Anda di halaman 1dari 4

Agar Anugerah SDA Indonesia Tak Berujung Petaka

Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd

(Pegiat Ekoliterasi)

Potensi SDA Nusantara diketahui sejak jaman kolonial Belanda yang menjadi awal mula
eksploitasi sumber daya alam. Seperti, minyak bumi diwilayah Sumatera di Pesisir Aceh. Suatu
temuan yang cukup menakjubkan dimasanya saat menemukan bahan mudah terbakar
dipemukaan laut.

Secara signifikan SDA mineral belum dijadikan komiditi istimewa bahkan belum terdefinisikan.
Hingga sekitar 2 abad kemudian pemerintah Belanda menyadari minyak bumi dan
mempelajarinya. Netherland itu ialah Jan Reerink yang mengawali eksploitasi minyak pada
tahun 1871 di Cirebon, Jawa Barat meskipun tidak berlangsung lama, sebab lahan yang sempit.

Tahun 1890, A.J Zijlker pengusaha Belanda berhasil mendirikan de Koninklijke yang mampu
memproduksi dan memasarkan minyak bumi pada tahun 1892. Atas keberhasilannya, aktifitas
eksplorasi ia luaskan pada beberapa wilayah seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa
Timur, dan Kalimantan Timur.

Tahun 1912 , sumberdaya menakjubkan tersebut juga dicicipi oleh Amerika yang bekerjasama
dengan Belanda hingga Belanda dilengserkan penjajahannya oleh Jepang. Adapun Tahun 1940-
an, Jepang melakukan ekspansi dari aset-aset bekas penjajahan Belanda. Meskipun penjajahan
Jepang sukses melengserkan kekuasaan Belanda di Nusantara.

Jepang hanya memiliki waktu sedikit untuk mengeksploitasi sumberdaya mineral. Hingga pada
tahun 1945 Indonesia dengan Izin Allah SWT merdeka atas penjajahan Jepang. Kemudian aset-
aset ladang minyak, gas, kilang, dan distribusi dari Angkatan Darat Jepang diambil alih.

Tak hanya itu SDA sektor pertambangan juga punya sejarah yang menarik sejak jaman kolonial
Belanda hingga pada masa kolonial Jepang yang mengganti istilah Mijnbouw, sebuah lembaga
penyelidikan geologi dan pertambangan Belanda menjadi Chisistu Chosasho. Setelah masa
kemerdekaan Indonesia, lembaga ini diganti oleh sebuah badan Pusat Djawatan Tambang dan
Geologi (PDTG).

Kini, eksplorasi baik minyak bumi maupun pertambangan telah menjamur. Dikelola dalam
negeri oleh pihak swasta nasional, swasta asing, maupun BUMN. Sayangnya sumber daya
primadona tersebut pada kenyataannya menyisakan polemik ketika kesejahteraan rakyat tak
seiring dengan eksploitasi sumber daya alam yang masif.
Berdasarkan riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 80 persen dari seluruh
wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada
kemiskinan.

Tak hanya persoalan kesejahteraan rakyat, pemeliharaan lingkungan yang diabaikan turut
menambah beban masyarakat. Area bekas tambang potensial merusak kondisi lahan,
mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah juga menjadi rusak. Kini, nelayan dan
petani kehilangan produktifitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.

Dikuping aparat negeri, investasi membawa angin segar dan mengajak rakyat berbahagia dengan
lapangan pekerjaan baru. Pada kenyataannya lapangan kerja pertambangan tak mudah di akses
masyarakat.

Salah satu potretnya, pada tambang batu bara terbesar di Indonesia, Kaltim Coal, berdiri di
Sangatta, Kabupataen Kutai Timur. Di Kabupaten Kutau Kartanegara, terdapat setidaknya 60
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan produksi 65,11 juta ton per 2018. (Dilansir lokadata.com
,31/07/2019 )

Namun, angka kemiskinan tertinggi tercatat di Kutai Timur, Kaltim. Padahal sepertiga
wilayahnya adalah area tambang batu bara. Sementara di Kalsel, angka kemiskinan tertinggi ada
di Tabalong, yang 15 persen wilayahnya adalah tambang batu bara.

Harapan masyarakat dengan lapangan pekerjaan baru oleh investor dalam kenyataannya belum
membuktikan signifikansi kesejahteraan. Rakyat selalu diberi nasihat bahwa, keterampilan
masyarakatlah yang masih perlu diasah untuk layak sebagai angkatan kerja. Padahal ini hanyalah
salah satu opsi lapangan pekerjaan dan tak sebanding dengan dampak keberadaan konsesi
pertambangan.

Sumber daya yang terbatas ini bahkan tak terkendalikan lagi polemiknya. Sebab turunan
ketakbecusan satu-persatu bermunculan diantaranya administrasi investor yang tak tuntas hingga
pajak yang terlewat bertahun-tahun tatkala aktifitas pertambangan yang terus beroperasi. Dalam
diri kita mulai bertanya-tanya, apakah sumber daya alam ini benar-benar anugerah atau
kutukan?.

Tentu saja, kita mengharapkan sumber daya alam ini berbuah manis untuk negeri ini. Baik dalam
pikiran maupun laku. Dalam pikiran manusia Indonesia yang terlahir di belahan bumi yang SDA
melimpah tak menuhankan SDA ini.

Dalam laku anugerah SDA menjadikan pemimpin negeri menginsafi bahwa tak mudah
mengelola sumber daya dengan standar keadilan berasal dari akal manusia. Sebab keadaan liar
pengeruk SDA semakin memperlihatkan tingkahnya yang inkonstitusional. Pemerintah yang
lupa dari siapa yang menjadikannya tuan. Masyarakatpun sering gerah karena alam sudah nyaris
tak akrab dengan penduduk area pertambangan dengan tamu bencana alam.
Islam Mengatur SDA Menjadi Anugerah

SDA merupakan titipan yang terbatas, bahkan tak setiap belahan bumi memilikinya. Negeri ini
termasuk salah satu yang terpilih untuk memiliki kekayaan ini, olehnya itu perlu kecermatan
dalam mengelolanya agar tak berujung petaka. Diakui cadangan SDA yang ada bukan hal mudah
untuk dilestarikan maka tak jarang menghadirkan kegamangan.

Allah SWT berfirman:

“Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah
dan RasulNya jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir” (TQS. An-Nisa:59).

Maka setiap perselisihan dalam persoalan kehidupan manusia Al- Qur’an dan As-Sunnah
menjadi problem solve termasuk urusan pengelolaan SDA yang tak boleh diingkari.

Allah SWT berfirman:

“Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia
larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih
azab-Nya”(TQS. Al-Hasyr:7)

Betapa tegasnya peringatan Allah SWT mengenai kepatuhan apa-apa yang dibawa oleh
Rasulullah SAW.

Islam memandang bahwa SDA seperti batubara, minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga,
timah, gas bukan sebagai komoditas untuk memperkaya diri (swastanisasi). Namun, sebagai
kepemilikan umum yang mampu dikelola negara untuk hajat hidup orang banyak. Selain itu
dikelola sesuai dengan kebutuhan yang layak (hadd al kifayah).

Dalam As- Sunnah Rasul SAW bersabda:

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR.
Ibnu Majah).

Kini, pengaturan yang ada dalam negeri kita masih belum mengembalikannya pada aturan-aturan
Allah SWT. Maka tak jarang kesengsaraan selalu meliputi kehidupan masyarakat, meskipun
berada diantara atau sekitar area pertambangan sekalipun. Semoga pemerintah diberikan Taufiq
untuk mewujudkan pengelolaan SDA yang shahih sehingga masyarakat tak terpinggirkan. Serta
Allah SWT merahmati semua penduduk negeri. Wallahu ‘Alam Bisshawab

Anda mungkin juga menyukai