Anda di halaman 1dari 19

Potret “Suram” Kematian Penghayat Sapta Darma1

Oleh: Nazar Nurdin2

ABSTRAK

Persoalan penolakan pemakaman penghayat kepercayaan, terutama jasad Sapta


Darma masih kerap terjadi di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Penolakan
pemakan terjadi karena jasadnya ditolak dimakamkan oleh warga di tempat
pemakaman umum. Banyak warga yang beragama islam, dan terkadang aktor
pemerintah desa menganggap makam desa adalah milik makam muslim, sehingga
orang yang tidak beragama dinilai tidak berhak untuk dimakamkan. Persoalan
yang ini mengindikasikan negara tidak selalu hadir dalam penyediakan tempat
berteduh bagi warga negaranya. Tentu, jika sudah ada pengertian antara
pemerintah, warga dan penghayat, masalah pemakaman tidak ada saling menolak.
Negara juga mesti bersikap sebagai pengayom bersama, menjamin lahan
pemakaman bagi semua warga negaranya. Makam-makam yang sudah ada saat ini
banyak diklaim menjadi makam orang islam. Negara semestinya bisa berperan
adil dalam menjamin kehidupan maupun kematian bagi warga negaranya.
Penulisan ini menggunakan pola snow ball. Beberapa narasumber telah dilakukan
wawancara secara mendalam, hingga dari kehidupan mereka hingga ditemukan
soal pemakaman. Kajian ini tentu bisa menambah khazanah keislaman Indonesia,
bahwa soal pemakaman menjadi instrumen penting bahwa Islam hadir bukan
untuk menolak segala tuduhan.

Key Word: Negara, Penghayat Kepercayaan, Kematian, dan Islam

I. PENDAHULUAN

Hidup dan mati adalah kehendak takdir Tuhan. Kematian bagi seorang
tidak bisa ditentukan kapan dan di mana dia meninggal. Untuk itulah, tempat
pekuburan atau makam menjadi penting untuk menampung seorang yang
akan meninggal dunia. Di beberapa tempat di Jawa Tengah, persoalan
menguburkan jasad manusia masih banyak penolakan.

Berdasarkan penelitian Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang


tahun 2014 khusus pada Penghayat Kepercayaan, ada banyak kasus yang
1
Tulisan ini dibuat untuk Annual International Conference on Islamic Studies di STAIN
Samarinda, 21-24 November 2014 dengan tema utama “Merespon Tantangan Masyarakat
Multikultural: Kontribusi Kajian Islam Indonesia (Responding the Chalenges of Multicultural
Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies).”
2
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Jurnalis dan Peneliti di Lembaga Studi
Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Jawa Tengah.
dialami khusus mengenai penolakan masyarakat terhadap penolakan warga
penghayat. Setidaknya, ada dua kabupaten yang tercatat mengalami hal itu,
yaitu Kabupaten Pati dan Kabupaten Brebes yang terjadi pada penganut
kepercayaan Sapta Darma. Di Pati, penolakan terjadi di Dukuh Tlogowiru,
Desa Tegalharjo, Desa Tegalwiru, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Sementara di Brebes, penolakan terjadi di Desa Cikandang,
Kecamatan Kersana; Desa Wanasari, Kecamatan Wanasari dan Desa Sikancil,
Kecamatan Larangan.3

Di Pati misalnya, sesepuh penghayat Sapta Darma bernama Marto


Mardi ditolak pemakamannya. Penolakan disuarakan langsung oleh aparat
desa bersama pimpinan desa yang tidak menghendaki dimakamkan di tempat
umum. Pihak desa meminta penghayat yang meninggal dunia dikebumikan di
pekarangannya sendiri. Perkara ini kemudian menjadi masalah, ketika pihak
keluarga ternyata tidak mempunyai lahan pemakaman tersendiri, kemudian
mengharap bisa dimakamkan di TPU. Pihak desa tidak mau mengakomodir
permintaan tersebu, sementara pemakaman desa yang ada diklaim milik
makam orang Isalm. Sehingga, ketika ada yang meninggal harus dimakamkan
dengan cara agama Islam.

TPU yang diklaim milik Islam ini disangkal oleh mereka. Sudah sejak
turun-temurun makam yang ada di desa tersebut makam bersama tanpa sekat
batasan agama, suku dan sebagainya. Pihak keluarga menghendaki
dikebumikan dengan adat penghayat yang telah ada, bukan dengan cara
agama Islam. Bahkan, dulu ketika seorang penghayat yang meninggal dunia,
orang-orang tua yang penganut kepercayaan boleh dikebumikan di makam
desa.4 Perselisihan ini berlanjut hingga pihak keluarga bersikap mengalah,
lantaran tak ingin jasad Marto Mardin terlunta-lunta. Pihak keluarga melunak
dengan segala permintaan pihak desa, termasuk cara pengebumian dengan
cara Islam. Akhirnya dengan segala keterpaksaan, Marto Mardin
dikebumikan dengan cara islam.5

Dalam aturan soal pemakaman, kegiatan pemakaman bisa diartikan


sebagai kegiatan memakamkan mayat atau kerangka mayat di tempat
pemakaman. Mayat atau jasad orang yang secara medis dinyatakan telah
meninggal dunia harus dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU), di
mana areal tanah yang digunakan untuk keperluan pemakaman mayat yang
dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Untuk tanah makam adalah

3
Lihat eLSA Report on Religious Freedom edisi 29 April 2014, hlm. 1 dan 3.
4
Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma yang meninggal dunia, Muri di rumahnya, 6
April 2014.
5
Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma Desa Tegal Wiru, 6 April 2014
areal tanah yang harus disediakan dan atau digunakan untuk memakamkan
mayat dengan ukuran yang telah ditentukan.6

Selain soal definisi makam, ada juga istilah singkat soal bentuk
makam, apakah itu makam cadangan, makam tumpang atau makam keluarga.
Makam diartikan sebagai areal tanah tempat mayat dimakamkan. Sementara
Makam Cadangan adalah tanah makam yang dipesan dan dicadangkan untuk
makam dikemudian hari. Dan Makam Tumpang adalah tanah makam yang
digunakan untuk dua mayat atau lebih dalam suatu keluarga.

Penolakan pemakaman pada Sapta Darma juga terjadi di Desa


Cikandang, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes pada tahun 2010. Di
tempat itu, warga setempat menolak pemakamkan jasad warga Sapta Darma
di TPU. Penolakan tersebut kemudian berimbas dengan dimakamkannya
jasad penganut Sapta Darma di pekarangan pribadi. Begitupun yang terjadi di
Desa Wanasari, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes pada pemeluk Sapta
Darma pada tahun 2007 dan berulang tahun 2012. Agar pengalaman pahit tak
terulang, pihak penghayat Sapta Darma setempat diminta membuat tempat
pemakaman sendiri, tidak boleh dicampur dengan makam orang Islam.7

Sementara penolakan di Desa Sikancil, Kecamatan Larangan,


Kabupaten Brebes terajdi pada tahun 2011. Di tempat ini, ada kejadian
makam pemeluk Sapta Darma yang dibongkar karena berada di tempat
pemakaman umum. Pembongkaran dilakukan oleh masyarakat setempat yang
tak ingin ada jasad penghayat dimakamkan di tempat pemakaman yang
mayoritas berisi makam umat Islam. Para penghayat kemudian diminta
membuat tempat pemakaman sendiri. Persoalan ini pun masih belum
memiliki solusi, lantaran pemilik Sapta Darma belum mempunyai lahan
khusus yang diperuntukkan bagi warga Sapta Darma yang meninggal dunia.8

Terlepas dari adanya banyak masalah terkait makam baik penolakan,


makam yang diperjualbelikan, pengelola makam menolak, hingga orang tak
mampu membayar biaya makam, ada masalah serius yang dihadapi
masyarakat. Bahwa, ada fakta penolakan kerap terjadi di kehidupan
bermasyarakat, baik dari warga tersendiri maupun pihak pemerintah desa.
Negara perlu hadir untuk menengahi konflik, bukan pemantik api penolakan.

6
Coba lihat soal defisini makam, pemakanan dan ihwal pemakaman dalam Peraturan Daerah
Nomor 10 tahun 2009 tentang penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Pemakaman Jenazah di
Kota Semarang, lihat juga Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum
Kota Semarang.
7
Lihat eLSA Report on Religious Freedom edisi 29 April 2014, hlm. 1
8
Laporan investigasi Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang tahun 2014, tidak
diterbitkan.
Persoalan kematian bagi pengahayat yang mayoritas ditolak oleh
kaum Muslim menandakan beragamnya penganut Islam yang ada di
Indonesia, khususnya di Jawa Tengah. Ada tokoh agama dan desa kompak
menolak kehendak minorotas warga ini. Hal ini tentu menjadi masukan
bersama, sudahkah Islam memberi jaminan bagi tetangga-tetannga yang tidak
berisik. Ataukan tetangga yang dianggap berisik itu sebagai benalu dan tak
pantas hidup di bumi Jawa. Atas dasar inilah, perlu dilihat bahwa dunia
pemakaman, khususnya pemakaman bagi penghayat kepercayaan masih
banyak masalah, kerap terjadi penolakan di mana-mana. Negara tidak boleh
absen dan tutup mata untuk melayani semua warga untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya.

Sekali lagi, persoalan pemakaman masih menyimpan persoalan yang


sangat beragam. Ada dua hal masalah yang coba dirumuskan. Pertama, potret
penolakan pemakaman penghayat kepercayaan Sapta Darma di beberapa
tempat di Jawa Tengah. Kedua, sejauh mana peran negara dalam mengurai
masalah persaolan pemakaman penghayat dalam kaitannya juga dengan
kehidupan Islam di Jawa Tengah

II. POTRET PENOLAKAN PEMAKAMAN PENGHAYAT


a. Mengenali Penghayat Kepercayaan

Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau yang


kerap dikenal Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui
dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Cara menghayati dan mempercayai kepada Tuhan dilakukan
melalui pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan
berdasarkan keyakinan, yang kemudian diwujudkan dengan perilaku
ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan. Selain itu, pengamalan budi
luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia juga
dijadikan pedoman.9

Pengertian di atas adalah definisi yang dirumuskan pemerintah.


Para penghayat kepercayaan mempunyai definisi tersendiri. Para
penghayat mengartikan dirinya sendiri sebagai orang Indonesia yang
melaksanakan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara
melaksanakan dan mengikuti ajaran leluhur nusantara, di luar agama
resmi yang diakui negara. Kepercayan kepada Tuhan merupakan ajaran
atau pedoman kehidupan peninggalan leluhur nusantara yang secara
umum mempunyai dua nilai dasar, yaitu: niai religus, yaitu nilai-nilai
9
Lihat Pasal 1 dalam Ketentuan Umum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/41 tahun 2009 tentang pedoman pelayanan kepada
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
penyembahan seseorang kepada Tuhan, atau dengan kata lain hubungan
secara vertikal; dan nilai moral atau tata cara hidup, dalam hal ini
hubungannya secara horizontal yaitu dengan sesama manusia, alam, dan
lain-lain.10

Para penghayat juga melakukan kategorisasi pada makna


penghayat, penghayatan dan kepercayaan kepada Tuhan. Penghayat
adalah yang melakukan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sementara penghayatan adalah perilaku atau bagaimana penghayat
bersikap berdasarkan ajaran leluhur yang dipegangnya, dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan ajarannya.

Secara umum, keberadaan penghayat kepercayaan dijamin dalam


konstiusi negara Indonesia. Selain UU dasar, ada juga aturan khusus soal
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor 43/41 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37
tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Pendudukan. Dalam hal administrasi, para penghayat telah
memiliki payung hukum dalam perubahan UU Nomor 24 tahun 2013
tentang Administrasi Kependudukan. Dalam aturan ini, mereka boleh
mengosongkan identitas agamanya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Jumlah penghayat Kepercayaan berdasarkan data dari Dinas


Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah di tahun 2013 berjumlah
188,127 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 56 organisasi penghayat yang
tergolong masih aktif. Jumlah organisasi di Jateng paling banyak
dibanding Yogyakarta sebanyak 13 organisasi, Jakarta sebanyak 26
organisasi, Jawa Barat sebanyak 5 organisasi, Jawa Timur sebanyak 44
organisasi. Pendataan terhadap penghayat dilakukan dengan
mengumpulkan data dan informasi dari berbagai cabang (daerah). Meski
demikian, dinas masih mengakui banyak warga penghayat yang belum
melaporkan, karena tak ingin didaftarkan secara resmi sebagai anggota
penghayat resmi. Secara kuantitas, penyebaran penghayat di Jawa Tengah
terjadi di Kabupaten Cilacap, Surakarta, Solo dan Kota Semarang.11

Salah satu penghayat yang berkembang di Jawa Tengah adalah


Sapta Darma. Penghayat ini mempunyai model tersendiri dalam
menghayati kepercayaan pada Tuhan. Mereka memiliki buku panduan
yang dijadikan pegangan, yakni ‘Wewarah Kerokhanian Sapta Darma’.

10
Definisi penghayat dijelaskan oleh Sutrimo, wakil ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan
(HPK) Provinsi Jawa Tengah saat acara Focus Group Discussion Lembaga Studi Sosial dan
Agama di Semarang, Agustus 2013.
11
Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Bisa juga dilihat sebagaimana
dalam eLSA Report on Religious Freedom, edisi 21 Agustus 2013.
Buku panduan ditulis dengan bahasa jawa krama dengan Panuntut Agung
Kerokhanian, Sri Gutama dan Tuntutan Agung Sri Pawenang.

Dalam ajarannya, tiap warga Penghayat Sapta Darma diharuskan


mengikuti tujuh acara wewarah pitu. Tujuh wewarah itu antara lain: 1)
Setya tuhu marang Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim lan Maha
Langgeng; 2) Kanthi jujur lan sucining ati, kudu setya anindakake
angger-angger ing negarane; 3) Melu cawe-cawe acancut tali wanda
njaga adeging Nusa lan Bangsane; 4) Tetulung marang sapa bae yen
perlu kanthi ora nduweni pamrih bae, kajaba mung rasa welas lan asih;
5) Wani upip kanthi kapitayan saka kekuwatane dhewe; 6) Tanduke
marang warga bebrayan kudu susila kanthi alusing budi pakarti, tansahh
agawe pepadhang lan mareming liyan; 7) Yakin yek kahanan donya iku
ora langgeng, tansah owag gingsir (Anyakra manggilingan).12

b. Aturan terkait Pemakaman Penghayat

Secara umum, ada aturan khusus mengenai pemakaman yang


termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun
1987 tentang penyediaan penggunaan tanah untuk keperluan tempat
pemakaman. Aturan ini membedakan secara kategorial tentang apa yang
dimaksud tempat pemakaman umum, tempat pemakaman bukan umum dan
tempat pemakaman khusus.

Tempat pemakaman umum, sebagaimana dalam Pasal 1 PP


tersebut, adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman
jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang
pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau di
tingkatan Pemerintah Desa. Dalam penjelasannya, bagi jenazah yang tidak
jelas identitasnya maupun agamanya, penguburannya ditempatkan dalam
lingkungan tertentu di tempat pemakaman umum tersebut.

Sementara yang dimaksud dengan tempat temakaman bukan umum


adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah
yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan
keagamaan. Dalam kaitannya dengan pemakaman bukan umum atau
pemakaman partikelir ini, peran pemerintah daerah ada dalam penentuan
izin lokasi tempat pemakaman bukan umum untuk diserasikan dengan
rencana pembangunan daerah dan ketertiban lingkungan. Sementara tempat
pemakaman khusus adalah areal tanah yang digunakan untuk tempat
pemakaman yang karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan mempunyai
12
Lihat buku panduan Wewarah Sapta Darma, diterbitkan oleh Sekretariat Tuntutan Agung Unit
Penerbitan Surokasan Yogyakarta,
arti khusus. Di luar tiga kategori tempat pemakaman tersebut, ada juga
istilah krematorium, yakni tempat pembakaran jenazah yang
pelaksanaannya dijalankan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat ataupun
Badan Hukum/Yayasan yang bergerak di bidang sosial dan/atau keagamaan
dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Daerah
dan tempat penyimpanan jenazah.13

Pada beberapa tempat di Indonesia, banyak ditemukan kelompok


masyarakat yang tidak menguburkan jenazahnya, tetapi hanya
menyimpannya. Mereka biasanya menyimpan jenazah-jenazah di dalam
lubang lubang atau gua-gua ataupun menempatkan jenazah di tempat
tempat yang terbuka, yang karena keadaan alamnya mempunyai sifat-sifat
khusus dibandingkan dengan tempat lain. Sepanjang adat tersebut masih
ada dan berlaku pada suatu kelompok masyarakat, maka Pemerintah
Daerah menentukan lokasinya. Pasal 4 PP tersebut menjelaskan mengenai
prinsip pelayanan terhadap pemakaman penduduk. Di ayat 1 ditegaskan
bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama untuk dimakamkan di
tempat pemakaman umum. Di sini, berlaku prinsip non-diskriminatif.
Semuanya berhak mendapatkan fasilitas yang sama.

Sementara soal pelayanan terhadap penghayat kepercayaan sudah


merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana dalam Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43 dan
No 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penghayat kepercayaan
dimakamkan di tempat pemakaman umum (Pasal 8 ayat 1). Jika kemudian
penghayat ditolak dimakamkan di tempat pemakaman umum yang berasal
dari tanah wakaf, maka pemerintah daerah menyediakan pemakaman
umum (ayat 2). Lahan pemakaman umum tersebut dimungkinkan
disediakan sendiri oleh Penghayat Kepercayaan (ayat 3). Kewajiban
Bupati/Walikota adalah memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang
disediakan oleh Penghayat untuk menjadi pemakaman umum (ayat 4).

Aturan tersebut juga sudah sangat terang menjelaskan kewajiban


pemerintah terhadap penghayat dalam soal pemakaman. Bahkan ketika
terjadi penolakan sekalipun, pemerintah harus memfasilitasi tersedianya
pemakaman bagi mereka. Di sini ada fungsi fasilitasi yang mestinya
dijalankan dengan baik. Tempat pemakaman umum adalah ruang bersama
bagi mereka yang sudah tiada. Tidak ada pembedaan atas nama apapun di
sini. Semua jenazah dengan latar belakang keyakinan dan agama yang

13
Baca bab-bab yang ada dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan
dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman.
berbeda mendapatkan haknya yang sama di sini. Peraturan Bersama 2009,
dengan tegas menjelaskan hal tersebut.

Jika di masyarakat terjadi penolakan pemakaman, negara tidak


boleh tinggal diam dan absen atas tindakan tersebut. Apalagi menjadi pihak
yang menolak, yang sungguh berarti tidak mengetahui aturan yang ada.
Negara melalui perangkat pemerintah seharusnya bisa menempatkan diri
sebagai pihak penengah sekaligus pengayom bagi semua warga.

c. Penolakan Pemakaman Penghayat Sapta Darma

Potret penolakan pemakaman telah terjadi di Kabupaten Pati terjadi


di keluarga besar Muri di Dusun Tlogowiru, Desa Tegalharjo, Kecamatan
Trangkil. Ayah Muri bernama Marto Mardin meninggal dan ditolak
pemakanannya. Dia meninggal dunia pada 3 November 2012, sementara
ibunya bernama Dasilah meninggal satu tahun sebelumnya. Penolakan
langsung disuarakan oleh aparat desa bersama dengan pimpinan desa
yang tidak menghendaki dimakamkan di tempat umum.

Pihak desa meminta agar warga penghayat yang meninggal dunia


dikebumikan di pekarangannya sendiri, namun dari pihak keluga
menolak dengan dalih tak mempunyai lahan pemakaman pribadi. Aparat
desa pun sama, tidak mau mengakomodir permintaan keluarga. Alasanya,
tempat pemakaman desa yang ada selama ini diklaim makam Muslim.
Sehingga, ketika ada yang meninggal harus dimakamkan dengan cara
agama Islam. Pihak keluarga Muri menyangkal, karena sudah sejak turun
temurun makam yang ada di desa tersebut adalah makam bersama tanpa
sekat batasan agama, suku dan sebagainya. Pihak keluarga menghendaki
agar nantinya dikebumikan dengan adat Sapta Darma, bukan dengan cara
agama Islam.14

Perselisihan itu berlanjut hingga pihak keluarga mengalah lantaran


tak ingin jasad Marto Mardin terlunta-lunta. Pihak keluarga melunak
dengan segala permintaan pihak desa, termasuk dengan cara
pengebumian dengan cara Islam. Akhirnya dengan segala keterpaksaan,
Marto Mardin dikebumikan dengan cara islam.15 Permasalahan belum
selesai ketika bersamaan dengan proses pemakaman beredar Surat
penyataan pindah agama atas nama Muri dan keluarganya. Surat
pernyataan dibuat oleh pihak desa di atas materai Rp 6000, sementara
Muri ‘dipaksa’ untuk membubuhkan tanda tangan.

14
Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma yang meninggal dunia, Muri, 6 April 2014
15
Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma Desa Tegal Wiru, Supriyono, 6 April 2014
Uniknya, surat itu kemudian disebarkan sebanyak 100 lembar
hingga sampai di rumah--rumah tetangga. Muri selaku pihak yang telah
tanda tangan ternyata tak mendapat salinan berkas tersebut. Dalam surat
penyataan pindah agama, penulis menemukan salinan berkasnya yang
isinya menyebut: “jika Muri mengingkari pernyataan pindah agama
akan menanggung segala resiko kemudian hari.” 16

Muri, pihak yang telah bertandangan keberatan atas sikap


pemerintah desa terhadapnya. Dia menuding Mantan Kepala Desa
Mustamar, Modin Muhtarom dan pemuka desa telah sengaja mengatur
hal tersebut. Menurut Muri, acara pemakaman semestinya disesuaikan
dengan cara adatnya masing-masing, tapi pemakaman ayahnya dengan
paksaan agama.17 Kejadian yang dialaminya ini kemudian dilaporkan ke
pengurus Sapta Darma tingkat Pati dan tingkat wilayah Jawa Tengah.

Menurut Masyhadi Widjaya, selaku tuntutan atau Sesepuh tingkat


Provinsi Jawa Tengah, kejadian yang dialami Muri dan keluarganya
hingga kini masih belum mempunyai solusi. Pihaknya sudah
berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait persoalan tersebut, tapi
belum diketemukan solusinya.18

Potret penolakan yang sama terjadi empat tahun lalu di Desa


Cikandang, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes. Di tempat ini,
semula masyarakat setempat menolak pemakamkan jasad warga Sapta
Darma di tempat pemakaman umum. Penolakan tersebut berimbas
dengan dimakamkan jasad tersebut di pekerangan milik pribadi. Hal yang
terjadi di Desa Wanasari, Kecamatan Wanasari. Di desa ini, penolakan
pemakaman jenazah terhadap pemeluk Sapta Darma di tempat
pemakaman umum. Penolakan pemakaman pertama terjadi pada tahun
2007, dan terjadi lagi pada tahun 2012. Dengan pengalaman pahit itulah
kemudian pihak penghayat Sapta Darma setempat diminta membuat
tempat pemakaman sendiri, tidak boleh dicampur dengan makam orang
Islam.19

Menurut salah seorang tuntunan Sapta Darma Kabupaten Brebes,


Sarkad mengatakan, perintah untuk membuat makam khusus bagi
pemeluk Sapta Darma lantaran adanya desakan dan penolakan dari tokoh
agama Islam setempat. Mereka minta agar pemerintah melarang orang
16
Lihat tulisan Nazar Nurdin, “Perangkat Desa Menolak Pemakaman Sapto Darmo” dalam eLSA
Report on Religious Freedom, edisi 29 April 2014, hlm. 3-14
17
Wawancara dengan Muri di kediamannya, 6 April 2014
18
Wawancara dengan Masyhadi Widjaya di kantor Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK)
Kabupaten Pati, 5 April 2014
19
Lihat Khoirul Anwar, “Warga Tolak Pemakaman Penghayat Brebes” dalam eLSA Report on
Religious Freedom, edisi 29 April 2014
yang agamanya kosong membuat makam di pekarangan sendiri. Karena
tak ingin ada konflik, warga Sapta Darma di Desa Wanasari membuat
makam tersendiri yang dipakai hingga sendiri di atas tanah milik salah
seorang pemeluk Sapta Darma. Pembangunan makam khusus ini murni
dibiayai oleh warga penghayat dan tidak mendapat bantuan dari
pemerintah. Di makam baru itu, sudah ada tiga makam pemeluk Sapta
Darma, yaitu makam Warsinah, Duriyani, dan Tanyu.20

Penghayat Sapta Darma yang lain, yang berada di Desa Sikancil,


Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes pada tahun 2011 juga mendapat
insiden soal makam. Berbeda dari sebelumnya, makam pemeluk Sapta
Darma dibongkar oleh warga karena berada di tempat pemakaman
umum. Pembongkaran dilakukan oleh masyarakat setempat, karena tak
ingin ada jasad penghayat dimakamkan di tempat pemakaman yang
mayoritas berisi makam umat Islam. Para penghayat yang berada di desa
tersebut diminta membuat tempat pemakaman sendiri. Mereka pun
hingga kini belum memiliki tempat pemakaman pribadi.21

Persoalan pemakaman juga dirasakan Ki Wagiman Danu Rusanto,


selaku Ketua Pusat Pelajar Kaweruh Jiwa (PKJ). Pengalaman yang
dialami oleh Wagiman terjadi pada hampir 30 tahun lalu di Desa Segiri,
Kacamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Menurut Wagiman, di
desanya tempat pemakaman yang awalnya untuk umum, tiba-tiba diubah
menjadi makam muslim. Adanya tulisan itu membuat warga non muslim
yang meninggal tidak boleh dimakamkan di tempat tersebut. Wagiman
pun mencoba meluruskan dan mengklarifikasi adanya pemasangan papan
nama tersebut. Sebab, makam itu adalah makan yang diperuntukkan
untuk umum dan sudah berlaku sejak dulu kala. Semua orang, lanjut dia,
boleh dimakamkan di tempat makam itu. Namun, dalam prosesnya justru
didatangi oleh Komandan Koramil dan anak buahnya. Saat itu, dia
menjelaskan tentang aturan tempat pemakaman. Bahkan tidaknya hanya
soal pemakaman saja, tetapi juga hal-hal yang lain yang ada
hubungannya dengan penghayat kepercayaan, seperti soal perkawinan,
kematian.22

Soal pemakaman, Wagiman mengatakan tempat pemakaman ada


tiga model, yakni makam keluarga (khusus), makam swasta (makam
bukan umum) dan makam umum. Makam umum yaitu makam yang
sejak dulu sudah ada dan tidak diketahui siapa yang mengawali makam
20
Laporan investigasi Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang tahun 2014, tidak
diterbitkan.
21
Ibid.,
22
Baca Muhammad Zainal Mawahib, “Dulu, Segiri Pernah Dipasang Papan Makam Muslim,”
dalam Elsa Report on Religious Freedom, edisi 29 April 2014, hlm. 8-9.
itu dan tidak diketahui pula apakah itu kuburan muslim atau bukan.
Makanya, ketika siapa pun yang mati dikuburkan di situ boleh, dan tidak
boleh ada perlakuan khusus. Makam tidak boleh membedakan agama,
suku dan ras. Setelah penjelasan, Koramil menemui Kades setempat dan
menjelaskan seperti yang dijelaskan Wagiman. Akhirnya, sejak tahun itu
juga papan yang dipasang dimakam sudah tidak ada lagi.23

Soal pemakaman pribadi bagi penghayat, bagi Perguruan Trijaya


Kabupaten Tegal telah mempunyai pemakaman khusus. Pemakaman ini
diberi nama Sasono Kasidanjati ata Astana Laya yang berlokasi di
kompleks Padepokan Wulan Tumanggal. Pemakaman ini berada di
bagian atas Padepokan satu arah menuju curug wulan tumanggal yang
selama ini digunakan untuk prosesi kukup, atau ritual untuk menjadi
penghayat murni. Pemakaman itu menjadi alternatif ada yang mengalami
penolakan pemakaman di tempat umum. Setidaknya sudah ada lima
orang yang dimakamkan. Bagi mereka juga, mereka yang meninggal mau
dimakamkan di dekat Romo Guru, Istrinya dan ibu bapaknya romo guru
juga dipersilahkan. Pemakaman ini juga diketahui telah menerima
pemakaman dari dari Jakarta.24

Sementara persoalan makam di Paguyuban Kepercayaan Waspada


tidak mengenal ritual khusus dalam proses pemakaman. Jika ada anggota
paguyuban yang meninggal, maka ia dimakamkan sesuai agamanya dan
semuanya diserahkan kepada keluarganya masing-masing. Di Waspada,
tidak ada tata cara untuk pemakaman itu. Kasus yang pernah terjadi pada
anggota Kawruh Jiwa, Solo. Ayah dari seorang anggota Kawruh Jiwa,
Sukar meninggal pada tahun 1997. Ia kemudian memakamkannya di
depan rumah. Warga kemudian menggugat dan meminta jenazahnya
dimakamkan di tempat pemakaman umum.25

III. Negara dan Perlindungan Penghayat Kepercayaan


a. Perlindungan Negara terhadap Penghayat

Secara umum, perlindungan negara atau Pemerintah terhadap para


Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan
warga negara Republik Indonesia sudah tertulis dalam beberapa
peraturan. Salah satu peraturan mendasar Peratuan bersama Menteri
dalam negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam aturan itu

23
Ibid.,
24
Baca Ceptudin, “Trijaya Miliki Pemakaman Khusus Penghayat” dalam Elsa Report on Religious
Freedom, edisi 29 April 2014, hlm. 5-6
25
Diskusi dengan tokoh Waspada, dalam sebuah Focus Group Discusiion, Mei 2014
penghayat misalnya berhak memperoleh perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini
kepercayaannya. Di masing-masing daerah di mana ada penghayat,
pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga persatuan, kesatuan,
kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan
kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan
nilai sosial budaya.26

Aturan itu secara sekilas bisa membawahi payung kehidupan para


penghayat. Meski demikian, ternyata masih banyak aturan yang dinilai tak
berpihak pada penghayat, salah satunya dalam bidang perkawinan. Dalam
aturan UU Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, soal
perkawinan penghayat sudah dijelaskan secara agak rinci. Hanya saja, itu
masih sebatas pencatatan perkawinan, bukan tata pelaksanaan ataupun
mekanisme perkawinan penghayat kepercayaan.

Dalam hal adminstrasi atau pelayanan publik, negara sudah


berperan cukup besar dengan memasukkan materi penghayat dalam
berbagai aturan. Misalnya, dalam Pasal 2 dalam Pasal 28 E Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan kebebasan bagi tiap warga negaranya
untuk meyakini kepercayaan berdasar hati nuraninya. Dengan demikian,
mereka ini bukan seorang yang tidak beragama, atau ateis yang dilarang
di Indonesia. Begitu juga dalam pasal 29 ayat 2 yang memerintahkan
negara untuk menggaransi warga negaranya yang melakukan ibadah. “(2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”27

Dalam penjabaran aturan dibawahnya, ada aturan dalam UU


Nomor 23 Tahun 2006. Pasal 8 ayat 4 dalam UU tersebut misalnya,
meminta agar pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama menurut peraturan perundang-
undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan. Begitu juga dalam pasal 61 soal kolom agama.

Dalam Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga, kolom agama


masih diwajibkan untuk dicantumkan. Negara mulai sadar dan mulai
mengecualian bagi penduduk yang tidak beragama. Bunyinya seperti ini
isi pasal 61 ayat 2. “(2) Keterangan mengenai kolom agama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya
belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi
26
Lihat PP Nomor 43/41 tahun 2009
27
Lihat Revisi Undang-Undang Dasar RI tahun 1945
tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.”28 Dan Pasal
64 ayat 2 berbunyi: (2) Keterangan tentang agama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan
dicatat dalam database kependudukan.

Adanya mandat negara ini kemudian lahir Peraturan Pemerintah


Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2006
tentang Adminitrasi Kependudukan. PP ini mulai menjelaskan apa itu
penghayat dan apa surat perkawinan penghayat. Para penghayat juga
harus mencatatkan pernikahannya sebagaiman dalam pasal 81, yakni bab
XI tentang persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi
penghayat kepercayaan. Negara juga sudah meminta kepada penghayat
yang hendak kawin untuk bisa dilakukan di depan pemuka atau tokoh
penghayat.

Pemuka penghayat sendiri adalah pemuka agama yang sudah


mendapat pengesahan atau sudah didaftar pada Departemen Pariwisata
dan Kebudayaan yang secara teknis membina organisasi penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setelah itu, perkawinan
dicatatkan kepada instansi pelaksana maksimal 60 hari dengan
menyerahkan surat perkawinan penghayat kepercayaan dan syarat
administratif lain (pasal 82). Pihak pemerintah juga diwajibkan untuk
mencatat perkawinan penghayat dengan mencatat pada register akta
perkaiwnan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan penghayat.

Tahun 2013, pemerintah kembali merevisi peraturan kepada


Penghayat. Hal itu lantaran adanya kebutuhan soal Kartu Tanda Penduduk
Elektronik (e-KTP) dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24
tahun 2013. Substansi UU baru tersebut hampir sama, dan ada
penambahan sedikit untuk menjamin payung hukum secara lebih kuat.
Misalnya dalam 64 point 5 berbunyi “(5) Elemen data penduduk tentang
agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak
diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Hanya saja, ada lagi aturan di bawahnya berupa peraturan daerah


(perda) yang mempunyai kebijakan tersendiri soal penghayat. Di Jawa
Tengah, berdasarkan penelusuran penulis, tiap daerah mengeluarkan perda

28
Lihat UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Administrasi Kependudukan masing-masing dengan sikap yang berbeda-
beda terhadap Penghayat Kepercayaan.

Perda Penyelenggaran Administrasi Kependudukan di Jawa Tengah

Peraturan Daerah tentang


No Kota/Kabupaten Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan
1 Kota Semarang Perda Nomor 2 Tahun 2008
2 Kabupaten Semarang Perda Nomor 7 Tahun 2009
3 Kabupaten Cilacap Perda Nomor 6 Tahun 2010
4 Kabupaten Kebumen Perda Nomor 3 Tahun 2009
5 Kabupaten Pati Perda Nomor 14 Tahun 2009
6 Kabupaten Pemalang Perda Nomor 10 tahun 2009
7 Kabupaten Boyolali Perda Nomor 4 Tahun 2011
8 Kabupaten Grobogan Perda Nomor 3 Tahun 2010
9 Kabupaten Kendal Perda Nomor 3 Tahun 2011
10 Kabupaten Jepara Perda Nomor 2 tahun 2010
11 Kabupaten Sragen Perda Nomor 10 tahun 2011
12 Kabupaten Rembang Perda Nomor 4 Tahun 2008
13 Kabupaten Temanggung Perda Nomor 4 Tahun 2009
14 Kabupaten Sukoharjo Perda Nomor 5 Tahun 2010
15 Kota Surakarta Perda Nomor 10 Tahun 2010
16 Kota Salatiga Perda Nomor 9 Tahun 2007
17 Kabupaten Kudus Perda Nomor 12 tahun 2008
18 Kabupaten Wonosobo Perda Nomor 6 Tahun 2009
19 Kota Magelang Perda Nomor 1 Tahun 2012
20 Kabupaten Magelang Perda Nomor 5 Tahun 2010
21 Kota Tegal Perda Nomor 5 tahun 2010
22 Kabupaten Tegal Perda Nomor 1 Tahun 2010
23 Kabupaten Brebes Perda Nomor 8 tahun 2011
24 Kabupaten Wonogiri Perda Nomor 12 tahun 2011
25 Kabupaten Demak Perda Nomor 1 Tahun 2009
27 Kabupaten Blora Perda Nomor 6 Tahun 2009
28 Kabupaten Karanganyar Perda Nomor 1 tahun 2011
29 Kabupaten Klaten Perda Nomor 15 Tahun 2008
30 Kabupaten Banjarnegara Perda Nomor 1 Tahun 2009
31 Kota Pekalongan Perda Nomor 5 Tahun 2009
32 Kabupaten Banyumas Perda Nomor 6 Tahun 2010
33 Kabupaten Purworejo Perda Nomor 2 Tahun 2010
34 Kabupaten Pekalongan Perda Nomor 8 Tahun 2009
35 Kabupaten Batang Perda Nomo 1 Tahun 2010
*Data ini diolah dari berbagai sumber

Adanya perda tersebut bisa disimpulkan bahwa daerah ingin agar


soal adminitrasi kependudukan bisa berjalan cepat. Dalam Perda
Kabupaten Semarang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penyelenggaran
Administasi Kependudukan tercatat beberapa pasal mengupas penghayat.
Pasal itu antara lain pasal 27 ayat 4 dan 5, oasak 42 ayat 5. Isinya sebagai
berikut: “Pasal 27: (4) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi
penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani Surat
Perkawinan Penghayat Kepercayaan. (5) (m). foto copy surat perkawinan
penghayat kepercayaan yang telah dilegalisir (bagi penghayat
kepercayaan).

Sementara Perda Nomor 1 Tahun 2009 di Banjarnegara, penghayat


Kepercayaan diatur relatif banyak.Yakni dalam Pasal 16 ayat (4), Pasal 41,
42 dan 43 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Perkawinan bagi
Penghayat Kepercayaan. Ada juga Pasal 82 ayat 2, pasal 85 ayat 2. “Pasal
82: (2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
Data Base Kependudukan.”

Sementara di daerah lain, misalnya di Kabupaten Karanganyar


sebagaimana dalam Perda Nomor 1 Tahun 2011 hanya mengutip dengan
sumber asal di PP dan UU. Kutipan soal penghayat termuat dalam Pasal 5
(4) dan pasal 54 ayat 2. Dua pasal ini tidak menjelaskan soal penghayat
yang berarti. Begitu juga dalam Perda Nomor 12 Tahun 2008 di Kudus.
Perda di Kudus ini sama persis dengan apa yang termuat ihwal perda di
Banjarnegara soal penjelasan soal penghayat. Ada beberapa pasal dan Bab
yang diatur secara cukup rinci. Perda Nomor 5 Tahun 2010 di Kabupaten
Magelang paling lengkap merinci soal penghayat. Meski isinya hampir
sama dengan PP 37 Tahun 2007, aturan soal penghayat relatif banyak.
Misalnya dalam ketentuan umum pasal 32, 33 dan 34. Selain itu, ada di
pasal 69 (2), 72 (2), Pasal 117, 118 dan 119 serta dalam pasal 134 ayat 4.

Di Kabupaten Batang, perda Nomor 1 Tahun 2010, posisi


penghayat tidak dijelaskan. Bahkan, penghayat hanya disebut dalam
Ketentuan Umum Nomor 39, 40. Itu saja. Tentu, masih banyak perda lain
yang belum bisa dimasukkan dan dirinci dalam tulisan ini. Meski begitu,
daerah yang diberi keleluasaan untuk menyusun perda bisa bersikap
mengakomodasi dan menolak keberadaan penghayat. Tinggal kemauan
dan political wiil dari politisi daerah untuk menentukan arah ke depan para
penghayat.

b. Islam, Negara vis a vis Sapta Darma


Upaya perlindungan terhadap penghayat kepercayaan sebagian
memang sudah berlaku dalam aturan. Namun, dalam realisasinya terjadi
diskriminasi yang teramat besar. Hal yang paling terlihat adalah soal
penolakan pemakaman Penghayat Kepercayaan, baik oleh aparat desa
maupun mayoritas warga muslim.

Dalam keyakinan orang Islam, misalnya, orang yang sudah


meninggal, ruhnya dipercaya akan tetap hidup dan tinggal sementara di
alam kubur atau barzah. Kepercayaan ini sedekian alam telah diyakini
orang Jawa. Arwah bagi orang tua sebagai nenek moyang yang meninggal
dunia diyakini berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah
leluhur menetap di makam (pasareyan). Umumnya, arwah masih menjalin
kontrak degan keluarga yang masih hidup sehingga arwah bisa saja
mendatangi sanak keturannya. Roh-roh itu yang kemudian banya dikenal
sebagai dhanyang, bahureka atau sing ngemong.29 Atas dasar itulah, orang
yang meninggal dunia perlu dikirim doa, tahlilan tujuh hari, seratus hari,
satu tahun dan seribu hari.

Selain hal tersebt, pemakaman bagi orang Jawa juga dilakukan


secepat mungkin sesudah kematian. Seorang yang meninggal pagi,
siangnya sudah terbiasa dikebumikan. Alasan yang muncul adalah bahwa
roh orang yang sudah meninggal itu berkeliaran tak menentu sampai
jasadnya dikuburkan. Hal itu berbahaya bagi tiap orang, terutama bagi
keluarga. Untuk itu, makin cepat jenazah dikuburkan itu akan lebih baik,
karena rohnya kembali ke tempat yang baik.30

Setelah mendengar berita kematian, warga Jawa juga kerap kali


bertandang ke rumah korban sembari membawa beras atau makanan lain.
Beras itu kemudian diambil oleh pihak yang berduka untuk disebarkan ke
luar pintu, lalu ditanak untuk keperluan slametan. Para lelaki membawa
alat-alat pembuat nisan untuk keprluan di tempat pemakaman. Kuburan
seorang juga disiapkan ketika upacara memandikan dan memberi kain
kafan sudah dilakukan.31 Di tengah upaya Islam untuk menundukkan
budaya lokal Jawa, masih ada sikap dari orang beragama yang belum bisa
menerima hal tersebut.

Dalam hal etika maupun ibadah, barangkali Walisongo memang


telah berhasil menyulap etika dan tradisi masyarakat Jawa kuno ke dalam
sikap yang agamis tanpa melupakan tradisi. Penakulkkan islam terhadap

29
Lihat dalam Darori Amin (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000,
hlm. 107, hlm. 127-128
30
Clifford Geertz, The Religion of Java, penj, Aswab Mahasin dan Nur Rasuanto, Agama Jawa:
Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014, hlm. 89-90
31
Clifford Geertz, The Religion of Java, hlm. 90.
budaya lokal Jawa terlihat dalam tradisi Idul Fitri, di mana umat Islam
menyajikan lontong dan kupat. Secara kertabahasa, kupat diartikan secara
ngaku lepat (mohon maaf), sementara lontong diartikan sebagai olone
kothong atau kesalahannya habis.32 Makam juga diartikan sebagai astana,
pemakaman keramat atau pemakaman yang biasanya dipakai untuk orang
terpandang.

Bagi para penghayat sendiri, kematian adalah jalan menuju


kehidupan yang kekal. Menurut Suwardi,33 kematian dimaknai bagai jalan
menuju keabadian. Untuk itu, diperlukan juga ritual laiknya tahlilan.
Ketika menguburkan jenazah, warga penghayat juga melantunkan doa-doa
dan nasehat, dengan tembang. Setelah itu, peringatan arwah leluhur selalu
diperingati. Kematian sendiri merupakan hal amat sakral dan merupakan
bagian dari simbol berputarnya poros kehidupan berdasarkan takdir tuhan.

Dalam hal kematian, problem pemakaman timbul apabila tidak ada


komunikasi yang baik antara para penghayat, masyarakat sekitar dan
pejabat pemerintah. Karena berbeda keyakinan, problem sentimen dan
kesalahfahaman selalu terjadi. Hal itu sebenarnya bisa diselesaikan
diselesaikan dengan bagaimana setiap pihak bisa menjalin komunikasi
yang baik. Dalam hal kebijakan pengayoman agama, semestinya bsia
mencontoh Bupati Wonosobo, Kholiq Arief yang mampu menjadi bapak
bagi semua agama dan kepercayaan. Dia membuat kebijakan agar warga
negara bisa hidup dalam payung bersama, dan bertindak tegas bagi pelaku
yang mencoba mengusik kehidupan bersama. Kholiq mengaku memahami
mengapa Nabi Muhamamd menghormati orang Yahudi, dan hal itulah
seorang pemimpin yang sewajarnya bisa melindungi semua warganya.
Kholiq mempersiakan warganya beribadah dengan bebas, karena sama-
sama membayar pajak pada negara dan dia menggaransi rasa aman bagi
semua yang beribadah. Dia juga memberikan kemudiahan bagi umat
beragama yang hendak membangun tempat ibadah dengan melibatkan
tokoh agama setempat.34

Terlepas dari masalah dan konflik sosial yang ada, sudah


semestinya bagi negara untuk bisa mengayomi semua warga negaranya.
Para penghayat, juga mereka yang beragama Islam sama-sama membayar
upeti bagi negara, dan mempunyai hak untuk hidup di tengah masyarakat.
Ketika mereka meninggal, hak mereka juga harus dipenuhi, menyediakan
pemakaman. Masyarakat setempat juga perlu diberi pemahaman bahwa
32
Lihat dalam Darori Amin (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 107
33
Wawancara dengan tokoh Penghayat Banyumas, Suwardi dalam diskusi Forum Group
Discussion, September 2013
34
Lihat Majalah Tempo, edisi kusus Kepala Daerah pilihan tahun 2012 “Bukan Bupati Biasa”,
Edisi 10-16 Desember 2012, hlm. 74
makam umum tidak saja milik Islam, tetapi milik bersama, tanpa adanya
perbedaan suku, agama dan ras.

IV. Simpulan

Bebrapa simpulan terhadap kajian di atas. Pertama, persoalan


penolakan pemakaman para penghayat Sapta Darma secara faktual memang
terjadi di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Rata-rata, jasad warga Sapta
Darma ditolak oleh warga di tempat pemakaman umum. Banyak warga yang
beragama Islam, dan juga pemerintah desa setempat menganggap makam
desa adalah milik makam Muslim, sehingga orang yang tidak beragama
dinilai tidak berhak untuk dimakamkan. Jika ada makam, maka dibongkar
dan dipindahkan. Persoalan ini masih banyak terjadi salah satu masalahnya
karena ego sektoral, selain karena negara tidak menyediakan tempat berteduh
bagi warga negaranya. Jika sudah ada pengertian satu sama lain, masalah
pemakaman tidak ada saling menolak.

Kedua, dalam hal penolakan, negara memang sudah sepantasnya


memberikan lahan untuk makam bersama. Hal tersebut sudah ada dalam
aturan yang ada. Hanya saja, saat ini makam milik desa atau negara kemudian
banyak diklaim menjadi makam orang Islam. Negara pun terkadang absen
dan menjadi aktor penolakan pemakaman seperti yang terjadi di Pati, dan di
daerah lainnya. Negara semestinya bisa berperan adil dalam menjamin
kehidupan maupun kematian bagi warga negaranya.

V. Daftar Pustaka

Buku Panduan Wewarah Sapta Darma, Yogyakarta: Sekretariat Tuntutan


Agung Unit Penerbitan Surokasan, tt
Buletin eLSA Report on Religious Freedom, edisi 21 Agustus 2013.
---------------, Report on Religious Freedom, edisi 29 April 2014
Amin, Darori (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama
Media, 2000
Geertz, Glifford, The Religion of Java, penj, Aswab Mahasin dan Nur
Rasuanto, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam
Kebudayaan Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014
Clambert-Loir, Henri dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010
Majalah Tempo, edisi kusus Kepala Daerah pilihan tahun 2012 “Bukan
Bupati Biasa”, Edisi 10-16 Desember 2012
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor 43/41 tahun 2009 tentang pedoman pelayanan
kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan
Pemakaman Kota Semarang
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum Kota
Semarang
Undang-Undang Dasar RI tahun 1945
UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma, Muri
Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma, Supriyono
Wawancara dengan tokoh penghayat, Suwardi
Wawancara dengan tuntutan Sapta Darma Jateng, Masyhadi Widjaya
Wawancara dengan wakil ketua HPK Jateng, Sutrimo

Anda mungkin juga menyukai