Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH REMEDIAL

MATA PELAJARAN FIQIH

NAMA : MUHAMMAD NAUFAL MADANI


KELAS : XI IPS 3 (SEBELAS IPS TIGA)

MADRASAH ALIYAH NEGERI 3


KOTA MAKASSAR
2020-2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya ungkapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan pada saya untuk menikmati keindahan di dunia ini, tentunya
dengan nikmat dan karunia-Nya, saya selaku mahasiswa yang mengemban tugas dalam
bentuk makalah ini dapat terselesaikan dengan baik menurut pandangan saya.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda Nabi besar kita Muhammad
SAW, sahabat beserta keluarganya yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah yang
penuh dengan kebodohan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dan tak lupa saya ucapan banyak terima kasih kepada Ibunda Hasnawati selaku guru
pengampu pada mata pelajaran Fiqih ini yang telah memberikan bimbingan dan arahannya
kepada saya.
Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi yang positif dalam kegiatan belajar
mengajar. Saya selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, Maka dari itu saya mengharapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki
makalah saya agar lebih baik lagi di kemudian hari. Setidaknya mendekati kata sempurna.
Terimakasih ...

Makassar, 10 Juni 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah sebuah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu dari
empat lembaga peradilan lainnya di Indonesia sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama ini merupakan lembaga khusus di Indonesia, karena ia mempunyai
kewenangan untuk mengadili perkara-perkara tertentu atau pada golongan-golongan
tertentu. Adapun jenis perkara yang diadilinya adalah jenis perkara menurut agama Islam
akan tetapi tidak secara Universal. Dengan kata lain peradilan Agama adalah peradilan
Islam limitatif yang telah di sesuaikan dengan Negara Indonesia.
Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini
sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri
merupakan proses bersatunya dua orang insan manusia yang saling berkomitmen dan
mengikat. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari‟at islam dan lebih khusus lagi sebagai
bagian dari aspek muamalah subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan dengan aspek-
aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-kaidahnya harus didasarkan
pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran islam tersebut.
Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an, Sunah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini
pula yang menjadi sumber hukum kewarisan islam. Penggunaan ketiga sumber ini
didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an sendiri dan hadist Nabi. Salah satu ayat yang
menyinggung tentang hal ini ialah Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ (4): 59

B. Rumusan Masalah

Rumusan suatu masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting karena rumusan
masalah ini memberikan arahahan yang penting dalam membahas masalah yang di teliti,
berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelti merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan Peradilan Agama dalam Islam?


2. Bagaimana konsep pernikahan dalam Islam?
3. Bagaimana pembagian warisan dalam konsep Hukum Islam?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan


Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka penulis mempunyai tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep peradilan dalam Islam.
2. Untuk memahami bagaimana konsep pernikahan dalam Islam.
3. Untuk memahami pembagian warisan dalam konsep Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan Islam
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi
kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
 
a)     perkawinan;
b)     waris;
c)     wasiat;
d)     hibah;
e)     wakaf;
f)       zakat;
g)     infaq;
h)     shadaqah;
i)        ekonomi syari'ah.

Jadi, untuk perkara ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan absolut dari pengadilan
agama.
Ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang,
kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam
rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip
syariah (lihat Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah). Jadi, suatu perkara menjadi perkara ekonomi syariah, bila didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum syariah.
Sesuai penjelasan pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-
orang yang beragama Islam” dalam pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
2.      Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3.      Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah

B. Perkawinan dalam Islam


Proses pernikahan biasanya berlangsung pada seseorang mulai melewati pada
tahapan remaja akhir sampai dewasa. Sebuah pernikahan akan menandakan mulai
dewasanya seseorang di mata lingkungannya. Pernikahan itu sendiri berawal dari sebuah
hubungan dan cinta, dan mulai adanya keinginan untuk mengikat atau berkomitmen.
Harapan utama sebuah pernikahan adalah meraih kebahagiaan. Dengan perasaan
kasih sayang yang dimiliki oleh masing-masing pasangan akan membuat sebuah
hubungan harmonis yang nantinya akan berakhir dengan sebuah kebahagiaan. Selain
harapan akan kebahagiaan, dalam pernikahan juga terdapat berbagai harapan lain seperti;
meneruskan keturunan, membentuk keluarga harmonis, menjadikan pribadi yang lebih
baik. 1 2
Pernikahan yang membahagiakan ini pastinya akan menjadi dambaan semua
orang. Karena pernikahan adalah sebuah rancangan masa depan, bagaimana kita
menjalani kehidupan di masa mendatang. Salah satu dari fenomena pernikahan adalah
menikah muda. Menikah muda yang pelakunya adalah remaja yang masih berusia muda.
Sedangkan usia muda adalah masa di mana seseorang untuk berpetualang dan mengejar
cita-citanya. Sebagian dari mereka sedang semangatnya beraktifitas sosial dengan
lingkungannya. Hal ini berbeda dengan keadaan pola pikir sekarang. Dengan
perkembangan jaman dan teknologi semakin maju. Pola pikir masyarakatpun ikut
berubah. Masyarakat mulai berfikir untuk kepentingan masa depan dan terbukanya
pikiran untuk meraih tujuan mereka. Pola pikir semacam ini juga merambat pada
pandangan seseorang terhadap pernikahan.
Sebagian pada dari masyarakat kita mulai berfikir untuk menunda pernikahan
karena keinginan mengejar pendidikan dan karier. Seperti laporan Papalia(2009),
sekarang ini di beberapa negara-negara tertentu tren penundaan pernikahan mulai terlihat.
Pada masa dewasa muda mereka gunakan untuk mengejar pendidikan dan karier atau
hanya menjelajahi hubungan. Bagi perempuan cenderung akan menikah pada usia 25
tahun. Dan pada laki-laki dari usia 27 tahun. Akan tetapi bagi remaja yang telah
mengenal cinta, pergaulan bebas dan ekonomi, menikah muda adalah sebuah hal yang
bisa mereka lakukan di masa-masa aktif tersebut. Mereka lebih memilih menikah muda
dengan berbagai alasan.
Fenomena ini sering terjadi pada negara-negara berkembang. Termasuk Indonesia
yang sebagian penduduknya melakukan nikah muda. Seringkali alasan menikah muda
yang sering ditemui adalah karena faktor kebudayaan, akibat pergaulan bebas, dan
ekonomi. Jika pada masyarakat pedesaan, menikah muda merupakan sebuah tradisi.
Sedangkan pada masyarakat kota menikah muda dilatar belakangi oleh faktor hamil di
luar nikah atau yang sering disebut dengan MBA (married by accident). Hadinoto (2010)
Sebuah survei yang dilakukan oleh BKKN pada tahun 2010, perempuan muda di
Indonesia dengan usia 10-14 tahun telah menikah sebanyak lebih dari 22.000. Jumlah
dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan
laki-laki muda berusia 15-19 tahun. (http://bkkbn.go.id) Lebih lanjut, survei yang
dilakukan oleh BKKBN tersebut menghasilkan beberapa daerah yang memiliki banyak
penduduk yang menikah muda. Daerahdaerah tersebut seperti; Kalimantan Selatan, Jawa
Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi Tengah. Dari provinsi-provinsi tersebut, sebagian
besar penduduk yang menikah muda berasal dari pedesaan. Faktor-faktor penyebab nikah
muda dari daerah-daerah tersebut antara lain, faktor pendidikan rendah, kebutuhan
ekonomi, kultur budaya, dan pernikahan yang diatur. Selain faktor kebudayaan, faktor
lain yang mempengaruhi adalah akibat pergaulan bebas. Sehingga banyak remaja yang
hamil diluar nikah. Dan untuk itu mereka memutuskan untuk menikah muda. Seperti
yang ditulis oleh Dian Erika (2012) dalam http://www.solopos.com, permohonan
dispensasi menikah muda di Boyolali meningkat. Remaja putri yang berumur dibawah 16
tahun telah mengajukan dispensasai menikah muda karena umur mereka tidak sesuai
dengan syarat UndangUndang Pernikahan. Mereka menikah karena remaja putri tersebut
telah hamil di luar nikah. 4 Syarat perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 pasal 7 ayat 1 yang mengatakan : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
Pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan manusia yang harus
dilalui. Tugas perkembangan sendiri adalah segala sesuatu yang harus dicapai oleh setiap
individu pada suatu tahap perkembangan. Jika ada tugas perkembangan pada tahapnya
tidak terselesaikan pada waktunya maka akan menjadi penghambat perkembangan pada
tahap berikutnya, hal ini menjadikan kemampuan-kemampuan psikis kita tidak tumbuh
secara optimal. Menikah atau mempersiapkan diri untuk menikah merupakan salah satu
tugas perkembangan masa remaja akhir atau dewasa awal, yaitu usia antara 18-22 tahun.
(Adhim, 2002). Papalia & Olds (2009) mengemukakan, bagi perempuan usia terbaik
untuk menikah adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki usia terbaik untuk menikah
adalah 20-25 tahun. Pada usia ini merupakan usia terbaik untuk menikah, serta untuk
memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama.

C. Warisan dalam Islam


Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui
bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang
berhak. Dalam redaksi lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi,
penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan definisi
diatas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana
pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.4
Dalam riwayat Ahmad, al-Nasa‟i dan al-Daruqutni disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. Bersabda yang artinya: “Pelajarilah oleh kalian Al-Qur‟an dan ajarkanlah kepada
orang lain, dan pelajarilah ilmu fara‟id dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku
adalah manusia yang bakal terenggut (kematian), sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir
dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun
yang dapat memberi fatwa kepada mereka.” (Riwayat Ahmad, al-Nasa‟i dan al-
Daruqutni).
Hadist tersebut mengisyaratkan keprihatinan Rasulullah Saw. bahwa dalam
pembagian warisan atas harta si mati tidak jarang menjadi pemicu terjadinya
pertengkaran. Karena itulah, Islam mengatur agar misi ajarannya dapat memberi rasa
keadilan dan kesejahteraan bagi pemeluknya. Allah mengutus RasulNya adalah untuk
menebar rahmat kepada seluruh penghuni alam ini (QS Al-Anbiya‟ [21]: 107). Sejauh
mana hukum kewarisan islam dapat dipahami telah dapat mewujudkan rasa keadilan,
memang menuntut kearifan dan kedalaman pemahaman tersendiri. Karena islam
menentukan bagian yang baku antara laki-laki dan perempuan berbeda, yaitu laki-laki
dua bagian yang diterima perempuan (QS Al-Nisa‟ [4]:11-12).
Warisan memiliki tiga unsur rukun:

1. Pewaris atau al-muwarris: adalah simayit itu sendiri, baik nyata ataupun mati
secara hukum, seperti orang hilang atau dinyatakan mati.

2. Ahli waris atau al-waris: adalah orang yang mempunyai hubungan kewarisan
dengan si mayit sehingga ia memperoleh warisan.

3. Harta warisan atau al-mairus: adalah harta atau hak yang dipindahkan dari
yang mewariskan kepada pewaris.

Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia
yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk pelbagai
kepentingan. Misal perawatan jenazah, utang/ wasiat. Dalam mengambil pusaka ayah
mempunyai dua kedudukan, yaitu: Pertama, sebagai seorang shahibul fardl, karena dia
mempunyai bagian yang sudah ditentukan dalam Al Qur‟an, yaitu: seperenam. Maka
ayah menerima seperenam dengan jalan fardlu (ketentuan yang telah ada). Kedua:
sebagai seorang ashib nasabi dengan sendirinya („ashib binafsihi) karena dia seorang
kerabat yang lelaki yang langsung berhubungan dengan si yang meninggal tanpa
perantaraan, maka dia menerima pusaka dengan jalan fardlu dan dengan jalan ta‟shib.
Ayah sebagai ahli waris posisinya tidak dapat ditutup oleh ahli waris yang lain, jika
pewaris tidak meninggalkan anak maka kedudukannya menjadi ashabah atau menerima
sisa harta. Ayah menerima bagian ashabah dikarenakan ayah adalah ahli waris laki laki
yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris ketika pewaris tidak
meninggalkan anak. Harta warisan untuk ayah mempunyai tiga kondisi, yaitu furudh,
„ashabah, serta furudh dan „ashabah secara bersamaan.

Kondisi pertama, yaitu harta warisan yang dibagikan berdasarkan ketentuan


furudh saja.“…. Dan untuk kedua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak….” (QS An-
Nisa‟:11) Kondisi kedua, khusus untuk harta warisan „ashabah. “….. Jika orang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja) maka ibunya
mendapat sepertiga…” (QS An-Nisa‟ : 11)

Kondisi ketiga, yaitu harta warisan yang dibagikan berdasarkan ketentuan furudh
dan „ashabah secara bersamaan. “.... dan untuk kedua orang ibu-bapak, bagi masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai
anak.” (QS An-Nisa‟ : 11)

Diriwayatkan dari Ali, Umar, Ibn Mas‟ud, Ustman dan Zaid bin Tsabit; bahwa
suami atau istri mendapat bagian pasti, ibu mendapat sepertiga dari sisa, sedangkan
sisanya untuk bapak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu. Proses pernikahan biasanya berlangsung pada seseorang mulai
melewati pada tahapan remaja akhir sampai dewasa. Sebuah pernikahan akan
menandakan mulai dewasanya seseorang di mata lingkungannya. Pernikahan itu sendiri
berawal dari sebuah hubungan dan cinta, dan mulai adanya keinginan untuk mengikat
atau berkomitmen. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli
waris yang berhak.

Anda mungkin juga menyukai