PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesa
Alloanamnesa dengan keluarga pasien dilakukan di IGD RS
• Keluhan utama : Nyeri Perut Bagian Bawah 2 minggu yang lalu
2
Riwayat Obsetri
Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut :
II. Ini
Riwayat KB
Menggunakan suntik 3 bulan
3
i. Batas atas jantung di sela iga 3 garis sternal kiri
ii. Batas kanan jantung di sela iga 4 garis sternal kanan
iii. Batas kiri jantung di sela iga 4 garis midklavikula kiri
d. Auskultasi : Bunyi jantung I – II regular, tidak ada murmur, tidak ada
gallop
12. Pulmonal
a. Inspeksi : Gerak simetris saat statis dan dinamis.
b. Palpasi : : Simetris kanan-kiri.
c. Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler, wheezing tidak ada, rhonki tidak ada.
13. Abdomen
a. Inspeksi : Distensi (-), luka bekas operasi (-), striae gravidarum (-)
b. Auskultasi : Bising usus positif normal
c. Palpasi : Supel, hepar tidak teraba, Lien tidak teraba. Nyeri tekan (-).
Turgor baik.
d. Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen
14. Ektremitas : Edema -/- , Spasme -/-
Darah Lengkap
CT : 5’15’’
BT : 3’0’’
4
HbsAg Rapid : Non Reaktif
Anti HIV Rapid : Non Reaktif
RDT Covid-19
- IgG : Non-Reaktif
- IgM : Non-Reaktif
2.5.. Resume
Pasien dibawa ke IGD RS Islam Yatofa oleh kakek dan nenek pasien dengan
penurunan kesadaran setelah kejang. 4 hari lalu karena peningkatan suhu dirasakan
tinggi, nenek pasien membawa pasien berobat ke puskesmas dan pasien dirawat di
puskesmas dengan diagnosis Typhoid.. Riwayat jatuh diakui nenek pasien namun
nenek pasien tidak mengetahui dengan jelas. Keluhan lain seperti demam (+), batuk
(+) dan pilek (+).
Pemeriksaan Fisik
• Compos Mentis GCS 12 (E4V5V6)
• Mata konjungtiva masih dalam batas normal
• Mukosa bibir normal
• Ekstremitas : akral hangat (+/+), tidak ada deformitas
Pemeriksaan penunjang
o Hemoglobin 12,8 g/dL
o Hematokrit 37.3 %
o Leukosit 8.200 uL
2.7 Tatalaksana
IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/8 jam (Pre-op)
Inj. Asam Traneksamat 1 gr/8 jam
5
Inj. Ranitidine /8jam
Inj. Furamin 1 gr/8 jam
Cek Hb 2 jam post-op
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
2.10 Follow Up
Jam Pemeriksaan Fisik dan Tindakan
21.30 S/ Pasien masih belum sadar sejak datang ke IGD
O/ HR : 54x/menit RR : 32x/menit
S : 36.9° C Sat : 91%
P/ IVFD D5% NS 14 tpm
Inj. Ampicilin 3x600mg
Inj. Paracetamol 3x18cc
22.00 S/ Pasien masih belum sadar
O/ HR : 54x/menit RR : 28x/menit
S : 36.9° C Sat : 90%
P/ Pemeriksaan Laboratorium GDS ↑ IVFD RL 14 tpm
00.00 S/ Pasien masih belum sadar
O/ HR : 60x/menit RR : 32x/menit
S : 37.8° C Sat : 93%
P/ Observasi ↑ Suhu
01.00 S/ Pasien masih belum sadar, namun GCS sudah berubah menjadi E1V2M4
O/ HR RR: 64x/menit RR : 38x/menit
S S : 39,8° C Sat : 95%
P/ Observasi ↑ Suhu Pasien dikompres
02.00 S/ Pasien masih belum sadar
O/ HR : 43x/menit RR : 36x/menit
S : 39,0° C Sat : 97%
P/ Observasi ↑ Suhu Pasien dikompres
06.00 S/ Pasien dengan kesadaran yang sama dan dilakukan pemeriksaan kaku kuduk
pada pasien
O/ HR : 50x/menit RR : 40x/menit
S : 39,5° C Sat : 95%
P/ Konsul dr.Diah Sp.A
6
Advice :
• Injeksi Ceftriaxone 2x450 mg
• Injeksi Dexamethasone Loading 10 mg
Maintenance 3 x 3 mg
• Injeksi Paracetamol 3 x 18 cc
• KIE Kesadaran Pasien
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar
kavum uteri, yaitu bila sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan
ektopik karena kehamilan pada pars interstitialis tuba dan kanalis servikalis masih
termasuk dalam uterus tetapi jelas bersifat ektopik.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/
melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim.
Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan
ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba.
3.2. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan intrauteri dalam satu konsepsi yang
spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka kehamilan ektopik per 1000
diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7
hingga 12,9. Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
8
meningkat. Diantara faktorfaktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat
kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan
pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi.
3.3. ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam bukunya menjelaskan
beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan ektopik terganggu.
1. Faktor Mekanis
Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/ infeksi pasca nifas, apendisitis, atau
endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau penyempitan lumen
Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium asesorius dan hipoplasi.
Namun ini jarang terjadi
9
Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha untuk
memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi
Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan pada
adneksia
Penggunaan IUD.
4. Hal lainnya, seperti riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya.
10
a. Endometriosis tuba dapat mempermudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba;
b. Divertikel tuba congenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi di tempat ini.
3. Factor di luar dinding tuba
4. Factor lain
a. Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus;
pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
premature.
b. Fertilisasi in vitro.
11
kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran
tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim.
3.5 KLASIFIKASI
1) Kehamilan Pars Interstisialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstisialis tuba.
Keadaan ini jarang terjadi dan hanya satu persen dari semua kehamilan tuba.
Rupture pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir
bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera
dioperasi akan menyebabkan kematian.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparatomi untuk membersihkan isi kavum
abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber perdarahan
dengan melakukan irisan baji (wegde resection) pada kornu uteri dimana tuba pars
interstisialis berada.
3) Kehamilan Ovarial
12
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh
jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial
biasanya terjadi rupture pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam
perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya sehingga tidak
terjadi rupture, ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran yang terdiri atas
ovarium yang mengandung darah, vili korialis dan mungkin juga selaput mudigah.
4) Kehamilan servikal
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam
kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan
muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri
eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu
dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil
konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk
menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis. Paalman dan Mc ellin
(1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut :
a. Ostium uteri internum tertutup
b. Ostium uteri eksternum terbuka sebagian
c. Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoservik
d. Perdarahan uterus setelah fase amenore tanpa disertai rasa nyeri
e. Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga
terbentuk hour-glass uterus
3.6 PATOFISIOLOGI
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu telur berimplantasi pada ujung atau
sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya
vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian diresorpsi. Pada nidasi
secara interkolumner telur bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat
nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang
menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di
tuba tidak sempurna, dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke
dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat
implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi
trofoblas.
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium dapat pula
berubah menjadi desidua.
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping-keping atau dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam
yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan
oleh pelepasan desidua yang degenerative.
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga tidak mungkin
janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba
terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu. Terdapat beberapa
kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya terlambat untuk beberapa hari.
14
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya
pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi pada
kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah
penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat mengalir
ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat,
ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh
invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur
terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2
lapisan ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi kehamilan
intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita. Bila
janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya, dan bila besar dapat diubah
menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh terus dalam rongga
perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan abdominal sekunder.
15
Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian uterus, ligamentum
latum, dasar panggul dan usus.
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau
ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita
dengan gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai adanya kehamilan ektopik
harus ditangani dengan sungguh- sungguh menggunakan alat diagnostik yang ada
sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan ektopik karena jika terlambat
diatasi dapat membahayakan jiwa penderita.
2. Kehamilan ektopik terganggu
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala
yang tidak jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik
16
terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang
terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut
biasanya tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-
tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang
lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan
dingin. Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk
ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut
bawah dan bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi nyeri.
Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat dan pada pemeriksaan
ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada pemeriksaan
ginekologik ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan dan kavum Douglas
yang menonjol dan nyeri raba.5 Pada abortus tubabiasanya teraba dengan jelas
suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak
lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglas.
3.8 DIAGNOSIS
Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada perdarahan dalam
rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Pada jenis tidak mendadak perut
bagian bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri tekan.1 Kehamilan ektopik
yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya
gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
18
ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus tidak mendadak
biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru
terlihat setelah 24 jam. Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya
perdarahan bila leukosit meningkat (leukositosis). Untuk membedakan kehamilan
ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhaikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang
lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvik.
Penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang paling mudah
ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β human chorionic
gonadotropin (β-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini dapat dideteksi paling
awal pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi berikutnya. Konsentrasi serum
yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin ialah 20–50 IU/L. Tes
kehamilan negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu
karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan human
chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif. Tes kehamilan
positif juga tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional. Meskipun
demikian, wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level β-hCG yang
rendah dibandingkan kehamilan intrauterin.
Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang
tdak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil. Hasil negatif bila cairan yang
dihisap berupa :
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista
ovarium yang pecah.
19
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku, darah
ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
20
3.9 PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
22
Gambar 3.3 Salpingostomi
b. Reseksi segmental
c. Salpingektomi
2. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik
secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik
secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan.
Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang invasif,
menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi
fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan.
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
pernah dicoba ditangani menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan
pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah:
a. Kehamian di pars ampularis tuba belum pecah
Obat yang digunakan ialah methotreksat (MTX) 1 mg/kgBB i.v. dan faktor
sitrovorm 0,1 mg/kgBB i.m. berselang seling setiap hari selama 8 hari.
Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis
DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate
reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX
dapat secara oral, sistemik iv,im atau injeksi lokal dengan panduan USG atau
laparoskopi. Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan
salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus
berhasil diobati dengan lain.
Efek samping yang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang
tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi
sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis,
pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan
24
dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang
sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid
(leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat
namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic
acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada
sel-sel tersebut. Sebelumnya penderita diperiksa dulu kadar hCG, fungsi hepar,
kreatinin, golongan darah.Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX,
kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari
kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka MTX tidak diberikan lagi dan kadar
hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar
hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4
atau menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50
mg/m2 kedua.
Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini
sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis
sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit
ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri
abdomen.
3.10. PROGNOSIS
Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu turun
sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup.
Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya bersifat
bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan) setelah
mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami kehamilan
ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain.
Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai resiko
10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang sudah
mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat kemungkinan
50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang.
25
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas wanita.
Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60% kemungkinan
wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih 10% mengalami
kehamilan ektopik berulang
26
BAB IV
PEMBAHASAN
27
DAFTAR PUSTAKA
3. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/kehamilan-ektopik.pdf.
4. http://www.lusa.web.id/nidasi-atau-implantasi/.
28