan. Mempunyai keturunan merupakan naluri setiap
manusia yang melakukan pernikahan, dan Nabi saw. melalui sabdanya yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad menganjurkan memilih pasangan yang subur yang
akan memberikan banyak keturunan.

B. Dasar Hukum Pernikahan


Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang
terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun
secara hukum. Dalam UU Perkawinan RI ditegaskan bahwa perkawinan adalah
”berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (UU No.1, 1974, Pasal 1), selanjutnya ada
penjelasan bahwa ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu” (UU No 1 Tahun 1974, Pasal 2 (1)). Dan
berikutnya, ”Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku” (UU No.1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 2). Begitu juga KHI mencatat bahwa
Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam (KHI, 1991, Pasal 5).

C. Prinsip-prinsip Pernikahan
Ada beberapa prinsip dalam pernikahan yang harus dipegangi oleh pasangan dalam
membina hubungan rumah tangga yakni:
1. Prinsip Kebebasan Memilih Setiap orang mempunyai kebebasan memilih
pasangannya selama tidak bertentangan dengan yang telah disyariatkan dalam
Alquran. (Q.S. An-Nisa’, 4: 23-24), (Q.S.An-Nuur, 24: 3 dan 26), Hadis Riwayat Abu
Hurairah tentang menikahi perempuan karena hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan agamanya.
2. Prinsip Musyawarah dan Demokrasi Prinsip Musyawarah artinya segala aspek
dalam kehidupan rumah tangga harus diselesaikan dan diputuskan secara musyawarah
antara suami isteri. Sedangkan demokrasi artinya bahwa antara suami dan isteri harus
saling terbuka menerima pendapat pasangan, demikian juga dengan anak-anak dan
keluarga besar bila diperlukan. Penetapan prinsip musyawarah dan demokrasi ini bisa
dalam bentuk: memutuskan masalah yang berhubungan dengan tempat tinggal, urusan
keuangan rumah tangga, jumlah anak, pengasuhan atau pendidikan anak, pembagian
tugas dan peran suami isteri, dan lain-lain.
3. Prinsip Menghindari Kekerasan. Prinsip dalam berumah tangga adalah menghindari
adanya kekerasan (violence) baik secara fisik maupun psikis. Prinsip interaksi dalam
rumah tangga yang damai, tenteram, sejahtera dan penuh kasih.
4. Prinsip Hubungan yang Sejajar Prinsip ini menegaskan bahwa suami dan isteri
mempunyai hubungan yang sejajar, isteri adalah mitra suami, suami adalah mitra
isteri.
5. Prinsip Keadilan Yang dimaksud keadilan adalah adil secara proporsional.
Keadilan di sini bisa dalam hal kesempatan untuk mengembangkan diri, kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, keadilan dalam berbagi peran dalam
rumah tangga, adil dalam mengasuh anak tanpa membedakan jenis kelamin, dan lain-
lain.
6. Prinsip Mawaddah Mengosongkan hatinya dari kehendak-kehendak buruk.
7. Prinsip Rahmah Saling mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam rangka
memberikan kebaikan pada pasangannya, saling melengkapi, serta menolak segala hal
yang mengganggu hubungan keduanya. Prinsip ini akan terwujud ketika masing-
masing pasangan menaati seluruh aturan Allah Swt. dan Rasul-Nya.
8. Prinsip amanah/ tanggung jawab. Prinsip ini harus menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam melaksanakan hubungan di antara suami dan isteri dalam
melaksanakan hak dan kewajiban keduanya.
9. Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf. Perkawinan menyatukan dua orang yang semula
tidak memiliki keterkaitan hubungan keluarga. Kunci dari pencapaian tujuan
berkeluarga dan terwujudnya prinsip-prinsip seperti di atas adalah adanya hubungan
yang dibina atas dasar kebaikan dan saling memahami yang biasa disebut mu’asyarah
bil ma’ruf.

D. Syarat dan Rukun Pernikahan


Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal-hal yang
termasuk rukun pernikahan adalah a) calon suami, b) calon isteri, c) wali nikah, d)
dua orang saksi, dan e) ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah
pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali (Yunus, 1996: 18). Adapun syarat-sahnya nikah,
menurut Wahbah Zuhaili adalah : a) antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, b)
sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, c) adanya persaksian, d) tidak ada paksaan, e)
ada kejelasan calon suami isteri, f) tidak sedang ihram, g) ada mahar, h) tidak ada
kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai, i) tidak
sedang menderita penyakit kronis, dan j) adanya wali (Az-Zuhaili, 1989: 62).

E. Faktor Penghalang Terjadinya Perkawinan


Faktor penghalang terjadinya perkawinan ada dua macam, yang pertama adalah
penghalang selama-lamanya, yang kedua adalah penghalang sementara. Penghalang
selama-lamanya adalah:
1. Antara suami isteri masih memiliki hubungan nasab.
2. Antara suami isteri mempunyai hubungan sepersusuan.
3. Antara suami isteri mempunyai hubungan semenda/perkawinan
KEGIATAN BELAJAR 2. PRAKTIK PERNIKAHAN SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA ISLAM

A. Konsep Wali dan Mahar Sebelum dan Sesudah Islam


Konsep perwalian merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah
pernikahan. Keberadaan wali merupakan salah satu dari persyaratan legal pernikahan
Islam yang harus dipenuhi. Jumhur ulama menyepakati bahwa pernikahan dipandang
tidak sah bila tidak disertai oleh seorang wali (Hasyim, 2001: 154). Ketentuan ini
merujuk kepada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni: ”Tidak
dipandang sah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi”.
Dalam istilah fikih, wali berarti orang yang memiliki kuasa untuk melakukan
tasharruf tanpa tergantung izin dari orang lain. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga
mempunyai hak utama dalam pengambilan keputusan wilayah keluarga (perwalian).
Pada masa pra Islam, wali berhak menentukan jodoh untuk anaknya. Di samping
sebagai bentuk kuasa lakilaki atas perempuan, konsep wali di kalangan Arab pra
Islam lebih terkesan sebagai peniadaan kebebasan dan hak bagi perempuan (Umar,
2001: 140). Demikian juga dengan praktik pemberian mahar (mas kawin) bagi
pengantin perempuan. Pada masa ini mahar diartikan sebagai harga seorang
perempuan yang dibeli dari walinya. Adalah wajar bila kemudian suami mempunyai
wewenang penuh terhadap isterinya untuk memperlakukan apa saja, menjadikan apa
saja, termasuk kemungkinan menikahkannya dengan pria lain (Nafis, 1994: 64 ).

B. Praktik Pernikahan Sebelum dan Sesudah Datangnya Islam


Perkawinan bangsa Arab masa pra Islam masih kental sekali menampakkan nuansa
patriarkhi dalam pengaturannya. Berbagai bentuk perkawinan yang ada lebih
menempatkan perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan mengikuti keinginan
laki-laki (suami) daripada sebagai teman hidup yang bakal memberikan keturunan
kepadanya. Perempuan tidak mempunyai hak dalam menentukan perkawinan. Yang
menentukan perkawinannya adalah ayah, kakak laki-laki, keponakan laki-laki atau
saudara laki-lakinya yang lain dari pihak keluarga. Mereka tidak mempertimbangkan
apakah perempuan tadi janda atau gadis, sudah tua atau masih di bawah umur, yang
terpenting adalah menikahkan dengan laki-laki pilihan mereka. Pihak perempuan itu
sendiri harus menerima tanpa dimintai pertimbangan apalagi persetujuan (Soorma,
1996: 33).
Perkawinan al-daizan, yaitu bentuk perkawinan yang menetapkan bahwa apabila
suami dari seorang perempuan meninggal dunia, anaknya yang tertua berhak untuk
mengawininya. Bahkan anak tersebut punya hak untuk mengawinkannya dengan
orang lain atau melarangnya menikah sama sekali sampai ia meninggal (Q.S An-
Nisa,4: 19). Bila perempuan tersebut meninggal dunia, dia akan mewarisi
kekayaannya. Atau, perempuan tersebut boleh membebaskan diri dengan syarat
membayar uang tebusan yang disepakati.

KEGIATAN BELAJAR 3: KONTROVERSI PRAKTIK PERNIKAHAN


A. Poligami
Salah satu persoalan fikh munakahat yang sampai saat ini masih ramai menjadi bahan
diskusi adalah persoalan poligami. Poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
yang bersamaan. Membahas persoalan poligami ini pada umumnya hampir semua
kitab fikih menyoroti sisi kebolehannya saja, tanpa mengkritisi hakikat dibalik
kebolehan tersebut, baik secara historis, sosiologis maupun anthropologis (Hasyim:
2001, 161). Para ulama fikih konvensional, yaitu para ulama empat mazhab, mencatat
bahwa Q.S. an-Nisa ayat 3 adalah mendukung kebolehan poligami maksimal empat
orang. Hanya Imam Syafi’i yang menghubungkan konsep keadilan dalam Q.S. an-
Nisa’, 4: 3 dan 129. Beliau menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntut oleh Q.S. an-
Nisa ayat 3 adalah keadilan yang berhubungan dengan kebutuhan fisik, karena
keadilan batiniah seperti yang tercatat dalam Q.S. an-Nisa, 4: 129, mustahil akan bisa
diwujudkan. Jadi, sejauh laki-laki memiliki kemampuan adil dalam memenuhi
kebutuhan fisik dan jasmani, poligami diperbolehkan (Nasution, 2002: 107).
Seperti dikutib oleh Al-Jurjawi, Muhammad Abduh mengatakan dalam fatwanya,
bahwa syariat Nabi Muhammad saw. memang membolehkan laki-laki menikahi
empat orang perempuan sekaligus, hanya jika laki-laki tersebut mengetahui
kemampuan dirinya untuk berbuat adil. Jika tidak mampu berbuat adil, maka beristeri
lebih satu tidak diperbolehkan. Dalam hal ini Abduh mengutip kelanjutan ayat yang
artinya : ”Jika kamu tidak mampu berbuat adil, maka satu saja”. Apabila seorang laki-
laki tidak mampu memberikan hak-hak isterinya, maka rusaklah bangunan rumah
tangga. Karena, tiang utama dalam rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling
menyayangi antaranggota keluarga (Al-Jurjawi, t.t: 12).
B. Pernikahan Siri
Pernikahan atau nikah sirri adalah nikah yang disembunyikan, dirahasiakan dan tidak
diketahui oleh masyarakat luar (Az-Zuhaili, 1989: 71). Pernikahan dalam konteks
fikih tersebut memang tidak mensyaratkan adanya pencatatan. Adapun nikah sirri
dalam konteks yuridis di Indonesia adalah pernikahan secara syar’i (dalam konteks
fikih) dengan diketahui oleh orang banyak, hanya saja tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama, sehingga yang membedakan antara nikah siri dengan pernikahan
resmi adalah adanya akta nikah sebagai bukti telah terjadinya pernikahan.
Pernikahan sirri yang meski sah secara syar’i, namun karena tidak mempunyai
bukti tertulis berupa akta nikah, maka tetap illegal secara hukum negara. Akibatnya
tentu akan memunculkan banyak permasalahan dikemudian hari. Secara rasional,
sesuatu yang illegal adalah sebuah problem bahkan madarat. Namun, dengan berbagai
dalih, masih banyak dijumpai pelaku nikah sirri dari berbagai kalangan. Banyaknya
kalangan yang menganggapnya sah, memunculkan image bagi masyarakat bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Akibatnya,
perjalanan mengarungi bahtera rumah tanggapun dijalani dengan tanpa
mempertimbangkan aspek hukum formal yang berlaku. Pada kenyataannya justru
menimbulkan berbagai permasalahan dan konflik rumah tangga yang berimbas
kepada persoalan hukum.

C. Pernikahan Mut’ah
Perkawinan mut'ah adalah kontrak perkawinan sementara yang dinyatakan sah hanya
di kalangan kaum Syiah Itsna Asy’ariyah atau dikenal juga dengan Syiah Imamiyah.
Dalam pernikahan mut’ah, masa berlakunya kontrak disebutkan. Setelah masa
tersebut berakhir, maka dengan sendirinya pernikahan tersebut tidak berlaku lagi.
Beberapa ulama mengatakan bahwa praktik pernikahan tersebut memang
pernah terjadi. Ribuan orang harus bertahan dalam jangka waktu lama dan jauh dari
rumah, karena berbagai alasan mereka harus meninggalkan isteri-isteri mereka.
Dikhawatirkan terjadinya hal-hal yang melanggar syar’i, maka pernikahan mut’ah
diperbolehkan (Ali, 1977: 538). AzZamakhsyari dalam kitabnya, Al-Kasysyaf,
menolak bahwa Q.S. An-Nisa ayat 24 tersebut berkenaan sebagai pembolehan
dilangsungkannya pernikahan mut’ah. Menurutnya, mut’ah berarti kesenangan atau
keuntungan. Dalam arti, bahwa dari pernikahan tersebut, laki-laki bisa mengambil
keuntungan dengan melampiaskan hasrat seksualnya, sementara perempuan
mengambil keuntungan secara materi, yakni dari imbalan (mahar) yang diberikan
kepadanya.

D. Pernikahan Sesama Jenis


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), homoseks didefinisikan dengan
hubungan seks dengan pasangan sejenis. Keterangan dalam KBBI tersebut belum
memberikan penjelasan yang rinci tentang bentuk hubungan seks dan perilaku seksual
itu sendiri. Pelaku homoseks tersebut biasa disebut dengan gay (laki-laki) atau lesby
(perempuan). Dalam Islam, perilaku gay atau lesby tersebut setidaknya dibagi
menjadi 2 golongan yakni: a) orang yang berjenis kelamin laki-laki tetapi berperangai
seperti perempuan disebut mukhannas atau sebaliknya, orang yang berjenis kelamin
perempuan tapi berperangai seperti laki-laki disebut mutarajjilah, b) khunsa musykil
yakni orang yang memiliki dua jenis kelamin. Jika mukhannas dan mutarajjilah
dijadikan sebagai pilihan secara sadar atau ikhtiar-nya, hukumnya adalah berdosa
sebagaimana hadis Nabi saw. yang artinya, ”Rasulullah saw. melaknat mukhannas,
laki-laki yang berperangai seperti perempuan, dan mutarajjilah, perempuan yang
berperangai seperti laki-laki” (H.R. Al-Bukhari). Akan tetapi jika hal tersebut bukan
dengan ikhtiarnya artinya secara idhtirari (di luar kendali dirinya), berarti dia berada
dalam keadaaan jiwa yang abnormal, dan perlu pendampingan dari keluarga,
masyarakat dan para ahli. Kondisi tersebut dianggap sakit, dan tidak terkena laknat
sebagaimana hadis nabi di atas (Hadzami, 1982: 266). Perilaku homoseks dalam
Alquran disebut liwaath. Sedang lesby dalam kitab fikih disebut sihaaq. Perbuatan
zina dilarang sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-Isra,17: 32.

Anda mungkin juga menyukai