Anda di halaman 1dari 12

Bell’s Palsy pada Laki-laki Usia 47 Tahun

Daniel 102018083
Fanny Andy 102018111
Albert Evander 102018029
Helga Karenina 102016158
M nugra a p 102014227
Laurencia Agatha 102018068
Shania Audrianisa 102018023
Kelompok B1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Jl.Arjuna utara No.6 Tel. (021)56942062, Fax.5631731, Jakarta 11510
E-mail : shania.2018fk023@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Bell’s Palsy adalah nama sejenis penyakit kelumpuhan perifer akibat proses (non suppuratif, non
neoplasmatik, non degeneratif primer), namun sangat mungkin akibat edema pada nervus fasialis
pada distal kanalis fasialis. Penyebab secara pasti belum diketahui, tetapi beberapa penelitian
mendukung adanya infeksi sebagai penyebab bell’s palsy terutama HSV. Dari beberapa
penelitian dan penyelidikan yang telah dilakukan ternyata 75% dari paralisis fasial adalah Bell’s
Palsy. Permasalahan yang di timbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks, diantaranya: masalah
kosmetika dan psikologis. Adanya kelumpuhan pada otot wajah menyebabkan wajah tampak
mencong dan ekspresi abnormal, sehingga menjadikan penderitanya merasa minder dan kurang
percaya diri. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah penyebab yang jelas untuk lesi
nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison,
fisioterapi dan kalau perlu operasi. Penanganan yang di berikan sedini mungkin sangat di
perlukan untuk mengembalikan fungsi otot-otot wajah, dan mengembalikan penampilan.

Kata kunci : Bell’s palsy, nervus fasialis

Abstract
Bell's palsy is the name of a type of disease-induced peripheral paralysis (non-suppurative, non-
neoplasmatic, non-degenerative primary), but most likely the result of edema of the facial nerve
in the distal facial canal. The exact cause is not known, but several studies support the existence
of infection as a cause of bell's palsy, especially HSV. From several studies and investigations
that have been done, it turns out that 75% of facial paralysis is Bell's palsy. The problems caused

1
by Bell's Palsy are quite complex, including: cosmetic and psychological problems. The
paralysis of the facial muscles causes the face to look distorted and an abnormal expression, so
that the sufferer feels inferior and lacks confidence. The diagnosis can be made clinically once
the obvious cause for peripheral facial nerve lesions is ruled out. The current recommended
therapy is the administration of prednisone, physiotherapy and if necessary surgery. Treatment
that is given as early as possible is needed to restore the function of the facial muscles and
restore appearance.

Keywords: Bell's palsy, facial nerve


I. Pendahuluan
1. 1. Latar belakang

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer, bersifat akut,
dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s palsy ini pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti Scotlandia, yang
mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah (Kartadinata dan Tjandra, 2011).
Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom
Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu
diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding
kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Lowis dan Gaharu, 2012). Masalah
kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, yaitu meliputi impairment
(kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya wajah, kaku dan bahkan bisa
berakibat terjadi kontraktur; disability atau ketidakmampuan (ditingkat individu) berupa
keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan minum, menutup
mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah; handicap (di tingkat lingkungan)
berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang entertainment; dan masalah
selanjutnya dari segi kejiwaan penderita.

2
II. Isi

Skenario 2

Seorang laki-laki usia 47 tahun datang ke poliklinik RS dengan keluhan mulutnya mencong ke
kiri sejak 1 hari yang lalu.

2. 1. Anamnesis

Dalam skenario 2 didapatkan hasil anamnesis berupa:

a) Identitas pasien: Laki-laki usia 47 tahun


b) Keluhan utama : mulut mencong ke kiri sejak 1 hari yang lalu dan timbul tiba-tiba saat
bangun tidur
c) Riwayat Penyakit Sekarang : Mata kanan tidak dapat ditutup sempurna dan mengeluh
sering tumpah bila minum air melalui sudut bibir kanannya.
d) Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada data
e) Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada data
f) Riwayat sosial dan riwayat pekerjaan : Tidak ada data
g) Riwayat pengobatan : Tidak ada data

2. 3. Pemeriksaan Fisik

Dari skenario 2 didapatkan hasil pemeriksaan fisik:


 Kesadaran : Somnolen
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Tanda-tanda vital (nadi, nafas, suhu, tekanan darah)

3
TD : 110/70 mmHg, Suhu : 36,5 °C, frekuensi napas : 16x/menit , Frekuensi nadi :
70x/menit
 VAS :0
 GCS : E4M6V5
 Nervus Kranialis : Kesan parese N.VII dextra tipe perifer.
Nervus kranialis lain dalam batas normal.
 Motorik : Normal
 Refleks fisiologis : Normal
 Refleks patologis : (-)

2. 4. Pemeriksaan penunjang3,4
2. 4. 1. Laboratorium
Darah rutin (Hb, Ht, tombo, leuko,LED), elektrolit, kadar gula darah, ureum,
kreatinin atas indikasi untuk menyingikirkan penyebab sekunder.
2. 4. 2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

1. Tampak peningkatan intensitas N. VII atau di dekat ganglion genikulatum.

2. Berguna apabila penderita mengalami kelumpuhan wajah yang berulang,


untuk memastikan apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan pada
nervus fasialis ataupun terdapat tumor.

2. 4. 3. CT Scan

Dilakukan apabila pasien memiliki riwayat trauma

2. 4. 4. EMG (Elektromiografi)
1. Untuk penilaian fungsi saraf wajah.
2. Menentukan tingkat kerusakaan saraf dan lokasinya

Hasil pemeriksaan penunjang pada kasus : Belum ada data dari pemeriksaan
penunjang

4
2. 5. Working diagnosis

Bell’s Palsy

Bell’s Palsy adalah penyakit lower motor neuron yang mengenai nervus facialis (N.VII)
perifer dimana etiologinya tidak diketahui (idiopatik).
Dimana terjadi reaksi inflamasi di sekitar n. facialis, biasanya di daerah meatus auditori
interna. Merupakan penyebab paling umum kelumpuhan wajah unilateral.3,4

2. 6. Differential diagnosis

2. 6. 1. Stroke iskemik

Definisi : Kumpulan gejala defisit neurologis akibat gangguan fungsi otak akut baik
fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya
aliran darah pada parenkim otak, retina, medulla spinalis.

Etiologi : penyumbatan pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan
pemeriksaan neuroimaging

Manifestasi klinis : Gejala lateralisasi (fokal) lebih menonjol  kelemahan gerak


satu sisi, afasia, gangguan memori, kelumpuhan nervus kranial (bicara pelo, mulut
mencong, baal sesisi wajah, kesulitan menelan.3,4

2. 6. 2. Tumor otak

Definisi : Adanya pertumbuhan jaringan abnormal dimana sel terus bertumbuh dan
bermultiplikasi secara tidak terkontrol.

Etiologi : Hereditas, radiasi, substansi karsinogenik, virus dan gaya hidup.

Manifestasi klinis : Sakit kepala, Kejang, Kesulitan berpikir dan / atau berbicara,
Kesemutan di satu sisi tubuh, Kekakuan pada satu sisi tubuh, Kehilangan
keseimbangan.3,4

2. 6. 3. Sindrom Ramsay Hunt

5
Definisi : Neuropati wajah perifer akut yang terkait dengan ruam vesikular
eritematosa pada kulit saluran telinga.

Etiologi : Virus varicella zooster yang merupakan jenis virus neurotropik

Manifestasi klinis : kelainan berupa vesikel berkelompok diatas daerah yang eritema,
edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri
radikuler).3,4

2. 7. Etiologi

Idiopatik Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara lain:
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetik.1

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori yang
dihubungkan dengan etiologi yaitu:1,2

a. Teori iskemik vaskuler

Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis.

b. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).

c. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadi paresis fasialis.

d. Teori imunologi

6
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi (Annsilva, 2010).

2. 8. Epidemiologi1

• Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang,
63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi.

• Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi.

• Perbandingan laki-laki dan wanita sama

2. 9. Patofisiologi5

1. Patofisiologi Bell’s palsy sampai sekarang masih belum begitu jelas, apa yang
menyebabkan terjadi kelumpuhan pada saraf facialis

2. Tapi saraf facialis berjalan melalui Sebagian tulang temporal disebut kanal facialis

3. Teori popular mengusulkan adanya edema dan iskemik, jadi kalau misalnya ada iskemik
atau edema sering dikaitkan dengan kalau terkena udara dingin, dimana kalau udara
dingin membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi sehingga terjadi iskemik

4. Iskemik tidak teratasi, maka terjadi edema, akibatnya terjadi penekanan pada Nervus
facialis di dalam kanalis facialis

5. Tetapi penyebab edema dan iskemia masih belum ditemukan

6. Kompresi bisa dibuktikan dengan pemeriksaan MRI pada Nervus 7

7. Adanya proses inflamasi, demyelinasi, iskemik atau kompresi dapat merusak konduksi
saraf, dimana dapat dibuktikan dengan pemeriksaan Elektromiografi (EMG)

8. Cedera pada N VII adalah perifer pada inti saraf dan sepanjang perjalanan saraf N VII. 
jadi nanti bisa dari intinya, sampai ke saraf perifer, yaitu kanalis facialis nya

2. 10. Manifestasi klinis

7
Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering
merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :3,4
 Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
 Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmos)
 Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke
atas bila memejamkan mata (Bell’s sign)
 Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat
Selain gejala-gejala diatas, dapat ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain
: gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi
Gejala dan tanda berhubungan dengan lokasi lesi :3,4
A. Lesi diluar foramen stilomastoideus
 Mulut tertarik ke arah mulut yg sehat, makanan terkumpul diantara pipi dan gusi
disisi yg lumpuh
 Hilang sensasi dalam (deep sensation)
 Lipatan kulit dahi menghilang
 Air mata keluar jika mata yg kena tidak ditutup
B. Lesi di kanalis facialis (melibatkan korda tympani)
Kalau keluhannya naik ke atas, ke Korda tympani
 Gejala A ditambah
 Hilangnya ketajaman pengecapan 2/3 depan lidah dan salivasi bekurang
 Keterlibatan N intermedius.
C. Lesi kanalis facialis(melibatkan musculus stapedius)
Kalau sudah naik ke atas lagi, melibatkan Musculus stapedius
 Gejala dan tanda A+B
 Hiperakusis  suara yang dianggap normal dalam kehidupan sehari- hari , tetapi
pada orang hiperakusis suara tersebut terdengar sangat keras
D. Melibatkan ganglion genikulatum
Lalu naik ke atas lagi, melibatkan, ganglion genikulatum
 Gejala dan tanda A+B+C

8
 Nyeri dibelakang dan didalam liang telinga  karena sudah melibatkan sensorik
 Kalau sudah sampai di bagian ini  Sering dikaitkan dgn infeksi Herpes Zooster,
sehingga keluhan nya selalu merasa nyeri
E. Lesi di meatus akustikus internus
Kalau sudah masuk ke dalam, melibatkan meatus akustikus internus, melibatkan
Nervus 8, Sehingga terjadi gangguan pendengaran
 Gejala dan tanda A,B, C,D ditambah
 Sehingga dapat terjadi tuli, akibat keterlibatan nervus akustikus

F. Lesi tempat keluarnya N facialis dari Pons


Kalau sampai ke batang otak, gejalanya sudah lebih berat lagi, sudah melibatkan
serabut-serabut saraf yang lain
 Semua gejala diatas
 Dengan terlibatnya N. trigeminus, N Akustikus, kadang juga N Abdusens 
karena disana sudah berdekatan dengan inti-inti saraf kranial yang lain. Kalau
melibatkan N.trigeminal misalnya dapat menimbulkan nyeri, kalau gangguannyaa
pada N.Abdusens menimbulkan gangguan pergerakan bola mata

2. 11. Penatalaksanaan6,7
 Anti-inflamasi

Berikan Prednison 40-60 mg perhari selama 10 hari dengan penurunan dosis


secara bertahap. Metylprednisolon 2 x16 mg selama seminggu.

 Jika diduga ada infeksi virus

Berikan Acyclovir 5x400 mg selama 7 hari atau Valasiklovir 3 x1 gr selama 7 hari

 Mencegah keratitis akibat lagoptalmus  karena bola matanya tidak bisa di tutup,
yang sering menjadi masalah adalah iritasi pada kornea, jadi supaya tidak
terjadi kita usahakan bola mata tetap basah

1. Berikan air mata buatan

9
2. Pelindung mata kaca mata saat naik kenderaan  karena mata tidak bisa
tertutup, nanti debu pasir masuk ke kornea, maka bisa terjadi iritasi, kalau kornea
nya iritasi pas di depan retina, bisa ngga kelihatan nanti

3. Menutup mata saat tidur  pada saat tidur bola mata nya kita tutup pakai kain
kasa, agar bola mata nya tetap lembab

4. Pakai salep mata  dikasih salep mata, lalu ditutup dengan plaster, sehingga
bola mata tetap lembab

 Fisioterapi

Setelah masa akut minimum 72 jam  kita lakukan paling cepat 3 hari pada onset
, kadang2 ada yang menyarankan setelah seminggu, karena terlalu cepat di
fisioterapi kurang bagus juga dampak nya, jadi edema pada pasien nya di
hilangkan dulu, baru dilakukan fisioterapi.

2. 12. Komplikasi

Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila: 1,2


A. Penderita terserang palsy komplit, sehingga paralisis di satu sisi wajah
B. Usia lebih dari 60 tahun
C. Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala
D. Hipertensi
E. Diabetes
F. Kehamilan
G. Saraf facialis rusak berat
H. Tidak ada perbaikan setelah dua bulan terlewati
I. Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan Sekitar 14% penderita mungkin
terserang Bell’s palsy di kemudian hari pada sisi wajah lain. Hal ini cenderung
muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada keluarga.

2. 13. Prognosis

10
Prognosis umumnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan saraf menentukan proses
penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi.
Dengan atau tanpa pengobatan, sebagian besar individu membaik dalam waktu dua
minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh, fungsinya kembali normal dalam
waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa penderita bisa lebih lama. Pada beberapa kasus,
gangguan bisa muncul kembali di tempat yang sama atau di sisi lain wajah.1

III. Kesimpulan

Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat edema akut saraf fasialis di
foramen stilomastoideus. Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan.
Terganggunya saraf facial pada foramen stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan
pada keseluruhan otot ekspresi wajah. Diagnosis bells palsy ditegakkan berdasrkan gejala
klinis serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang jarang dilakukan. Terapi dapat
dilakukan baik secara farmakologi dengan kortikosteroid dan antiviral maupun secara non-
farmakologi. Tingkat keparahan kerusakan saraf menentukan proses penyembuhan.
Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi.

Daftar Pustaka

1. Adam OM. Bell’s palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma:Maret 2019;8(1). h.
137-149
2. Bahrudin M. Bell’s palsy. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang:Desember
2011;7(15). h. 20-25
3. Dr. R. Yoseph Budiman, Sp. S. Pedoman standar pelayanan medik dan standar prosedur
operasional neurologi. Refika Aditama ; 2013

11
4. Bagian Neurologi FKUH, Standar pelayanan medik neurologi. Makassar : Bagian
Neurologi FKUH ; 2011
5. Atlas of pathophisiology – third edition. Lippincott Williams & Wilkins ; 2010
6. J Huazhong University of Sci. Tech. Med. Sci. Vol 32(2), pp.272-9. Lowis, H., Gaharu,
MN. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J of Indonesia Med.
Ass: 2012; Vol.62(1), hal.32.
7. Murthy, JMK., Saxena, AB. Bell's Palsy: Treatment Guidelines. Annals of Ind. Acad. of
Neurology: 2011; Vol.14(1), hal.70-72

12

Anda mungkin juga menyukai