Kedua : Rekomendasi
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku selama pandemi COVID-19,
dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan, akan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua
pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
3. Hal-hal yang belum jelas akan diterangkan dalam bayan.
Ditetapkandi : Jakarta
Pada tanggal : 12 Syawwal 1441 H
4 Juni 2020 M
1. Kurban atau udhhiyah adalah menyembelih hewan tertentu, yaitu unta, sapi/kerbau,
atau kambing dengan tujuan beribadah kepada Allah pada Hari Raya Idul Adha dan
tiga Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.
2. COVID-19 adalah coronavirus desease, penyakit menular yang disebabkan oleh corona
virus yang ditemukan pada tahun 2019.
Kedua:Ketentuan Hukum
1. Shalat Idul Adha hukumnya sunnah muakkadahyang menjadi salah satu syi’ar
keagamaan (syi’ar min sya’air al-Islam).
2. Pelaksanaan shalat Idul Adha saat wabah COVID-19mengikuti ketentuan Fatwa MUI:
a. Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah di Saat Wabah Pandemi
COVID-19;
b. Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat
Pandemi COVID-19;
c. Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Shalat Jum’at dan Jamaah Untuk
Mencegah Penularan Wabah COVID-19.
3. Ibadah kurban hukumnya adalah sunnah muakkadah, dilaksanakan dengan
penyembelihan hewan ternak.
4. Ibadah kurban tidak dapat diganti dengan uang atau barang lain yang senilai,
meski ada hajat dan kemaslahatan yang dituju.Apabila hal itu dilakukan, maka
dihukumi sebagai shadaqah.
5. Ibadah kurban dapat dilakukan dengan cara taukil, yaitu pekurban menyerahkan
sejumlah dana seharga hewan ternak kepada pihak lain, baik individu maupun
lembaga sebagai wakil untuk membeli hewan kurban, merawat, meniatkan,
menyembelih, dan membagikan daging kurban.
6. Pelaksanaan penyembelihan kurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk
mencegah dan meminimalisir potensi penularan, yaitu:
a. Pihak yang terlibat dalam proses penyembelihan saling menjaga jarak fisik
(physical distancing)dan meminimalisir terjadinya kerumunan.
b. Selama kegiatan penyembelihan berlangsung, pihak pelaksana harus menjaga jarak
fisik (physical distancing), memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun
selama di area penyembelihan, setiap akan mengantarkan daging kepada penerima,
dan sebelum pulang ke rumah.
c. Penyembelihan kurban dapat dilaksanakan bekerja sama dengan rumah potong
hewan dengan menjalankan ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12
Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.
d. Dalam hal ketentuan pada huruf (c) tidak dapat dilakukan, maka penyembelihan
dilakukan di area khusus dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan,
aspek kebersihan, dan sanitasi serta kebersihan lingkungan.
e. Pelaksanaan penyembelihan kurban bisa mengoptimalkan keluasan waktu selama 4
(empat) hari, mulaisetelah pelaksanaan shalat Idul Adhatanggal 10 Dzulhijjah
hingga sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah.
f. Pendistribusiandaging kurban dilakukan dengan tetap melaksanakan protokol
kesehatan.
7. Pemerintah memfasilitasi pelaksanaan protokol kesehatan dalam menjalankan ibadah
kurban agar dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan terhindar
dari potensi penularan Covid-19.
Ketiga:Rekomendasi
1. Pengurus masjid perlu menyiapkan penyelenggaraan shalat Idul Adha dan
penyembelihan hewan kurban dengan berpedoman pada fatwa ini.
2. Umat Islam yang mempunyai kemampuan dihimbau untuk melaksanakan kurban, baik
dilaksanakan sendiri maupun dengan cara diwakilkan (taukil).
3. Panitia kurban agar menghimbau kepada umat Islam yang tidak terkait langsung
dengan proses pelaksanaan ibadah kurban agar tidak berkerumun menyaksikan proses
pemotongan.
4. Panitia Kurban dan Lembaga Sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban
perlu menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
5. Pemerintah perlu menjamin keamanan dan kesehatan hewan kurban, serta menyediakan
sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong
hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal.
Keempat:Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari membutuhkan penyempurnaan, akan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua
pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 65 Dzul Qa’dah1441 H
6 Juli 2020 M
Menegaskan kembali Ketentuan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 angka 7 yang
menetapkan: “Pengurusan jenazah (tajhiz al-jana’iz) yang terpapar COVID-19, terutama
dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh
pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk
menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar
tidak terpapar COVID-19.”
Umat Islam yang wafat karena wabah COVID-19 dalam pandangan syara’ termasuk kategori
syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, dishalati,
dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi
ketentuan-ketentuan protokol medis.
Pedoman memandikan jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Jenazah dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya;
b. Petugas wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani;
c. Jika petugas yang memandikan tidak ada yang berjenis kelamin sama, maka dimandikan oleh
petugas yang ada, dengan syarat jenazah dimandikan tetap memakai pakaian. Jika tidak,
maka ditayamumkan.
d. Petugas membersihkan najis (jika ada) sebelum memandikan;
e. Petugas memandikan jenazah dengan cara mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh;
f. Jika atas pertimbangan ahli yang terpercaya bahwa jenazah tidak mungkin dimandikan, maka
dapat diganti dengan tayamum sesuai ketentuan syariah, yaitu dengan cara:
1) Mengusap wajah dan kedua tangan jenazah (minimal sampai pergelangan) dengan debu.
2) Untuk kepentingan perlindungan diri pada saat mengusap, petugas tetap menggunakan
APD.
g. Jika menurut pendapat ahli yang terpercaya bahwa memandikan atau menayamumkan tidak
mungkin dilakukan karena membahayakan petugas, maka berdasarkan ketentuan dlarurat
syar’iyyah, jenazah tidak dimandikan atau ditayamumkan.
a. Setelah jenazah dimandikan atau ditayamumkan, atau karena dlarurah syar’iyah tidak
dimandikan atau ditayamumkan, maka jenazah dikafani dengan menggunakan kain yang
menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman dan tidak
tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas.
b. Setelah pengafanan selesai, jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air
dan udara dengan dimiringkan ke kanan sehingga saat dikuburkan jenazah menghadap ke
arah kiblat.
c. Jika setelah dikafani masih ditemukan najis pada jenazah, maka petugas dapat mengabaikan
najis tersebut.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menekankan penularan virus Corona secara airborne
ini dapat terjadi terutama di ruangan tertutup. PDPI mengimbau agar masyarakat tidak panik dan
mengikuti protokol kesehatan tambahan.
"Dalam pencegahan di masyarakat, selain menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat,
penerapan social distancing saat ini yang terbaru dari WHO adalah physical distancing," kata
anggota Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Wiku Adiasasmito, dalam
konferensi pers BNPB yang ditayangkan di YouTube, Minggu (22/3/2020).
Imbauan ini hanya untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Sehingga masyarakat diminta
menjaga jarak fisik dari orang lain. "Namun, menjaga jarak fisik bukan berarti kita memutus
hubungan sosial dengan orang yang kita cintai dari keluarga kita," kata Kerkhove.
Terhubung secara sosial
Dilansir Futurism, sama hal dengan WHO, profesor psikologi dari Universitas Stanford, Jamil
Zaki juga berpendapat bahwa sudah saatnya kita menghentikan pemakaian frasa social
distancing.
"Saya pikir, kita harus mulai membingkai ulang apa yang sedang kita lakukan sekarang. Kita
saat ini sedang menjaga jarak fisik atau physical distancing dengan orang lain untuk menekankan
bahwa kita tetap dapat terhubung secara sosial bahkan ketika fisik tak bertemu," kata Zaki dalam
sebuah pertemuan di universitasnya.
"Teknologi yang sering kita salahkan karena merusak tatanan sosial mungkin sekarang justru
sangat berguna untuk menyatukan semua orang," imbuh Zaki.
OLEH:
AHYATUR RAHMAT
2020