Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Stakeholder

Stakeholder menurut Freedman dan Jaggi (2005) didefinisikan

sebagai “those who can affect or are affected by the achievement or the

company’s objectives”. Para stakeholder yang dimaksud antara lain adalah

masyarakat, karyawan, pemerintah, supplier, pasar modal, dan lain-lain.

Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu

perusahaan akan berpengaruh kepada stakeholder dan apa yang dilakukan

oleh stakeholder dapat mempengaruhi tujuan perusahaan tersebut.

Teori stakeholder merupakan teori yang didasarkan pada

pemikiran atas harapan dari stakeholder kepada perusahaan untuk

bertanggung jawab pada ekonomi, sosial, dan lingkungannya. Deegan

(2000) menyatakan bahwa teori stakeholder menekankan akuntabilitas

organisasi jauh melebihi kinerja keuangan atau ekonomi sederhana. Teori

ini menyatakan bahwa organisasi akan memilih secara sukarela untuk

mengungkapkan informasi mengenai informasi lingkungan, sosial dan

intelektual mereka melebihi dan di atas permintaan wajibnya, untuk

memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh stakeholder.

Gray, et al. (1994) dalam Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan

bahwa:

10
11

“Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan


stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas
perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful
stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi.
Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara
perusahaan dengan stakeholder-nya”.

Oleh karena itu perusahaan akan berusaha agar para stakeholder

tetap menaruh harapan kepercayaan terhadap perusahaan. Selanjutnya,

dalam memenuhi harapan tersebut perusahaan dapat melakukannya

melalui pengungkapan triple bottom line dalam bentuk tanggung jawab

kepada para stakeholder agar tetap sustainable.

2. Teori Keagenan (Agency Theory)

Penelitian ini menggunakan teori keagenan sebagai grand theory di

mana teori keagenan (agency theory) mengungkapkan adanya hubungan

antara principal (pemilik perusahaan atau pihak yang memberikan

mandat) dan agent (manajer perusahaan atau pihak yang menerima

mandat) yang dilandasi dari adanya pemisahan kepemilikan dan

pengendalian perusahaan, pemisahan penanggung risiko, pembuatan

keputusan dan pengendalian fungsi-fungsi (Jensen dan Meckling, 1976).

Konsep keagenan ini mendorong perusahaan untuk melakukan

pengungkapan, baik wajib maupun sukarela. Dorongan ini ditunjukkan

sebagai alat penggerak yang digunakan untuk mengurangi asimetri

informasi dan biaya agensi yang ditimbulkan dari konflik keagenan. Pihak

principal juga dapat membatasi divergensi kepentingannya dengan

memberikan tingkat insentif yang layak kepada agent dan bersedia


12

mengeluarkan biaya pengawasan untuk mencegah kecurangan yang

dilakukan oleh agent (Puspitaningrum dan Arum, 2013).

Dalam agency theory, pemegang saham (principal) merupakan

pemilik perusahaan dan memiliki hak kepemilikan terhadap laba yang

dihasilkan oleh perusahaan. Sementara itu, para manajer merupakan agen

(agents) yang bertindak untuk kepentingan pemilik perusahaan. Di dalam

pasar modal yang efisien, pemegang saham secara mutlak akan sepakat

bahwa mereka lebih menyukai maksimalisasi laba yang akan

meningkatkan nilai perusahaan. Dengan demikian, jika manajemen tidak

melakukan maksimalisasi laba maka pasar akan melakukan koreksi

terhadap manajemen perusahaan.

Teori agensi muncul untuk mengatasi konflik agensi yang terjadi

dalam hubungan keagenan, untuk memenuhi kepentingan stakeholder

pihak manajemen melakukan pengungkapan triple bottom line sebagai

upaya untuk memenuhi tuntutan publik.

3. Teori Legitimasi

Legitimasi merupakan keadaan psikologis keberpihakan orang dan

kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya

baik fisik maupun non fisik (Putri et al., 2017). Teori legitimasi

menjelaskan bahwa organisasi atau perusahaan secara berkesinambungan

harus memastikan apakah mereka telah beroperasi di dalam norma-norma

yang dijunjung masyarakat dan memastikan bahwa aktivitas mereka dapat

diterima pihak luar (dilegitimasi).


13

Dengan demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya

potensial bagi perusahaan untuk mempertahankan hidup (going concern).

Legitimasi sebagai faktor penentu karena pada dasarnya perusahaan

memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat, sehingga terdapat

sebuah kontrak di mana perusahaan perlu memberikan suatu manfaat atau

timbal balik kepada masyarakat atas dukungan yang diberikan oleh

masyarakat tersebut dalam bentuk legitimasi.

Dalam teori legitimasi dijelaskan bahwa ketika terjadi fenomena

“legitimacy gap”, perusahaan perlu mengevaluasi nilai sosialnya dan

menyesuaikannya dengan nilai-nilai sosial yang ada atau persepsi terhadap

perusahaan sebagai taktik legitimasi. Oleh karena itu, pengungkapan

informasi yang menyangkut dengan organisasi sosial, komunitas

masyarakat dan lingkungan sangat diperlukan. Perusahaan dapat

mengungkapkan informasi tersebut dalam pengungkapan triple bottom

line sebagai wujud akuntabilitas perusahaan kepada publik. Tujuannya

untuk mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjelaskan bagaimana

dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan (Chariri,

2007).

4. Pengungkapan Triple Bottom Line

Triple Bottom Line Reporting merupakan istilah yang di

populerkan pertama kali oleh Elkington (1997) di dalam bukunya

“Cannibals With forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century

Business” yang memberi pandangan bahwa, apabila sebuah perusahaan


14

ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut

harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit),

perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan

kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi dalam menjaga

kelestarian lingkungan (planet).

Pertama, profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan

terpenting dalam setiap kegiatan usaha, sehingga fokus utama dari seluruh

kegiatan dalam perusahaan adalah untuk mengejar profit dan

mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk

tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham.

Aktivitas yang dapat ditempuh untuk meningkatkan profit antara lain

dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi biaya. Kedua,

people atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi

perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi

keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Oleh

karena itu perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan

manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat dan menyadari bahwa

operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat.

Karenanya perusahaan perlu melakukan kegiatan yang dapat menyentuh

kebutuhan masyarakat (Wibisono, 2007). Ketiga, planet atau lingkungan

adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam kehidupan

manusia, karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai

makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya, air yang


15

diminum, udara yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan,

semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagian besar dari manusia

masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan

karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya.

Secara definisi, Triple Bottom Line (TBL) merupakan alat

pelaporan eksternal yang dirancang bagi para pemegang saham dan para

pemakai laporan keuangan lainnya. Triple bottom line ini melaporkan

informasi periodik (kwartalan atau tahunan) tentang kinerja perusahaan

mengenai dimensi lingkungan dan sosial, disamping informasi yang umum

tentang kinerja ekonomi perusahaan.

5. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan dapat diukur dari aset yang dimilki perusahaan.

Aset adalah sumber ekonomi yang diharapkan memberikan manfaat usaha

di kemudian hari. Perusahaan yang besar, umumnya memiliki jumlah aset

yang besar pula. Lang dan Lundholm (1993) menyatakan bahwa tingkat

keluasan informasi dalam kebijakan pengungkapan perusahaan akan

meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran perusahaan. Hal ini

dikarenakan perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki

tuntutan publik (public demand) akan informasi yang lebih tinggi

dibanding dengan perusahaan yang berukuran kecil.

Ukuran perusahaan merupakan suatu variabel penduga yang sering

digunakan dalam menjelaskan berbagai macam variasi pengungkapan

sosial yang digunakaan perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan.


16

Pada umumnya perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih

banyak daripada perusahaan kecil. Dalam teori stakeholder, pengungkapan

yang lebih banyak itu dikarenakan mereka memiliki stakeholder yang

lebih banyak daripada perusahaan kecil (Cowen et al., 1987).

Pengungkapan ini dilakukan untuk membuat stakeholder tetap menaruh

harapan pada perusahaan, pengungkapan itu berupa informasi tentang

tanggung jawab ke ekonomi, sosial, dan lingkungan.

6. Profitabilitas

Profitabilitas diartikan sebagai kemampuan perusahaan untuk

menghasilkan laba atau profit dalam upaya meningkatkan nilai para

pemegang saham perusahaan (Nasir et al., 2014). Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa profitabilitas merupakan salah satu indikator yang

digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan dan dianggap

tepat karena keberhasilan perusahaan biasanya diwujudkan dalam laba

yang dihasilkan dari operasi perusahaan. Semakin tinggi rasio

profitabilitas, maka semakin tinggi pula informasi yang diberikan oleh

manajer. Hal ini dikarenakan perusahaan ingin tetap memberi harapan

kepada para stakeholder agar tetap yakin dengan perusahaan tersebut.

Para stakeholder tidak hanya menginginkan informasi apakah

pendapatan suatu perusahaan mengalami kenaikan atau penurunan,

melainkan juga membutuhkan informasi sejauh mana perusahaan dapat

menggunakan pendapatan yang dimiliki untuk membiayai kegiatan

operasional perusahaan, baik dari internal maupun eksternal perusahaan.


17

Berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan oleh para pemegang saham,

salah satu kegiatan eksternal yang dilakukan perusahaan adalah

menyangkut dengan aktivitas sosial yang mampu dilakukan perusahaan

selama perusahaan tersebut beroperasi (Mutia et al., 2011).

Suryono dan Prastiwi (2011) menyatakan bahwa profitabilitas akan

mendorong tingkat kebebasan dan fleksibilitas yang diberikan kepada

manajemen untuk melakukan dan mengungkapkan tanggung jawab sosial

secara luas kepada para stakeholder, sehingga semakin tinggi tingkat

profitabilitas maka akan semakin tinggi pula luas pengungkapan

pertanggungjawaban sosial perusahaan. Tingkat profitabilitas yang tinggi

pada perusahaan akan meningkatkan daya saing antar perusahaan.

Perusahaan yang mempunyai profit tinggi, cenderung akan membuka

cabang atau lini baru sehingga dapat memperbesar keuntungan investasi

atau membuka investasi baru terkait dengan perusahaan induknya.

7. Leverage

Rasio leverage adalah rasio yang digunakan untuk mengukur besar

aktiva yang dimiliki perusahaan yang berasal dari hutang atau modal (Sari

dan Marsono, 2013). Leverage merupakan rasio untuk mengukur besarnya

aktiva yang dibiayai oleh utang atau proporsi total utang terhadap rata-rata

ekuitas pemegang saham. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi

perusahaan akan cenderung menyembunyikan informasi tersebut sehingga

pengungkapan triple bottom line cenderung rendah.


18

Selain itu, menurut Van Horne (1997) leverage merupakan

penggunaan sumber keuangan yang memiliki beban tetap dengan harapan

memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban

tetapnya, sehingga keuntungan pemegang saham bertambah. Perusahaan

mempunyai tingkat leverage tinggi berarti sangat tergantung pada

pinjaman luar untuk membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan yang

mempunyai tingkat leverage rendah lebih banyak membiayai asetnya

dengan modal sendiri. Jensen and Meckling (1976) menjelaskan, teori

keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang

lebih tinggi akan beresiko memiliki biaya monitoring yang tinggi pula.

Oleh karena itu manajemen secara konsisten mengungkapkan untuk tujuan

monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk

membayar. Hal ini dilakukan untuk mengurangi agency cost. Jika

perusahaan mempunyai tingkat utang yang tinggi, maka kemampuan

perusahaan untuk melakukan kegiatan dalam rangka pengungkapan triple

bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki

tingkat leverage yang tinggi cenderung untuk menurunkan pelaporan

pengungkapan triple bottom line.

8. Likuiditas

Likuiditas merupakan rasio yang mengukur kemampuan

perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya kepada kreditur

jangka pendek di mana dapat diketahui sampai seberapa jauh sebenarnya

jumlah aktiva lancar perusahaan dapat menjamin hutang lancarnya.


19

Kreditur jangka pendek lebih tertarik pada aliran kas perusahaan dana

manajemen modal kerja dibandingkan dengan besarnya profit yang

diperoleh perusahaan (Sari dan Marsono, 2013). Jadi, kreditur jangka

pendek akan lebih memperhatikan perkembangan likuiditas perusahaan.

Likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan jangka pendek

perusahaan untuk membayar kewajibannya yang jatuh tempo. Kewajiban

atau hutang jangka pendek dapat dipenuhi atau ditutup dari aktiva lancar

yang juga berputar dalam jangka pendek. Perusahaan yang mempunyai

tingkat likuiditas tinggi dianggap mampu untuk mengelola bisnisnya,

sehingga menghasilkan tingkat resiko yang rendah. Perusahaan yang

memiliki tingkat likuiditas tinggi merupakan gambaran keberhasilan

perusahaan dalam membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya

tepat waktu. Perusahaan semacam ini cenderung untuk melakukan

pengungkapan informasi yang lebih luas kepada pihak luar karena ingin

menunjukkan bahwa perusahaan itu kredibel.

9. Kepemilikan Asing

Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang

dianggap concern terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial

perusahaan. Jika dilihat dari sisi stakeholder dan shareholder perusahaan,

pengungkapan triple bottom line merupakan salah satu media yang dipilih

untuk memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sosial

di sekitarnya. Dengan adanya investor asing yang menanamkan modalnya

di Indonesia, akan mendorong perusahaan untuk melaksanakan kegiatan


20

sosial. Hal tersebut disebabkan karena investor asing telah lebih dahulu

mengenal, memahami serta menerapkan kegiatan sosial perusahaan dan

seakan telah menjadi budaya bagi mereka.

Investor asing memiliki kriteria yang bersifat sosial dalam setiap

keputusan investasinya karena menurut mereka keberlangsungan jangka

panjang perusahaan merupakan pertimbangan yang penting dalam

keputusan investasi. Dapat disimpulkan bahwa apabila perusahaan

memiliki kontrak dengan stakeholder asing baik dalam kepemilikan dan

perdagangan, maka perusahaan lebih didukung dalam melakukan

pengungkapan triple bottom line (Puspitasari, 2009 dalam Nugroho,

2013).

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi luas

pengungkapan triple bottom line telah dilakukan oleh beberapa peneliti

sebelumnya, seperti Aulia dan Kartawijaya (2011), Jennifer Ho dan Taylor

(2007), Nugroho (2013), Suttipun dan Stanton (2012), dan Yanti dan Rasmini

(2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Aulia dan Kartawijaya (2011)

bertujuan untuk menganalisis pengungkapan triple bottom line dan faktor-

faktor yang mempengaruhinya di negara Indonesia dan Jepang. Variabel

independen yang digunakan meliputi ukuran perusahaan, leverage,

profitabilitas, likuiditas, kepemilikan asing, corporate governance, jenis


21

industri, dan negara. Sedangkan variabel dependennya adalah pengungkapan

triple bottom line. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan

yang go public dan telah diaudit. Jumlah sampel penelitian ini adalah 100

perusahaan yaitu 50 perusahaan untuk masing-masing negara pada industri

non keuangan tahun 2009 yang diurut berdasarkan ukuran perusahaan

tertinggi dengan menggunakan market capitalization. Metode analisis data

penelitian ini adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ukuran perusahaan, likuiditas dan jenis industri yang secara signifikan

mempengaruhi pengungkapan triple bottom line. Sedangkan leverage,

profitabilitas, kepemilikan asing, corporate governance, dan negara tidak

berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.

Penelitian yang dilakukan oleh Jennifer Ho dan Taylor (2007)

bertujuan untuk menyelidiki pengungkapan triple bottom line pada

perusahaan-perusahaan di negara Amerika dan Jepang dengan 20 kriteria

pengungkapan. Variabel independen yaitu size, profitabilitas, likuiditas,

keanggotaan industri. Sedangkan variabel dependennya adalah pengungkapan

triple bottom line. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

perusahaan-perusahaan terbesar di Amerika Serikat dan Jepang. Jumlah

sampel penelitian ini adalah 100 perusahaan yaitu 50 perusahaan terbesar

untuk masing-masing negara Amerika Serikat dan Jepang. Metode penelitian

ini dilakukan dengan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tingkat pelaporan yang lebih tinggi ditunjukkan oleh perusahaan dengan

ukuran yang besar, profitabilitas yang rendah, dan likuiditas yang rendah pula
22

serta untuk perusahaan dengan keanggotaan dalam industri manufaktur.

Pengungkapan triple bottom line di negara Jepang lebih tinggi daripada di

Amerika.

Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2013) bertujuan untuk

menganalisis pengaruh karakteristik perusahaan, struktur kepemilikan, GCG

terhadap pengungkapan triple bottom line di Indonesia. Variabel independen

yang digunakan meliputi leverage, profitabilitas, likuiditas, jenis industri,

kepemilikan manajemen, kepemilikan asing, kepemilikan institusional, ukuran

dewan komisaris dan komite audit. Sedangkan variabel dependennya adalah

pengungkapan triple bottom line. Populasi penelitian ini adalah perusahaan-

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008-

2011. Berdasarkan metode purposive sampling, sebanyak 200 laporan tahunan

perusahaan memenuhi kriteria yaitu memiliki data yang lengkap untuk

penelitian dinyatakan sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif dan metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa hanya variabel leverage, jenis industri, ukuran

dewan komisaris, dan komite audit yang berpengaruh signifikan terhadap

pengungkapan triple bottom line oleh perusahaan. Faktor-faktor lain yang

diteliti dalam penelitian ini seperti profitabilitas, likuiditas, kepemilikan

institusional, kepemilikan manajemen, dan kepemilikan asing tidak

berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan triple bottom line oleh

perusahaan.
23

Penelitian yang dilakukan oleh Suttipun dan Stanton (2012)

bertujuan untuk untuk menyelidiki pengungkapan lingkungan di situs web

oleh perusahaan di Bursa Efek Thailand (SET), dan menguji kemungkinan

hubungan antara jumlah pengungkapan dan berbagai faktor. Variabel

independen yang digunakan meliputi ukuran perusahaan, jenis industri, status

kepemilikan, asal negara perusahaan, reputasi auditor, jenis bisnis, umur,

leverage, likuiditas, dan profitabilitas. Sedangkan variabel dependennya

adalah pengungkapan triple bottom line. Populasi penelitian ini adalah seluruh

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Thailand (SET) 2011-2013. Teknik

pengambilan sampel dengan purposive sampling. Jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 50 perusahaan teratas yang terdaftar

(dari lebih dari 500) yang memiliki situs web pada bulan Juni-Juli 2011.

Metode analisis data penelitian ini yaitu content analysis. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa variabel umur perusahaan, jenis bisnis,

likuiditas, ukuran perusahaan, leverage, dan profitabilitas berpengaruh

terhadap pengungkapan triple bottom line. Sedangkan jenis industri, status

kepemilikan, negara asal perusahaan dan reputasi auditor tidak berpengaruh

terhadap pengungkapan triple bottom line.

Penelitian yang dilakukan oleh Yanti dan Rasmini (2015) bertujuan

untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan triple

bottom line pada perusahaan-perusahaan di negara Indonesia dan Singapura.

Variabel independen yang digunakan meliputi leverage, profitabilitas,

likuiditas, kepemilikan asing, dan karakteristik negara. Sedangkan variabel


24

dependennya adalah pengungkapan triple bottom line. Populasi dalam

penelitian ini adalah perusahaan non finance yang terdaftar BEI dan SGX

periode 2012, dengan sampel 50 besar perusahaan non finance yang terdaftar

di BEI dan SGX periode 2012, dimana mata uang di SGX seperti USD, $

Singapore, Renminbi, Bath, HK$ dan lainnya sudah di konversikan ke dalam

rupiah sesuai nilai kurs tengah BI pada periode itu. Pengungkapan TBL diukur

dengan menggabungkan indikator dari Global Reporting Initiative © 2000-

2006 Version 3.0 dan penelitian Jennifer Ho dan Taylor (2007) dengan indeks

terdiri dari 20 item untuk pengungkapan ekonomi, 20 item untuk

pengungkapan sosial, 20 item pengungkapan lingkungan. Metode penentuan

sampel dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kriteria penentuan

sampel yaitu: 1) Merupakan 50 perusahaan non finance dengan total asset

terbesar BEI dan SGX serta sahamnya aktif diperdagangkan selama periode

2012. 2) Perusahaan tersebut menerbitkan laporan tahunan (annual report)

periode 2012. Berdasarkan metode dan kriteria-kriteria yang telah ditentukan

tersebut, maka diperoleh sampel sebanyak 100 laporan tahunan emiten.

Metode analisis data penelitian ini adalah regresi linier berganda. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa profitabilitas, kepemilikan asing, dan

karakteristik negara berpengaruh signifikan pada pengungkapan triple bottom

line pada perusahaan Indonesia dan Singapura. Sedangkan variabel leverage

dan likuiditas dalam penelitian ini tidak berpengaruh pada pengungkapan

triple bottom line.


25

C. Pengembangan Hipotesis

Adapun pengembangan hipotesis berdasarkan hubungan antar variabel

kunci dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap pengungkapan triple bottom


line
Ukuran perusahaan dapat dihitung dengan melogaritma naturalkan

aset. Aset atau aktiva adalah sumber ekonomi yang diharapkan

memberikan manfaat usaha di kemudian hari. Perusahaan besar umumnya

memiliki jumlah aktiva yang besar. Perusahaan yang berukuran besar

mampu melakukan pengungkapan lebih luas karena perusahaan besar

mempunyai sumber daya yang lebih besar dan mampu membiayai

penyediaan informasi kepada pihak eksternal. Secara umum baik dilihat

dari teori agensi, sumber daya, aktivas dan integrasi antar bagian dalam

perusahaan, perusahaan besar cenderung mengungkapkan informasi lebih

banyak dan lebih luas dibandingkan dengan perusahaan kecil. Dalam

hubungannya dengan teori agensi, pengungkapan informasi yang luas

berguna untuk mengurangi biaya keagenan yang besar, karena perusahaan

besar biaya keagenannya juga besar. Suttipun dan Stanton (2012)

menyatakan bahwa ukuran perusahaan berhubungan dengan tekanan

publik terhadap manajemen lingkungan yang dilakukan perusahaan.

Dengan demikian, semakin besar ukuran perusahaan maka perusahaan

akan semakin luas dalam melakukan pengungkapan triple bottom line.

Penelitian Aulia dan Kartawijaya (2011), Jennifer Ho dan Taylor

(2007), dan Suttipun dan Stanton (2012) menyatakan bahwa ukuran


26

perusahaan secara signifikan berpengaruh terhadap pengungkapan triple

bottom line. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan triple

bottom line

2. Pengaruh profitabilitias terhadap pengungkapan triple bottom line

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba sehingga mampu meningkatkan nilai pemegang saham

perusahaan. Nugroho (2013) menyatakan bahwa tujuan utama perusahaan

adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga perusahaan dapat

bertahan selama-lamanya, sehingga besar kecilnya suatu perusahaan itu

dinilai dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban

dari agen yang memegang kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti

melakukan pengungkapan ekonomi, sosial dan lingkungan serta

pelaporannya. Investor menangkap setiap informasi yang disampaikan

dapat membandingkan kegiatan dan pengungkapan triple bottom line yang

sudah dilakukan oleh perusahaan dengan profit yang dimilikinya. Jika

perusahaan memiliki laba yang tinggi, manajemen juga harus memberikan

aktivitas sosial dan lingkungannya sebagai perwujudan kontrak sosial yang

terjadi dalam interaksi dimasyarakat. Dengan demikian, semakin tinggi

tingkat profitabilitas perusahaan maka akan semakin besar pula

pengungkapan triple bottom line.


27

Penelitian Jennifer Ho dan Taylor (2007), Suttipun dan Stanton

(2012), dan Yanti dan Rasmini (2015) menunjukkan bahwa profitabilitas

berpengaruh signifikan pada pengungkapan triple bottom line.

Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, maka maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2 : Profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line

3. Pengaruh leverage terhadap pengungkapan triple bottom line


Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi

kewajiban jangka panjang. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan

bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko

memiliki biaya monitoring yang tinggi pula. Oleh karena itu manajemen

secara konsisten mengungkapkan untuk tujuan monitoring agar

memastikan kepada kreditor kemampuan untuk membayar. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi agency cost. Jika perusahaan mempunyai

tingkat utang yang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan

kegiatan dalam rangka pengungkapan triple bottom line menjadi sulit.

Dengan demikian, perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi

cenderung untuk menurunkan pelaporan pengungkapan triple bottom line.

Penelitian yang dilakukan oleh Jennifer Ho dan Taylor (2007),

Nugroho (2013), dan Suttipun dan Stanton (2012) menunjukkan bahwa

leverage berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan triple bottom

line. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut:

H3 : Leverage berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line


28

4. Pengaruh likuiditas terhadap pengungkapan triple bottom line


Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi

pengungkapan yang dilakukan perusahaan, karena investor, kreditor dan

pemangku kepentingan lainnya sangat memperhatikan status going

concern perusahaan (Oyelere et al., 2003). Sesuai konsep agensi, manajer

perusahaan sebagai agen berusaha untuk memenuhi kepentingan para

investor (prinsipal) antara lain dengan meningkatkan nilai perusahaan dan

menjaga kelangsungan operasi perusahaan dengan menjaga likuiditasnya

agar perusahaan dapat bertahan lama. Perusahaan dengan tingkat likuiditas

yang tinggi selalu menciptakan nilai berupa image positif terhadap

prinsipalnya. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk memperluas

pengungkapkan seluruh informasi tentang perusahaan, terutama tentang

triple bottom line. Jennifer Ho dan Taylor (2007) menyatakan bahwa

perusahaan yang likuid mungkin memiliki insentif yang kuat untuk

memberikan rincian lebih lanjut dalam pengungkapan perusahaan mereka

tentang kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban jangka pendek

keuangan, sehingga semakin tinggi tingkat likuiditasnya maka semakin

luas pula pengungkapan triple bottom line perusahaan.

Penelitian Aulia dan Kartawijaya (2011), Jennifer Ho dan Taylor

(2007), dan Suttiupun dan Stanton (2012) menyatakan bahwa likuiditas

berpengaruh pada pengungkapan triple bottom line. Berdasarkan teori dan

penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4 : Likuiditas berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line


29

5. Pengaruh kepemilikan asing terhadap pengungkapan triple bottom


line
Kepemilikan saham asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh

pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap

saham perusahaan di Indonesia (Rustiarni, 2011). Hubungan

pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan asing

adalah untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh

prinsipal yaitu investor asing dipertanggungjawabkan oleh manajemen

yang bersangkutan (Nugroho, 2013). Investor asing sebagai pemegang

saham dihadapkan pada besarnya tingkat informasi asimetri, sehingga

untuk menghindari potensi kerugian yang ditimbulkan dengan adanya

asimetri informasi. Berlandaskan teori agensi maka perusahaan dengan

kepemilikan asing akan memberikan tambahan informasi dengan

melakukan pengungkapan sukarela yang dapat memberikan kesan bahwa

perusahaan lebih transparan. Apabila perusahaan memiliki kontrak dengan

stakeholder asing, baik dalam kepemilikan dan perdagangan, maka

perusahaan lebih didukung dalam melakukan pengungkapan triple bottom

line.

Penelitian Yanti dan Rasmini (2015) menunjukkan bahwa

kepemilikan asing berpengaruh signifikan pada pengungkapan triple

bottom line. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H5 : Kepemilikan asing berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom

line
30

D. Kerangka Teoritis

Berdasarkan analisis dalam kajian teoritis di atas mengenai faktor-

faktor yang mempengaruhi pengungkapan triple bottom line, yaitu ukuran

perusahaan, profitabilitas, leverage, likuiditas, dan kepemilikan asing. Maka

dapat digambarkan skema kerangka berfikir sebagai berikut:

Ukuran Perusahaan (X1)

Profitabilitas (X2)
(X2)
Pengungkapan
Leverage (X3)
Triple Bottom Line
(Y)
Likuiditas (X4)

Kepemilikan Asing (X5)

Gambar II.1 Kerangka Teoritis

Anda mungkin juga menyukai