Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESAREA

OLEH :

NAMA: AUDI WIRA ATMAJA


NIM: 18D10004

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN BALI


D IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
2020/2021
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada
dinding abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010).
Menurut Amru Sofian (2012) Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin
dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Amin &
Hardhi, 2013).
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan diatas 500
gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2006).

Dari sekian pendapat menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa Sectio
Caesarea merupakan suatu tindakan persalinan dengan membuat sayatan pada
dinding abdomen dan uterus guna untuk mengeluarkan janin dalam rahim.

2. Etiologi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal
distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea
diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
a. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan
dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi
asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan
oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan
infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah
penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi.
c. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini
adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran
satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak
lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
e. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
f. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
a) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
b) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
c) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah
dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan
sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan


kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri.
Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi
bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi
kaki (Saifuddin, 2002).
Selain itu etiologi menurut Amin & Hardi (2013) Sectio Caesarea ada dua yaitu :
1. Etiologi dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua disertai
kelainan letak ada, disporporsi sefalo pelvic (disporsi janin/panggul), ada
sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul,
placenta previa terutama pada primigravida, solutsio placenta tingkat I-II,
komplikasi kehamilan yaitu preeclampsia-eklampsia, atas permintaan,
kehamilan yang disertai dengan penyakit (jantung, DM) , gangguan
perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri, dsb)
2. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress atau gawat janin, malpresentasi atau malposisi kedudukan janin,
prolapsus tali pusat, dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum
atau forceps ekstraksi.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul sehingga memungkinkan untuk dilakukan tindakan
section caesarea adalah
a. Fetal distress
b. His lemah/melemah
c. Janin dalam posisi sungsang atau melintang
d. Bayi besar (BBL>/= 4,2 kg)
e. Plasenta previa
f. Kelainan Letak
g. Disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul)
h. Rupture uteri mengancam
i. Hydrocephalus
j. Primi muda atau tua
k. Partus dengan komplikasi
l. Panggul sempit
m. Problem plasenta

4. Pemeriksaan Dignostik / Pemeriksaan Penunjang Terkait


a. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT

c. Magneti resonance imaging (MRI)


Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak
jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi
lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
e. Uji laboratorium
1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematocrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) AGD
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah

5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
1. Obat teratogen
2. Asetaminofen
3. Vitamin
4. Asam Folat
5. Zat Besi
b. Penatalaksanaan
Operatif Sectio Caesarea

B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi
menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi
regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa
menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011)
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa ketika dilakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini
rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan
pembedahan (Sabiston, 2011).
Dalam Anestesiologi dikenal Trias Anestesi “The Triad of Anesthesia” yaitu sedasi
(kehilangan kesadaran), Analgesia (mengurangi rasa sakit), dan Relaksasi otot
(Kurnia dkk., 2010).
Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak dan “Aesthesis”
yang berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia berarti suatu keadaan hilangnya
rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah
keadaan tanpa rasa tetapi bersifat sementara dan akan kembali kepada keadaan
semula, karena hanya merupakan penekanan kepada fungsi atau aktivitas jaringan
syaraf baik lokal maupun umum (Sudisma dkk, 2006).
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa
Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat pembedahan
atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit dengan cara
trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum
dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi
(Royal College of Physicians (UK), 2011).
Anestesi umum meliputi:
1. Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile
Induction and Maintenance of Anesthesia)
2. Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intraena (TIVA=Total
Intravenous Anesthesia)

Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi dan


kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor,
yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas menurut Perry & Potter (2006).
b. Regional Anestesi
1) Pengertian anestesi spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara
langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level
L1/2 dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013).
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang masih
dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada ujung atau
serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk, 2011).

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 Spinal anestesi dapat


digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut
maupun kronik.
3) Kontra indikasi Spinal Anestesi
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang luas
seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia yang
belum terkorelasi karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut Sjamsuhidayat &
De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera.
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada
besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan.
4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama
digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan
bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S.,
2011). Berikut ini uraian obat spinal anestesi :
1. Lidokain
a) Onset kerja : cepat
b) Dosis maksimum : 3-5mg/kg
c) Durasi kerja ; Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
d) Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan bupivakain

e) Metabolisme : di hati, n-dealkylation yang diikuti dengan hidrolisis


untuk menghasilkan metablit yang dieksresikan di urin 10

Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi dan
anestesi regional intravena begitu juga topical, epidural dan itratekal.
Bagaimanapun juga ini termasuk antiaritmik kelas 1B dan dapat digunakan
untuk terapi takikardi.

2. Bupivakain
a) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit, intratekal 30
detik
b) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; pidural 3-4 jam; intrakardial 2-
3 jam
c) Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas kardiak
berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat anestesi lokal
lainnya
d) Eliminasi : N-dealkylation menjadi pipecolyoxylidine dan metabolit
lainnya yang diekskresikan di urin

Bupivakain lazim digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan plain


bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke bawah, yang
dapat mengakibatkan peningkatan blok yang membahayakan fungsi
respirasi dan kardio. Jika dekstrosa ditambahkan akan menjadi berat
(heavy) dan akan mengalir lebih dapat diprediksi turun ke tulang belakang,
hanya memengaruhi saraf yang non esensial. Larutan plain dapat
menyebabkan hipotensi yang lebih sedikit tapi pasien harus tidur
terlentang (Keat, dkk., 2013).

3. Tetrakain
Tetrakain (pantocaine), suatu ester amino kerja – panjang, secara
signifikan lebih paten dan mempunyai durasi kerja lebih panjang daripada
anestetik lokal jenis ester lain yang umum digunakan. Obat ini banyak
digunakan pada spinal anestesi ketika durasi kerja obat yang panjang
diperlukan. Tetrakain juga ditambahkan pada beberapa sediaan anestetik
topikal. Tetrakain jarang digunakan pada blokade saraf perifer karena
sering diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang lambat, dan berpotensi
menimbulkan toksisitas (Brunton, dkk, 2011).

5) Teknik Pemberian Spinal Anestesi


Teknik pemberian spinal anestesi menurut Gruendemann & fernsebner, tahun
2006 ialah
a) Klien diletakkan pada satu dari beberapa posisi yang memaksimalkan
kemungkinan pungsi dicelah antara vertebra lumbal kedua dan sakral
pertama. Posisi paling sering diambil adalah decubitus lateral, yang baik
bagi klien yang mendapat sedasi. Selain itu, posisi duduk diindikasikan
untuk klien gemuk apabila tanda – tanda patokan anatomis sulit
diidentifikasi. Kadang – kadang posisi ‘pisau lipat’ telungkup digunakan
untuk klien yang menjalani pembedahan rektum.
b) Sewaktu klien diletakkan dalam posisi decubitus lateral, klien akan
berbaring pada salah satu sisinya, sangat dekat dengan tepi tempat tidur.
Panggul, punggung, dan bahu harus sejajar dengan tepi tempat tidur.
Apabila klien ditempatkan dengan benar, sebuah garis imajiner anatar
bagian atas kedua krista iliaka akan berjalan melalui vertebra L4 atau 12
antar – ruang L4-5. Tanda petunjuk ini digunakan untuk menentukan
lokasi antar – ruang lumbal tempat pungsi dilakukan.
c) Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua lututnya
kearah dada dan menekuk kepala dan leher kearah dada. Dengan
demikian, punggung akan melengkung, sehingga prosesus spinalis terbuka
secara maksimum.
d) Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi klien,
baik posisi duduk atau ‘pisau lipat’. Klien dalam posisi duduk
memerlukan penopang yang kuat dibawah kaki mereka dan harus dibantu
untuk condong ke depan dengan lengan ditekuk agar punggung
melengkung. Dalam posisi ini, klien dapat ditopang oleh perawat atau oleh
sebuah cantelan mayo yang terpasang kuat.
e) Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir melalui
aspirasi lembut alat suntik yang dihubungkan dengan jarum spinal, obat
anestetik lokal dapat disuntikan dengan kecepatan sekitar 1 ml sampai 5
sampai 10 detik. Penyebaran anestetik lokal melalui cairan serebrospinalis
dipengaruhi oleh dosis total yang disuntidkkan, konsentrasi larutan,
keadaan kanalis spinalis, dan posisi klien selama dan segera, setelah
suntikan anestetik lokal.
f) Setelah obat disuntikkan di klien perlu diposisikan dengan ketinggian
anestesi yang dapat dicapai sehingga memblok serabut yang menpersarafi
kulit dan organ internal yang akan dikenal oleh prosedur operasi.
3. Teknik Anestesi
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan diantaranya keselamatan dari ibu, keselamatan bayi, kenyamanan ibu
serta kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi
tersebut. Pada sectio caesarea terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya
Generał Anethesta (GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk
dua teknik yakni teknik spainal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA
biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut
memerlukan anestesi sescgera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga
diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat
peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar
vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan menggunakan teknik
RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik anestesi RA apabila waktu
bukan menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA spinal dan RA epidural lebih
disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada sebagian kasus
sectio caesarea. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA dibandingkan
dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta aspirasi dari isi
lambung pada teknik anestesi GA. Selain itu, GA juga meningkatkan kebutuhan
resusitasi pada neonatus.

Regional Anesthesia
Terdapat tiga jenis teknik RA yang digunakan dalam sectio caesarea, diantaranya
spinal, epidural, dan kombinasi spinal-epidural. Masing-masing teknik tersebut
memiliki keuntungan dan kerugian. Komplikasi seperti hipotensi, gagal nafas, kejang
akibat kerusakan sistem sampai gagal jantung kemungkinan dapat terjadi. Anestesi
Spinal Apabila kateter epidural belum siap, maka anestesi spinal dapat digunakan
untuk sectio caesarea yang tidak gawat darurat. Dibandingkan dengan epidural, tipe
anestesi ini dapat memblokade neuroaksial dengan cepat dan lebih mudah. Tetapi
kemungkinan terjadinya hipotensi yang signifikan lebih banyak terjadi pada teknik
anestesi spinal dibandingakan dengan anestesi epidural.Anestesi spinal yang biasa
disebut dengan Blokade Sub-Arachnoid merupakan suatu teknik anestesi RA yang
melibatkan injeksi agen anestesi lokal ke dalam rongga subaraknoid dan biasanya
menggunakan jarum yang halus berukuran 9 cm. Efek yang ingin dicapai adalah
memblokade transmisi sinyal saraf aferen dari nosiseptor perifer sehingga apabila
sinyal sensori terblokade maka rasa nyeri akan menghilang.
Indikasi dan Kontraindikasi
Anestesi Spinal Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah
melibatkan daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas bawah. Ada
kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal. Satusatunya kontraindikasi
absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit
neurologis tertentu, koagulopati darah, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi relatif meliputi sepsis yang berbeda dari tempat tusukan (misalnya,
korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan lama operasi yang waktunya
belum bisa diperkirakan.

4. Rumatan Anestesi
Premedikasa diberikan sulfas atropin 0,25 mg I.M setengah jam sebelum operasi dan
dapat ditambah lagi 0,15 mg I.V segera sebelum operasi. Atropin ini dapat
mempercepat nadi bayi, tetapi hal ini tidak sampai membahayakannya. Dapat juga
diberikan scopolamin yang bersifat sedasi, tetapi ada kemungkinan bayaha depresi
terhadap bayi. Kadang-kadang dapat juga diberikan obat-obat penenang. Opiat
sebaiknya jangan diberiakan karea mudah melalui plasenta barrier dan menyebabkan
depresi terhadap bayi. Pemberian 3-31 jam sebelum melahirkan biasanya akan
memperoleh bayi yang perlu diresusitasi. Banyak penelitian yang kurang setuju
dengan pemberian obat-obat penenang karena kemungkinan lahirnya “ sleepy infant”
5. Resiko
1. Gangguan kardiovaskuler :
- Penurunan curah jantung
2. Gangguan respirasi :
- Pola nafas tidak efektif
3. Gangguan termoregulasi :
- Hipertermi
4. Resiko infeksi :
- Luka insisi post operasi
5. Nyeri :
- Proses kontraksi
- Terputusnya kontinuitas jaringan kulit
C. Web of Caution (WOC)

Persalinan tidak normal

 CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )


 PEB (Pre-Eklamsi Berat)

 KPD (Ketuban Pecah Dini)


Etiologi

Bayi Kembar
 Faktor Hambatan Jalan Lahir Kelainan letak kepala
 Kelainan Letak Janin

Letak bayi sungsang

Masalah Pre Anestesi :

 Proses
kontraksi Nyeri
Tanda & Gejala akut

 Penekanan
dada oleh diafragma
Ketidakefektifan
pola nafas
Tindakan
 Kurang
(Sectio Caesarea) pengetahuan
Ansietas

Masalah Intra Anestesi :

 Proses
pembedahan Resiko
perdaharan
 Efek obat
anestesi Hipotensi
 Suhu lingkungan
rendah Hipotermi

Masalah Post Anestesi :


 Adanya luka
post
operasi
Resiko infeksi
 Terputusnya kontinuitas jaringan kulit post
operasi Nyeri akut
Tindakan Regional Anestesi
anestesi

Masalah Intra
Operasi:
- Hipotensi

General Anestesi

Masalah Intra
Operasi:
- Pola nafas
tidak efektif
- Mual muntah

Resiko anestesi

Nyeri

Gg. Kardiovaskular
Resiko Infeksi
Gg. Respirasi
Gg. Termoregulasi
D. Tinjuan Teori Askan Pre Intra Pasca Anestesi dan Pembedahan Umum
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Pasien dalam keadaan hamil 9 bulan dan mengeluh nyeri dibagian rahim
b. Data Objektif
Pasien tampak memegang perutnya yang hamil
2. Masalah Kesehatan Anestesi
Pre Anestesi
2. Nyeri akut
3. Ketidakefekifan pola nafas
4. Ansietas

Intra Anestesi

1. Resiko Perdarahan
2. Hipotensi
3. Hipotermi

Post Anestesi

1. Resiko infeksi
2. Nyeri akut
3. Rencana Intervensi
a. Masalah Kesehatan Anestesi
Pre Anestesi
Nyeri Akut
1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan anestesi gangguan rasa
nyaman nyeri dapat teratasi
2) Kriteria hasil : pasien mengatakan nyeri berkurang, TTV stabil
3) Rencana intervensi
a. Kurangi faktor yang dapat menambah nyeri, ketidak percayaan, kesalaah
pahaman, ketakutan, kelelahan, dan kebosanan.
b. Kaji PQRST
c. Modifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik seperti :
- Teknik distraksi
- Teknik relaksasi
- Stimulasi kulit
d. Berikan obat anlgesic yang bertujuan mengganggu atau memblok transmisi
stimulas agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal
terhadap nyeri
e. Kaji TTV pasien

Ketidakefektifan pola napas

1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan anestesi ketidakefektifan pola


nafas dapat teratasi
2) Kriteria hasil : pola nafas efektif, tidak terdapat sianosis, TTV stabil, GDA
normal
3) Rencana intervensi
a. Kaji TTV
b. Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
c. Anjurkan untuk bernapas dalam jika pasien dalam keadaan sadar
d. Lakukan suction untuk menghilangkan lendir di jalan napas pasien
e. Pantau penggunaan obat-obatan depresan seperti sedatif
f. Berikan O2 sesuai indikasi
g. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi

Ansietas

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi selama 30 menit


diharapkan cemas yang dirasakan pasien berkurang dengan kriteria hasil :
2) Kriteria hasil :
a. Tanda – tanda vital pasien normal
Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit
b. Pasien mengatakan tahu tentang prosedur anestesi dan pembedahan
c. Pasien menyatakan siap dilakukan operasi
d. Pasien tampak tenang dan kooperatif
3). Rencana intervensi :
Mandiri :
a. Kaji tanda – tanda vital pasien
b. Kaji tingkat kecemasan
c. Jelaskan jenis prosedur yang akan dilakukan
d. Beri dorongan pasien untuk mengurangi rasa
cemas Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat anticemas

Intra Anestesi

Resiko perdarahan

1). Tujuan : setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi selama 30 menit


diharapkan kondisi pasien sesuai dengan kriteria hasil
2). Kriteria hasil :
a. Tanda – tanda vital dalam batas normal
Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit
b. Saturasi oksigen >95%
c. Akral teraba hangat
3). Rencana intervensi :
Mandiri :

a. Pantau tanda dan geja syok ( denyut jantung meningkat, gelisah, akral teraba
dingin, pucat)
Kolaborasi :
a. Kolaborasi dalam peberian transfuse darah dan cairan kristaloid ( Nacl 0,9 % )
Hipotensi

1). Tujuan: Setelah diberikan Asuhan Keperawatan Anestesi selama 30 menit diharapkan
kondisi pasien sesuai dengan kriteria hasil
2). Kriteria hasil:

a. Tidak terlihat perubahan warna kulit abnormal


b. Akral pasien tidak teraba dingin
c. Output urine dalam batas normal ( 0,5 – 1 cc/kgbb )
d. Tanda – tanda vital dalam batas normal
Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit

3). Rencana intervensi:

a. Observasi tanda tanda penurunan curah jantung


b. Status cairan pasien
c. Delegasi pemberian cairan kristaloid 500 – 1000 cc
d. Delegasi pemberian Ephedrine 5 – 10 mg IV bolus
e. Tanda – tanda vital dalam batas normal
Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit

Post Anestesi

Resiko Infeksi

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi selama 30 menit


diharapkan kondisi pasien sesuai dengan kriteria hasil
2) Kriteria hasil :
a. Tanda – tanda vital dalam batas normal
Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit
b. Pemeriksaan leukosit dalam batas normal (4500 – 10000 sel/mm)
3) Rencana intervensi :
Mandiri :
a. Kaji tanda – tanda vital
b. Kaji adanya faktor peningkatan infeksi
c. Jelaskan kepada pasien tentang penyebaran infeksi
Kolaborasi : Kolaborasi pemberian medikasi terapi antibiotic cefixime

Nyeri Akut

1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan anestesi gangguan rasa nyaman


nyeri dapat teratasi
2) Kriteria hasil :
a. Pasien mengatakan nyeri berkurang
b. TTV dalam batas normal :
Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit

3) Rencana intervensi
a. Kurangi faktor yang dapat menambah nyeri, ketidak percayaan, kesalaah
pahaman, ketakutan, kelelahan, dan kebosanan.
b. Kaji PQRST
c. Modifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik seperti :
- Teknik distraksi
- Teknik relaksasi
- Stimulasi kulit
d. Berikan obat anlgesic yang bertujuan mengganggu atau memblok transmisi
stimulas agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal
terhadap nyeri
e. Kaji TTV pasien
E. Daftar Pustaka

Dahlia.2014. Asuhan Keperawatan Pada SC. Dikutip dari


http://repository.ump.ac.id/1962/3/DAHLIA%20BAB%20II.pdf. 8 Januari 2020

Hanifa,A.2017.Tinjauan Teori Anestesi. Dikutip dari


http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/415/5/Chapter2.pdf. 8 Januari 2020

Sintia.2017. Anestetika Anestesi. Dikutip dari


https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/870018443608186f257c409b3f18c80f.PD
F. 8 Januari 2020

Uknown.2017. Konsep Anestesi. Dikutip dari


http://perpustakaan.poltekkesmalang.ac.id/assets/file/kti/1301460050/7_BAB_II.pdf. 8
Januari 2020

Uknown.2016.Laporan Pendahuluan SC. Dikutip dari


http://www.academia.edu/download/53825184/LAPORAN_PENDAHULUAN_SC.doc
x. 8 Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai