Anda di halaman 1dari 5

A.

Jelaskan 3 buah isu pengembangan wilayah di Indonesia dan bagaimana perkembangannya


dari dulu hingga kini?
Jawab:
Isu pengembangan wilayah di Indonesia menjadi topik yang menarik bagi beberapa peneliti
untuk dikaji. Diantara para peneliti tersebut terdapat Tommy Firman, Hal Hill dan Yogi
Vidyattama yang masing-masing mengambil pendekatan yang berbeda dalam mengkaji isu
pengembangan wilayah di Indonesia.
Hill dalam tulisannya “The challenge of regional development in Indonesia”, membagi isu
yang terkait dengan pengembangan wilayah di Indonesia ke dalam tiga isu utama, yaitu:
1) Isu Administratif dan Koordinasi
Dijelaskan bahwa tahapan pertama dari proses perencanaan wilayah dan koordinasi dari desa
dimulai dengan konsultasi tingkat desa dan kan berujung pada Rakorbangpus di tingkat
nasional. Koordinasi seperti ini dirasa berjalan cuku baik jika menyangkut pembahasan proyek-
proyek besar. Tetapi sering perkembangannya menemui beberapa kesulitan dalam
penerapannya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
- Lembaga legislatif DPRD menuntut peran lebih dalam kebijakan penganggaran, hal ini
menyebabkan siklus pendanaan menjadi lebih rumit dan berdampak kepada penundaan
pelaksanaan suatu proyek.
- perekonomian Indonesia yang lebih besar dan kompleks sehingga pengelolaan seluruh
anggaran pekerjaan modal negara menjadi semakin tidak mungkin dilaksankan dalam
satu proses. Dimana ada terlalu banyak proyek yang harus dinilai, diprioritaskan,
dipantau, dan dievaluasi oleh staf perencana, baik di tingkat provinsi maupun nasional.
Isu lain adalah terkait kapasitas adminstratif di level daerah. Dimana terdapat tantangan khusus
di provinsi yang terpencil dengan standar administrasi publik yang kurang berkembang dengan
baik dan sumber daya manusia yang lebih rendah dibandingkan di pusat atau beberapa provinsi
yang lebih maju. Hal ini dapat dijumpai terutama di wilayah Indonesia Timur.
Isu koordinasi antar pusat dan daerah masih menjadi hambatan yang hingga saat ini masih
muncul dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Akibat ketidakharmonisan
perencanaan antara daerah dan pusat, sering terjadi kegiatan pembangunan yang tidak sinkron
di satu bidang pembangunan. Misalnya, Pemerintah Pusat memiliki kebijakan prioritas untuk
ketahan pangan dengan membangun bendungan untuk memenuhi kebutuhan air dan irigasi
pertanian di suatu wilayah. Sedangkan kebijakan pembangunan saluran irigasi tersier
diserahkan kepada pemda. Namun karena tidak ada koordinasi, maka air dari bendungan yang
selesai dibangun tidak dapat mengairi persawahan karena pembangunan saluran tertier tidak
menjadi prioritas oleh pemda.
Untuk mengatasi kendala koordinasi semacam ini, pemerintah menerapkan prinsip
pembangunan HITS, yaitu Holistik, Intergratif, Tematik, dan Spasial. Selain itu pemerintah
pusata juga memperkenalkan kebijkan Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN adalah proyek
yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki
sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Lebih lanjut, pemerintah
juga mengeluarkan aplikasi KRISNA (Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja
Anggaran) dengan mengintegrasikan sistem dari tiga kementerian, yakni Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PANRB untuk mendukung proses
perencanaan, penganggaran, serta pelaporan informasi kinerja secara lebih menyeluruh.
Aplikasi KRISNA menjadi titik awal interkoneksi semua aplikasi yang dimiliki pemerintah
saat ini dalam sistem e-government, sehingga dapat mendorong pembangunan prioritas yang
tepat sasaran dan efisien. Melalui sistem berbasis elektronik, perencanaan yang disusun
pemerintah pusat dan daerah diharapkan akan lebih efisien dan efektif sehingga kementerian,
lembaga dan pemda dapat menjalankan program yang bermanfaat bagi masyarakat.

2) Isu Keuangan Daerah


Di dalam tulisannya, Hill menyatakan bahwa hanya ada sedikit reformasi sistem keuangan
daerah di Indonesia. Sistem keuangan dinilai terpusat, dengan otoritas pusat yang terlalu kuat
akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki otonomi dalam kebijakan pengeluaran dan
pendapatannya. Selain itu disebutkan bahwa terdapat sedikit insentif bagi pemerintah daerah
untuk meningkatkan sumber pendapatannya yang dpat dipakai untuk mengembangkan
wilayahnya.
Salah satu sumber keuangan Pemda adalah yang dinamakan Pendapatan Asli Daerah yang
meliputi pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lainnya. Daerah yang akhirnya hanya bergantung pada PAD yang nilainya
kecil emngalami masalah dalam membiayai pembangunan daerahnya karena Sebagian besar
pendapatan dialokasikan untuk membayar belanja pegawai.
Meskipun dengan otonomi daerah diharpkan dapat lebih mandiri dalam urusan sumber
keuangannya, namun isu keuangan daerah juga berusaha diatasi oleh Pemerintah Pusat agar
perkembangan daerah dapat lebih merata. Saat ini Sumber pendapatan daerah terdiri atas
sumber-sumber keuangan, sebagai berikut:
- Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lainnya.
- Dana Perimbangan, meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi
Khusus.
- Pendapatan daerah lain yang sah. Bisa dalam bentuk hibah dari pusat, insentif
pembangunan.
Terkait point terkahir, saat ini banyak kegiatan pembangunan di daerah yang pelaksanaannya
dinilai oleh pusat. Kegiatan pembangunan yang dinilai dilaksanakan dengan baik akan
memperoleh dana insentif yang dapat digunakan oleh daerah untuk membiaya pembangunan
di daerahnya. Salah satu contohnya adalah kegiatan hibah air minum dan hibah jalan. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah pusat Bersama dengan pemerintah daerah menerapkan indicator-
indikator pengerjaan proyek. Pemerintah daerah akan mengerjakan proyek terkait air minum
atau jalan dengan menggunakan APDB. Selanjutnya apabila indicator yang sebelumnya
disepakati dapat dipenuhi, maka pemerintah pusat akan mencairkan dana hibah ke daerah untuk
mengganti uang APBD.
3) Isu Regulasi/Peraturan
Aspek-aspek penting dari kerangka regulasi di Indonesia berdampak negatif terhadap
pembangunan provinsi-provinsi wilayah di Timur yang kurang berkembang. Di hampir semua
kasus, intervensi ini tidak dimaksudkan untuk memberikan dampak negatif, tetapi lebih
merupakan hasil yang tidak diinginkan dari penyusunan kebijakan.
Salah satu contoh yang diangkat adalah isu regulasi terkait factor market yang dapat
menghambat kapasitas daerah yang lebih miskin untuk mengeksploitasi keunggulan
komparatif mereka dalam kegiatan ekonomi padat karya atau padat lahan. Diakui bahwa factor
market di Indonesia pada saat penelitian Hill dilakukan, jauh lebih terintegrasi dan efisien
dibandingkan Orde Baru. Lalu pada pertengahan 1960-an, infrastruktur fisik di Indonesia
menjadi sangat buruk sehingga mobilitas tenaga kerja dan jaringan informasi menjadi sangat
terbatas.
Namun demikian, dalam beberapa hal, kerangka peraturan terus menghambat pengoperasian
factor market, umumnya merugikan provinsi-provinsi Timur yang lebih miskin. Salah satu
contohnya adalah peraturan upah minimum. Seperti disebutkan di atas, meskipun disparitas
spasial di Indonesia tergolong sedang menurut standar internasional, namun masih cukup
besar, dengan pendapatan per kapita Jakarta jauh melebihi daerah lain di Kawasan Indonesia
Timur, misalnya provinsi Nusa Tenggara.
Permasalahan terkait besarnya upah minimum provinsi dan kota/kabupaten sebelumnya diatur
melalui Peraturan Pemerintah. Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan
oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam
lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi
berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi.
Menurut Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan, pasal 41 ayat 2 “Upah
minimum sebagaimana dimaksud merupakan Upah bulanan terendah yang terdiri atas: a. Upah
tanpa tunjangan; atau b. Upah pokok termasuk tunjangan tetap”. PP Pengupahan ini juga
menegaskan, bahwa Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja
kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan. Sementara upah bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara
pekerja/buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.
Untuk level provinsi disebut dengan Upah Minimum Propinsi (UMP), yaitu Upah Minimum
yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di satu Provinsi. Upah minimum ini di tetapkan
setiap satu tahun sekali oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi Komisi Penelitian
Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah (sekarang Dewan
Pengupahan Provinsi). Penetapan upah minimum propinsi selambat-lambatnya 60 hari
sebelum tanggal berlakunya upah minimum, yaitu tanggal 1 Januari.
Beberapa dasar pertimbangan dari perlunya dilakukan penetapan upah minimum antara lain:
- Sebagai jaring pengaman agar nilai upah tidak melorot dibawah kebutuhan hidup
minimum.
- Agar hasil pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang
memiliki kesempatan, tetapi perlu menjangkau sebagian terbesar masyarakat
berpenghasilan rendah dan keluarganya.
- Sebagai satu upaya pemerataan pendapatan dan proses penumbuhan kelas menengah
- Kepastian hukum bagi perlindungan atas hak-hak dasar buruh dan keluarganya sebagai
warga negara Indonesia.
- Merupakan indikator perkembangan ekonomi Pendapatan Perkapita.
Namun, belum lama ini Pemerintah menetapkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang
menghapus menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Dalam UU Cipta
Kerja, Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Selain itu, upah minimum yang ditentukan oleh gubernur harus berdasarkan kondisi ekonomi
dan ketenagakerjaan. Tak hanya itu, syarat tertentu pengaturan upah minimum juga
mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang
bersangkutan. Penetapan upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan,
pemerintah daerah harus menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di
bidang statistik.
Selanjutnya, melalui UU Cipta Kerja diharapkan dapat merubah struktur ekonomi yang
akhirnya mampu membuat perubahan terhadap semua sektor untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan melalui: Penciptaan Lapangan Kerja; Peningkatan
Investasi; dan Peningkatan Produktivitas.
Tujuan dari dibuatnya RUU Cipta Lapangan Kerja adalah untuk menciptakan lapangan kerja
yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata. Hal ini dilakukan dalam rangka
memenuhi penghidupan yang layak melalui:
- Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan UMKM serta Perkoperasian;
- Peningkatan ekosistem investasi;
- Kemudahan berusaha;
- Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; dan
- Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Dengan demikian manfaat yang diharapkan dari UU Cipta Kerja antara lain:
- Penyederhanaan dan penyelarasan regulasi dan perizinan
- Pencapaian investasi yang berkualitas
- Menciptakan lapangan kerja berkualitas dan kesejahteraan pekerja secara
berkelanjutan
- Pemberdayaan UMKM

B. Jelaskan sebuah konsep atau program pembangunan yang dapat mengatasi isu (bisa 1
saja) pengembangan wilayah tersebut!
Jawab:

Menurut hemat saya, sistem pembangunan yang dimiliki pemerintah saat ini sudah dapat
mengakomodasi kepentingan-kepentingan baik pusat maupun daerah dalam rangka pencapaian
tujuan pembangunan sebagaimana dimanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Setelah reformasi, Indonesia telah mencapai banyak milestone dalam perencanaan
pembangunanannya. Meninggal system pemerintahan yang sentralistik, terpusat dan
mengusung otonomi daerah adalah strategi yang tepat dalam rangka pemerataan pembangunan.
Hal ini didasari oleh pertimbangan luasnya wilayah Indonesia serta beragamnya karakter
budaya dan manusia di dalamnya. Sehingga anggapan satu perangkat tools yang akan
mengatasi semua isu pembangunan di Indonesia tidaklah mungkin. Diperlukan pendekatan
pembangunan yang berbeda untuk masing-masing daerah, dimana pendekatan yang
dirumuskan harus melibatkan semua struktur lapisan masyarakat yang dinamakan
participatory planning.
Sistem perencanaan pembangunan nasional yang ada saat ini dedefinisikan sebagai satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka Panjang (RPJPN), jangka menengah (RPJMN dan RPJMD), dan
tahunan (RKP) yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
pusat dan daerah.
Sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Pendekatan perencanaan pembangunan, meliputi:
➢ Pendekatan teknokratis menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk
mencapai tujuan dan sasaran pembangunan.
➢ Pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan.
➢ Pendekatan politis dilaksanakan dengan menerjemahkan visi dan misi pemimpin
terpilih ke dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah yang dibahas
bersama dengan badan legislatif.
➢ Pendekatan atas-bawah dan bawah-atas merupakan hasil perencanaan yang
diselaraskan dalam musyawarah pembangunan yang dilaksanakan mulai dari Desa,
Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, hingga Nasional.
Selain itu, pendekatan holistik-tematik, integratif dan spasial (HITS) serta money follow
program sebagai dasar perubahan fokus Rencana Kerja Pembangunan (RKP) juga
diperkenalkan belum lama ini.
Untuk tingkat daerah, berdasarkan Revisi Permendagri 54 Tahun 2010, pendekatan
perencanaan pembangunan daerah menggunakan pendekatan teknokratis, partisipatif, politis,
atas bawah dan bawah atas, holistik tematik, Integratif dan Spasial. Pendekatan Holistik
tematik, Integratif dan Sapasial merupakan Pendekatan baru dalam proses perencanaan
nasional. Holistik tematik merupakan upaya penanganan secara menyeluruh dan terfokus pada
kegiatan yang relevan dengan pencapaian tujuan program prioritas, Integratif lebih kepada
Keterpaduan seluruh kegiatan yang saling memperkuat dan selaras dalam mencapai sasaran
prioritas nasional, dan Spasial berarti Kegiatan prioritas direncanakan berdasarkan data dan
informasi yang baik serta lokasi yang jelas sehingga memudahkan proses integrasi dan
pemantauan kegiatan di lapangan.
Prinsip perencanaan pembangunan juga mengalami pergeseran dari yang semula prinsip
“Money follow function” menjadi “Money follow program”. Ke depan, proses perencanaan
mengutamakan pembagian sumber daya (anggaran) berdasarkan prioritas program dan
kegiatan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah dan nasional.
Sebagai penutup, menurut pendapat saya permasalahan di Indonesia bukan terletak pada
konsep pembangunan yang saat ini kita gunakan. Tetapi lebih kepada penegakan hukum.
Selama para stakeholder, pengambil keputusan tidak memiliki sikap kepemimpinan yang baik,
kurang berdedikasi, maka permasalah tersebut di atas akan terus berulang di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai