Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah sebuah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu dari
empat lembaga peradilan lainnya di Indonesia sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama ini merupakan lembaga khusus di Indonesia, karena ia mempunyai
kewenangan untuk mengadili perkara-perkara tertentu atau pada golongan-golongan
tertentu. Adapun jenis perkara yang diadilinya adalah jenis perkara menurut agama Islam
akan tetapi tidak secara Universal. Dengan kata lain peradilan Agama adalah peradilan
Islam limitatif yang telah di sesuaikan dengan Negara Indonesia.
Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini
sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri
merupakan proses bersatunya dua orang insan manusia yang saling berkomitmen dan
mengikat. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari‟at islam dan lebih khusus lagi sebagai
bagian dari aspek muamalah subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan dengan aspek-
aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-kaidahnya harus didasarkan
pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran islam tersebut.
Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an, Sunah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini
pula yang menjadi sumber hukum kewarisan islam. Penggunaan ketiga sumber ini
didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an sendiri dan hadist Nabi. Salah satu ayat yang
menyinggung tentang hal ini ialah Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ (4): 59
B. Rumusan Masalah
Rumusan suatu masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting karena rumusan
masalah ini memberikan arahahan yang penting dalam membahas masalah yang di teliti,
berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelti merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini yaitu:
Jadi, untuk perkara ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan absolut dari pengadilan
agama.
Ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang,
kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam
rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip
syariah (lihat Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah). Jadi, suatu perkara menjadi perkara ekonomi syariah, bila didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum syariah.
Sesuai penjelasan pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-
orang yang beragama Islam” dalam pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3. Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah
1. Pewaris atau al-muwarris: adalah simayit itu sendiri, baik nyata ataupun mati
secara hukum, seperti orang hilang atau dinyatakan mati.
2. Ahli waris atau al-waris: adalah orang yang mempunyai hubungan kewarisan
dengan si mayit sehingga ia memperoleh warisan.
3. Harta warisan atau al-mairus: adalah harta atau hak yang dipindahkan dari
yang mewariskan kepada pewaris.
Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia
yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk pelbagai
kepentingan. Misal perawatan jenazah, utang/ wasiat. Dalam mengambil pusaka ayah
mempunyai dua kedudukan, yaitu: Pertama, sebagai seorang shahibul fardl, karena dia
mempunyai bagian yang sudah ditentukan dalam Al Qur‟an, yaitu: seperenam. Maka
ayah menerima seperenam dengan jalan fardlu (ketentuan yang telah ada). Kedua:
sebagai seorang ashib nasabi dengan sendirinya („ashib binafsihi) karena dia seorang
kerabat yang lelaki yang langsung berhubungan dengan si yang meninggal tanpa
perantaraan, maka dia menerima pusaka dengan jalan fardlu dan dengan jalan ta‟shib.
Ayah sebagai ahli waris posisinya tidak dapat ditutup oleh ahli waris yang lain, jika
pewaris tidak meninggalkan anak maka kedudukannya menjadi ashabah atau menerima
sisa harta. Ayah menerima bagian ashabah dikarenakan ayah adalah ahli waris laki laki
yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris ketika pewaris tidak
meninggalkan anak. Harta warisan untuk ayah mempunyai tiga kondisi, yaitu furudh,
„ashabah, serta furudh dan „ashabah secara bersamaan.
Kondisi ketiga, yaitu harta warisan yang dibagikan berdasarkan ketentuan furudh
dan „ashabah secara bersamaan. “.... dan untuk kedua orang ibu-bapak, bagi masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai
anak.” (QS An-Nisa‟ : 11)
Diriwayatkan dari Ali, Umar, Ibn Mas‟ud, Ustman dan Zaid bin Tsabit; bahwa
suami atau istri mendapat bagian pasti, ibu mendapat sepertiga dari sisa, sedangkan
sisanya untuk bapak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu. Proses pernikahan biasanya berlangsung pada seseorang mulai
melewati pada tahapan remaja akhir sampai dewasa. Sebuah pernikahan akan
menandakan mulai dewasanya seseorang di mata lingkungannya. Pernikahan itu sendiri
berawal dari sebuah hubungan dan cinta, dan mulai adanya keinginan untuk mengikat
atau berkomitmen. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli
waris yang berhak.