Anda di halaman 1dari 8

DISKUSI

HUKUM ACARA PIDANA

Dosen Pengampu: Ni Putu Rai Yuliartini, S.H.,M.H.

Disusun oleh:

I Gusti Ayu Pramita Agastyari NIM. 1914101052

Ilmu Hukum 4 B

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2021
SOAL NO. 1
Seseorang bernama A dilaporkan sebagai telah melakukan pemerkosaan dan kemudian oleh
Polisi A ditangkap dan ditahan dengan tanpa adanya surat perintah penangkapan atau penahanan.
Si A dalam pemeriksaan Polisi berkeinginan untuk didampingi Pengacara atau Advokat namun
ditolak dengan alasan bahwa A telah terbukti melakukan tindak pidana perkosaan sehingga tidak
perlu didampingi pengacara selama dalam proses penyidikan di Kepolisian.
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat saudara terhadap tindakan Kepolisian dalam kasus tersebut
diatas ditinjau dari asas-asas yang ada dan berlaku dalam hukum acara pidana.
Jawaban:
Membahas mengenai Hukum Acara Pidana didefinisikan sebagai hukum yang mengatur
tentang cara bagiamana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil,
sehingga memperoleh keputusan Hakim dan tata cara bagaimana isi keputusan tersebut
dilaksanakan. Tertuang dalam Kitab Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Adapun tujuan dari dibentuk dan disusunnya Hukum Acara Pidana yaitu untuk mengatur
perlindungan terhadap keluhuran harkat serta maratabat seseorang dengan mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran melalui penuntutan yang dilaksanakan
berdasarkan pemeriksaan sehingga dapat menghasilkan suatu putusan. Bahwasannya hal tersebut
dilakukan guna mempermudah dalam mencari pelaku yang dapat didakwakan dalam melakukan
suatu pelanggaran hukum yang selanjutnya Pengadilan akan melakukan permintaan pemeriksaan
serta melakukan putusan untuk menemukan kebenaran terkait apakah suatu tindak pidana telah
dilakukan serta dapat dibuktikan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Tentunya di dalam Hukum Acara Pidana memuat asas-asas yang terkandung dan tertuang
di dalamnya, sehingga kerap dijadikan sebagai patokan hukum dan juga pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Termuat 15 asas yaitu; (1) Asas Legalitas; (2) Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi; (3)
Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Berdasarkan Perintah Tertulis; (4)
Asas Peradilan Cepat, Sederhana Biaya Ringan; (5) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of
Innocence); (6) Asas Persidangan dengan Hadirnya Terdakwa; (7) Asas Terbuka Untuk Umum;
(8) Asas Equality before The Law; (9) Asas Oportunitas; (10) Asas Peradilan Dilakukan oleh
Hakim karena Jabatannya; (11) Asas Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan
Hukum; (12) Asas Akusator (Accusatior); (13) Asas Inkisitor (Inquisitor); (14) Asas
Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan; (15) Asas Pegawasan dan Pelaksanaan
Keputusan.
Berdasarkan pada hal tersebut, membahas megenai kasus yang telah dipaparkan pada
bagian soal, termuat empat asas yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam menentukan
berhak atau tidaknya aparat kepolisian dalam melakukan upaya penangkapan atau penahanan
tanpa adanya surat perintah penangkapan atau penahanan serta menentukan boleh atau tidaknya
pendampingan advokat dari pihak tersangka yang notabenenya telah terbukti melakukan tindak
pidana pemerkosaan. Adapun alasan digunakannya keempat asas tersebut akan dijelaskan lebih
terperinci sebagaimana berikut;
a. Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Berdasarkan Perintah
Tertulis
Mengulik mengenai keberhakan aparat kepolisian melakukan upaya penangkapan
atau penahanan, tentu diperlukan adanya surat perintah atau penahanan dari hakim yang
berwenang. Hal ini didasari atas ketentuan yang telah diatur dalam pasal 21 Ayat 2 Kitab
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyatakan bahwa “Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah
penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
atau didakwakan serta tempat ia ditahan”. Kewajiban ini tentunya didasari guna mencegah
adanya penangkapan atau penahanan yang bertindak sewenang-wenang, bahwasannya
memang benar ditujukan kepada orang yang melakukan tindak pidana. Surat penangkapan
atau penahanan yang dijatuhkan juga wajib memuat bukti yang kuat dengan berpijak serta
berpedoman pada landasan hukum yang dijadikan sebagai sarana dalam mengatur
masyarakatnya.
Berdasarkan pada kasus diatas di mana aparat kepolisian tidak memberikan surat
penangkapan atau penahanan terhadap tersangka, hal ini belum dapat menyatakan bahwa
polisi tersebut menyalahi aturan sebagaiamana tertuang dalam pasal 21 Ayat 2 KUHAP.
Berlandaskan pada ketentuan pasal 18 Ayat 2 KUHAP yang berbunyi “Dalam hal tertangkap
tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap
harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik peinbantu yang terdekat”. Adapun makna dari tertangkap tangan tersebut tertuang
pada Pasal 1 Ayat 19 KUHAP yang menyatakan bahwa “Tertangkap tangan adalah
tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera
sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh
khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu
yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu”.
Pertimbangan ini dijatuhkan karena memuat kata “dilaporkan” yang menuai makna
bahwa tindak pidana pemerkosaan tersebut diadukan karena telah melakukan tindakan yang
tidak sebagaimana mestinya. Di mana dalam hal ini, khalayak masyarakat yang menciduk
adanya tindak pidana pemerkosaan yang sedang berlangsung dan/atau telah berlangsung
tersebut dapat dijadikan sebagai landasan dalam upaya memperkuat bukti dari dilakukannya
penangkapan atau penahanan oleh aparat kepolisian. Termuat pula unsur pemaksaan pada
pihak korban yang mendesak keadaan dan mengharuskan terjadinya penangkapan atau
penahanan oleh polisi sesegera mungkin guna melindungi korban tersebut agar tak
menimbulkan permasalahan yang lebih panjang.
b. Asas Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Pemaknaan terkait Asas Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
merupakan suatu upaya yang dibentuk dan disusun sedemikian rupa yang semata-mata
ditujukan untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa. Sebagaimana tertuang pada
pasal 54 KUHAP yang menyatakan bahwa “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang ini”. Tertuang pula pada pasal 57 Ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa
“Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat
hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”.
Perihal tersebut kerap ditujukan sebagai bentuk menghindari kemungkinan bahwa
penyidikan terhadap tersangka atau terdakwa menyangkut mengenai peryataan yang
dilontarkan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Hal tersebut dapat terjadi karena tak
memiliki kelebihan dalam pengetahuan tentang strategi untuk membela hak-hak pribadinya.
setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum
yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
Bersangkutan dengan kasus yang dikulik pada diskusi kali ini, menyatakan bahwa
polisi melarang tersangka untuk didampingi oleh Pengacara atau Advokat dalam
pemeriksaan di kepolisian dengan mengajukan penolakan yang beralasan bahwa tersangka
telah terbukti melakukan tindak pidana pemerkosaan. Hal tersebut tak semestinya dilakukan
karena penting adanya kehadiran Pengacara atau Advokat dari pihak tersangka pada setiap
pemeriksaan penyidikan. Paling tidak hal tersebut dapat mencegah penyidik dalam berlaku
yang tidak semestinya, seperti melakukan luapan emosi berupa paksaan, tekanan hingga
kekerasan yang berindikasi pada tindakan yang tak manusiawi.
Tertuang dalam pasal 117 Ayat 1 yang berbunyi “Keterangan tersangka dan atau
saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk
apapun”, terkadang das sein dan das sollen tak berjalan selaras. Antara ketentuan yang telah
ditetapkan dan realitas yang terjadi di masyarakat tak jarang menuai ketimpangan.
Diperlukan adanya pencegahan guna meminimalisir kejadian tersebut. Bahwasannya, tak
jarang tersangka yang diperiksa berada di bawah tekanan, ancaman bahkan dipukuli dan lain
sebagainya hanya semata-mata untuk mendapat pengakuan dari yang bersangkutan atau
menyetujui saran dari penyidik sehingga menempatkannya pada posisi yang bersalah. Di
mana tersangka tak lagi memberikan keterangan secara bebas sesuai dengan realitasnya, akan
tetapi dipaksa atau dibujuk untuk mengikuti atau menyetujui skenario yang dibuat. Hasilnya,
keterangan yang diberikan tidak sesuai dan justru memberatkan tersangka.
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Membahas mengenai Asas Paduga Tak Bersalah yang kerap pula disebut sebagai
Asas Presumtion of Innocence. Merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang fundamental serta bersumber dari Hak Asasi Manusia yang bersifat
universal. Sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang
menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan di sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Sejatinya, maksud dari diberlakukannya asas ini ditujukan untuk memberikan
perlindungan serta jaminan kepada tersangka terhadap hak asasinya. Tidak terlepas dari asas
ini juga memberikan pedoman pada petugas penyidik agar membatasi tindakannya dalam
melakukan pemeriksaan karena yang diperiksanya adalah manusia yang mempunyai harkat
dan martabat yang sama dengan yang melakukan pemeriksaan. Menilik pada kasus ini, di
mana pihak kepolisian seolah-olah mengkultus bahwa tersangka terbukti melakukan tindak
pidana pemerkosaan sebelum dilakukannya pemeriksaan secara terperinci, sehingga hal ini
seakan memperkuat asumsi bahwa tersangka benar-benar melakukan kesalahan yang tak
patut dibela. Sedangkan di lain sisi, sebelum terjadi ketetapan hukuman terhadapnya pihak
tersangka tak boleh dinyatakan bersalah.

SOAL NO 2
Ada laporan bahwa ada orang bunuh diri dengan cara menggantung dirinya dengan seutas tali di
pohon mangga. Polisi kemudian mengadakan penyidikan akan kejadian tersebut. Akhirnya
berdasarkan atas pemeriksaan forensik ternyata bukan bunuh diri melainkan sebagai
pembunuhan yang mayatnya digantung. Pemeriksaan secara forensik tersebut adalah sebagai
membantu tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan.
Pertanyaan:
1. Ada berapa ilmu pembantu dalam hukum acara pidana.
2. Mengapa ilmu-ilmu tersebut disebut sebagai ilmu pembantu.
Jawaban:
Mengutip dari modul Hukum Acara Pidana yang ditulis oleh Ni Putu Rai Yuliartini,
S.H.M.H., termuat lima ilmu pembantu dalam Hukum Acara Pidana yang terbagi menjadi
beberapa bagian yaitu sebagaimana berikut;
a. Kriminologi, kerap dinyatakan sebagai ilmu yang menyelidiki gejala-gejala terhadap
tindak kejahatan. Di mana mengarah pada awal mula penyebab kejahatan dan tata cara
penanggulangannya.
b. Psikologi, di mana dalam ilmu ini membahas mengenai perilaku dalam memperlakukan
psikis seseorang secara lebih tepat guna menjaga kestabilan perkembangan kejiwaan
yang dimiliki.
c. Kriminalistik, ilmu yang mempelajari tentang perkembangan kejahatan, di mana hal-hal
yang tertuang didalamnya memuat informasi berdasarkan pada bukti-bukti yang
diungkap oleh ilmu pengetahuan lain, seperti contoh forensik, toksiologi, balistik,
datcyloscopie.
d. Psikiatri merupakan suatu ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk penyakit jiwa. Dalam
ilmu ini berfokus pada mengapa orang tersebut cacat dari segi pertumbuhan jiwanya.
Tidak terlepas dari itu, ilmu ini juga membahas mengenai tata cara menentukan bahwa
seseorang dikatakan cacat jiwanya.
e. Teori victim, kerap disebut sebagai ilmu victimology yang mempelajari perihal koban
kejahatan. Dapat dikatakan ilmu ini membahas mengenai sebab timbulnya kejahatan
yang berkaitan dengan peranan si korban.
Terkait mengenai alasan mengapa ilmu-ilmu yang telah dipaparkan sebelumnya
dinyatakan sebagai ilmu pembantu, sejatinya hal tersebut terjadi karena Hukum Acara Pidana
yang notabenenya bertugas dalam mengungkap kebenaran yang utuh. Sehingga dengan
diungkapkannya kebenaran yang untuh dan selengkap-lengkapnya tentu ditujukan guna
mencapai titik keadilan agar tak menuai ketimpangan bagi salah satu pihak. Bersumber pada
kemajuan teknologi baik dibidang informasi, politik, sosial, budaya dan komunikasi yang sangat
berpengaruh terhadap tujuan kuantitas dan kualitas tindak pidana. Akibatnya banyak kasus atau
tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan atau diungkap apabila hanya mengandalkan Hukum
Acara Pidana saja. Sehingga dalam praktek atau fakta menunjukkan tidak sedikit tindak pidana
yang dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. Sehingga keberadaan ilmu bantu
dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.
SUMBER REFRENSI

Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia. (2019). Modul Hukum Acara Pidana. Jakarta:
Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia.

Hausman, Klaus. (2020). Ketahui Hak Anda Jika Berhadapan Dengan Aparat Penegak Hukum.
Diakses online pada https://theconversation.com/ketahui-hak-anda-jika-berhadapan-
dengan-aparat-penegak-hukum-137293. Tanggal 17 April 2021.

Hiariej. Tanpa Tahun. Pengantar Hukum Acara Pidana. Diakses online pada
http://repository.ut.ac.id/4124/1/HKUM4406-M1.pdf . Tanggal 17 April 2021.

Khairunnisa, E. (2019). Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan dan Pemeriksaan


Surat Dalam Sistem Pemidanaan (Menurut Pandangan Hukum Pidana Positif dan Qanun
No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayah) (Doctoral dissertation, Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara).

Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana).

Kusumah, C. P. (2018). Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Korban Anak Di Bawah Sumpah
Dalam Tindak Pidana Asusila Dihubungkan Dengan Asas Kepentingan Terbaik Bagi
Anak. (Doctoral dissertation, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung).

Lubis, Fauiah. (2020). Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Medan: CV. Manhaji

Nurhasan, N. (2017). Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah pada Proses Peradilan Pidana:
Kajian. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 17(3), 205-215.

Pramesti, Tri Jata Ayu. (2020). Hal yang Wajib Diperhatikan Saat Polisi Melakukan
Penangkapan. Diakses online pada

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt560b4bb076c30/hal-yang-wajib-
diperhatikan-saat-polisi-melakukan-penangkapan/ Tanggal 17 April 2021.

Sudjana, I Ketut. (2016). Bahan Kuliah Hukum Acara Pidana Dan Praktek Peradilan Pidana.
Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana

Tobing, Letezia. (2013). Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan. Diakses
online pada https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50a73c1784729/surat-
perintah-penangkapan-dan-surat-perintah-penahanan/. Tanggal 17 April 2021.

Yuliartini, Rai. 2021. Modul Hukum Acara Pidana. Diakses online pada e-learning Universitas
Pendidikan Ganesha. Tanggal 17 April 2021

Anda mungkin juga menyukai