ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Hidup dan mati adalah kehendak takdir Tuhan. Kematian bagi seorang
tidak bisa ditentukan kapan dan di mana dia meninggal. Untuk itulah, tempat
pekuburan atau makam menjadi penting untuk menampung seorang yang
akan meninggal dunia. Di beberapa tempat di Jawa Tengah, persoalan
menguburkan jasad manusia masih banyak penolakan.
TPU yang diklaim milik Islam ini disangkal oleh mereka. Sudah sejak
turun-temurun makam yang ada di desa tersebut makam bersama tanpa sekat
batasan agama, suku dan sebagainya. Pihak keluarga menghendaki
dikebumikan dengan adat penghayat yang telah ada, bukan dengan cara
agama Islam. Bahkan, dulu ketika seorang penghayat yang meninggal dunia,
orang-orang tua yang penganut kepercayaan boleh dikebumikan di makam
desa.4 Perselisihan ini berlanjut hingga pihak keluarga bersikap mengalah,
lantaran tak ingin jasad Marto Mardin terlunta-lunta. Pihak keluarga melunak
dengan segala permintaan pihak desa, termasuk cara pengebumian dengan
cara Islam. Akhirnya dengan segala keterpaksaan, Marto Mardin
dikebumikan dengan cara islam.5
3
Lihat eLSA Report on Religious Freedom edisi 29 April 2014, hlm. 1 dan 3.
4
Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma yang meninggal dunia, Muri di rumahnya, 6
April 2014.
5
Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma Desa Tegal Wiru, 6 April 2014
areal tanah yang harus disediakan dan atau digunakan untuk memakamkan
mayat dengan ukuran yang telah ditentukan.6
Selain soal definisi makam, ada juga istilah singkat soal bentuk
makam, apakah itu makam cadangan, makam tumpang atau makam keluarga.
Makam diartikan sebagai areal tanah tempat mayat dimakamkan. Sementara
Makam Cadangan adalah tanah makam yang dipesan dan dicadangkan untuk
makam dikemudian hari. Dan Makam Tumpang adalah tanah makam yang
digunakan untuk dua mayat atau lebih dalam suatu keluarga.
6
Coba lihat soal defisini makam, pemakanan dan ihwal pemakaman dalam Peraturan Daerah
Nomor 10 tahun 2009 tentang penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Pemakaman Jenazah di
Kota Semarang, lihat juga Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum
Kota Semarang.
7
Lihat eLSA Report on Religious Freedom edisi 29 April 2014, hlm. 1
8
Laporan investigasi Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang tahun 2014, tidak
diterbitkan.
Persoalan kematian bagi pengahayat yang mayoritas ditolak oleh
kaum Muslim menandakan beragamnya penganut Islam yang ada di
Indonesia, khususnya di Jawa Tengah. Ada tokoh agama dan desa kompak
menolak kehendak minorotas warga ini. Hal ini tentu menjadi masukan
bersama, sudahkah Islam memberi jaminan bagi tetangga-tetannga yang tidak
berisik. Ataukan tetangga yang dianggap berisik itu sebagai benalu dan tak
pantas hidup di bumi Jawa. Atas dasar inilah, perlu dilihat bahwa dunia
pemakaman, khususnya pemakaman bagi penghayat kepercayaan masih
banyak masalah, kerap terjadi penolakan di mana-mana. Negara tidak boleh
absen dan tutup mata untuk melayani semua warga untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya.
10
Definisi penghayat dijelaskan oleh Sutrimo, wakil ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan
(HPK) Provinsi Jawa Tengah saat acara Focus Group Discussion Lembaga Studi Sosial dan
Agama di Semarang, Agustus 2013.
11
Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Bisa juga dilihat sebagaimana
dalam eLSA Report on Religious Freedom, edisi 21 Agustus 2013.
Buku panduan ditulis dengan bahasa jawa krama dengan Panuntut Agung
Kerokhanian, Sri Gutama dan Tuntutan Agung Sri Pawenang.
13
Baca bab-bab yang ada dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan
dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman.
berbeda mendapatkan haknya yang sama di sini. Peraturan Bersama 2009,
dengan tegas menjelaskan hal tersebut.
14
Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma yang meninggal dunia, Muri, 6 April 2014
15
Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma Desa Tegal Wiru, Supriyono, 6 April 2014
Uniknya, surat itu kemudian disebarkan sebanyak 100 lembar
hingga sampai di rumah--rumah tetangga. Muri selaku pihak yang telah
tanda tangan ternyata tak mendapat salinan berkas tersebut. Dalam surat
penyataan pindah agama, penulis menemukan salinan berkasnya yang
isinya menyebut: “jika Muri mengingkari pernyataan pindah agama
akan menanggung segala resiko kemudian hari.” 16
23
Ibid.,
24
Baca Ceptudin, “Trijaya Miliki Pemakaman Khusus Penghayat” dalam Elsa Report on Religious
Freedom, edisi 29 April 2014, hlm. 5-6
25
Diskusi dengan tokoh Waspada, dalam sebuah Focus Group Discusiion, Mei 2014
penghayat misalnya berhak memperoleh perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini
kepercayaannya. Di masing-masing daerah di mana ada penghayat,
pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga persatuan, kesatuan,
kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan
kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan
nilai sosial budaya.26
28
Lihat UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Administrasi Kependudukan masing-masing dengan sikap yang berbeda-
beda terhadap Penghayat Kepercayaan.
29
Lihat dalam Darori Amin (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000,
hlm. 107, hlm. 127-128
30
Clifford Geertz, The Religion of Java, penj, Aswab Mahasin dan Nur Rasuanto, Agama Jawa:
Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014, hlm. 89-90
31
Clifford Geertz, The Religion of Java, hlm. 90.
budaya lokal Jawa terlihat dalam tradisi Idul Fitri, di mana umat Islam
menyajikan lontong dan kupat. Secara kertabahasa, kupat diartikan secara
ngaku lepat (mohon maaf), sementara lontong diartikan sebagai olone
kothong atau kesalahannya habis.32 Makam juga diartikan sebagai astana,
pemakaman keramat atau pemakaman yang biasanya dipakai untuk orang
terpandang.
IV. Simpulan
V. Daftar Pustaka