Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah


dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat
tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah dan menjaga tulang tetap kuat.1

Chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan progresif fungsi


ginjal yang bersifat ireversibel. Menurut guideline The National Kidney
Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI), CKD
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan karakteristik adanya
kerusakan struktural atau fungsional (seperti mikroalbuminuria/proteinuria,
hematuria, kelainan histologis ataupun radiologis), dan/atau menurunnya laju
filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 m2 selama setidaknya 3
bulan.2,3

Chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah kesehatan masyarakat


global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi CKD meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus
serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami CKD pada stadium
tertentu. Hasil systematic review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill et al,
2016, mendapatkan prevalensi global CKD sebesar 13,4%. Menurut hasil Global
Burden of Disease tahun 2010, CKD merupakan penyebab kematian peringkat ke-
27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.1

Prevalensi chronic kidney disease diseluruh dunia sekitar 5-10 %.


Prevalensi CKD selama sepuluh tahun terakhir semakin meningkat. Lebih dari 7
juta penduduk di Eropa menderita Chronic kidney disease dan 300.000 penduduk
sedang dilakukan terapi pengganti ginjal, baik dialisis ataupun transplantasi ginjal.
Di Amerika Serikat diperkirakan 13% dari total penduduk dewasa dengan LFG
dibawah 60mL/min.4 Prevalensi chronic kidney disease di Australia, Jepang, dan
Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8% setiap tahunnya.5 Sekitar 1,5% dari
pasien chronic kidney disease derajat 3 dan 4 akan berlanjut menjadi derajat 5
atau chronic kidney disease tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya.6

Prevalensi CKD pada tahun 2009, dengan batasan nilai LFG <60
ml/menit/1,73 m2, dilaporkan bervariasi yaitu sebesar 20% di Jepang dan di
Amerika Serikat, 6,4% sampai 9,8% di Taiwan, 2,6% sampai 13,5% di Cina,
17,7% di Singapura, dan 1,6% sampai 9,1% di Thailand. Survei komunitas yang
dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia menunjukkan bahwa 12,5%
populasi sudah mengalami penurunan fungsi ginjal.7

Saat ini, prevalensi CKD di Indonesia belum diketahui dengan pasti dan
studi faktor risiko CKD belum banyak dilakukan. Riset Kesehatan Dasar 2013
mendapatkan prevalensi gagal ginjal kronis menurut diagnosis dokter dari hasil
wawancara pada umur ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 0,2 %. Berdasarkan
laporan dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2015, terjadi
peningkatan pasien baru yang terdata, yaitu sebanyak 21.050 pasien. Peningkatan
pasien aktif atau pasien yang menjalani hemodialisis, diduga karena faktor
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Proporsi berdasarkan usia tertinggi pada usia
45-54 tahun yaitu 56.72% pasien baru dan 56.77% pasien aktif. Diperkirakan
insiden chronic kidney disease tahap akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 juta
per populasi dan prevalensi sekitar 23,4 juta per populasi.8

Penyebab kerusakan ginjal pada CKD adalah multifaktorial dan


kerusakannya bersifat ireversibel. Penyebab CKD pada pasien hemodialisis di
Indonesia adalah glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, SLE 1%,
ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, PNC 6%,
penyakit ginjal hipertensi 34%, lain-lain 6%, dan tidak diketahui sebesar 1%.
Penyebab terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi 34%.9

Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD, terutama bila sudah


mencapai stadium III. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi
Erythropoietic Stimulating Factors (ESF).10 Dalam keadaan normal 90 %
eritropoeitin (EPO) dihasilkan di ginjal tepatnya oleh juxtaglomerulus dan
hanya 10% yang diproduksi di hati. Eritropoetin mempengaruhi produksi
eritrosit dengan merangsang proliferasi, diferensiasi dan maturasi prekursor
eritroid. Keadaan anemia terjadi karena defisiensi eritropoietin yang
dihasilkan oleh sel peritubular sebagai respon hipoksia local akibat
pengurangan parenkim ginjal fungsional.11 Respon tubuh yang normal
terhadap keadaan anemia adalah merangsang fibroblas peritubular ginjal
untuk meningkatkan produksi EPO, yang mana EPO dapat meningkat lebih
dari 100 kali dari nilai normal bila hematokrit dibawah 20%. Pada pasien
CKD, respon ini terganggu sehingga terjadilah anemia dengan konsentrasi
EPO yang rendah, dimana hal ini dikaitkan dengan defisiensi eritropoietin
pada CKD. Faktor lain yang dapat menyebabkan anemia pada CKD adalah
defisiensi besi, defisiensi vitamin, penurunan masa hidup eritrosit yang
mengalami hemolisis, dan akibat perdarahan.

Pengelolaan chronic kidney disease selama ini, lebih mengutamakan


diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan
penyebab chronic kidney disease serta dialisis atau transplantasi ginjal jika
sudah terjadi gagal ginjal. Komplikasi yang sering terjadi pada chronic
kidney disease, seperti anemia perlu penatalaksanaan. Oleh karena itu, dalam
tata laksana CKD perlu dilakukan pencegahan, perbaikan dan pengobatan
terhadap anemia.10

Berikut ini akan dilaporkan kasus anemia pada chronic kidney disease pada
seorang laki-laki usia 63 tahun yang dirawat di RSUD Noongan.
BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berinisial RD, umur 63 tahun, bangsa Indonesia,


pekerjaan buruh, alamat Noongan datang ke poliklinik penyakit dalam RSUD
Noongan pada tanggal 02 Mei 2021 dengan keluhan lemah badan dan napsu
makan menurun. Pasien kemudian dirawat inap di ruangan Interna Pria RSUD
Noongan pada tanggal 02 Mei 2021. Lemah badan dan penurunan napsu makan
dirasakan sejak 2 hari SMRS. Demam, batuk dan sesak disangkal oleh pasien.
Pasien telah didiagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) sejak 1 tahun yang lalu
dan belum pernah melakukan cuci darah. BAB tidak ada keluhan, BAK kurang
lebih 600 cc dalam 12 jam. Riwayat darah tinggi sejak 20 tahun yang lalu dan
asam urat sejak 10 tahun yang lalu. Pasien tidak pernah kontrol tekanan darahnya
dan jarang minum obat darah tinggi. Pasien memiliki riwayat menderita batu
saluran kemih 5 tahun yang lalu namun tidak pernah dioperasi dan sering minum
jamu racikan sendiri. Riwayat diabetes melitus, kolesterol dan jantung disangkal.
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini. Pasien tidak
memiliki riwayat konsumsi alkohol dan merokok sejak 5 tahun terakhir.

Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 72 x/m, regular
kuat angkat, respirasi 20 x/m, suhu badan 36,6ºC, saturasi oksigen 99%, berat
badan 54 kg, tinggi badan 160 cm, IMT 21,09 kg/cm2. Pada pemeriksaan kepala
ditemukan ada konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat simetris
isokor, refleks cahaya normal. Pada pemeriksaan leher ditemukan faring tidak
tampak hiperemis, tonsil tidak membesar, trakea letak tengah dan tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan paru ditemukan pergerakan
dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan dinamis, stem fremitus kiri dan
kanan sama, kiri dan kanan sonor, suara pernapasan vesikuler, tidak ada ronki dan
wheezing dikedua lapang paru. Pada pemeriksaan jantung ditemukan iktus kordis
tidak tampak, tidak teraba, batas jantung kiri terletak pada ruang antar iga V linea
midklavikula sinistra, batas jantung kanan pada ruang iga IV linea parasternalis
dekstra, suara jantung I-II regular, tidak ditemukan gallop dan murmur. Pada
pemeriksaan abdomen datar, tidak terdapat venektasi, bunyi usus normal, hepar
dan lien tidak membesar, tidak ada cairan. Akral teraba hangat, edema tidak pada
kedua ekstremitas bawah.

Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 02 Mei 2021 didapatkan leukosit


4.200/µl; eritrosit 2,45x106/µl; Hb 6,9 g/dl; Ht 23,6 %; trombosit 129 x 103/µl;
MCHC 32,1 g/dl; MCV 96,3 fL; MCH 28,2 pg; ureum 246 mg/dl; kreatinin 12,4
mg/dl; Golongan darah AB rhesus (+). Pasien dilakukan foto thoraks dan hasilnya
tampak gambaran kardiomegali. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) dengan hasil irama sinus, heart rate 69x/ menit,
normoaxis.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka pasien ini didiagnosis CKD end stage, anemia renal dan hypertensive heart
disease. Pasien diterapi dengan Amlodipin 5 mg 0-0-1 tab, hemafort 2x1 tab,
furosemide 40 mg 1-0-0 tab, allopurinol 100 mg 0-0-1 tab, pro transfusi PRC 1
bag seling 1 hari (total 2 bag), diet CKD 30 kkal/kgBB/hari, protein
0,6gr/kgBB/hari, takar urin. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
USG abdomen, cek GDP, asam urat, elektrolit dan urinalisis. Pasien diajukan
untuk dirujuk ke RSUP Prof. Kandou Manado untuk dilakukan hemodialisis tetapi
pasien menolak.
Pada perawatan hari pertama tanggal 03/05/2021 pasien masih merasa
lemas dan napsu makan menurun. Pasien tampak sakit sedang dan kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 170/100 mmHg, nadi 75x/menit, regular kuat
angkat, respirasi 22x/menit, suhu 36,5˚C, saturasi oksigen 99%. Pemeriksaan fisik
umum tidak ada perubahan. Pasien ini didiagnosis CKD end stage, anemia renal
dan hypertensive heart disease. Terapi dengan Amlodipin 5 mg 0-0-1 tab,
hemafort 2x1 tab, furosemide 40 mg 1-0-0 tab, allopurinol 100 mg 0-0-1 tab,
transfusi PRC 1 bag seling 1 hari (total 2 bag), diet CKD 30 kkal/kgBB/hari,
protein 0,6gr/kgBB/hari, takar urin. Takaran urin menunjukkan urine output
pasien ± 500 cc per 12 jam. Dilakukan pemeriksaan darah hari ini dan didapatkan
GDP 95 mg/dl; asam urat 8,5 mg/dl; kolesterol total 119 mg/dl; HDL 41 mg/dl;
TGA 104 mg/dl; LDL 70 mg/dl; natrium 120 mmol/L; kalium 5 mmol/L; klorida
92 mmol/L; kalsium total 1,9 mmol/L; ionized calsium 1 mmol/L. Hari ini pasien
dilakukan transfusi PRC 1 bag. Pasien dilakukan pemeriksaan darah 6 jam post
transfusi dan didapatkan leukosit 4.800/µl; eritrosit 2,90x106/µl; Hb 7,5 g/dl; Ht
25,4 %; trombosit 149 x 103/µl; MCHC 33,6 g/dl; MCV 96,5 fL; MCH 30,3 pg.
Pada perawatan hari kedua tanggal 04/05/2021 pasien masih lemah badan.
Pasien tampak sakit sedang dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 158/80
mmHg, nadi 77x/menit, regular kuat angkat, respirasi 20x/menit, suhu 36,8˚C,
saturasi oksigen 98%. Pemeriksaan fisik umum tidak ada perubahan. Pasien ini
didiagnosis CKD end stage, anemia renal dan hypertensive heart disease. Terapi
dengan Amlodipin 5 mg 0-0-1 tab, hemafort 2x1 tab, furosemide 40 mg 1-0-0 tab,
allopurinol 100 mg 0-0-1 tab, pro transfusi PRC 1 bag seling 1 hari (total 2 bag),
diet CKD 30 kkal/kgBB/hari, protein 0,6gr/kgBB/hari, takar urin. Takaran urin
menunjukkan urine output pasien ± 700 cc per 12 jam Dilakukan pemeriksaan
urinalisis dengan hasil leukosit negatif; eritrosit 50 (++); protein 100 (++);
glukosa 50 (+); ascorbat negatif; keton negatif; urobilinogen normal; bilirubin
negatif. Dilakukan juga USG abdomen pada pasien dengan hasil didapatkan PNC
(pielonefritis kronik) bilateral dan vesicolith.
Pada perawatan hari ketiga tanggal 05/05/2021 pasien sudah mulai bugar
dan napsu makan membaik. Pasien tampak sakit sedang dan kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 144/70 mmHg, nadi 85x/menit, regular kuat angkat,
respirasi 21x/menit, suhu 36,5˚C, saturasi oksigen 98%. Pemeriksaan fisik umum,
conjunctiva tidak terlalu anemis. Pasien ini didiagnosis CKD end stage, anemia
renal dan hypertensive heart disease. Terapi dengan Amlodipin 5 mg 0-0-1 tab,
hemafort 2x1 tab, furosemide 40 mg 1-0-0 tab, allopurinol 100 mg 0-0-1 tab,
transfusi PRC 1 bag seling 1 hari (total 2 bag), diet CKD 30 kkal/kgBB/hari,
protein 0,6gr/kgBB/hari, takar urin. Takaran urin menunjukkan urine output
pasien ± 500 cc per 12 jam. Hari ini pasien dilakukan transfusi PRC 1 bag. Pasien
dilakukan pemeriksaan darah 6 jam post transfusi dan didapatkan leukosit
5.600/µl; eritrosit 3,75x106/µl; Hb 8,8 g/dl; Ht 28,8 %; trombosit 188 x 103/µl;
MCHC 34,3 g/dl; MCV 96,8 fL; MCH 31,1 pg. Pasien direncanakan rawat jalan
jika Hb sudah mencapai ≥8 g/dl.
Pada perawatan hari keempat tanggal 06/05/2021 pasien tidak ada keluhan
dan napsu makan pasien baik. Pasien tampak sakit sedang dan kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 150/70 mmHg, nadi 90x/menit, regular kuat angkat,
respirasi 20x/menit, suhu 36,3˚C, saturasi oksigen 98%. Pemeriksaan fisik umum
dalam batas normal. Pasien ini didiagnosis CKD end stage, anemia renal dan
hypertensive heart disease. Terapi dengan Amlodipin 5 mg 0-0-1 tab, hemafort
2x1 tab, furosemide 40 mg 1-0-0 tab, allopurinol 100 mg 0-0-1 tab, diet CKD 30
kkal/kgBB/hari, protein 0,6gr/kgBB/hari. Hari ini pasien rawat jalan dan
dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik 1 minggu kemudian.
BAB III
PEMBAHASAN

Chronic Kidney Disease adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi


yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Kriteria Chronic Kidney Disease (CKD)
yaitu kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dengan
manifestasi kelainan patologis, terdapat kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau dalam tes pencitraan. Kriteria yang lain yaitu laju
filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.11 Pada pasien ini ditemukan ada riwayat asam urat
dan darah tinggi yang tidak terkontrol sejak dua puluh tahun yang lalu.

Tabel 1. Stadium Penyakit Ginjal Kronik


Stadium Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau ↑
2 60 – 89
Kerusakan ginjal dengan LFG ↑ ringan
3 30 – 59
Kerusakan ginjal dengan LFG ↑ sedang
4 15 – 29
Kerusakan ginjal dengan LFG ↑ berat
5 ˂ 15 atau dialisis
Gagal ginjal

Sumber : The Renal Association, 2013

Nilai LFG dapat menjadi penunjang diagnosis dimana nilai LFG


menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien sekaligus
sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah gagal ginjal yang
dialami, maka nilai LFGnya akan semakin kecil. Penyakit ginjal kronis stadium
akhir disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan klinisnya dapat ditinjau dengan
melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan LFG sebagai presentase dari
keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN).
Nilai LFG didapat dari perhitungan kadar kreatinin, usia dan berat badan pasien
dengan menggunakan rumus Cocroft-Gault :12
LFG = (140-usia) x BB / (72 x kadar kreatinin plasma) –> hasilnya dikalikan 0,85
untuk pasien wanita. Pada pasien ini didapatkan nilai LFG = 3,8. Berdasarkan
klasifikasi stadium penyakit ginjal kronis, pasien dapat diklasifikasikan dalam
stadium 5 dengan LFG < 15.

Disamping perhitungan LFG menggunakan rumus Cocroft-Gault, saat ini


disarankan perhitungan dengan menggunakan rumus Chronic Kidney disease
epidemiology collaboration (CKD-EPI). CKD-EPI dapat dihitung menggunakan
data pasien berupa jenis kelamin, usia pasien, ras, dan kreatinin serum pasien.
Dengan menggunakan rumus CKD-EPI, nilai LFG pada pasien ini yaitu 3,8
ml/min/1.73m2 dan diklasifikasikan dalam penyakit ginjal kronis stadium 5.13

Kejadian CKD di setiap negara berbeda-beda, penyebab utama chronic


kidney disease di Amerika yaitu Diabetes Melitus dengan insidensi penyakit
mencapai 44% dan hipertensi mencapai 27%, faktor resiko lainnya yaitu
glomerulonefritis, nefritis interstisialis, penyakit sistemik, neoplasma, dan lain-
lain.11,14 Penelitian yang dilakukan oleh Triyanti dkk di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi dan
chronic kidney disease.5 Penelitian yang dilakukan oleh Suryadi juga menemukan
hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi dan chronic kidney disease.
Dari hasil analisis didapatkan responden yang mempunyai riwayat hipertensi 3
kali berisiko menderita chronic kidney disease dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat hipertensi.15

Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi


arteriol aferen dan terjadi penyempitan arteriol eferen akibat perubahan struktur
mikrovaskuler. Kondisi ini akan menyebabkan iskemik glomerular dan
mengaktivasi respon inflamasi. Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator
inflamasi, endotelin dan aktivasi angiotensin II intrarenal. Kondisi ini akan
menyebabkan apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan deposit pada
mikrovaskuler glomerulus dan terjadilah sclerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.16
Patofisiologi chronic kidney disease pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa
nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi
“kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan
tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka
panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas chronic kidney disease adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.11,16 Pada kasus ini yang
menjadi penyebab chronic kidney disease adalah hipertensi pada pasien yang
sudah dialami sejak dua puluh tahun yang lalu.

Hipertensi merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik melalui


suatu proses yang mengakibatkan hilangnya sejumlah besar nefron fungsional
yang progresif dan irreversible. Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik
pada arteriol dan glomeruli diyakini dapat menyebabkan sclerosis pada pembuluh
darah glomeruli atau yang sering disebut dengan glomerulosklerosis. Penurunan
jumlah nefron akan menyebabkan proses adaptif yaitu meningkatnya aliran darah,
peningkatan LFG dan peningkatan keluaran urin di dalam nefron yang masih
bertahan. Proses ini melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta perubahan
fungsional yang menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus di dalam
nefron yang masih bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama
dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi
sklerotik yang terbentuk semakin banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasi
glomerulus, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, dan
menimbulkan lingkaran setan yang berkembang secara lambat yang berakhir
sebagai penyakit Gagal Ginjal Terminal. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal
tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi.
Semakin tinggi tekanan darah dalam waktu lama maka semakin berat komplikasi
yang dapat ditimbulkan. Teori ini diperkuat oleh penelitian yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara lama hipertensi dengan kejadian penyakit ginjal
kronik, semakin lama menderita hipertensi maka semakin tinggi risiko untuk
11,14,17
mengalami kejadian penyakit ginjal kronik. Pasien ini datang dengan tensi
180/100 mmHg yang kemudian turun menjadi 150/70 mmHg ketika pulang.

Pada stadium yang paling dini chronic kidney disease terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 11,16 Pada kasus ini, LFG
pasien 3,8 ml/menit/1,73m2

Terapi pada chronic kidney disease yaitu pengobatan edema dengan


diuretik loop, disertai pengobatan hipertensi dengan menggunakan ACE Inhibitor
dan penghambat kalsium serta pengobatan kausal sebagai pencegahan terhadap
komplikasi seperti transfusi darah, pembatasan cairan dan elektrolit. 11,19 Pada
pasien ini telah diterapi dengan furosemide sebagai diuretik, untuk hipertensi nya
diterapi dengan amlodipin. Pengobatan kausal lainnya yaitu telah dilakukan
pembatasan cairan dengan memantau urin output selama 24 jam.

Pada pasien dengan chronic kidney disease, terjadi anemia pada 80-90%
pasien.18,20 Anemia renal diakibatkan oleh karena proses inflamasi kronik dari
tubuh pada pasien dengan disfungsi renal. Faktor-faktor yang berkontribusi pada
kejadian anemia antara lain defisiensi eritropoietin, defisiensi besi, kehilangan
darah, dan pemendekan umur sel darah merah. Anemia pada penyakit ginjal
kronik disebabkan karena ketidakmampuan tubuh memproduksi eritropoietin,
sehingga berakibat pada menurunnya sintesis hemoglobin, eritropoietin yang
merupakan bagian penting dalam eritrositosis diproduksi sebagian besar oleh
tubulus proksimal ginjal. Disamping itu, pada pasien yang menjalani hemodialisa
biasanya beresiko kehilangan zat besi 3-5 gram pertahun. Dimana angka ini lebih
tinggi 20x dibantingkan pasien dengan fungsi ginjal normal.19,20

Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 10-11 gr/dl.11,18


Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 gr/dL dan
hematokrit >30% baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila
dengan terapi konservatif target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan
terapi EPO. Terapi yang angat efektif dan menjanjikan telah tersedia
menggunakan rekombinan human eritropoietin yang telah diproduksi untuk
aplikasi terapi,yang diberikan intravena kepada pasien hemodialisa telah
dibuktikan data meningkatkan eritropoietin yang drastic. Hal ini memungkinkan
untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir.
Penelitian membuktikan bahwa saat sejumlah eritropoietin diberikan intravena 3x
seminggu setelah setiap dialisa pasien merespon dengan peningkatan Ht dalam
beberapa minggu.21 Pada pasien ini telah dilakukan transfusi PRC 2 kantong, Hb
sebelumnya 6,9 gr/dl setelah di transfusi meningkat menjadi 8,8 gr/dl.

Progresivitas penyakit ginjal kronik tergantung pada usia, etiologi, dan


individu. Pernah dilaporkan bahwa nilai LGF yang rendah, albuminuria yang
tinggi, usia muda, dan jenis kelamin laki-laki berasosiasi pada lebih cepatnya
progresivitas penyakit. Mortalitas pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
adalah 56% sedangkan pada pasien stadium 4-5 angka mortalitasnya adalah
sebesar 76%. 16,17

Untuk menghambat perburukan fungsi ginjal agar tidak terjadi hiperfiltrasi


glomerulus, harus diperhatikan asupan protein dan kalori, protein pada pasien
diberikan 0,6 gram/kgBB ideal/hari dan kalori 30 kkal/kgBB/hari, juga
dibutuhkan pemantauan terhadap status nutrisi pasien. Bila terdapat malnutrisi,
jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan karbohidrat
dan lemak, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi
urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. 11,19
Pada pasien untuk asupan gizi nya sudah dikontrol oleh bagian gizi RSUD
Noongan.
KESIMPULAN

Seorang laki-laki, Tn. RD, umur 63 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit


Dalam RSUD Noongan tanggal 02 Mei 2021 dengan keluhan utama lemah badan
disertai dengan penurunan napsu makan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
dengan riwayat darah tinggi sejak 20 tahun yang lalu dan asam urat sejak 10 tahun
yang lalu serta riwayat batu saluran kemih sejak 5 tahun yang lalu, pasien
didiagnosis dengan penyakit CKD end stage, anemia renal dan hypertensive heart
disease. Komplikasi yang dialami pasien yakni anemia renal. Terapi yang
diberikan adalah pemberian Amlodipin 5 mg 0-0-1 tab, hemafort 2x1 tab,
furosemide 40 mg 1-0-0 tab, allopurinol 100 mg 0-0-1 tab, transfusi PRC 1 bag
seling 1 hari (total 2 bag), diet CKD 30 kkal/kgBB/hari, protein 0,6gr/kgBB/hari.
Pasien diedukasi dengan diet makanan rendah protein, rendah garam, dan minum
sesuai dengan jumlah urin dalam 24 jam kurang lebih 500-1500 ml perhari,
melakukan aktivitas fisik ringan, minum obat teratur. Prognosis ad vitam pasien
yaitu dubia ad bonam, prognosis ad functionam pasien ad malam dan prognosis ad
sanationam pasien yaitu dubia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta: Pusat


Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017. h.
1-4.

2. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary D. Penyakit Ginjal


Kronis. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik
Klinis. Jakarta: Interna Publishing; 2015.h. 437-42.

3. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Setiadi S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setiyohadi B, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. h. 2159-65.

4. Coresh J, et al. Prevalence of Chronic Kidney Disease in the United States.


JAMA. 2011;298(17):2038-47.

5. Triyanti K, Suhardjono P, Soewondo H. Renal Function Decrement in


Type 2 Diabetes Mellitus Patient in Cipto Mangunkusumo Hospital. Acta
Med Indones. 2012;40(4):192-200.

6. Thomas R, Kanso A, Sedor J. Chronic Kidney Disease and Its


Complication. Prim Care. 2012;35(2):329.

7. Hidayat R, Azmi S, Pertiwi D. Hubungan Kejadian Anemia dengan


Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien yang di Rawat di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP dr M Djamil Padang Tahun 2010. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2016;5(3):546-9.

8. Prodjosudjadi W, Suhardjono, Suwitra K, Pranawa, Widiana I, et al.


Detection and prevention of chronic kidney disease in Indonesia: Initial
community screening. Nephrology. 2015;14:669-74.

9. Aisara S, Azmi S, Yanni M. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal


Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP dr M Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2018;7(1):42-8.

10. Jaliana, Suhadi, Sety LO. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian Asam Urat pada Usia 20-44 Tahun di RSUD Bahteramas
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Jimkesmas. 2018;3(2):3-11.

11. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K


Ms, Setiati S, editors. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. 6 ed. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2014:1979-81.
12. Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Praktis CDK 237.
2016;43(2):148-154

13. Levey AS, Steven LA, Schmid CH, Zhang YL, Castro AF, 3 rd, Feldman
HI, et al. A new Equation to estimate glomerular filtration rate. Ann Intern
Med. 2009;150(9):604-12.

14. Gansevoort R, Correa R, Hemmelgarn B, Jafar T, Heerspink H, Mann J,


et.al. Global Kidney Disease 5. Chronic kidney disease and cardiovascular
risk: epidemiology, mechanisms, and prevention. The Lancet.
2013;382:339-352.

15. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work


Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3(1):
1-150.

16. Suryadi T. Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. MKS 2014;46(4): 275-281

17. Levey AS, Jong PE, Coresh J, Nahas MEI, Astor BC, Matsushita K,
Gansevoort RT, Kasiske BL, Eckardt KU. The definition, classification
and prognosis of chronic kidney disease: a KDIGO Controversies
conference report. Kidney international.2011;80:17-28.

18. Firmansyah A. Diagnosis dan Tata Laksana Nefrosklerosis Hipertensif.


CDK-201 2013;40(2): 107-111

19. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Managemen Anemia pada


Pasien Gagal Ginjal Kronik. Diakses dari :
http://www.kpcdi.org/2016/05/19/managemen-anemia-pada-pasien-gagal-
ginjal-kronik/

20. Kandarini Y. Penatalaksanaan nutrisi pada pasien PGK Pradialisis dan


dialysis. Diakses dari :
http://erepo.unud.ac.id/5042/1/2ca63915d3ca6ac4c4064aeef2a9ac.pdf.

21. Bonomini M, Vecchio LD, Sirolli V, Locatelli F. New treatment


approaches for the Anemia of CKD. American Journal of Kidney Disease.
2016;67(1):133-142.

Anda mungkin juga menyukai