Anda di halaman 1dari 2

Ceritakan pengalaman bersama Ayah

a) Apa yang kamu rasakan secara psikologis terkait dengan pola asuh ayah
b) Apa hal positif yang dapat dipelajari dari sosok Ayah
c) Apa hal negatif yang dapat digunakan sebagai evaluasi agar hal tersebut tidak terulang
kembali.
Jawaban :
Ketika saya Kelas XII SMA, menjelang kelulusan saya meminta restu Ayah untuk melanjutkan
kuliah di daerah Surabaya atau Malang. Awalnya Ayah menyetujui. Kemudian saya mengikuti
SNMPTN, tetapi gagal. Keluarga termasuk Ayah menguatkan dan menenangkan “masih ada
kesempatan di SBMPTN”. Karena saya berasal dari desa dan dengan kondisi ekonomi yang tidak
seberapa mendukung, meskipun ingin dan sebenarnya perlu –mengingat persaingan SBMPTN
yang ketat- tetapi saya memilih untuk tidak mengikuti les. Sebagai gantinya, saya dan teman-
teman yang tidak mengikuti les belajar bersama dan saling berbagi latihan soal yang didapat dari
berbagai sumber. Ketika pengumuman, ternyata saya tidak diterima di pilihan pertama tetapi
berhasil di pilihan terakhir. Lagi lagi keluarga terutama Ayah menghibur saya dan mengingatkan
untuk bersyukur. Tepat setelah saya menandatangani surat persetujuan UKT dengan universitas
yang menerima saya, Ayah saya malah melarang saya untuk melanjutkan kuliah di tempat
tersebut dan sebagai gantinya saya akan dikuliahkan di salah satu Ponpes di Jawa Timur. Saya
merasa stress atas kejadian tersebut (karena bisa dibilang saya berusaha sangat keras agar
diterima dalam seleksi tersebut tanpa bantuan materi dari keluarga) dan sempat mengurung diri
selama 1 minggu dan akhirnya terpaksa mengikuti kemauan. Sejak kejadian tersebut saya
menjadi jarang berbincang dengan dengan keluarga.
a) Untuk pola asuh sendiri, ayah saya adalah orang keras dan sangat tidak suka kalau ada
anak yang menangis, dan caranya mengatasinya adalah dengan membentak anak tersebut.
Sebagai anak saya merasa sangat terganggu dengan cara ayah mengatasi hal tersebut,
selain itu, saat emosi ayah cenderung tidak dapat mengerem kata-kata kasarnya yang
sangat menyakiti hati. Ayah dapat menjadi sangat suportif pada suatu waktu dan
membuat kita merasa punya ekspektasi yang tinggi tapi di waktu lain bisa merusak
ekspektasi tadi. Beliau adalah sosok yang dipenuhi dengan kekhwatiran dan kewaspadaan
yang tinggi, misal saat saya naik sepeda motor beliau selalu memastikan tas saya tidak di
belakang karena takut disabet pencopet, atau dulu saat saya tanyakan kenapa saya tidak
boleh berkuliah di Surabaya jawaban beliau adalah karena di Surabaya rawan kenakalan
remaja seperti narkoba, dunia malam, dll, bahkan suatu saat pernah saya batal ikut
olimpiade karena mengharuskan saya menginap di kota lain. Saya pribadi merasa pola
asuh ayah saya cenderung memberikan stress, tetapi hal tersebut mungkin karena saya
cenderung mengingat hal negatif dibanding hal positif.
b) Meski sempat kecewa –dan sampai saat ini kadang jika mengingat kejadian tersebut
masih merasa kecewa dan sangat menyayangkan keputusan tersebut- tetapi terkadang
saya juga merasa bersalah karena sampai saat ini masih menjadi tanggungan keluarga,
sekaligus merasa bangga dan sangat berterimakasih terutama kepada ayah saya karena
telah membawa saya hingga sejauh ini. Hal positif yang saya ambil dari ayah saya adalah
semangatnya untuk memenuhi pendidikan anak-anaknya –meskipun kesadaran untuk
memenuhi pendidikan ini datang agak terlambat-, semangat beliau mencari nafkah dan
bekerja keras meskipun sudah tergolong sepuh.
c) Menurut saya banyak hal yang harus dievaluasi dari pola asuh tersebut, seperti jujur sejak
awal tentang pandangan kita terhadap hal yang anak kita nantinya utarakan. Khawatir
sah-sah saja, tapi harus rasional dan tidak membatasi kreativitas atau minat anak. Saat
khawatir berlebihan dan mulai membatasi ruang gerak sang anak, anak akan berusaha
bermain aman dan mengutarakan banyak kebohongan untuk menambah ruang geraknya,
saya pribadi sering berbohong hanya agar bisa bermain atau sekedar berkumpul dengan
teman-teman saya saat hari libur. Sangat penting untuk melibatkan sang anak jika ingin
mengambil keputusan terkait hidup mereka, apalagi jika anak tersebut sudah remaja di
mana mereka sedikit banyak sudah punya keinginan sendiri dan tahu kira-kira mana yang
baik untuk mereka, saat orang tua mengambil keputusan tentang kehidupan anak-anaknya
tanpa sedikitpun mempertimbangkan kemauan sang anak, anak akan merasa hak-nya
dirampas dan sebagai balasannya anak akan berperilaku memberontak, dapat berbentuk
menolak secara keras atau bisa juga berperilaku menyimpang. Selain itu, kekerasan baik
verbal maupun non-verbal yang dilakukan di depan atau bahkan terhadap anak tersebut
membuat anak trauma dan stress dan jika sering dilakukan bisa membuat anak meniru hal
tersebut. Kontrol emosi di depan anak merupakan hal yang sangat penting.

Anda mungkin juga menyukai