Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas
dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia.
Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika
disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1 Prevalensi dari gagal jantung sendiri
semakin meningkat karena pasien yang mengalami kerusakan jantung yang bersifat akut
dapat berlanjut menjadi gagal jantung kronik. World Health Organization (WHO)
menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk Asia
diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia, dan diabetes.
Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring dengan bertambahnya usia.2,3
Menurut studi yang dilakukan Framingham, insiden tahunan pada laki–laki dengan
gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat dari 3 pada usia 50 - 59 tahun menjadi 27 pada
usia 80 – 89 tahun, sementara wanita memiliki insiden gagal jantung yang relatif lebih rendah
dibanding pada laki–laki (wanita sepertiga lebih rendah).4
Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang bersifat kompleks, dapat berakibat dari
gangguan pada fungsi miokard (fungsi sistolik dan diastolik), penyakit katup ataupun
perikard, atau hal-hal yang dapat membuat gangguan pada aliran darah dengan adanya retensi
cairan, biasanya tampak sebagai kongesti paru, edema perifer, dispnu, dan cepat lelah. Siklus
ini dipicu oleh meningkatnya regulasi neurohumoral yang awalnya berfungsi sebagai
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan sistem Frank–Starling, tetapi justru
menyebabkan penumpukan cairan yang berlebih dengan gangguan fungsi jantung.5,6
Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimtomatik. Gejala klinis dapat muncul
karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan kerja jantung dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Faktor presipitasi yang sering memicu terjadinya gangguan
fungsi jantung adalah infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi yang berlebihan,
infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokarditis dan
endokarditis infektif.5,6
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia, maka perlu dilakukan pengendalian
penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkesinambungan. Gagal jantung merupakan
kondisi akhir dari penyakit jantung dan pembuluh darah kronis seperti hipertensi, diabetes
mellitus, aritmia, infark miokard dan lain-lain.7
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Merupakan sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktural dan/atau fungsi
jantung yang diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuan pompa jantung.
Ada beberapa istilah gagal jantung:8
- Berdasarkan onset terjadinya:
o Gagal jantung akut: adalah suatu kondisi curah jantung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer,
disebabkan sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut.
o Gagal jantung kronik/kongestif: adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan,
terjadi sejak lama.
- Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga
curah jantung menurun dan menyebabkan keluhan hipoperfusi. Gagal jantung
diastolik yaitu gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel atau disebut juga
gagal jantung dengan fraksi ejeksi > 50%.8
- Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri disebabkan
kelemahan ventrikel kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik.8
- Low output dan high output heart failure (secara klinis tidak dapat dibedakan)
o Low output heart failure adalah gagal jantung yang disertai disebabkan oleh
hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikardium.
o High output heart failure adalah gagal jantung yang disertai penurunan
resistensi vascular sistemik seperti pada hipertiroidisme, anemia, kehamilan,
fistula A-V, beri-beri, dan penyakit Paget.8

2
- Berdasarkan klasifikasi New York Heart Association (NYHA):9

2. Faktor Resiko
 Sindrom koroner akut: infark miokard/angina pectoris tidak stabil dengan iskemia
yang bertambah luas dan disfungsi iskemik
 Komplikasi kronik infark miokard akut

3
 Infark ventrikel kanan
 Krisis hipertensi
 Aritmia akut: takikardia ventrikular, fibrilasi atrial atau fluter atrial, takikardia
supraventikular lain
 Refurgitasi valvular/endokarditis/rupture korda tendinae, perburuka regurgitasi
katup yang sudah ada
 Stenosis katup aorta berat
 Miokarditis berat akut
 Tamponade jantung
 Diseksi aorta
 Kardiomiopati pasca melahirkan
 Factor predisposisi non kardiovaskular: pelaksanaan terhadap pengobatan kurang
 Overload volume
 Infeksi
 Severe brain insult
 Penurunan fungsi ginjal
 Asma
 Penyalahgunaan obat
 Penggunaan alkohol
 Feokromositoma8

3. Pendekatan Diagnosis
a. Anamnesis
Kelelahan, sesak, palpitasi. Terdapat keluhan saluran pencernaan seperti anoreksia,
mual, dan rasa penuh. Jika berat dapat terjadi konfusi, disorientasi, gangguan pola tidur dan
mood.10 Cepat lelah bila beraktifitas ringan (mandi, jalan >300 m, naik tangga). Sesak nafas
saat terlentang, malam hari atau saat beraktifitas, tidur lebih nyaman bila menggunakan
bantal yang tinggi (2-3 bantal). Bengkak pada tungkai bawah dekat mata kaki. Riwayat
menderita penyakit jantung atau dirawat dengan gejala diatas.11

b. Pemeriksaan Fisik

4
Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat normal
atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi ventrikel kiri.
Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena, adanya murmur
sistolik, murmur diastolic, dan irama gallop perlu dideteksi dalam auskultasi jantung.
Kongesti paru ditandai dengan ronki basah pada kedua basal paru. Penilaian vena jugular
dapat normal saat istirahat tetapi dapat meningkat dengan adanya tekanan pada abdomen
(abdominojugular reflux positif). Pada abdomen adanya hepatomegali merupakan tanda
penting pada gagal jantung, asites, icterus karena fungsi hepar yang terganggu. Edema
ekstremitas yang umumnya simetris dapat ditemukan.8

c. Diagnosis
 Kriteria diagnosis Framingham8
1. Mayor
- Sesak saat tidur terlentang (Orthopnoe)
- Sesak terutama malam hari (Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe)
- Peningkatan Tekanan Vena Jugularis
- Ronki basah halus
- Pembesaran Jantung
- Edema Paru
- Gallop S3
- Waktu sirkulasi memanjang>25 detik
- Refluks hepato jugular
- Penurunan berat badan karena respons dengan pengobatan
2. Minor
- Edema tungkai bawah (biasanya dekat mata kaki)
- Batuk-batuk malam hari
- Sesak nafas saat aktifitas lebih dari sehari hari
- Pembesaran hati
- Efusi pleura
- Takikardia
Bila terdapat 1 gejala mayor dan 2 minor atau 3 gejala minor, sudah memenuhi kriteria
diagnosis gagal jantung.8

5
 Algoritma Diagnosis Gagal Jantung
Algoritma diagnosis gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri diuraikan melalui
Gambar 1. Penilaian klinis yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab dari gagal
jantung, karena meskipun terapi gagal jantung umumnya sama untuk sebagian besar pasien,
namun pada keadaan tertentu terapi spesifik diperlukan dan mungkin penyebab dapat
dikoreksi sehingga dapat mencegah perburukan lebih lanjut.

Diagnosis gagal jantung bisa menjadi sulit, terutama pada fase stadium dini. Walaupun
gejala akan membawa pasien untuk mencari pertolongan farmakologi, banyak dari gejala
gagal jantung yang tidak spesifik dan tidak membantu menyingkirkan dan membedakan
antara gagal jantung dan penyakit lainnya. Simtom/gejala yang lebih spesifik jarang sekali
bermanifestasi terutama pada pasien dengan gejala ringan, oleh karenanya, gejala menjadi
kurang sensitif sebagai landasan uji diagnostik. Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada

6
pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah, sedangkan pada pasien dengan fraksi ejeksi
normal, uji diagnostik menjadi kurang sensitive. Ekokardiografi merupakan metode yang
paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.1,3
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung. Jika EKG normal,
diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%).1
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak
ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.1
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, estimasi laju filtrasi
glomerulus (eGFR), glukosa, tes fungsi hepar, dan urinalisa. Pemeriksaan tambahan lain
dipertimbangkan sesuai gambaran klinis. Gangguan hematologi atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diberikan terapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/ atau
ACE-I (angiotensin converting enzyme inhibitor), ARB (angiotensin receptor blocker), ARNI
(angiotensin receptor nephrilysin inhibitor), atau antagonis aldosterone.1-3

d. Tatalaksana
Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah: meniadakan tanda klinik seperti batuk
dan dispne, memperbaiki kinerja jantung sebagai pompa, menurunkan beban kerja jantung,
dan mengontrol kelebihan garam dan air. Obat yang digunakan untuk penanganan gagal
jantung bervariasi tergantung pada etiologi, keparahan gagal jantung, dan faktor lainnya. 7.8
Untuk mencapai tujuan dalam penanganan gagal jantung dapat dilakukan dengan cara:
1. Membatasi aktivitas fisik.
Latihan/aktivitas akan meningkatkan beban jantung dan juga meningkatkan
kebutuhan jaringan terhadap oksigen. Pada pasien yang fungsi jantungnya mengalami
tekanan, latihan dapat menimbulkan kongesti. Karena itu maka kerja jantung harus
diturunkan dengan istirahat atau membatasi aktivitas.14
2. Membatasi masukan garam.

7
Pada pasien yang mengalami CHF, aktivitas renin-angiotensi-aldosteron mengalami
peningkatan. Hal tersebut akan merangsang ginjal untuk menahan natrium dan air
sehingga ekskresi natrium dan air akan berkurang. Bila ditambah pakan yang
mengandung natrium tinggi maka retensi air dan peningkatan volume darah akan
semakin parah, dan pada gilirannya akan menimbulkan kongesti dan edema.14
3. Menghilangkan penyebab atau faktor pemicu gagal jantung.
Menghilangkan penyebab gagal jantung merupakan tindakan yang paling baik.
Malformasi kongenital seperti patent ductus arteriosus dapat diperbaiki dengan cara
operasi dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Ballon valvuloplasti telah berhasil
digunakan untuk menangani stenosis katup pulmonik. CHF yang disebabkan oleh
penyakit perikardium dapat ditangani sementara atau permanen dengan
perikardiosentesis atau perikardektomi. Tetapi sayangnya hal tersebut sering tidak
mungkin dilakukan dengan berbagai alasan.14
4. Menurunkan preload.
Karena adanya retensi garam dan air oleh ginjal pada pasien CHF, maka preload
jantung pada umumnya tinggi. Hal tersebut akan mengakibatkan kongesti pada sistem
sirkulasi. Oleh karena itu, penurunan preload akan menurunkan kongesti dan edema
pulmoner, yang akan memperbaiki pertukaran gas pada paru-paru pada kasus CHF
jantung kiri, dan menurunkan kongesti vena sistemik dan asites pada CHF jantung kanan.
Preload ditentukan oleh volume cairan intravaskular dan tonus vena sistemik.14

 Tatalaksana Farmakologi
 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung sistomatik dan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40% kecuali ada kontraindikasi. ACE-I memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup.1,3
ACE-I terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu, ACE-I hanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.1,3

 Penyekat Reseptor β

8
Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%. Penyekat β memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan menurunkan mortalitas.1,3
Indikasi pemeberian penyekat β :
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dengan atau tanpa gejala gagal jantung
2. Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung
3. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
4. ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah diberikan
5. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan
inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat B
1. Asma berat
2. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi <50x/menit).

 Antagonis Aldosteron
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35% dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III-IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron dapat mengurangi frekuensi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan hidup.1,3
Indikasi pemberian antagonis aldosterone
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
2. Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone
1. Konsentrasi serum kalium > 5,5 mmol/L
2. Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
3. Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
4. Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI

 Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung


Inisiasi pemberian spironolakton

9
1. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
2. Naikan dosis secara titrasi
3. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
4. Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikkan dosis.
5. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi.
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
1. Hiperkalemia
2. Perburukan fungsi ginjal
3. Nyeri dan/atau pembesaran payudara

 Angiotensin Receptor Bloker (ARB)


ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤
40% yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACE-I dan penyekat B dosis optimal,
kecuali terdapat kontraindikasi, dan juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien
yang intoleran terhadap ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.1,3
Indikasi pemberian ARB
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
2. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I
3. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit menyebabkan batuk.
Kontraindikasi pemberian ARB
1. Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
2. Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosterone bersamaan
3. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB digunakan Bersama ACE-I.

 Angiotensin Receptor – Neprilysin Inhibitor (ARNI) = Sacubitril/valsartan

10
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB, penyekat B,
dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I/ARB yaitu Angiotensin
Receptor-Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang merupakan kombinasi molekuler valsartan-
sacubitril. Sacubitril merupakan penghambat enzim nefrilisin yang akan memperbaiki
remodeling miokard, diuresis dan natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan
dan garam. Dosis yang dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat ditingkatkan
hingga 200 mg (2 kali per hari). Bila pasien sebelumnya mendapatkan ACE-I maka harus
ditunda selama minimal 36 jam terbih dahulu sebelum memulai Sacubitril/valsartan. Tetapi
bila pasien sebelumnya mendapatkan ARB, maka Sacubitril/valsartan dapat langsung
diberikan sebagai pengganti ARB.

 Ivabradine
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal If di nodus
sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus. Ivabradine menurunkan
mortalitas dan perawatan rumah sakit akibat gagal jantung pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang menurun (LVEF ≤ 35%, irama sinus, dan denyut nadi ≥ 70 x/menit) yang
pernah mengalami rawat inap dalam 12 bulan terakhir berdasarkan hasil studi SHIFT.

 DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien
untuk menghindari dehidrasi atau retensi.1,3
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:
o Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
o Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
o Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan thiazide karena
efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya
dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten.
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis Harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40 – 240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20

11
Thiazide
Hidrochlorothiazide 25 12.5 – 100
Metolazone 2.5 2.5 – 10
Indapamide 2.5 2.5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACE-I/ARB) 12.5 - 25 (+ACE-I/ARB) 50
(- ACE-I/ARB) 50 (- ACE-I/ARB) 100 – 200

 Tatalaksana non-farmakologi
1. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna untuk perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas, dan
prognosis.1
2. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.1
3. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan
dokter.1,3,6
4. Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml - 1,2 liter per hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi
cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis.1,3,6
5. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung dipertimbangkan
untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan
kualitas hidup.1,3,6
6. Kehilangan berat badan tanpa rencana

12
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka mortalitas. Jika
selama 6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat badan >6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.
Status nutrisi pasien harus dinilai dengan hati-hati.1,3,6
7. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program laihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah.1,3,6

13

Anda mungkin juga menyukai