Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

“ MENINGITIS TUBERKULOSIS”

Oleh :

NAMA : Icha Kristina

NIM : 21220023

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
IKesT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
1. Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014). Mycobacterium tuberkulosis
merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3µ,
mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan
kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan
salah satu jenis bakteri yang bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia.
Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan
tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan
Mycobacterium microti (Chan, 2006)

2. Etiologi
Pada laporan ini meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis
merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada
kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus,
bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2013).

3. Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis adalah (Tai, 2013) :
1. Usia (anak-anak > dewasa )
2. Koinfeksi-HIV
3. Malnutrisi
4. Keganasan
5. Penggunaan agen imunosupresif

4. Klasifikasi
Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis
dapatdiklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas :
a. Stage I Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit neurologis.
b. Stage II Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti kelumpuhansaraf
kranialis atau hemiparesis.
c. Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat

5. Anatomi Fisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).

Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak


Sumber : Schuenke, M., et al. 2013. Atlas of Head andNeuroanatomy.

Lapisan Luar (Dura mater)


Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang
berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus
medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang
mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura
mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan
dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel
selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).
Lapisan Tengah (Araknoid)
Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan dura
mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater.
Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk
bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid
berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa
pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater
karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah
dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus dura mater
membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater.
Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid.
Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus
venosus (Drake, 2015).
Lapisan Dalam (Pia mater)
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat
lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk
barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang memisahkan sistem saraf
pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri seluruh lekuk permukaan
susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama
pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi
oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah
ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. (Drake, 2015).
Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal
Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan
keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan
struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid
terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid
atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi
utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya
mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari
medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular.
6. Manifestasi Klinis
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala
pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak
pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku,
dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan
(Cavendish, 2011).
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium
(Anderson, 2010) :
1. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa
demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan
menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan
gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang
hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia,
nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat
dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadangkadang
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tandatanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-
tanda peningkatan intrakranial, ubunubun menonjol dan muntah yang lebih
hebat.
3. Stadium III : Terminal
Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.
7. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secarahematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2tahap yaitu mula-
mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaranbasil secara hematogen
selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogendapat juga terjadi pada TB
kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.Selanjutnya meningitis terjadi akibat
terlepasnya basil dan antigen TB dari fokuskaseosa (lesi permukaan di otak) akibat
trauma atau proses imunologi, langsungmasuk ke subaraknoid. Meningitis
tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelahinfeksi primer (Schlossberg, 2011) .
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentukkolonisasi
dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroidparenkim otak,
atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatandapat menyebabkan
aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisandura dapat disebabkan oleh
fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secaraepidural, tindakan anestesi, adanya
benda asing seperti implan koklear, VP shunt,dan lain-lain. Sering juga kolonisasi
organisme pada kulit dapat menyebabkanmeningitis. Meskipun meningitis dikatakan
sebagai peradangan selaput meningen,kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi
yang dapat berakibat edema otak,peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan
serebospinal yang dapat berakhirdengan hidrosefalus, peningkatan tekanan
intrakranial dan herniasi (Schlossberg,2011).
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia materdan
araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat
cenderungterkumpul di daerah basal otak (Menkes, 2012).
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis :
1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan
adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi
dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis
yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena
adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa
buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen
(Frontera, 2013).
2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam
parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan
selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar
arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul
hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan
adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel
yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima
berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior
serta cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis
tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2014).
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisternabasalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis
(Albert, 2011).
8. Pathway
Inhalasi Mycobacterium Tuberkulosis

Fagositosis oleh makrofag aveolus


paru

Organisme masuk ke aliran darah

Invasi Kuman ke selaput otak

Reaksi peradangan jaringan serebral

Odema cerebral Gangguan metabolisme Eksudat Meningen


cerebral

TIK Reaksi Septicemia


Asam Laktat jaringan
otak/infeksi

Nyeri Kepala Perubahan Menstimulasi Gangguan Keseimbangan &


Tingkat reflek vasogal Neuron
Metabolisme
Kesadaran
Nyeri Akut Tubuh

Mual,
Lepas muatan listrik
Perfusi Jaringan Muntah
Serebral Tidak Kompenesasi
Efekif Ventilansi
Kejang

Ketidakseimbang
an nutrisi kurang Berkurangnya Hiperventilasi
dari kebutuhan koordinasi otot
tubuh
Pola Nafas Tidak
Gangguan Mobilitas Efektif
fisik
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) :
 Hidrosefalus
 Cairan subdural
 Abses otak
 Cedera kepala
 Gangguan pendengaran
 Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
 Kerusakan otak
 Kejang
 Serangan otak
 Araknoiditis

10. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya adalah
pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2014). Yaitu sebagai berikut :
a) Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b) Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda
Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.
c) Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala
pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila
gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul
kedua tungkai secara reflektorik.
d) Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunterpadasendi panggul dan lutut kontralateral.
e) Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jaripemeriksa tepat
dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski IIIpositif (+) jika terdapat flexi
involunter extremitas superior.
f) Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jaritangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bilaterjadi flexi involunter
extremitas inferior.
g) Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.Salah satu
tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalamkeadaan lurus. Tanda lasegue
positif (+) jika terdapat tahanansebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan
kurang dari 60° padalansia.

11. Pemeriksaan Penunjang


Uji Mantuox/Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosisyang
paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapihingga
saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukanpenyuntikan
PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacteriumtuberculosis. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian ataslengan bawah kiri bagian
depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaianuji tuberkulin dilakukan 48–
72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelahpenyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam
masih dianggap valid. Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative
maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter
indurasi > 10 mm (Kliegman, 2011).
a. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa,
kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear
dengan shift ke kiri.
b) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada
cairan serebrospinal.
d) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
e) Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.
2. Lumbal Pungsi
Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum
lumbal pungsi ke dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-
S1 untuk mengambil cairan serebrospinal (Haldar, 20).
b. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, fotokepala,
CT-Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksisebelumnya pada
paru-paru misalnya pada pneumonia dantuberkulosis, sementara foto kepala
dilakukan karena kemungkinanadanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal. Pada penderitadengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan
gambarantuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen toraks,
kadangkadangdisertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi.
Gambaranrontgen toraks yang normal tidak menyingkirkan
diagnosameningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011).
2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan
Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran
dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien meningitis
tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya berkembangnya
penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah
basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda
dema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga
ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau
talamus (kliegman, 2011).

12. Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yaitu
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis berupa :
1) Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan
kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk
oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB/ hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin
ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang
sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping
rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).
2) Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan
kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan
secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/ kgBB / hari,
dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satukali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet100 mg dan 300 mg, dan
dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan
serebrospinal dapat dicapaidalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit
selama 6-8 jam.Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid
dandapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua
efektoksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya
jarangterjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien
dewasadengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia.
Bagimencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin
dengandosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100
mgisoniazid (Heemskerk, 2011).
3. Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
padajaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat inibersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsibaik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / haridengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 μg / mltercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensifkarena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yangtimbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
sampingpirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna,
danhiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk
tablet 500mg (Heemskerk, 2011).
4. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari, maksimal 1,25
gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalambentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baikoleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
ataudua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian jugapada
keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutoladalah neuritis optik
dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkalipenggunaannya dihindari pada
anak yang belum dapat diperiksa tajampenglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenaipelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol
dianjurkanpenggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB /
hari.Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaanTB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapatdigunakan
(Heemskerk, 2011).
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap
kumanekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektifuntuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarangdigunakan dalam
pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannyapenting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis danMDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikansecara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,
maksimal 1gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2
jam.Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapitidak
dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.

13. Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan
pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas klinik yang mencegah
kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke lemahan dan kecacatan akibat
meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-
kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami
dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar.
Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat
(Thomas, 2011).
14. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Cedera Fisik
2. Ketidakefektifan Perfusi jaringan Celebral berhubungan dengan Peningkatan TIK
3. Pola nafas tidak efektif b.d Penyempitan Jalan Nafas
4. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan Tirah Baring
15. Intervensi Keperawatan

Rencana Keperawatan

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI) Rasional

1 Nyeri Akut, berhubungan dengan Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri Untuk pengkajian nyeri secara
Agen Pencedera Fisik, ditandai komprehensif.
dengan: Ekspetasi: setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan selama Untuk mengetahui perubahan
Ds: 3x24 jam, diharapkan status - Identifikasi lokasi, karakteristik, skala nyeri secara berkala.
tingkat nyeri dapat teratasi, durasi, frekuensi, kualitas,
- Klien mengeluh nyeri hebat pada ditandai dengan: intensitas nyeri Untuk mengetahui persepsi
kepala - Identifikasi skala nyeri nyeri klien.
Do: Kriteria Hasil - Identifikasi respon non verbal Untuk mengetahui penyebab
- Keadaan umum lemah - Identifikasi faktor yang nyeri.
Indikator T
- Klien tampak gelisah memperberat dan memperingan
Keluhan Nyeri 1
- Kesadaran delirium nyeri Untuk mengetahui faktor yang
Meringis 1
- TTV: TD: 115/75 mmHg, RR: - Identifikasi pengetahuan dan mempengaruhi nyeri.
Diaforesis 1 keyakinan tentang nyeri
25 x/mnt, T: 36,20C, HR: 66 Keterangan:
x/mnt - Identifikasi pengaruh budaya Untuk mengetahui pengaruh
terhadap respon nyeri nyeri pada kualitas hidup
- Pengkajian Nyeri 1. Menurun
P: Peningkatan TIK - Identifikasi pengaruh nyeri pada pasien.
2. Cukup Menurun
Q: nyeri berputar-putar kualitas hidup
3. Sedang
R: Kepala - Monitor keberhasilan terapi Untuk mengetahui perubahan
4. Cukup Meningkat
S: Skala Nyeri 8 komplementer yang sudah skala nyeri setelah diberikan
5. Meningkat tindakan.
- T: Terus Menerus diberikan
- Monitor efek samping penggunaan Untuk mengetahui perubahan
analgetik
Indikator T Terapeutik skala nyeri secara berkala.
Frekuensi Nadi 5
PolaNafas 5 - Berikan teknik nonfarmakologis Untuk menurunkan rasa nyeri
Tekanan Darah 5 untuk mengurangi rasa nyeri (mis.,
TENS, hipnosis, akupressure, Untuk mengoptimalkan
Keterangan: penurunan rasa nyeri pada
terapi musik, biofeedback, terapi
pijat,aromaterapi, teknik imajinasi pasien
1. Memburuk
2. Cukup memburuk terbimbing, kompres Untuk meningkatkan kualitas
3. Sedang hangat/dingin, terapi bermain) istirahat dan mengurangi nyeri
4. Cukup membaik - Kontrol lingkungan yang
5. Membaik memperberat rasa nyeri (mis., Agar pasien memahami
suhu ruangan, pencahayaan, penyebab dan pemicu dari nyeri
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur Agar pasien mengert cara
- Pertimbangkan jenis dan sumber mengurangi nyeri
nyeri dalam pemilihan strategi
Agar pasien mengetahui
meredakan nyeri
perubahan nyeri secara berkala
Edukasi
Agar pasien dapat menurunkan
- Jelaskan penyebab, periode, dan nyeri secara mandiri
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri Untuk mengoptimalkan
- Anjurkan memonitor nyeri secara penurunan persepsi nyeri pada
mandiri pasien
- Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi : analgetik, jika perlu.

2 Resiko Ketidakefektifan Perfusi Perfusi Serebral Pemantauan Tekanan Intrakranial


Jaringan Serebral berhubungan
Ekspetasi: setelah dilakukan Observasi Untuk mengetahui penyebab
dengan Peningkatan TIK, ditandai tindakan keperawatan selama 3x24 - Identifikasi penyebab peningkatan peningkatan TIK
dengan: jam, diharapkan status Perfusi TIK (mis., gangguan metabolisme,
Serebral dalam batas normal, di edema serebral, peningkatan Untuk mengetahui status
Ds: tandai dengan: tekanan vena, obstruksi aliran tekanan darah
cairan serebrospinal, intrakranial
- Klien mengalami penurunan Indikator T Untuk mengetahui rata-rata
idiopatik)
kesadaran Tingkat Kesadaran 5 arteri pressure
- Monitor peningkatan TD
Do: Refleks Saraf 5 - Monitor pelebaran tekanan nadi Untuk mengetahui status nadi
Tekanan Intrakranial 5 (selisih TDS dan TDD)
- Keadaan umum lemah Sakit Kepala 5 - Monitor frekuensi jantung Untuk mengetahui abnormalitas
- Kesadaran delirium Gelisah 5 - Monitor ireguleritas irama napas irama pernafasan
- TTV: TD: 115/75 mmHg, RR: Keterangan: - Monitor penurunan tingkat
25 x/mnt, T: 36,20C, HR: 66 kesadaran Untuk mengetahui perubahan
x/mnt 1. Menurun tingkat kesadaran
- Klien tampak gelisah 2. Cukup menurun Terapeutik
3. Sedang Untuk mengetahui hasil
4. Cukup meningkat - Ambil sampel drainase cairan pemeriksaan serebrospinal
5. Meningkat serebrospinal
- Kalibrasi transduser Untuk meningkatkan ketepatan
- Pertahankan sterilitas sistem sebelum penggunaan alat
pemantauan Untuk menurunkan tekanan
- Pertahankan posisi kepala dan leher intrakranial
netral
- Alur interval pemantauan sesuai Untuk mengetahui perubahan
kondisi pasien status hemodinamik pasien
- Dokumentasi hasil pemantauan
Meningkatkan pengetahuan
Edukasi keluarga mengenai keadaan
pasien saat ini
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
3 Pola Nafas Tidak Efektif Status Pernapasan Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan Penyempitan
Jalan Nafas, ditandai dengan: Ekspetasi: setelah dilakukan Observasi Untuk mengetahui status
tindakan keperawatan selama 3x24 pernafasan secara berkala
Ds: jam, diharapkan status pernapasan - Monitor frekuensi, irama,
dalam batas normal, di tandai kedalaman, upaya napas Untuk mengetahui perubahan
- Klien mengeluh sesak napas dengan: - Monitor pola napas (seperti status pola napas
- Klien mengatakan memiliki bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
riwayat asma Indikator T dll) Untuk mengetahui faktor
Do: Tekanan Ekspirasi 5 - Monitor adanya produksi sputum penghambat pola napas
Tekanan Inspirasi 5 - Monitor adanya sumbatan jalan
- Keadaan umum lemah Untuk mengetahui adanya pola
Keterangan: napas
- Kesadaran Composmentis napas yang tidak normal
- Auskultasi bunyi napas
- Klien tampak gelisah 6. Menurun - Monitor hasil AGD Untuk mengetahui adanya
- RR: 25 x/menit 7. Cukup menurun - Monitor saturasi oksigen perubahan saturasi oksigen
- Terapi: Barotec Inhaler 3x100 cc 8. Sedang secara berkala
9. Cukup meningkat Terapeutik
10. Meningkat Untuk memantau resporasi
- Atur interval pemantauan respirasi
pasien secara berkala
Indikator T sesuai kondisi pasien
Frekuensi Napas 5 - Dokumentasi hasil pemantauan Untuk mengetahui perubahan
Kedalaman Napas 5 dari status respirasi
Edukasi
Keterangan:
Agar pasien memahami
- Jelaskan tujuan dan prosedur
1. Memburuk prosedur tindakan yang akan
pemantauan
2. Cukup memburuk dilakukan
- Informasikan hasil pemantauan,
3. Sedang jika perlu Agar pasien dapat melaporkan
4. Cukup membaik
5. Membaik jika sesak nafas terjadi

4 Intoleransi Aktivitas berhubungan Toleransi Aktivitas Manajemen Energi Mengetahui status kekuatan
dengan Tirah Baring, ditandai otot pasien
dengan: Setelahdilakukantindakankeperaw Aktivitas-aktivitas :
atanselama 3x24 jam, diharapkan
Ds: status toleransi aktivitas dapat Observasi Mengetahui status kelelahan
teratasi, ditandai dengan : fisik dan emosional pasien
- Klien mengalami kejang - Identifikasi gangguan fungsi tubuh
berulang kurang dari 5 menit Indikator T yang mengakibatkan kelelahan Mengetahui penyebab
Do: - Monitor kelelahan fisik dan
Frekuensi Nadi 5 kelelahan pasien
emosional
- Keadaan umum lemah - Monitor lokasi dan
- Kesadaran delirium Kekuatan Tubuh bagian 5 Meningkatkan kenyamanan
ketidaknyamanan selama
- TTV: TD: 115/75 mmHg, RR: atas pasien untuk beristirahat
melakukan aktivitas
25 x/mnt, T: 36,20C, HR: 66 Terapeutik
x/mnt Kekuatan tubuh bagian 5 Membantu pasien untuk
- Klien tampak gelisah bawah - Sediakan lingkungan nyaman dan ambulasi dan mobilisasi
Saturasi oksigen 5 rendah stimulus
- Lakukan latihan rentang gerak Memfasilitasi istirahat total
pasif dan atau aktif pada pasien
- Berikan aktivitas distraksi yang
Skala Indikator : menenangkan Mencegah terjadinya
- Fasilitasi duduk di sisi tempat kecemasan mengenai status
1. Menurun tidur, jika tidak dapat berpindah terkini
2. Cukup menurun atau berjalan
3. Sedang Meningkatkan energi melalui
Edukasi
4. Cukup meningkat asupan nutrisi pasien
5. Meningkat - Anjurkan tirah baring
- Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan asupan
makanan
DAFTAR PUSTAKA

Albert, S.M. & Freedman, V.A. (2011). Public health and aging : maximizing function and
well-being. New york: Springer Publishing Company
Drake, R .(2014).Gray’s basic anatomy. Philadelphia: Elsevier
Dapertemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta
Huldani. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis TB. Universitas Lambung
Mangkurat Fakultas Kedokteran Banjarmasin
Schwantz SI (2012). Buku Ajar Penderita Meningitis TB. Yogjakarta: EGC
Schunke,M. 2013. Atlas Anatomi Manusia. Prometheus: Kepala, Leher & Neuroanatomi:
EGC
PPNI, T, P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) : Definisi dan
Indikator Diagnostik (Cetakan III) I ed ). Jakarta : DPP PPNI.
PPNI, T.P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Cetakan II) I ed). Jakarta : DPP PPNI.
PPNI, T.P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan (Cetakan II) I ed). Jakarta : DPP PPNI.
World Health Organization (WHO). 2015. Tuberkulosis : Global tuberkulosis report 2015.
Ganeva : WHO Press

Anda mungkin juga menyukai