Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH


ATAS PEMBERIAN IZIN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DISUSUN OLEH :

NAMA : RUSNAWATI

NIM : S2 1901358

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM


PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
TAHUN 2019

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia mulai dikaji sejak

diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

Pembangunan Nasional oleh Universitas Pajajaran Bandung pada tanggal 15 –

18 Mei 1972. Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan adalah

besarnya populasi manusia atau laju pertumbuhan penduduk. Tingkat

pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan tantangan yang dicoba

diatasi dengan pembangunan dan industrialisasi. Namun industrialisasi di

samping mempercepat persediaan segala kebutuhan hdup manusia juga

memberi dampak negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran

lingkungan.1

Kebijakan resmi setiap negara yang pro lingkungan, dapat tercermin

dalam bentuk perundang-undangan yang mengingat untuk ditaati oleh semua

pemangku kepentingan (stakeholder) pada era 1980-an. Termasuk Indonesia

yang menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan

yang dapat berlaku dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur

mengenai lingkungan hidup. Pada tanggal 11 Maret 1982 Pemerintah

Indonesia membuat satu produk hukum mengenai pengelolaan lingkungan,

dengan nama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat

dengan UKPPLH). Dengan harapan, hadirnya Undang-Undang Lingkungan

1
http://www.hpli.org/isu.php

1
Hidup dapat membuka lembar baru bagi kebijakan lingkungan hidup di

Indonesia, untuk menciptakan pengendalian kondisi lingkungan yang

memiliki harmoni yang baik dengan dimensi-dimensi pembangunan.2

UKPPLH merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang

pertama dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia. Untuk

memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang

hukum baru, yakni hukum lingkungan dengan ketentuan mengandung konsep-

konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu,

ketentuan-ketentuan UKPPLH memberikan landasan bagi kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup baik sebagai lex lata maupun sebagai

pengaturan lebih lanjut.3

Setelah berlakunya UKPPLH hampir 17 tahun, kesadaran dan kehidupan

masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup, banyak

terdapat perkembangan mengenai konsep dan masalah lingkungan yang telah

berkembang sedemikian rupa. Pokok-pokok materi sebagaimana diatur dalam

UKPPLH, perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan yang

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (sustainable development).

Sehingga, perlu ditinjau dengan membuat penggantinya. Untuk itu,

pemerintah merevisi UKPPLH dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat

dengan UUPLH) yang berlaku pada tanggal 19 September 1997.4

2
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009, hlm. 34.
3
http://kilometer25.blogspot.com/2013/02/sejarah-singkat-hukum-lingkungan.html
4
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia,
Sofmedia, Jakarta, 2012, hlm. 51.

2
UUPLH membuat berbagai pengaturan sebagai respon terhadap berbagai

kebutuhan yang berkembang atau yang tidak bisa diatasi melalui UKPPLH.

Demikian juga mengenai UUPLH yang dimaksudkan untuk menyerap nilai-

nilai yang bersifat keterburukan, paradigma pengawasan masyarakat, asas

pengelolaan dan kekuasaan Negara berbasis kepentingan publik (buttom-up),

akses publik terhadap memanfaatkan sumber daya alam dan keadilan

lingkungan (environmental justice).5

Kebijakan pembangunan nasional merupakan prinsip pembangunan

berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar pembangunan, yaitu bidang

ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Dalam penerapan prinsip

pembangunan berkelanjutan pada pembangunan nasional, memerlukan

kesepakatan semua pihak untuk mendukung ketiga pilar tersebut, untuk

menuju pembangunan secara proporsional. Pada kenyataannya menunjukkan

bahwa gambaran kebijakan nasional di bidang pembangunan lingkungan

hidup di Indonesia hingga dewasa ini, peran pemerintah tidak cukup kuat

dalam mengatasi degradasi lingkungan. Di mana perilaku stakeholders

cenderung merusak lingkungan sebagai akibat, berbagai intervensi

pembangunan yang bersifat sektoral.6

Hukum perizinan lingkungan, mengacu pada UUD 1945 yang

mengamanatkan pemerintah dan seluruh unsur masyarakat wajib melakukan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan

pembangunan berkelanjutan, agar lingkungan hidup di Indonesia tetap

5
N.H.T. Siahaan, Op.Cit., hlm. 35.
6
Lilin Budiati, Op.Cit., hlm. 20-23.

3
menjadi sumber daya dan penunjang hidup bagi masyarakat Indonesia serta

mahluk hidup lainnya.7

Secara regulatif, kebijakan untuk pengaplikasikan dan pengembangan

filosofi, konsep, paradigma dan praktik good governance dalam lingkungan

hidup diatur dalam dua ketentuan perundang-undangan, yaitu UUPPLH dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam

kedua undang-undang tersebut menyebutkan bahwa upaya mewujudkan

prinsip-prinsip kebijakan pembangunan bidang lingkungan hidup dilakukan

dengan asas dekonsentrasi dan desentralisasi.8

Hukum lingkungan, pemberlakuan UUPPLH semestinya diikuti oleh

ketaatan pengaturan bidang-bidang sektoral. Artinya ruang lingkup

pemberlakuan pengaturan bidang-bidang sektoral seharusnya menjadi bagian

UUPPLH. Persoalannya, UUPPLH berhadapan dangan pengaturan yang

setingkat yakni Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang perkebunan dan

Undang-Undang Pertambangan serta sektoral-sektoral lain yang juga diatur

dengan Undang-Undang.9

Pemerintah daerah melalui otonomi daerah memiliki kewenangan yang

lebih luas dan tegas untuk memberikan tindakan kepada perusahaan yang

melanggar kelestarian lingkungan hidup. Namun, dalam kenyataannya, hal

tersebut masih sulit untuk dilaksanakan karena ketika terjadinya suatu

permasalahan, antara pemerintah pusat dan daerah yang timbul kemudian

adalah paradigma sentralistik bahwa daerah adalah bagian dari pusat. Karena
7
Ibid., hlm. 1.
8
Ibid.
9
Helmi, Membagun Sister Perizinan Terpadu Bidang Lingkungan Hidup Di Indonesia,
Jurnal Universitas Jambi, vol. 11 no. 1, Jambi, 2011, hlm. 5.

4
daerah adalah bagian dari pusat, sehingga selama ini secara tidak langsung ada

paradigma demarjinalisasi yang menjadi kenyataan yang tidak terelakkan

dalam praktik penyelenggaraan administrasi pemerintahan negara selama ini.

Hal ini disebabkan oleh relasi yang bersifat sentralistik antara daerah pada satu

sisi dan pusat pada sisi lain diberbagai dimensi struktural. Akibatnya, dalam

kondisi terjadi kerusakan lingkungan di daerah, akan sulit bagi pemerintah

daerah untuk melakukan tindakan terhadap pihak perusahaan yang melakukan

tindakan terhadap pihak perusahaan yang melakukan pelanggaran.10

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan

banyaknya pembangunan diberbagai bidang, proses pembangunan ini

mengakibatkan mobilitas penduduk semakin meningkat sehingga keadaan ini

membuka peluang untuk meningkatkan sistem perekonomian dan

meningkatnya masalah pencemaran lingkungan. Upaya pembangunan

lingkungan dalam sistem perizinan terpadu merupakan tuntutan penting

seiring dengan penurunan kualitas pelestarian lingkungan hidup.

Izin usaha atau kegiatan dengan izin lingkungan ataupun Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seolah tidak ada hubungan sama

sekali. Izin lingkungan hanya sebagai syarat mendapatkan izin usaha atau

kegiatan. Jika sudah diperoleh izin lingkungan menjadi dokumen mati.

Walaupun perusahaan melanggar izin lingkungan, izin usaha dan/atau

kegiatan tetap tidak dapat diganggu gugat. Padahal izin usaha dan/atau

kegiatan dapat dibatalkan jika terbukti melanggar norma lingkungan.

10
Syaiful Bahri Ruray, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan &
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, Alumni, Bandung, 2012, hlm. 20.

5
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengkaji secara mendalam dan

hasilnya dituangkan dalam bentuk penelitian dengan judul “Kewenangan

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Atas Pemberian Izin

Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, mengantar penulis untuk merumuskan

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan

Tengah atas pemberian izin pengelolaan lingkungan hidup?

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelanggaran administrasi

perizinan lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa serta memberi pemahaman kepada

masyarakat, para akademisi dan aparat/perangkat pemerintah tentang

Kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Atas Pemberian

Izin Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Untuk memberi pencerahan dan kontribusi kepada masyarakat, para

praktisi hukum, para akademisi, penegak hukum tentang Kewenangan

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Atas Pemberian Izin

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan ini diharapkan sebagai berikut:

6
1. Mampu memberi pemahaman dan kontribusi positif kepada masyarakat,

praktisi, akademisi, dan pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah

Provinsi Kalimantan Tengah Atas Pemberian Izin Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

2. Guna memberi pencerahan dan kontribusi positif kepada masyarakat,

praktisi, akademisi dan pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah

Provinsi Kalimantan Tengah Atas Pemberian Izin Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

E. Metodologi Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum yaitu pendekatan yuridis normatif yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum

yang ada dalam masyarakat dan suatu aturan dengan aturan lainnya secara

hierarki.11

2. Jenis Bahan Hukum

Dalam Penelitian tersebut jenis-jenis data dan bahan-bahan hukum

yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagaimana

diuraikan di bawah ini:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang mengikat yang teridiri

atas peraturan perudnang-undangan, yaitu: Undang-Undang Dasar

11
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 175.

7
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta undang-undang lainnya yang

berkaitan dengan materi objek pembahasan.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan sekunder adalah buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah

hukum yang terkait, terdiri dari buku-buku, surat kabar, majalah,

hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, jurnal-jurnal, artikel dan

internet.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan

hukum primer atau bahan hukum sekunder, misalnya: kamus,

ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang

digunakan adalah data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dengan

buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.

4. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode

penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan

adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.

8
Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna

aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan

hukum yang dijadikan objek kajian.12

BAB II
12
Ibid., hlm. 107.

9
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Atas Pemberian

Izin Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sesuai dengan amanat UUD 1945, pemerintah daerah berwenang untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan

untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di

samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan

daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan

pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan

pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat

berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya / tetap menjadi kewenangan

Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya

kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat

concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian

atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan

pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent

senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada

10
bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang

diserahkan kepada Kabupaten/Kota.

Secara umum, kewenangan pemerintah dalam kebijakan lingkungan

hidup yang berwawasan lingkungan sebagai pengarusutamaan (mainstream)

kebijakan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota. Utuk mencapai

pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang lebih layak. Dalam

UUPPLH perizinan terdapat 2 (dua) konsep izin yakni pertama, izin

lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan

usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasarat untuk

memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal, 1 Ayat (35)). Kedua, izin

usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk

melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 Ayat (36)). Ini disebut sebagai

izin lingkungan.13

Berdasarkan UUPPLH sebagai mana tertuang pada BAB IX Pasal 62,

pada Ayat 2 disebutkan sebanyak 19 urusan, sebagai urusan wajib yang harus

dilaksanakan sebagai dasar kebijakan desentralisasi. Secara ringkas, dapat

disarikan urusan penting dalam perwujudan otonomi daerah kabupaten/kota di

bidang lingkungan meliputi kebijakan yang berkaitan dengan KLHS,

AMDAL, NSPK, penataan ruang, RPPLH, hukum lingkungan, sengketa

lingkungan, kerja sama dan kemitraan, pendidikan dan perizinan.14

13
Helmi. Op.Cit. hlm. 165.
14
Lilin Budiati, Op.Cit., hlm. 97.

11
Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan perizinan lingkungan

hidup dalam hal ini Provinsi Kalimantan Tengah mengikuti aturan-aturan dari

pemerintah. Dalam artian pemerintah pusat dalam pembagian kekuasaan

pemerintah untuk proses pengelolaan perizinan lingkungan hidup.

Dalam keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik juga telah digariskan bahwa keterpaduan sistem

penyelenggaraan pelayanan melalui jaringan informasi on-line harus

dikembangkan dengan penyediaan data dan informasi sehingga

penyelenggaraan pelayanan dapat dilakukan secara tepat, akurat dan aman.15

Pengelolaan yang baik (good goveenance) di dalam penyelenggaraan

pemerintahan merupakan bentuk akuntabilitas atas berbagai kegiatan

penyelenggaraan administrasi publik guna menciptakan pemerintahan yang

bersih dan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara adil dan

merata. Untuk itulah diperlukan reformasi dalam menghadapi tantangan dunia

regional dan global yang telah memaksa pemerintah untuk menciptakan

berbagai kebijakan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan secara

transparan serta adanya partisipasi dan akuntabilitas publik. Keadaan tersebut

memungkinkan masyarakat menuntut peningkatan kualitas pelayanan publik.16

Pasal 22 UUPPLH menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan

yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.

Sedangkan untuk setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak

15
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 231.
16
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 231.

12
penting, sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUPPLH diwajibkan untuk

memiliki UKL-UPL, AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) juga merupakan salah

satu syarat untuk mendapatkan izin lingkungan.17

Cara mendapatkan izin usaha pertambangan batubara, setiap pemohon

diwajibkan memiliki izin lingkungan. Demikian juga dengan izin usaha

bidang kehutanan, perkebunan dan izin-izin lainnya, wajib dilengkapi dengan

izin lingkungan. Izin usaha atau kegiatan dimaksud di atas adalah aktivitas

yang didasarkan pada dampaknya sehingga wajib AMDAL atau UKL-UPL.

Dengan kata lain, setiap aktivitas usaha atau kegiatan yang wajib AMDAL

atau UKL-UPL, maka untuk mendapatkan izin diwajibkan adanya izin

lingkungan dari Gubernur atau Walikota/Bupati sesuai dengan

kewenangannya.18

Sesuai dengan Paragraf 7 Pasal 36 UUPPLH mengenai Perizinan

dinyatakan bahwa:

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki

AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan;

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL;

(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan

kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL;


17
Bachrul Amiq, Op.Cit., hlm. 86.
18
Helmi, Op.Cit., Jurnal, hlm. 12.

13
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur,

atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Dalam UUPPLH Pasal 71 Ayat (1) menyebutkan:

“Menteri, Gubernur, atau Bupati dan atau Walikota sesuai dengan


kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup”.

Pengawasan yang dilakukan berdasarkan Pasal 71 UUPPLH yaitu

terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan

yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian Pasal 72 UUPPLH mengatur

bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib melakukan pengawasan

ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.

Perizinan lingkungan baik dalam UUPPLH dan Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 2012 pada dasarnya mengamanatkan pada setiap usaha

dan/atau kegiatan wajib memiliki izin lingkungan, akan tetapi dalam setiap

pengurusan izin lingkungan usaha dan/atau kegiatan wajib AMDAL dan wajib

UKL-UPL. Proses izin lingkungan dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Penyusunan AMDAL dan UKL-UPL;

2. Penilaian AMDAL dan pemeriksaan UKL-UPL;

3. Pemohon dan penerbitan izin lingkungan.

Berdasarkan Pasal 10-12 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012

tentang Izin Lingkungan dalam penyusunan AMDAL terbagi menjadi

beberapa bagian :

14
1. Penyusunan dari pemrakarsa sendiri;

2. Pihak lain di mana larangan dari PNS di instansi lingkungan hidup

(pusat, provinsi dan kabupaten/kota):

a. Penyusunan perorangan;

b. Penyusunan yang tergabung dalam LPJP.

Penyusunan UKL-UPL berdasarkan Pasal 12-15 Peraturan pemerintah

Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

1. Rencana umum;

2. Studi kelayakan (UKL-UPL disusun oleh pemrakarsa pada tahap

perencanaan usaha dan/atau kegiatan):

a. Identitas pemrakarsa;

b. Rencana usaha dan/atau kegiatan;

c. Dampak lingkungan yang akan terjadi (lokasi sesuai dengan rencana

tata ruang apabila tidak sesuai tidak dapat dinilai dan dikembalikan);

d. Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pertimbangan dalam menetapkan rekomendasi hasil penilaian andal dan

RKL-RPL berdasarkan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012

tentang Izin Lingkungan :

1. Prakiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari

aspek biogeofisik kimia, sosial, ekonomi, budaya, tata ruang, dan

kesehatan masyarakat pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan

pascaoperasi usaha dan/atau kegiatan;

2. Hasil evaluasi secara holistik terhadap seluruh dampak penting hipotetik

sebagai sebuah kesatuan yang saling terkait dan saling mempengaruhi

15
sehingga diketahui perimbangan dampak penting yang bersifat positif

dengan yang bersifat negatif; dan

3. kemampuan pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab

dalam menanggulanggi dampak penting negatif yang akan ditimbulkan

dari usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan dengan pendekatan

teknologi, sosial, dan kelembagaan

Pedoman dan petunjuk teknis penyusunan AMDAL berdasarkan Pasal 6-

7 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan di

mana ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dokumen

AMDAL diatur dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Kementrian Atau Lemabga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) dapat

menyusun petunjuk teknis penyusunan dokumen AMDAL berdasarkan

pedoman penyusunan dokumen AMDAL yang diatur oleh Menteri.

Pendekatan AMDAL berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor

27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan :

1. AMDAL Tunggal, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha

dan/atau kegiatan yang diusulkan hanya satu jenis kegiatan;

2. AMDAL Kawasan, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha

dan/atau kegiatan yang diusulkan dari berbagai kegiatan di mana

AMDAL menjadi kewenangan satu sektor yang membidanginya;

3. AMDAL Terpadu Multi Sektor, adalah studi kelayakan lingkungan untuk

usaha dan/atau kegiatan yang diusulkan dari berbagai jenis kegiatan

dengan berbagai instansi teknis yang membidangi.19

19
N.H.T. Siahaan, Op.Cit., hlm. 210.

16
Kewenangan penerbitan izin lingkungan dibagi menjadi 2 bagian yaitu

sebagai berikut :

1. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

sesuai dengan kewenangan:

a. surat keputusan kelayakan lingkungannya;

b. rekomendasi UKL-UPLnya.

2. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan keputusan

kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL kepada pejabat yang

ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.

Penolakan pemberian izin lingkungan Menteri, gubernur, bupati/

walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan Izin

Lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan AMDAL atau UKL-UPL.

Dalam hal Izin Lingkungan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak dapat mengajukan izin

usaha dan/atau kegiatan.

Perubahan izin lingkungan wajib diubah apabila:

1. Terjadi perubahan kepemilikan usaha dan/atau kegiatan;

2. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;

3. perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang memenuhi

kriteria:

a. perubahan dalam penggunaan alat-alat produksi yang berpengaruh

terhadap lingkungan hidup;

b. penambahan kapasitas produksi;

17
c. perubahan spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;

d. perubahan sarana Usaha dan/atau Kegiatan;

e. perluasan lahan dan bangunan Usaha dan/atau Kegiatan;

f. perubahan waktu atau durasi operasi Usaha dan/atau Kegiatan;

g. Usaha dan/atau Kegiatan di dalam kawasan yang belum tercakup di

dalam Izin Lingkungan;

h. terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam

rangka peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

dan/atau

i. terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat

peristiwa alam atau karena akibat lain, sebelum dan pada waktu

Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan;

4. Terdapat perubahan dampak dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup

berdasarkan hasil kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit

lingkungan hidup yang diwajibkan; dan/atau

5. Tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka

waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan.

Proses pembuatan AMDAL tidak luput dari hak dan partisipasi

masyarakat sesuai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun

2012 tentang Izin Lingkungan, Pemrakarsa dalam menyusun dokumen

AMDAL wajib mengikutsertakan masyarakat :

1. Terkena dampak;

2. Pemerhati lingkungan hidup;

18
3. Yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.

Saran, pendapat, dan tanggapan disampaikan secara tertulis kepada

pemrakarsa, Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota, 10 hari sebelum

pengumuman izin lingkungan di mana pengikutsertaan masyarakat dilakukan

sebelum penyusunan dokumen kerangka acuan.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010

tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya

Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dan Surat Pernyataan Kesanggupan

Pengelolaan Dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) menjelaskan

beberapa point penting yaitu:

1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib

AMDAL wajib memiliki UKL-UPL;

2. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL

wajib membuat SPPL;

3. Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL atau SPPL

sebagaimana dimaksud, ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota

berdasarkan hasil penapisan;

4. Penapisan sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai dengan pedoman

penapisan sebagaimana terlampir.

Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam

UUPPLH, antara lain:

1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

19
2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi

penyusun dokumen AMDAL;

3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/Kota wajib

memiliki lisensi AMDAL;

4. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin

lingkungan;

5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota

sesuai kewenangannya.

Selain ke-5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang

diamanatkan dalam UUPPLH, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata

terkait pelanggaran bidang AMDAL. pasal-pasal yang mengatur tentang

sanksi-sanksi tersebut, yaitu:

1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki

izin lingkungan;

2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa

memiliki sertifikat kompetensi;

3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa

dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau UKL-UPL.

Beberapa kesimpulan fungsi dan tujuan sistem perizinan dari uraian

tersebut, pertama, izin dapat dikatakan sebagai landasan hukum. Dapat

dipahami, kegiatan tertentu memang tidak dapat dilakukan oleh warga

masyarakat tanpa izin dari organ pemerintah yang berwenang. Kedua, izin

pada umumnya dimuat berbagai hal, baik yang bersifat subjektif maupun

20
objektif. Ketiga, izin sebagai keputusan yang merupakan instrumen

perlindungan kepentingan, baik itu kepentingan pemohon, kepentingan

pemerintah, maupun kepentingan lain. Izin mempunyai manfaat bagi

perlindungan kepentingan masyarakat sebagai pihak ketiga, misalnya Izin

Mendirikan Bangunan (IMB).20

B. Kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Terhadap

Pelanggaran Administrasi Perizinan Lingkungan Hidup

Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup

perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen

pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan

hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum

yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan

lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu

dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum

sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta

kegiatan pembangunan lain.21

Kewenangan menjalankan atau dalam proses penegakan hukum dalam

pelanggaran perizinan lingkungan hidup Provinsi Kalimantan Tengah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Dalam

UUPPLH juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum

administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum


20
Helmi, Op.Cit., Jurnal, hlm. 85.
21
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

21
perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan

dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam

pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi

lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan

selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh

pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa

depan.

Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup

khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan

salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi: 22

1. Regulasi Perda tentang Lingkungan;

2. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup;

3. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses

perijinan,

4. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan

lingkungan hidup;

5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait

dan stakeholders;

6. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan;

7. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan

hidup; dan

22
Mustofa, Dana Bagi Hasil Dan Konservasi Sumber Daya Alam Di Indonesia Periode
Desentralisasi, Jurnal, Universitas Negeri Yogyakarta, vol. 8 no. 2, 2010, hlm. 14.

22
8. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Izin sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dan merupakan

bukti legalitas yang mentakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau

badan untuk melakukan usaha atau kegitan tertentu. Sebagai dokumen, izin

yang dikeluarkan harus yang tertulis. Di mana izin tertulis diberikan dalam

bentuk keputusan tata usaha negara.23 Penegakan hukum lingkungan yang

disebut dengan penegakan sanksi administrasi merupakan salah satu instrumen

aturan atau awasi yang sangat penting adalah penjatuhkan sanksi administrasi.

Sanksi administrasi di sini harus dibedakan dengan putusan pengadilan tata

usaha negara (adminisrative judical decision). Sanksi administrasi

didefinisikan sebagai suatu tindakan hukum (legal action) yang diambil

pejabat tata usaha negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan

lingkungan hidup atas pelanggaran persyaratan lingkungan.24

Memperhatikan ketentuan Pasal 76 UUPPLH dikaitkan dengan Pasal 48

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,

pelanggaran terhadap izin lingkungan yaitu melanggar persyaratan dan

kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau

Rekomendasi UKL-UPL, melanggar persyaratan dan kewajiban yang

ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, melanggar batas

akhir izin Lingkungan, dan/atau melanggar persyaratan dan kewajiban dalam

izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang

ditetapkan dalam izin lingkungan.

23
http://alviprofdr.blogspot.com/2013/02/izin-lingkungan-dan-sanksi-administratif.html
24
Sukandi Husin, Op.Cit., hlm. 101.

23
Menurut Mertokusumo dalam penegakan hukum yang di perhatikan

hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. 25 Sedangkan

menurut Philippus M. Hadjon dalam Dahlia Kusuma Dewi gugatan

administratif hukum lingkungan terjadi karena kesalahan dalam proses

penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting

terhadap lingkungan. Gugatan administratif tersebut juga diajukan terkait

dengan keputusan tata usaha negara yang salah satunya mengenai badan atau

pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang

tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Menurut UUPPLH, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dapat

diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu : Penegakan hukum

Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi atau Tata Usaha

Negara, Hukum Perdata dan Hukum Pidana.

Sama halnya dengan Muhamad Erwin menjelaskan 3 (tiga) penegakan

hukum lingkungan yaitu, administratif, sarana ini dapat bersifat preventif dan

bertujuan menegakan peraturan perundang-undangan lingkungan;

kepidanaan, peran penyidik sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan

bahan/alat bukti yang sering kali bersifat ilmiah; keperdataan, perlu dibedakan

antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan

kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan

kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan.26

25
Gatot Soemartono. Op.Cit., hlm. 66.
26
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm. 117.

24
Penegakan hukum lingkungan melalui sarana hukum administrasi atau

lebih popular disebut dengan penegakan hukum lingkungan administrasi

(administrative environmental law enforcement), merupakan langkah pertama

yang harus dilakukan untuk mencapai penaatan peraturan. kelebihan

penegakan hukum lingkungan administrasi dibandingkan dengan penegakan

hukum lainnya (perdata dan pidana), sebagaimana dikemukakan oleh Mas

Ahmad Santosa berikut ini:27

1. Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup dapat

dioptimalkan sebagai perangkat pencegahan (preventive);

2. Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih

efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana

dan perdata. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi meliputi

biaya pengawasan lapangan dan dilakukan secara rutin dan pengujian

laboratorium, lebih murah dibandingkan dengan upaya pengumpulan

bukti, investigasi lapangan, memperkerjakan saksi ahli untuk

membuktikan aspek kausalitas (sebab akibat) dalam kasus pidana dan

perdata;

3. Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang

partisipasi masyarakat. Partisi masyarakat dilakukan mulai dari proses

perizinan, penataan/pengawasan dam partisipasi dalam mengajukan

keberatan dan meminta Pejabat Tata Usaha Negara untuk berlakukan

sanksi administrasi.

27
Muhammad Akib, Op.Cit., hlm. 205.

25
Dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH Tahun 2009, hanya dikenal empat

jenis sanksi administrasi, yaitu:

(1) Teguran tertulis;

(2) Paksaan pemerintahan;

(3) Pembekuan izin lingkungan; atau

(4) Pencabutan izin lingkungan.

Dari keempat jenis sanksi administrasi tersebut terlihat bahwa UUPPLH

tidak mengatur sanksi uang paksa, padahal jenis sanksi uang paksa merupakan

alternatif jika sanksi paksaan pemerintahan sulit diterapkan. Perangkat

penegakan hukum administrasi dalam sebuah sistem hukum dan pemerintah,

menurut Ahmad Santoso dalam, paling tidak harus meliputi: (1) izin, yang

didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengadilan; (2) persyaratan

dalam izin dengan merujuk pada AMDAL, standar baku lingkungan,

peraturan perundang-undangan; (3) mekanisme pengawasan penataan; (4)

keberadaan pejabat pengawas (inspektur) kualitas dan kualitas memadai; dan

(5) sanksi administrasi. Kelima perangkat ini merupakan prasyarat awal demi

efektivitas dari penegakan hukum asministrasi di bidang lingkungan hidup.28

Sanksi paksaan pemerintahan menurut Pasal 80 ayat (1) UUPPLH

berupa:29

(1) Penghentian sementara kegiatan produksi;

(2) Pemindahan sarana produksi;

(3) Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;


28
Ibid., hlm. 206.
29
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

26
(4) Pembongkaran;

(5) Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan

pelanggaran;

(6) Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

(7) Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan

tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

Pengenaan sanksi paksaan pemerintahan pada dasarnya bertujuan untuk

menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan

hidup. Oleh karena itu, menurut Pasal 80 ayat (2) UUPPLH sanksi paksaan

pemerintahan dapat dikenakan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran

yang dilakukan menimbulkan:30

1. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan bagi lingkungan hidup;

2. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan

pencemaran dan/atau pengrusakannya; dan/atau

3. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera

dihentikan pencemaran dan/atau kerusakannya.

Penerapan sanksi administrasi dikemukakan oleh Indroharto dalam


31
Bachrul Amiq sebagai berikut: “Dalam kehidupan sehari-hari apabila

seseorang tidak mentaati kewajibannya dalam suatu hubungan hukum perdata

maka lawannya yang melalaikan kewajibannya tersebut di hukum untuk

melaksanakan perjanjian. Sedang apabila seseorang warga masyarakat lalai

dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang lahir dari suatu hubungan


30
Muhammad Akib. Op.Cit., hlm. 211.
31
Bahrul Amiq, Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Hukum Lingkungan, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2013, hlm. 23.

27
hukum tata usaha Negara, maka pihak lawannya yaitu badan atau pejabat tata

usaha Negara yang bersangkutan tanpa bantuan hakim dapat mengenakan

tindakan sanksi-sanksi administrasi terhadap warga masyarakat yang lalai

tersebut”.

Penerapan sanksi administrasi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan

lingkungan hidup secara umum yang bertujuan untuk mewujudkan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan menjamin

kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang

untuk mencapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana tujuan

dalam UUPPLH. Dalam Pasal 3 UUPPLH disebutkan bahwa perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:32

a. Melindungi wilayah kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia;

c. Menjamin kelangsungan hidup mahluk hidup dan kelestarian ekosistem;

d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. Mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup;

f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa

depan;

g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup

sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan


32
Ibid., hlm. 19.

28
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Kebijakan di bidang lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam

Pasal 2 UUPPLH tersebut diatas dapat ditempuh dengan berbagai sarana atau

instrumen baik yang bersifat pencegahan mencemari maupun memulihkan

lingkungan. Dalam UUPPLH telah ditetapkan berbagai instrumen kebijakan

lingkungan yang sebagian telah didukung dengan peraturan pelaksana, antara

lain perizinan dan baku mutu lingkungan, serta larangan dan kewajiban

terhadap lingkungan.33

Mukhlish dalam M. Taufik Terhadap penerima sanksi dapat ditindak

pidana jika sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau

pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Penegakan sanksi administratif

merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah lingkungan yang bertujuan

agar pembuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi

persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula sebelum

terjadi pelanggaran. Sanksi ini sangat penting untuk mencegah para pengusaha

melakukan kegiatan illegal yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.34

Stig Stromholm membedakan kaidah hukum sebagai kaidah perilaku

menjadi dua, yaitu kaidah primer yang memuat perintah perilaku

(gedragsvoorschrift), dan kaidah sekunder yang menetapkan sanksi apa yang

harus diterapkan apabila perilaku dalam kaidah primer dilanggar. Hal ini

menunjukkan bahwa meskipun kaidah hukum tidak berisi perintah maupun

33
Ibid., hlm. 20.
34
M. Taufik, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelanggaran Izin Lingkungan Dalam
Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Universitas Tanjungpura Pontianak, vol. 3
no. 5, 2013, hlm. 5.

29
larangan, namun keberadaan yang disertai sanksi tersebut menjadi alat

pemaksa agar seseorang mentaati perilaku yang telah ditetapkan oleh hukum.35

Penerapan sanksi administrasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif Di

Bidang Perlindungan Dan Pengelolaan lingkungan Hidup pada dasarnya

memiliki pengertian yang sama dengan UUPPLH dan Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, tetapi di mana peraturan

Menteri Lingkungan Hidup merupakan pedoman maka penjelasan mengenai

jenis sanksi administratif dilakukan secara lebih mendetail, yaitu:36

1. Teguran tertulis adalah sanksi yang diterapkan kepada penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan

dan persyaratan yang ditentukan dalam izin lingkungan;

2. Paksaan pemerintah diatur dalam Pasal 80 UUPPLH;

3. Pembekuan izin lingkungan diatur dalam UUPPLH dan Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkngan;

4. Pencabutan izin lingkungan berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan

Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi

Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup;

5. Denda administrasi terlihat dari rumusan Pasal 81 UUPPLH.

35
Ibid., hlm. 22.
36
Bachrul Amiq, Op.Cit., hlm. 22.

30
Hukum Administrasi Negara memandang bahwa penegakan hukum

lingkungan berawal dari perijinan sebagai instrumen. Tolak ukur dari suatu

perijinan adalah  pendirian atau penyelenggaraan kegiatan yang diperkirakan

akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan harus disertai AMDAL. 

Beberapa jenis sarana penegaan hukum administatif adalah :

1. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa.

2. Penutupan tempat usaha

3. Penghentian kegiatan mesin perusahaan

4. Pencabutan izin, dimulai dari proses pemberian surat teguran, paksaan

pemerinta dan uang paksa.

Penegakan hukum lingkungan administrasi merupakan langkah pertama

yang harus dilakukan untuk mencapai penataan peraturan. Menurut Ahmad

Santoso dalam Muhammad Akib ada kelebihan penegakan hukum lingkungan

administratif dibandingkan dengan penegakan hukum lainnya (perdata dan

pidana), yaitu:37

1. Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup dapat

dioptimalkan sebagai perangkat pencegahan;

2. Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih

efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana

dan perdata;

3. Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang

partisipasi masyarakat.

Izin lingkungan dan sanksi administrasi :

37
Muhammad Akib. Op.Cit., hlm. 206.

31
1. Pelanggaran terhadap Izin lingkungan dikenakan sanksi administrasi

2. Sanksi administrasi berupa:

a. Teguran tertulis

b. Paksaan pemerintah

c. Pembekuan izin lingkungan

d. Pencabutan izin lingkungan

3. Pembekuan atau pencabutan izin apabila penanggung jawab usaha dan/

atau kegiatan tidak melaksanakan sanksi administrasi

Sanksi administratif yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Di samping

itu, sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan

yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana

penegakan hukum administratif adalah:38

1. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa

2. Uang paksaan

3. Penutupan tempat usaha

4. Penghentian kegiatan mesin perusahaan

5. Pencabutan izin memlalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan

dan uang paksa.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang- Undang ini adalah

adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-

prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada

tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan

38
Muhamad Erwin. Op.Cit., hlm. 117.

32
penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan

pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.

Selain itu, UUPPLH juga mengatur:

1. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;

2. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;

3. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

4. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup

strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup, AMDAL, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan

upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi

lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan

hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan

hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi;

5. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;

6. pendayagunaan pendekatan ekosistem;

7. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan

lingkungan global;

8. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses

partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

9. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;

33
10. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

yang lebih efektif dan responsif; dan

11. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik

pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

UUPPLH memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk

melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi

lain. Melalui Undang- Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan

yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja

berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang

menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi

dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan,

dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang

untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk

menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan

dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang

memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang

memadai untuk pemerintah daerah.

BAB III

34
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis uraikan

di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan dari makalah ini, adalah

sebagai berikut:

1. Kewenangan pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah atas pemberian

izin pengelolaan lingkungan hidup, merupakan hal yang wajib sebagai

pembagian urusan dalam menjalankan tugas antara Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah daerah

Provinsi Kalimantan Tengah berwenang untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

2. Penegakan Hukum Lingkungan terhadap pelanggaran perizinan

administrasi adalah upaya represif terhadap pencemaran dan kerusakan

lingkungan hidup yang dilaksanakan secara efektif, konsekuen dan

konsisten. Dalam mewujudkan penegakan hukum lingkungan tersebut,

pemerintah menerapkan sanksi administrasi berupa teguran tertulis,

paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan serta pencabutan izin

lingkungan.

B. Saran

1. Proses perizinan khususnya di bidang lingkungan hidup diharapkan dapat

memperhatikan prinsip-prinsip dalam pelayanan untuk proses perizinan

agar dapat berjalan dengan baik, efisien dan memberikan pelayanan yang

35
maksimal kepada masyarakat, mengingat dalam Pasal 67 Undang-

Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian

fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan dan/atau kerusakan

lingkungan hidup.

2. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah diharapkan agar lebih

memperhatikan proses penegakan hukum lingkungan hidup dalam bidang

administrasi, dengan dibentuknya suatu peraturan daerah yang lebih

spesifik dalam penanganan dan penindakan terhadap pelaku usaha yang

melakukan pelanggaran perizinan administrasi lingkungan hidup, agar

terwujudnya efek jera sehingga dapat meminimalisir dampak dari akibat

pengrusakan lingkungan hidup.

36
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Bahrul Amiq, Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Hukum Lingkungan,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2013.
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009.
Syaiful Bahri Ruray, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah Dalam
Pengelolaan & Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, Alumni,
Bandung, 2012.
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di
Indonesia, Sofmedia, Jakarta, 2012.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

Jurnal :
Helmi, Membagun Sistem Perizinan Terpadu Bidang Lingkungan Hidup Di
Indonesia, Jurnal Universitas Jambi, vol. 11 No. 1, Jambi, 2011.
M. Taufik, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelanggaran Izin Lingkungan
Dalam Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Universitas
Tanjungpura Pontianak, vol. 3 No. 5, 2013.
Mustofa, Dana Bagi Hasil Dan Konservasi Sumber Daya Alam Di Indonesia
Periode Desentralisasi, Jurnal, Universitas Negeri Yogyakarta, vol. 8 No. 2,
2010.

Media Online :
http://www.hpli.org/isu.php
http://kilometer25.blogspot.com/2013/02/sejarah-singkat-hukum-lingkungan.html
http://alviprofdr.blogspot.com/2013/02/izin-lingkungan-dan-sanksi-administratif.
html

37

Anda mungkin juga menyukai