Anda di halaman 1dari 6

TUGAS I

GENDER DALAM HUKUM


Dosen Pengampu: Drs. Ketut Sudiatmaka, M.Si

I Gusti Ayu Pramita Agastyari NIM.1914101052


Ilmu Hukum 4 B

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2021
1. Mengapa Ideologi dapat memarginalkan perempuan?
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai Ideologi
bangsanya. Menjunjung tinggi rasa keadilan sebagaimana tertera dalam asas “equality before
the law” yang memiliki makna bahwa semua orang sama dihadapan hukum, ditekankan
dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa semua
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dibentuknya dan
disusunnya ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan agar tak menimbulkan permasalahan yang
berindikasi pada suatu bentuk ketidak-adilan seperti ketimpangan atau diskriminasi yang
memarginalkan suatu pihak. Akan tetapi, kerap terjadi bahwa das sein dan das sollen tak
berjalan selaras. Diskriminasi baik dari segi status sosial hingga gender bukanlah suatu
perihal asing yang terjadi dalam masyarakat.
Berfokus pada diskriminasi dalam konteks gender, di mana yang dimaksud dengan
diskriminasi gender ini adalah pembedaan perlakuan yang didasari atas jenis kelamin.
Sejatinya, gender lazim dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat ideologis. Artinya, gender
bukanlah sesuatu yang kodrati, melainkan bagian dari sebuah konstruksi sosial (Liza Hadiz,
1993:47). Terlihat dalam realitasnya, ideologi gender ini acap kali tidak disadari merambat
pada diskriminasi jenis kelamin yang terkesan sebagai hal lumrah, biologic, inheren atau
kodrati. Banyaknya asumsi-asumsi sosial budaya yang cenderung bersifat negatif terkait
peran dan kemampuan dilekatkan terhadap presepsi bahwa perempuan bersifat inferior dan
laki-laki bersifat superior. Hal tersebutlah yang memengaruhi akses perempuan dalam
memperoleh berbagai kesempatan yang ada.
Menilik pada sebuah contoh yang bersumber dari akibat terkait asumsi yang telah
dipaparkan sebelumnya, perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih
terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan lebih rendah dengan imbalan yang rendah
layaknya seperti pekerjaan pengasuhan, pelayanan dan lain sebagainya. Perempuan
digolongkan ke dalam kelompok lemah, tak terlindungi, dan selalu dalam keadaan penuh
resiko yang sangat rentan dengan bahaya. Sehingga perkara terkait ketidak-adilan gender
kerap menimpa perempuan berupa tindakan kekerasan.
2. Jelaskan bagaimana bentuk-bentuk marginalisasi perempuan dalam keluarga
masyarakat Patriarki?
Berasal dari kata patriarkat menjadikan patriarki memiliki makna yaitu suatu struktur
yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.
Dalam suatu keluarga masyarakat, sistem budaya patriaki hingga saat ini masih terjaga
eksistensinya, Kekuasaan yang berasal dari pihak laki-laki, di mana ketika pihak yang
berkuasa itu berhasil meminggirkan hak dari pihak yang dinilai lemah, maka kesempatannya
untuk berkuasa tetap bertahan. Sistem patriarki kerap mendominasi kebudayaan masyarakat
yang menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang memengaruhi hingga
ke berbagai aspek kegiatan manusia.
Marginalisasi merupakan suatu proses peminggiran atau pemiskinan, yang
mengakibatkan kemiskinan. Umumnya terlihat dalam segi ekonomi. Melihat pada perkara
program Revolusi Hijau pada masa Orde Baru pemerintahan Presiden kedua Negara
Kesatuan Republik Indonesia yaitu Bapak Soeharto. Pada masa itu, penyelenggaraan
pelatihan pertanian yang hanya hanya berfokus pada pihak petani laki-laki. Abikbatnya, tak
sedikit petani perempuan yang harus tergusur dari sawah dan pertanian. Di lain sisi tak jarang
adanya asumsi bahwa pekerjaan seperti pembantu rumah tangga merupakan pekerjaan yang
dianggap paling cocok bagi perempuan. Di mana perempuan kerap menlaksanakan pekerjaan
yang notabenenya lebih rendah dari pekerjaan laki-laki sehingga berpengaruh terhadap
perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
3. Pada sistem keluarga matriarki, seperti di Minangkabau, apakah laki-laki
termarginalkan? Jelaskan.

Minangkabau, sebuah daerah di pulau Sumatera, yang sekarang identik dengan


wilayah Sumatera Barat. Merupakan suatu kultur budaya yang sangat unik karena terkenal
sebagai populasi penganut sistem keluarga matriarki terbesar di dunia. Dalam sistem
matrilineal yang diterapkan oleh masyarakat Minangkabau, memposisikan perempuan dalam
kedudukan tertinggi pada suatu sistem kekeluargaan. Perempuan dianggap berkuasa atas
harta pusaka dalam keluarga. Tidak terlepas dari itu, penentu penghitungan garis keturunan
serta kelompok kekerabatan yang tertuang di dalamnya didasari oleh garis keturunan
perempuan. Bahwasannya laki-lakilah yang masuk ke dalam kelompok keluarga perempuan.
Berbicara terkait mengenai termarjinalkan atau tidaknya pihak laki-laki dalam sistem
kekeluargan matriarki yang dianut oleh masyarakat Minangkabau antara pihak laki-laki dan
perempuan sesungguhnya keduabelah pihak memiliki peranan serta tugas yang dijalankan
terbilang cukup seimbang. Perempuan Minang oleh adat diberikan hak properti, seperti
memiliki sawah, rumah, ladang, dan tanah. Sedangkan mamak (saudara laki-laki dari
sukunya) bertugas memberikan perlindungan kepada pihak perempuan. Terkait pembuatan
suatu keputusan dalam sistem kekeluargaan tetap diwakili oleh kaum laki-laki. Berlanjut
dalam struktur sosial yang lebih luas posisi laki-laki kerap pula mewakili kepentingan
keluarga untuk urusan-urusan dengan pihak luar (Syahrizal: 2005: 4). Hal ini didasari atas
keterbatasan fisik dari perempuan itu sendiri. Sehingga dinyatakan bahwa keduanya memiliki
peranan dan tugas yang berbeda akan tetapi saling menyesuaikan satu sama lainnya. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara pihak laki-laki dan perempuan hal tersebut tak didasari atas
ketentuan yang telah ditetapkan melainkan terjadinya penyelewengan kewajiban dari pihak
individu dalam sistem kekeluargaan tersebut. Menilik pada kesempatan dalam mendapatkan
pendidikan pada pihak laki-laki. Berdasarkan realitasnya dinyatakan sangat memprioritaskan
pendidikan. Sehingga kerap kali pergi merantau dengan waktu yang tak dapat ditentukan.

Hingga saat ini sistem kekeluargaan matriarki yang terdapat di Minangkabau tetap di
pertahankan oleh masyarakat yang termuat di dalamnya. Sistem matriarki tidak hanya
menjadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi menjadi suatu budaya atau way of live.
Tak jarang pula aturan-aturan yang tertuang di dalamnya disesuaikan agar tetap sejalan
dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya sehingga dapat menjaga keeksistensian
terhadap apa yang telah dipercayai.

4. Bagaimana bentuk ketidak-adilan hukum, dalam sistem keluarga masyarakat adat di


Indonesia. Jelaskan.
Hukum rakyat Indonesia atau kerap dikatakan sebagai Hukum Adat Indonesia yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke dan dari Niangas hingga Pulau Rote. Terkenal melekat
pada kehidupan masyarakatnya menjadikan Hukum Adat acap kali dikatakan sebagai sistem
kepercayaan. Hal inilah yang membuat Hukum Adat dianggap mampu mengendalikan
perilaku dan perbuatan masyarakatnya. Di setiap daerah memiliki Hukum Adatnya masing-
masing berdsarkan kebudayaan daerah setempat. Adapun yang diatur di dalamnya seperti
sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat di Indonesia. Memuat tiga sistem
kekeluargaan atau kekerabatan yaitu sebagaimana berikut;
a. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari garis laki-laki (ayah). Termuat ketidak-adilan yang menyatakan bahwa laki-laki
lebih superior sedangkan perempuan bersifat inferior. Baik dari sisi kedudukan,
keputusan, hak mewarisi serta perannya di dalam kehidupan keluarga lebih dijunjung
tinggi. Berbeda halnya dengan perempuan yang kerap digolongkan kedalam
kelompok lemah, dimana perempuan dalam sistem ini tak memiliki hak mewarisi
sehingga terkadang keputusan dan kedudukannya termarjinalkan.
b. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari garis perempuan (ibu). Dalam pembagian harta warisan jatuh pada kepada
perempuan, sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa. Dalam
sistem ini laki-laki hanya dianggap sebagai “pejantan” yang dinikahi oleh perempuan
untuk menjaga eksistensi dari pihak perempuan. ditelaah pula dari sisi lain,
matrilineal telah memberikan status secara tegas bagi seorang anak, bahwa anak yang
lahir dalam sistem ini merupakan anak dari ibunya.
c. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Terlihat bahwa sistem ini telah
memuat suatu upaya menciptakan keadilan, tetapi memungkinkan terjadinya
kerancuan di kemudian harinya. Sebagaimana sistem perkawinan pada gelahang di
Bali. Menurut hukum adat Bali, pasangan suami istri pada perkawinan pada gelahang
melaksanakan kewajiban di dua tempat (ganda), yakni kewajiban pada keluarga dan
desa pakraman suami serta kewajiban pada keluarga dan desa pakraman istri, sesuai
dengan ketentuan awig-awig yang berlaku di masing-masing desa pakraman.
Kewajiban melaksanakan aturan adat di dua tempat berindikasi pada kerancuan
terkait status anak dalam hak mewarisi adat istiadat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, A. (2019). Bentuk-Bentuk Perilaku Bias Gender. LENTERA: Journal Of Gender and


Children Studies, 1(1).

Ariani, I. (2015). Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya bagi


Pengembangan Hak-hak Perempuan di Indonesia). Jurnal Filsafat, 25(1), 32-55.

Dewi, K. L., Yanzi, H., & Nurmalisa, Y. (2015). Pengaruh Sistem Patrilineal terhadap
Kesetaraan Gender dalam Masyarakat Bali di Desa Trimulyo. Jurnal Kultur
Demokrasi, 4(1).

Hadiz, L. (1993). Ideologi Gender Di Balik Definisi Legal-Formal: Analisis Sosioiogis Terhadap
Definisi Perkosaan di Dalam Hukum. Jurnal Hukum & Pembangunan, 23(1), 43-58.

Krisnalita, L. Y. (2018). Perempuan, Ham dan Permasalahannya di Indonesia. Binamulia


Hukum, 7(1), 71-81.

Puspitarini, Y. D. (2015). Ideologi Gender Dalam Konstruksi Kurikulum Program Studi (Kajian


di Program Studi Pendidikan Guru PAUD dan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan
Rekreasi Universitas Negeri Semarang (Doctoral dissertation, Universitas negeri
Semarang).

Sakina, A. I. (2017). Menyoroti budaya patriarki di Indonesia. Share: Social Work Journal, 7(1),


71-80.

Susanto, N. H. (2015). Tantangan mewujudkan kesetaraan gender dalam budaya


patriarki. Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 7(2), 120-130.

Anda mungkin juga menyukai