Anda di halaman 1dari 45

OBSTETRI FISIOLOGI

“THE PLACENTAL HORMONES”

OLEH :

RAHMATUN FAUZIAH

(1920332045)

DOSEN PEMBIMBING:

Dr.dr.Vauline Basyir, SpOG(K)

PROGRAM STUDI S2 ILMU KEBIDANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena berkat karunia

Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari

mata kuliah Obstetri Fisiologi dengan topic Hormon-hormon plasenta

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan

di masa yang akan datang.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi

pembaca. Akhir kata penulis sampaikan ucapan terima kasih.

Padang, Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... iii


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan........................................................................................................... 3
1. Tujuan umum .............................................................................................................. 3
2. Tujuan Khusus ............................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4
HORMON PLASENTA ........................................................................................................ 4
1. Human Chorionic Gonadotropin (HCG) ......................................................................... 4
2. Human Lactogen Plasenta (HPL) .................................................................................. 12
3. Estrogen ......................................................................................................................... 15
4. Progesteron .................................................................................................................... 30
5. Adrenokortikotropin Korionik ....................................................................................... 33
6. Tirotropin Korionik ....................................................................................................... 34
7. Protein Terkait Hormon Paratiroid ................................................................................ 35
8. Varian Hormon Pertumbuhan ........................................................................................ 35
9. Hormon Pelepas Menyerupai Hormon Hipotalamus .................................................... 36
10.Hormon Peptida Plasenta Lainnya ................................................................................ 38
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 42

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produksi hormon protein dan steroid oleh trofoblas manusia lebih besar dalam jumlah

dan keberagaman dibanding produksi jaringan endokrin lainnya yang diketahui dalam

fisiologi semua mamalia. Pada beberapa spesies, contohnya kuda, saat hamil, pembentukan

estrogen lebih tinggi daripada progesteron. Pada spesies lain, misalnya tikes dan mencit,

produksi progesteron relatif tinggi tetapi estrogen rendah.

Berbagai hormon protein dari famili prolaktin, hormon pertumbuhan, laktogen plasenta

disintesis di plasenta sebagian besar mamalia, termasuk manusia. Tetapi hanya pada

golongan primata dan kuda dijumpai pembentukan gonadotropin korionik di sinsitium

dalam jumlah sangat besar.

Terdapat hubungan yang unik dan bersifat obligatorik antara keadaan hiperestrogenik

yang luar biasa pada kehamilan manusia dan sekresi steroid-C19 dalam jumlah besar oleh

adrenal janin yang berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis estrogen dari plasma. Juga

telah berhasil diidentifikasi adanya suatu sistem interaktif yang menyebabkan

sinsitiotrofoblas manusia menyerap kolesterol-lipoprotein densitas rendah (LDL) pada

plasma ibu untuk digunakan dalam biosintesis progesteron.

Plasenta manusia juga mensintesis sejumlah besar hormon-hormon protein dan

peptida: sekitar 1 gram laktogen plasenta (hPL) setiap 24 jam, sejumlah besar gonadotropin

korionik (hCG), adrenokortikotropin korionik (ACTH), serta produk-produk lain dari

proopiomelanokortin, tirotropin korionik, varian hormon pertumbuhan, parathyroid

hormone-related protein (PTH-rP), kalsitonin, dan relaksin; dan hypothalamic like releasing

and inhibiting hormones, termasuk thyro tropin -releasing hormone (TRH), gonadotropin-

releasing hormone (GnRH), corticotropin-releasing hormone (CRH), somatostatin, dan

1
growth hormone-releasing hormone (GHRH). Plasenta manusia juga menghasilkan inhibin,

aktivin, dan peptida natriuretik atrium.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa gambaran menakjubkan lainnya yang

ditemui pada kehamilan manusia adalah keberhasilan adaptasi fisiologis wanita hamil

terhadap lingkungan endokrin yang paling tidak lazim

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas hormon-hormon yang dihasilkan plasenta

dan bagaimana hormon tersebut bekerja.

2
B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Memahami hormon-hormon yang dihasilkan plasenta

2. Tujuan Khusus

a. Memahami hormon human chorionic gonadotropin (hCG)

b. Memahami hormon human lactogen Plasenta (hPL)

c. Memahami hormon estrogen

d. Memahami hormon progesterone

e. Memahami hormon Adrenokortikotropin Chorionik

f. Memahami hormon Tirotropin Korionik

g. Memahami Protein Terkait hormon Paratiroid (PTH-rP)

h. Memahami Varian Hormon Pertumbuhan (hGH-V)

i. Memahami hormon Pelepas menyerupai hormon Hipotalamus (Hypothalamus-

liked releasing hormones)

j. Memahami hormon peptide plasenta lainnya

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. HORMON PLASENTA

1. Human Chorionic Gonadotropin (HCG)

"Hormon kehamilan" ini adalah suatu glikoprotein dengan aktivitas biologic yang sangat

mirip dengan luteinizing hormone (LH), dan keduanya sama-sama bekerja melalui receptor

LH/hCG membran plasma. Walaupun diproduksi hampir seluruhnya di placenta, hCG juga

disintesis di ginjal janin, dan sejumlah jaringan janin menghasilkan subunit-(3 atau molekul

utuh hCG (McGregor dkk., 1981,1983).

Berbagai tumor ganas juga menghasilkan hCG, kadang-kadang dalam jumlah yang

sangat banyak terutama penyakit trofoblas ganas. Pada wanita tidak hamil dan pria, hCG

juga diproduksi dalam jumlah sangat sedikit, mungkin terpusat di kelenjar hipofisis anterior.

Namun demikian, deteksi hCG dalam darah atau urin hampir selalu menunjukkan

kehamilan.

Karakteristik Kimiawi

hCG adalah suatu glikoprotein (BM sekitar 36.700) dengan kandungan karbohidrat

tertinggi (30%) dibandingkan dengan hormon manusia lainnya. Komponen karbohidrat,

terutama asam sialat terminal, melindungi molekulnya dari katabolisme. Waktu-paruh

plasma hCG utuh (24 jam) jauh lebih lama daripada LH (2 jam).

Molekul hCG terdiri dari dua subunit yang tidak sama, disebut  (92 asam amino) dan 

(145 asam amino), yang disatukan dengan ikatan nonkovalen. Keduanya disatukan oleh

gaya-gaya elektrostatik dan hidrofobik yang dapat dipisahkan in vitro. Masing-masing

subunit tidak memperlihatkan aktivitas biologis intrinsik mirip-LH karena keduanya tidak

berikatan dengan reseptor LH.

hCG secara struktural berkaitan dengan tiga hormon glikoprotein lain—LH, follicle

stimulating hormone (FSH), dan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sekuens asam amino

4
subunit- dari keempat glikoprotein ini identik; tetapi subunit- FSH dan TSH, serta

subunit- hCG dan LH, walaupun memiliki beberapa kesamaan, ditandai oleh sekuens asam

amino yang jelas berbeda. Rekombinasi subunit-cc dan subunit- pada keempat hormon

glikoprotein ini menghasilkan molekul dengan karakteristik aktivitas biologic dari hormon

penghasil subunit- tersebut.

GAMBAR 1. Bagian-bagian anatomis komponen endokrin dari sisi plasenta sistem komunikasi

feto-maternal. Hormon adrenokortikotropin (ACTH) dari kelenjar hipofisis janin merangsang

steroidogenesis adrenal janin. Dehidroepiandrosteron sulfat dan 16-OH-dehidroepiandrosteron

sulfat dari adrenal janin diangkut ke plasenta dan masing-masing diubah menjadi estradiol-1 7 dan

estriol (Gambar 6-3). Hati janin adalah lokasi utama produksi kolesterol lipoprotein densitas-rendah

(LDL), yang merupakan prekursor utama untuk steroidogenesis adrenal janin. Kolesterol, yang

diperoleh dari LDL di plasma ibu, berfungsi sebagai prekursor untuk biosintesis progesteron di

plasenta.

5
Biosintesis

Sintesis rantai-α. dan - hCG diatur secara terpisah. Sebuah gen—pada kromosom 6 di

ql2-q21—mengkode subunit- dari keempat hormon glikoprotein. Pada kromosom 19

sendiri terdapat delapan gen untuk famili -hCG/P-LH. Tujuh dari gen-gen ini mengkode

-hCG dan satu gen untuk -LH, tetapi hanya tiga dari gen -hCG yang diekspresikan.

Baik subunit- maupun subunit- hCG disintesis sebagai prekursor dengan berat

molekul yang lebih besar yang kemudian dipecah oleh endopeptidase mikrosom. Setelah

terbentuk, hCG utuh dengan cepat dibebaskan dari sel tetapi pengaturannya belum diketahui

pasti.

Kecepatan sintesis subunit- hCG diperkirakan bersifat membatasi dalam pembentukan

molekul lengkap. Trofoblas plasenta normal dan trofoblas pada jaringan mola hidatidosa

serta koriokarsinoma mengeluarkan subunit- dan - bebas serta hCG utuh; namun terdapat

subunit- hCG yang berlebihan di plasenta dan di plasma. Sementara itu, subunit- hCG

yang bebas ini hanya terdapat di plasma dalam jumlah terbatas.

Sel Tempat Hormon Berasal

Molekul hCG lengkap terutama disintesis di sinsitiotrofoblas. Namun, telah dibuktikan

bahwa hCG imunoreaktif terdapat di sitotrofoblas sebelum usia kehamilan 6 minggu.

Setelah itu, hCG hampir seluruhnya terlokalisasi di sinsitium. Distribusi selular serupa untuk

hPL imunoreaktif pada awal kehamilan juga pernah dilaporkan (Maruo dkk., 1992).

6
Pengendalian Biosintesis Sub Unit hCG

Jumlah mRNA kedua subunit- dan subunit- hCG di sinsitiotrofoblas pada trimester

pertama lebih besar daripada saat aterm. Hal ini mungkin penting dipertimbangkan dalam

pengukuran hCG plasma sebagai prosedur penapis untuk mengidentifikasi janin abnormal.

Temuan mRNA subunit- dan subunit- hCG pada sitotrofoblas atau trofoblas inter-

mediat mengisyaratkan bahwa gen-gen untuk hCG sudah diekspresikan sebelum trofoblas

mengalami diferensiasi sempurna. Sitotrofoblas mulai menghilang dari plasenta pada akhir

trimester pertama; tetapi pada sebagian kehamilan abnormal yang mengalami pemunculan

kembali sitotrofoblas, seperti pada isoimunisasi antigen-D dan diabetes gestasional, kadar

hCG plasma mungkin meningkat.

Bentuk Molekul hCG di Plasma dan Urin.

Terdapat beragam bentuk hCG di plasma dan urin ibu. Sebagian dari bentuk-bentuk ini

terjadi akibat penguraian enzimatik, dan sebagian lain terbentuk akibat modifikasi ketika

terjadi sekuensi sintesis/ pemrosesan sel molekul hCG normal. Berbagai bentuk hCG ini

memiliki bioaktivitas dan imunoreaktivitas yang sangat beragam.

Sub Unit Bebas.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kadar subunit- di plasma sangatlah rendah atau

tidak terdeteksi sepanjang kehamilan manusia Temuan ini sebagian disebabkan oleh sintesis

subunit- yang bersifat membatasi. Subunit- bebas yang tidak berikatan dengan subunit-

ditemukan di plasenta dan plasma ibu.

Meningkatnya ukuran oligosakarida pada subunit-α. bebas menghambat dimerisasi

dengan -hCG. Kadar subunit- bebas dalam plasma meningkat secara bertahap tetapi

konstan, sampai sekitar 36 minggu, saat tercapai plateau yang dipertahankan selama sisa

masa kehamilan. Pola ini serupa dengan pola hPL dalam plasma .

Dengan demikian, sekresi -hCG secara kasar setara dengan massa plasenta, sedangkan

kecepatan sekresi molekul hCG lengkap maksimal pada usia kehamilan 8 sampai 10

7
minggu. Namun, konsentrasi -hCG dalam plasma selalu lebih kecil (10 persen atau kurang)

daripada konsentrasi hCG utuh.

Takik Pada Molekul hCG

Selama 10 tahun terakhir, telah dibuktikan bahwa banyak molekul hCG di dalam serum

dan urin memiliki takik, atau rantai peptida yang hilang. Hal ini berlaku untuk preparat

standar yang sudah dimurnikan dan sampel individual dari serum serta urin. Takik ini

terutama terjadi antara asam amino 44-45 dan 47-48 pada subunit-.

Tingkat pembentukan takik dalam preparat standar dari urin yang dikumpulkan dari

beberapa sampel adalah 10 sampai 20%, tetapi dalam sampel individual persentasenya

bervariasi dari 0 sampai 100%. Takik ini diperkirakan terbentuk akibat kerja enzimatik pada

molekul, yang terjadi di dekat sintesis subunit-. Salah satu contoh adalah bahwa reaksi-

reaksi ini dikatalisis oleh leukosit

elastase.

Makna biologis molekul yang sebagian ikatannya hilang ini tidak diketahui, tetapi

bioaktivitas hCG jenis ini berkurang sekitar 20 persen dan imunoreaktivitasnya terhadap

antibodi monoklonal mungkin sangat melemah walaupun hal ini bervariasi (Cole dkk.,

1991). Hal ini perlu mendapat perhatian dalam memantau perubahan kadar hCG apabila

pengukuran dilakukan dengan antibodi yang berbeda.

Konsentrasi hCG Dalam Serum dan Urin.

Molekul hCG lengkap dapat dideteksi dalam plasma wanita hamil sekitar 7,5 sampai 9,5

hari setelah lonjakan LH di pertengahan siklus yang mendahului ovulasi. Dengan demikian,

besar kemungkinannya bahwa hCG memasuki darah ibu pada saat implantasi blastokista.

Setelah ini, kadar hCG dalam darah meningkat pesat dengan kadar maksimum tercapai

pada usia kehamilan sekitar 8 sampai 10 minggu. Pada hari yang sama dapat dijumpai

fluktuasi kadar hCG plasma yang cukup besar, dan terdapat bukti bahwa sekresi hormon-

hormon protein oleh trofoblas bersifat episodik.

8
Konsentrasi hCG dalam urin ibu hampir sejajar dengan konsentrasi di dalam plasma,

yaitu sekitar 1 IU/ml pada minggu ke-6 setelah hari pertama haid terakhir, meningkat ke

nilai rata-rata sekitar 100 IU/ml pada hari ke-60 sampai 80 setelah haid terakhir. Kadar hCG

dalam plasma wanita hamil dapat mencapai 15 mg/ml. Dimulai pada sekitar minggu ke-10

sampai 12, kadar hCG dalam plasma ibu mulai berkurang, dengan nadir tercapai pada sekitar

minggu ke-20. Kadar hCG dalam plasma dipertahankan pada kadar rendah ini sepanjang

sisa masa kehamilan.

Pola kemunculan hCG dalam darah janin (sebagai fungsi usia gestasi) serupa dengan

yang dijumpai pada ibu, tetapi kadar hCG dalam plasma janin hanya sekitar 3 % dari kadar

dalam plasma ibu. Konsentrasi hCG dalam cairan amnion pada awal kehamilan setara

dengan yang terdapat di dalam plasma ibu; tetapi seiring dengan perkembangan kehamilan,

konsentrasi hCG dalam cairan amnion menurun sehingga menjelang aterm kadarnya hanya

seperlima daripada kadar di dalam plasma.

Meningkat atau Menurunnya Kadar hCG Dalam Plasma atau Urin Ibu

Pada kehamilan dengan janin lebih dari satu kadang-kadang dijumpai kadar hCG plasma

yang meningkat secara bermakna, demikian juga pada janin eritroblastotik tunggal yang

terjadi akibat isoimunisasi antigen-D ibu. Kadar hCG dalam plasma dan urin mungkin

sangat meningkat pada wanita dengan mola hidatidosa atau koriokarsinoma.

Kadar hCG plasma yang relatif tinggi dapat dijumpai pada kehamilan trimester dua

dengan sindrom Down. Penyebab hal ini tidak diketahui, tetapi dispekulasikan bahwa

plasenta dalam berbagai kehamilan di atas kurang matang dibandingkan dengan plasenta

pada kehamilan normal. Kadar hCG plasma yang relatif rendah dijumpai pada kehamilan

ektopik dan abortus iminens.

9
Pengendalian Sintesis hCG

GnRH plasenta kemungkinan berperan dalam pengendalian sintesis hCG. Inhibin

plasenta juga diperkirakan berperan dalam pengendalian hCG. In vitro, sejumlah besar

senyawa bekerja untuk meningkatkan sekresi hCG oleh trofoblas.

Di antara senyawa-senyawa tersebut adalah turunan AMP siklik, hypothalamic-like

hormones (GnRH, CRH), beberapa sitokin, berbagai faktor pertumbuhan, colony-

stimulating factor, dan hormon tiroid. Dari kompilasi ringkas ini, jelaslah bahwa

pengendalian sintesis hCG in vivo masih belum dipahami dengan jelas.

Bersihan Metabolik hCG

Bersihan (clearance) hCG oleh ginjal merupakan 30 persen dari bersihan metabolik

senyawa ini, sisanya dibersihkan di jalur lain, misalnya melalui metabolisms di hati dan

ginjal (Nishula dan Wehmann, 1980).

Bersihan subunit- dan subunit- masing-masing adalah 10 kali dan 30 kali lipat

dibandingkan dengan bersihan hCG utuh. Sebaliknya, bersihan subunit-subunit tersebut

melalui ginjal secara signifikan lebih rendah daripada bersihan hCG dimerik.

Fungsi Biologis hCG

Kedua subunit hCG diperlukan agar hCG dapat berikatan dengan reseptor LH/hCG.

Terdapat reseptor LH/hCG di berbagai jaringan selain korpus luteum dan testis

a. Penyelamatan Korpus Luteum

Fungsi hCG yang paling diketahui adalah untuk "penyelamatan dan

pemeliharaan fungsi korpus luteum—yaitu untuk kontinuitas pembentukan progesteron.

Bradburry, dkk. (1950) mendapatkan bahwa usia korpus luteum menstruasi

penghasil progesteron mungkin dapat diperpanjang selama 2 minggu dengan pemberian

hCG kepada wanita tidak hamil. Efek ini hanya memberikan penjelasan sebagian tentang

peran fisiologis hCG dalam kehamilan. Pada masa gestasi, konsentrasi maksimum hCG

plasma tercapai setelah sekresi progesteron oleh korpus luteum yang dirangsang hCG

10
terhenti. Tepatnya, sintesis progesteron oleh korpus luteum mulai berkurang pada sekitar

6 minggu walaupun produksi hCG berlanjut dan meningkat.

b. Stimulasi Testis Janin Oleh hCG.

Sekresi testosteron oleh testis janin mencapai maksimum pada saat yang sama

ketika kadar hCG dalam kehamilan mencapai maksimum. Dengan demikian, pada waktu

penentuan diferensiasi jenis kelamin janin laki-laki, hCG yang masuk ke plasma janin

dari sinsitiotrofoblas, berfungsi sebagai wakil LH, merangsang replikasi sel-sel leydig

testis janin dan sintesis testosteron untuk mendorong diferensiasi jenis kelamin laki-laki

Kira-kira sebelum hari ke-110 kehamilan manusia, tidak terdapat vaskularisasi

hipofisis anterior janin dari hipotalamus, sehingga hanya sedikit sekresi LH dari

hipofisis. Sebelum saat ini, hCG bekerja sebagai LH. Setelah itu, seiring dengan

menurunnya kadar hCG, LH hipofisis mempertahankan stimulasi testis janin dengan

tingkatan yang lebih rendah.

c. Stimulasi hCG Terhadap Tiroid Ibu

Pada banyak wanita yang mengalami mola hidatidosa atau koriokarsinoma,

kadang-kadang dijumpai bukti hipertiroidisme secara biokimiawi atau klinis.

Dahulu dianggap bahwa pembentukan tirotropin korionik oleh penyakit trofoblas

gangs merupakan penyebab gambaran mirip-hipertiroid pada para wanita tersebut.

Namun, kemudian dibuktikan bahwa beberapa bentuk hCG berikatan dengan reseptor

TSH sel tiroid. Pemberian hCG kepada prig normal meningkatkan aktivitas tiroid.

Aktivitas stimulatorik tiroid dalam plasma wanita hamil, trimester pertama

cukup bervariasi dari satu sampel ke sampel lainnya. Modifikasi pada oligosakarida hCG

tampaknya penting untuk membentuk kapasitas hCG untuk merangsang fungsi tiroid.

Sebagian dari bentuk iso hCG yang bersifat asam merangsang aktivitas tiroid,

dan beberapa bentuk yang lebih basa juga merangsang penyerapan indium (Kraiem dkk.,

1994; Tsuruta dkk., 1995; Yoshimura dkk., 1994).

11
Juga terdapat bukti awal bahwa reseptor LH/hCG diekspresikan di tiroid (Tourer

dkk., 1992). Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa hCG merangsang aktivitas

tiroid melalui reseptor LH/hCG dan juga melalui reseptor TSH.

d. Perkiraan Fungsi lainnya

HCG bekerja in vivo untuk meningkatkan sekresi relaksin oleh korpus luteum.

Reseptor LH/hCG dijumpai di miometrium dan di jaringan vaskular uterus, dan telah

dibuat hipotesa bahwa hCG mungkin bekerja untuk meningkatkan vasodilatasi-

pembuluh uterus dan relaksasi otot polos miometrium

2. Human Lactogen Plasenta (HPL)

Aktivitas menyerupai-prolaktin pada plasenta manusia pertama kali dilaporkan oleh

Ehrhardt pada tahun 1936. Protein yang menyebabkan aktivitas ini diisolasi dari ekstrak

plasenta manusia dan darah retroplasenta yang dimurnikan secara parsial oleh Ito dan

Higashi (1961) serta oleh Josimovich dan MacLaren (1962).

Karena bioaktivitas mirip-hormon pertumbuhan (dan kemiripan imunokimiawi dengan

hormon pertumbuhan manusia) serta laktogenik yang kuat, protein ini pertama kali disebut

laktogen plasenta manusia atau hormon pertumbuhan korionik. Hormon ini juga disebut

sebagai somatomamotropin korionik.

Akhir-akhir ini, sebagian besar penulis menggunakan nama semula, laktogen plasenta

manusia (hPL). Grumbach dan Kaplan (1964) menemukan melalui pemeriksaan

imunofluoresensi, bahwa hormon ini, seperti hCG, terkonsentrasi di sinsitiotrofoblas. HPL

terdeteksi di trofoblas sejak minggu kedua sampai ketiga setelah fertilisasi ovum.

Semula dipercaya bahwa hPL di plasenta hanya terdapat pada sinsitiotrofoblas, yang

menunjukkan bahwa gen-gen untuk hPL hanya diekspresikan di trofoblas yang telah

berdiferensiasi sempurna. Namun tampaknya, yang sebenarnya bukan demikian; seperti

halnya hCG, hPL dapat ditemukan di sitotrofoblas sejak usia kehamilan belum mencapai 6

minggu (Marco dkk., 1992).

12
Karakteristik Kimiawi.

HPL adalah sebuah rantai tunggal polipeptida tidak terglikosilasi dengan berat molekul

22.279 d, yang berasal dari prekursor seberat 25.000 d yang mengandung 26 sekuens sinyal

asam amino. Pada laktogen plasenta terdapat 191 residu asam amino, dibandingkan dengan

188 residu pada hormon pertumbuhan manusia; sekuens asam amino pada kedua hormon

sangatlah mirip, dengan homologi mencapai 96 %.

HPL secara struktural juga mirip dengan prolaktin manusia (hPRL), dengan homologi

sekuens asam amino sekitar 67 persen. Karena itu, diperkirakan bahwa gen-gen untuk hPL,

hPRL, dan hGH berkembang dari sebuah gen nenek moyang yang sama (mungkin PRL)

melalui proses duplikasi gen berulang (Ogren dan Talamantes, 1994).

Produksi hPL tidak terbatas pada trofoblas. Hormon ini dapat dideteksi dengan

radioimmunoassay langsung dalam serum pria dan wanita yang mengalami berbagai

keganasan selain yang berasal dari trofoblas atau gonad, termasuk karsinoma bronkogenik,

hepatoma, limfoma, dan feokromositoma (Weintraub dan Rosen, 1970).

Struktur dan Ekspresi Gen

Terdapat lima gen dalam famili gen prolaktin-hormon pertumbuhan laktogen plasenta;

gen-gen ini saling terkait dan terletak di kromosom 17. Dua dari gen-gen ini, hCS-A dan

hCS-B, sama-sama mengkode hPL, dan jumlah mRNA masing-masing pada plasenta aterm

setara. Gen untuk hPRL (prolaktin) terletak di kromosom 6 (Owerbach dkk., 1980, 1981).

Sekresi dan Metabolisme.

HPL merupakan 7 sampai 10 persen dari protein yang disintesis oleh ribosom plasenta

pada kehamilan aterm. Bahkan, 5 persen mRNA plasenta aterm adalah mRNA hPL. Laju

pembentukan hPL mendekati aterm, sekitar 1 g/hari, adalah laju paling besar (sejauh ini)

dibandingkan dengan hormon lain pada manusia.

13
Konsentrasi Dalam Serum.

HPL dapat ditemukan di plasenta dalam 5 sampai 10 hari setelah konsepsi dan hPL dapat

dideteksi di serum sedini 3 minggu setelah fertilisasi. Konsentrasi di dalam plasma ibu terus

meningkat sampai sekitar minggu ke-34 sampai 36; konsentrasi ini kira-kira setara dengan

massa plasenta.

Pada akhir kehamilan, konsentrasi serum mencapai kadar yang lebih tinggi (5 sampai 15

µg/ml) daripada hormon protein lainnya yang telah diketahui Waktu paruh hPL dalam

plasma ibu adalah sekitar 10 sampai 30 menit (Walker dkk., 1991).

Hanya sedikit hPL yang terdeteksi pada darah janin atau pada urin ibu atau neonatus;

konsentrasi hPL dalam cairan amnion sedikit lebih rendah daripada konsentrasi di plasma

ibu. Karena hPL disekresikan terutama ke dalam sirkulasi ibu, dengan hanya sedikit sekali

di dalam darah tali pusat, peran hormon ini dalam kehamilan, kalaupun ada, tampaknya

diperantarai melalui efek pada jaringan ibu dan bukan pada jaringan janin. Bagaimanapun,

kemungkinan bahwa hPL di janin memiliki fungsi tertentu dalam pertumbuhan janin masih

menarik perhatian.

Pengendalian Biosintesis hPL.

Kadar-mRNA untuk HPL di sinsitiotrofoblas relatif konstan sepanjang kehamilan.

Temuan ini menunjang gagasan bahwa laju sekresi hPL proporsional dengan massa

plasenta. Pada wanita dengan penyakit trofoblas ganas, kadar hCG dalam darah sangat tinggi

sedangkan kadar hPL rendah.

Pada wanita yang mengalami kelaparan jangka panjang pada paruh pertama

kehamilannya terjadi peningkatan konsentrasi hPL plasma. Namun, perubahan-perubahan

jangka pendek pada glukosa atau insulin plasma tidak banyak berefek pada kadar hPL

plasma. Sintesis hPL dirangsang oleh insulin dan cAMP. PGE2 dan PGF2a tampaknya

menghambat sekresi hPL.

14
Efek Metabolik HPL

Diperkirakan memiliki efek pada sejumlah proses- metabolik penting. Proses-proses ini

mencakup: Lipolisis dan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam sirkulasi—sehingga

tersedia sumber energi untuk metabolisme ibu dan nutrisi janin.

Efek anti-insulin yang menyebabkan kadar insulin ibu meningkat, yang mendorong

sintesis protein dan menghasilkan sumber asam amino yang dapat dimobilisasi untuk janin.

3. Estrogen

Placenta menghasilkan estrogen serta progesteron dalam jumlah besar. Namun,

biosintesis steroid di sinsitium manusia bergantung pada prekursor steroid yang terdapat di

dalam darah. Kehamilan normal manusia menjelang aterm merupakan suatu keadaan

hiperestrogenik skala besar. jumlah estrogen yang diproduksi setiap hari oleh sinsitiotro-

foblas selama minggu-minggu terakhir kehamilan setara dengan yang diproduksi oleh

ovarium dari sedikitnya 1000 wanita ovulatorik dalam sehari.

Dengan analogi serupa, jumlah estrogen yang diproduksi oleh plasenta selama satu

kehamilan normal lebih banyak daripada yang disekresikan oleh ovarium dari 200 wanita

ovulatorik selama periode 40 minggu yang sama. Keadaan hiperestrogenik pada kehamilan

ini adalah keadaan yang semakin menguat seiring dengan. berlanjutnya kehamilan dan

kemudian berhenti mendadak setelah pelahiran.

Selama 2 sampai 4 minggu pertama kehamilan, estrogen yang dihasilkan oleh ovarium

ibu relatif sedikit. Namun, kadar estrogen urin tidak berkurang setelah ooforektomi bilateral

yang dilakukan sedini hari ke-78 kehamilan (Diczfalusy dan Borell, 1961). Hasil serupa

diperoleh dari beberapa studi tentang kadar estrogen urin pada wanita hamil setelah

pengangkatan korpus luteum melalui pembedahan. Sedini minggu ke-7 kehamilan, lebih

dari 50 persen estrogen yang masuk ke sirkulasi ibu diproduksi oleh plasenta (MacDonald,

1965; Siiteri dan MacDonald, 1963, 1966b).

15
Biosintesis Estrogen Plasenta.

Jalur sintesis estrogen di plasenta manusia berbeda dari yang terdapat di folikel ovarium

(sel granulosa) wanita tidak hamil. Estrogen diproduksi di ovarium secara de novo, dari

asetat atau kolesterol. Secara spesifik, androstenedion, yang disintesis di sel teka ovarium,

dipindahkan ke cairan folikel, tempat zat ini kemudian diserap oleh sel granulosa untuk

sintesis estradiol-17. Sebaliknya, sintesis progesteron pada korpus luteum manusia (sel

granulosa yang mengalami luteinisasi) berasal dari kolesterol yang sudah terbentuk yang

diserap dari partikel LDL di plasma.

Pada plasenta manusia (trofoblas), baik asetat maupun kolesterol, atau bahkan

progesteron, tidak dapat berfungsi sebagai prekursor untuk biosintesis estrogen. Sebuah

enzim penting yang diperlukan untuk sintesis steroid seks—steroid 17-hidroksilase/

17,20-desmolase, yang dikode oleh gen CYP17 — tidak diekspresikan di plasenta manusia.

Karena itu, perubahan steroid-C21 menjadi steroid-C19 yang merupakan prekursor

obligat estrogen yang terdekat, tidak mungkin terjadi. Ryan (1959a) mendapatkan bahwa

plasenta memiliki kapasitas luar biasa untuk mengubah steroid-C19 yang sesuai menjadi

estron dan estradiol-17. Steroid-steroid-C19 ini adalah dehidroepiandrosteron,

androstenedion, dan testosteron, yang diubah menjadi estron, estradiol-17 atau keduanya.

Temuan-temuan ini sangat penting untuk merancang penelitian yang akan dilakukan

kemudian untuk mendefinisikan peran steroid-C19, yang terbentuk sebelumnya dan berasal

dari plasma dalam biosintesis estrogen di trofoblas.

Steroid-C19 Plasma Sebagai Prekursor Estrogen

Amoroso (1960) adalah orang yang pertama kali menyarankan bahwa plasenta mungkin,

melalui aktivitas enzimatiknya yang tinggi, membentuk zat aktif dengan mengubah bahan

inaktif yang berasal dari janin.

16
Frandsen dan Stakemann (1961) mendapatkan bahwa kadar estrogen urin pada wanita

hamil dengan janin anensefalus hanya sekitar sepersepuluh dari yang ditemukan pada urin

wanita hamil dengan janin normal. Karena pada janin anensefalus tidak terdapat zona janin

di korteks adrenalnya, mereka berpendapat bahwa kelenjar tersebut mungkin menghasilkan

zat (-zat) yang berfungsi meningkatkan pembentukan estrogen oleh plasenta. Kelenjar

adrenal pada janin anensefalus mengalami atrofi karena tidak adanya fungsi hipotalamus-

hipofisis, sehingga tidak terjacli stimuIasi kelenjar adrenal janin oleh ACTH.

Pada studi-studi selanjutnya, dehidroepiandrosteron sulfat berlabel radioaktif yang

diinfuskan ke wanita hamil diubah menjadi estrogen urin radioaktif dalam jumlah besar

(Baulieu dan Dray, 1963; Siiteri dan MacDonald, 1963). Steroid-C,, tidak terkonjugasi

berlabel radioaktif lainnya—dehidroepiandrosteron, androstenedion, dan testosteron —

juga diubah menjadi estrogen. Besarnya jumlah dehidroepiandrosteron sulfat di plasma dan

waktu paruhnya yang jauh lebih lama menyebabkan zat ini dikualifikasikan sebagai

prekursor utama untuk sintesis estradiol-17 plasenta. Penampilannya sebagai suatu ester

sulfat tidak meniadakan pemanfaatan zat ini karena plasenta secara normal kaya akan

aktivitas sulfatase (Pulkkinen, 1961; Warren dan Timberlake, 1962).

Pada minggu ke-30, 30 sampai 40 % dehidroepiandrosteron sulfat yang disekresikan

oleh kelenjar adrenal ibu diubah menjadi estradiol-17. Sebaliknya, pada pria atau wanita

tidak hamil, hanya sedikit (kurang dari 0,1 persen) dehidroepiandrosteron sulfat yang

biasanya diubah menjadi estrogen (Siiteri dan MacDonald, 1963,1966b).

Enzim Aromatase Plasenta.

Pembentukan estrogen dari androstenedion dikatalisis oleh sebuah kompleks enzim yang

disebut aromatase, yang terdiri dari sitokrom P-450 monooksigenase spesifik, sitokrom P-

450 aromatase (P-450AROM’; P-450XIX, produk gen CYP19), dan suatu flavoprotein,

NADPHsitokrom P-450 reduktase. Lokasi utama P-450ARM di plasenta adalah di

sinsitiotrofoblas (Bonenfant dkk., 2000).

17
Enzim ini ditemukan di sel-sel granulosa ovarium. CYP19 juga diekspresikan dengan

kadar yang jauh lebih rendah di sel stroma jaringan adiposa, sel Sertoli dan sel Leydig testis,

hipotalamus, dan hati janin (bukan hati dewasa), tetapi tidak di endometrium normal.

Estrogen yang Disekresikan.

Produk estrogen di jaringan yang memiliki aktivitas aromatase bergantung pada sifat

substrat yang tersedia dan pada isozim 17-hidroksisteroid dehidrogenase (17HSD) yang

terdapat di jaringan tersebut. Estradiol-17 adalah, hormon yang disekresikan oleh ovarium

dan testis.

Di ovarium, sebagai contoh, aromatisasi androstenedion menghasilkan estron, yang

diubah (oleh 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe I) menjadi estradiol-17 sebelum

disekresikan oleh sel granulosa. Namun, di jaringan lemak androstenedion diubah menjadi

estron, dan estron yang terbentuk (tanpa konversi in situ menjadi estradiol-17 adalah

produk yang masuk ke darah. Pada semua jaringan ringan yang memiliki aktivitas aro-

matase, lestosteron langsung diubah menjadi estradiol-17.

Pada plasenta manusia, estradiol-17 adalah salah satu produk sekretorik estrogen; tetapi

selain itu, 16-hidroksiandrostenedion diubah menjadi 16-hidroksiestron, yang pada

gilirannya diubah menjadi estriol sebelum disekresikan oleh trofoblas. Dengan demikian,

sinsitiotrofoblas mensekresikan dua estrogen, estradiol-17 dan estriol.

Metabolisme Dehidroepiandrosteron Sulfat (DHEA-S).

Gant dan rekan (1971) mendapatkan bahwa terjadi peningkatan laju bersihan metabolik

(metabolic clearance rate, MCR) dehidroepiandrosteron sulfat plasma sebanyak 10 sampai

20 kali lipat pada wanita hamil normal saat aterm dibandingkan dengan pada pria dan

wanita tidak hamil. Sebagai konsekuensinya, terjadi penurunan progresif konsentrasi dehi-

droepiandrosteron sulfat dalam plasma (Milewich dkk, 1978; Siiteri dan MacDonald,

1966).

18
Meningkatnya MCR . dehidroepiandrosteron sulfat plasma pada wanita hamil

tampaknya terutama disebabkan oleh:

1. Pembersihan melalui konversi menjadi estradiol-17 di sinsitium.

2. Percepatan 16-hidroksilasi (mungkin di. hati ibu) yang 30 sampai 40 persennya diubah

menjadi 16-hidroksidehidroepiandrosteron sulfat menjelang aterm (Madden dkk.,

1976, 1978).

Kelenjar adrenal ibu tidak menghasilkan cukup banyak dehidroepiandrosteron sulfat

selama hamil sehingga hanya sedikit berperan dalam biosintesis estrogen plasenta. Pada

kehamilan manusia, kelenjar adrenal janin merupakan sumber prekursor estrogen plasenta

yang penting secara. kuantitatif.

Kelenjar Adrenal Janin

Secara morfologis, fungsional, dan fisiologis, kelenjar adrenal janin manusia merupakan

organ yang luar biasa. Dibandingkan dengan organ dewasa, korteks adrenal merupakan

organ terbesar pada janin.

Pada usia kehamilan aterm, kelenjar ini memiliki berat setara dengan kelenjar adrenal

pada orang dewasa Normalnya, lebih dari 85 persen kelenjar janin terdiri dari zona janin

khusus, yang tidak terdapat pada orang dewasa.

Produksi harian steroid oleh kelenjar adrenal janin menjelang aterm diperkirakan sekitar

100 sampai 200 mg per hari. Sekresi steroid pada orang dewasa dalam keadaan istirahat

jarang melebihi 30 sampai 40 mg/hari; dengan demikian, kelenjar adrenal janin manusia

benar-benar merupakan jaringan steroidogenik yang produktif.

Korteks adrenal memulai proses involusi segera setelah lahir. Berat kelenjar adrenal

menyusut secara mencolok pada beberapa minggu pertama setelah lahir, dan ukuran yang

dicapai oleh kelenjar janin tepat sebelum lahir tidak lagi tercapai sampai masa remaja atau

dewasa dini.

19
Kontribusi Terhadap Pembentukan Estrogen Plasenta.

GAMBAR 2. Ukuran kelenjar adrenal dan komponen-komponennya in utero, selama masa bayi,

dan selama masa kanak-kanak (Diadaptasi dari Bethune, 1974).

Seperti telah dibahas sebelumnya, wanita hamil dengan janin anensefalus mengeks-

kresikan estrogen urin dalam jumlah terbatas. Hal ini, bersama dengan temuan tingginya

kadar dehidroepiandrosteron sulfat pada darah tali pusat neonatus normal, mengisyaratkan

bahwa korteks adrenal janin merupakan sumber utama prekursor estrogen plasenta.

Temuan bahwa dehidroepiandrosteron sulfat di plasma ibu diubah menjadi estrogen di

plasenta memastikan konsep ini. Konfirmasi mengenai hal ini disajikan oleh Bolts dan

rekan (1964a, 1964b), yang membuktikan bahwa dehidroepiandrosteron sulfat berlabel

radioaktif yang diperfusikan melalui plasenta diubah menjadi estradiol-17.

Menjelang aterm, sekitar separuh dari estradiol17 yang dihasilkan di plasenta berasal

dari ibu dan separuh lagi dari dehidroepiandrosteron sulfat plasma janin (Siiteri dan

MacDonald, 1966b). Namun, temuan-temuan ini saja tidak dapat menjelaskan tingginya

kadar estriol dalam darah dan urin wanita hamil.

Sintesis Estriol Plasenta

Pada wanita tidak hamil, estrogen yang disekresikan oleh sel granulosa dari folikel yang

"terpilih" adalah estradiol-17; estrogen yang terbentuk dari androstenedion plasma di

20
jaringan ekstrakelenjar adalah estron. Kedua estrogen primer ini menghasilkan semua

metabolic estrogen, termasuk estriol.

Pada wanita tidak hamil, rasio konsentrasi estriol urin terhadap konsentrasi estron plus

estradiol-17 kurang lebih satu. Rasio ini meningkat sampai 10 atau lebih menjelang aterm;

dengan demikian terjadi peningkatan yang mencolok dan tidak seimbang dalam

pembentukan estriol selama kehamilan. Hal ini tidak dapat dilimpahkan kepada perubahan

metabolisms estron atau estradiol-17 yang condong ke estriol akibat kehamilan (Brown,

1956). Lagi pula, baik estron maupun estradiol-17 tidak diubah menjadi estriol di plasenta.

Ryan (1959b) serta MacDonald dan Siiteri (1965b) menemukan bahwa steroid-C19, yang

mengalami hidroksilasi—16-hidroksidehidroepiandrosteron, 16-hidroksi-

androstenedion, dan 16-hidroksitestosteron—juga diubah menjadi estriol oleh jaringan

plasenta. Selain itu, di darah tali pusat dijumpai sejumlah besar 16-

hidroksidehidroepiandrosteron sulfat (Colas dkk., 1964).

Dengan demikian, peningkatan tidak seimbang dalam pembentukan estriol selama

kehamilan disebabkan oleh sintesis estriol oleh plasenta yang terutama dari 16-hidrokside-

hidroepiandrosteron sulfat yang berasal dari plasma. Senyawa ini disintesis oleh adrenal

janin dan oleh 16-hidroksilasi dari dehidroepiandrosteron sulfat plasma di hati janin. Pada

kehamilan normal menjelang aterm, janin merupakan sumber dari 90 persen prekursor

estriol plasenta. Dehidroepiandrosteron sulfat di plasma ibu diubah oleh hati ibu menjadi

16-hidroksidehidroepiandrosteron sulfat, yang kemudian diubah menjadi estriol oleh

plasenta (Madden dkk., 1976, 1978),

21
GAMBAR 3. Gambar skematik biosintesis estrogen di plasenta manusia. Dehidroepiandrosteron

sulfat (DS), yang disekresikan dalam jumlah sangat besar oleh kelenjar adrenal janin, diubah

menjadi 16-hidroksidehidroepiandrosteron sulfat (16-OH-DS) di hati dan kelenjar adrenal janin.

Steroid-steroid ini, DS dan 16-OH-DS, diubah menjadi estrogen di plasenta, yaitu estradiol17

(E2) dan estriol (E3). Menjelang aterm, separuh E2 berasal dari DS adrenal janin dan separuh dari

DS ibu. Di pihak lain, 90 persen E3 di plasenta berasal dari 16-OH-DS janin dan hanya 10 persen

dari semua sumber lain. Sebagian besar (80 sampai 90 persen) steroid yang diproduksi di plasenta

disekresikan ke dalam darah ibu.

Prekursor Steroid Adrenal Janin.

Prekursor untuk steroidogenesis adrenal janin adalah kolesterol. Laju biosintesis steroid

di adrenal janin sedemikian besar sehingga steroidogenesisnya saja ekivalen dengan

seperempat dari perputaran kolesterol LDL harian total pada orang dewasa.

Kelenjar adrenal janin dapat mensintesis kolesterol dari fragmen-fragmen dua karbon,

yaitu asetat. Namun, laju sintesis de-novo kolesterol oleh jaringan adrenal janin hanya

cukup untuk menghasilkan sebagian kecil steroid yang diproduksi oleh kelenjar ini. Dengan

demikian, kolesterol harus diasimilasi dari sirkulasi janin. Kolesterol plasma dan ester-

esternya terdapat dalam bentuk lipoprotein yang disebut berdasarkan densitasnya yang

22
diukur dengan ultrasentrifugasi: lipoprotein berdensitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein

berdensitas rendah (LDL), dan lipoprotein berdensitas tinggi (HDL).

Sebuah model untuk metabolisms kolesterol di kelenjar adrenal janin seperti yang

diterangkan oleh Carr dan Simpson diperlihatkan pada Gambar 4.

GAMBAR 4. Sebuah model yang diajukan untuk menggambarkan pengendalian steroidogenesis

adrenal janin, pemakaian lipoprotein berdensitas rendah (LDL), dan metabolisme kolesterol (kol)

di kelenjar janin manusia. (DS = dehidroepiandrosteron sulfat; Preg = pregnenolon). DS diproduksi

di zona janin dan kortisol diproduksi terutama di neokorteks kelenjar adrenal janin.

Pengaturan Kadar Kolesterol Janin.

Sebagian besar kolesterol plasma berasal dari sintesis de novo di hati janin (Carr dan

Simpson, 1984). Rendahnya kadar kolesterol LDL di plasma janin bukan merupakan akibat

gangguan sintesis LDL janin, tetapi merupakan akibat cepatnya penggunaan LDL oleh

kelenjar adrenal janin untuk steroidogenesis.

Pada awal kehamilan, kadar kolesterol LDL dalam plasma janin serupa dengan kadar

pada orang dewasa. Namun, seiring dengan perkembangan kehamilan, kadar kolesterol

LDL di plasma janin menurun seiring dengan tumbuhnya kelenjar adrenal janin. Pada

neonatus normal cukup bulan, konsentrasi kolesterol LDL hanyalah sekitar 30 mg/dl

23
(Parker dkk., 1980, 1983). Pada neonatus anensefali yang kelenjar adrenalnya atrofik, kadar

kolesterol LDL di plasma tali pusat tinggi.

Keadaan Janin Yang Mempengaruhi Produksi Estrogen.

Sejumlah keadaan yang mempengaruhi janin dapat mengubah kecepatan sintesis steroid

di plasenta.

a. Kematian Janin.

Telah lama diketahui bahwa kematian janin manusia diikuti oleh penurunan

mencolok kadar estrogen dalam urin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa setelah

pengikatan tali pusat dengan janin dan plasenta dibiarkan in situ, terjadi penurunan yang

mendadak dan mencolok. dalam produksi estrogen plasenta (Cassmer, 1959).

Temuan-temuan dari studi klasik ini menimbulkan paling sedikit dua

interpretasi. Yang pertama adalah bahwa pemeliharaan sirkulasi plasenta janin meru-

pakan hal yang esensial bagi integritas fungsional plasenta. Namun, penjelasan ini kecil

kemungkinan kebenarannya karena pada studi Cassmer, produksi progesteron oleh

plasenta tetap dipertahankan setelah oklusi tali pusat.

Penjelasan kedua untuk penurunan estrogen urin secara mencolok adalah bahwa

setelah ligasi tali pusat, sumber penting prekursor untuk biosintesis estrogen plasenta

(tetapi bukan progesteron) lenyap yaitu janin itu sendiri.

b. Janin Anensefalus.

Tanpa adanya zona janin di korteks adrenal, seperti pada anensefalus, pem-

bentukan estrogen plasenta (terutama estriol) sangat terbatas karena terbatasnya

ketersediaan prekursor steroid-C19. Kepastian tentang menurunnya kadar prekursor

pada janin anensefalus diperoleh dari temuan rendahnya kadar dehidroepiandrosteron

sulfat di darah tali pusat para neonatus tersebut (Nichols dkk., 1958).

Dengan demikian, hampir semua estrogen yang dihasilkan pada wanita hamil

dengan janin anensefalus berasal dari pemanfaatan dehidroepiandrosteron sulfat plasma

ibu oleh plasenta. Selain itu, pada kehamilan semacam itu produksi estrogen dapat

24
ditingkatkan dengan memberikan ibu ACTH, yang merangsang laju sekresi

dehidroepiandrosteron sulfat oleh adrenal ibu (ACTH tidak melewati plasenta).

Akhirnya, produksi estrogen oleh plasenta menurun pada wanita hamil dengan

janin anensefalus sewaktu pemberian glukokortikosteroid poten, yang menekan sekresi

ACTH sehingga laju sekresi dehidroepiandrosteron sulfat dari korteks adrenal ibu juga

berkurang (MacDonald dan Siiteri, 1965a, 1965b). Pada kehamilan dengan janin

anensefalus, pembentukan estriol menurun secara tidak setara karena secara normal

adrenal janin saat aterm menghasilkan 90 persen dari prekursor estriol plasenta.

c. Hipoplasia Adrenal Janin.

Terdapat suatu penyakit yang jarang ditemukan pada kehamilan manusia yang

menyebabkan hipoplasia adrenal pada janin normal. Pembentukan estrogen pada

kehamilan dengan janin seperti ini juga sangat terbatas karena tidak adanya prekursor-

C19 dari adrenal janin untuk pembentukan estrogen plasenta.

d. Defisiensi Sulfatase Plasenta.

Pembentukan estrogen di plasenta umumnya dikendalikan oleh ketersediaan

prohormon steroid-C19 di plasma janin dan ibu. Secara spesifik, tidak ada reaksi

enzimatik penentu kecepatan di jalur plasenta dari steroid-C19 ke biosintesis estrogen.

Selain itu, di samping perubahan minor pada aromatase plasenta yang diinduksi

oleh xenobiotika, terdapat kelebihan perangkat enzimatik plasenta untuk membentuk

estrogen. Suatu pengecualian terhadap generalisasi ini ditemukan oleh France dan

Liggins (1969), yang pertama kali memastikan bahwa defisiensi sulfatase plasenta

merupakan penyebab sangat rendahnya kadar estrogen pada kehamilan yang mestinya

normal tersebut (kecuali kemungkinan terjadinya disfungsi persalinan).

Defisiensi sulfatase menyebabkan sulfat-sulfat steroid-C19 tidak mengalami

hidrolisis, yaitu langkah enzimatik pertama dalam pemanfaatan prahormon darah ini

oleh plasenta untuk biosintesis estrogen. Defisiensi ini adalah suatu penyakit terkait

25
kromosom-X (semua janin yang terkena adalah laki-laki) yang berkaitan dengan

timbulnya iktiosis pada janin tersebut di kemudian hari (Bradshaw dan Carr, 1986).

e. Defisiensi Aromatase Plasenta.

Terdapat beberapa contoh kasus defisiensi aromatase (plasenta) yang tercatat

baik (Shozu dkk., 1991). Dehidroepiandrosteron sulfat adrenal janin, yang diproduksi

dalam jumlah besar, diubah di plasenta menjadi androstenedion, tetapi karena terdapat

defisiensi aromatase, androstenedion tidak dapat diubah menjadi estradiol-17.

Terjadi pembentukan metabolitmetabolit dehidroepiandrosteron di plasenta, ter-

masuk androstenedion dan testosteron, yang disekresikan ke dalam sirkulasi ibu dan

janin dan menimbulkan virilisasi ibu. dan janin perempuan (Harada dkk., 1992).

Kehamilan janin laki-laki dengan defisiensi aromatase tidak menimbulkan

kelainan. Namun, pada laki-laki yang mengalami defisiensi estrogen ini, penutupan

epifisis tidak berlangsung dengan benar pada saat pubertas sehingga mereka terus

tumbuh selama masa dewasa muda dan menjadi sangat tinggi dengan defisiensi pada

mineralisasi tulang (Morishima dkk., 1995).

f. Sindrom Down.

Pada pemeriksaan penapis yang dilakukan pada kehamilan trimester kedua

berupa pengukuran kadar hCG dan alfa-fetoprotein dalam darah ibu, temyataditemukan

rendahnya kadar estriol takterkonjugasi dalam serum pada kehamilan dengan janin

sindrom Down.

Penyebab rendahnya kadar estrogen. Ini belum diketahui, tetapi kemungkinan

terbesar adalah kurang adekuatnya pembentukan steroid C19 di kelenjar adrenal janin

trisomik ini (Newby dkk.; 2000).

g. Defisiensi Biosintesis Kolesterol LDL Janin.

Pernah dilaporkan keberhasilan kehamilan pada seorang wanita dengan

defisiensi lipoprotein-beta (Parker dkk., 1986). Tidak adanya LDL di dalam plasma ibu

26
menyebabkan pembentukan progesteron di korpus luteum terbatas atau tidak ada, dan

pembentukan progesteron di plasenta juga terbatas.

Selain itu, kadar estriol juga lebih rendah daripada normal. Diperkirakan

berkurangnya produksi estrogen disebabkan oleh menurunnya. pembentukan LDL di

janin, yang bersifat heterozigot untuk defisiensi LDL. Menurunnya pembentukan LDL

janin akan membatasi produksi dehidroepiandrosteron sulfat oleh adrenal janin,

sehingga ketersediaan prekursor untuk sintesis estrogen di plasenta juga berkurang.

Kelenjar adrenal janin bergantung pada LDL plasma serta sintesis Westerol secara de

novo sebagai prekursor untuk steroidogenesis (Carr dan Simpson, 1981a; Mason dan

Rainey, 1987).

h. Eritroblastosis Janin.

Pada beberapa kasus isoimunisasi antigen-D janin yang parah, kadar estrogen

dalam plasma ibu meningkat di atas normal untuk usia gestasinya. Hal ini mungkin

disebabkan oleh meningkatnya berat plasenta (hipertrofi) yang terjadi pada kehamilan

semacam ini.

i. Menurunnya Pemakaian LDL Oleh Adrenal Janin.

Kausa tersering menurunnya pembentukan estrogen oleh plasenta (selain

kematian janin) adalah penurunan pemakaian LDL plasma oleh adrenal janin yang

didapat. Hal ini menyebabkan menurunnya laju pembentukan dehidroepiandrosteran

sulfat sehingga ketersediaan prekursor estrogen di plasenta berkurang.

Rangkaian kejadian ini paling sering dijumpai pada kehamilan yang dipersulit

oleh hipertensi atau diabetes berat (Parker dkk., 1984, 1987). Seperti dinyatakan

sebelumnya, konsekuensi akhir yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

Pembentukan estrogen plasenta menurun dan kadar estrogen dalam darah dan urin ibu

berkurang. Kadar dehidroepiandrosteron sulfat di darah vena umbilikalis menurun,

tetapi kadar LDL meningkat. Pada saat yang sama, karma redistribusi estrogen plasenta,

kadar estriol di darah vena umbilikalis mungkin meningkat.

27
Kondisi Pada Ibu Yang Mempengaruhi Pembentukan Estrogen Plasenta

a. Pemberian Glukokortikosteroid.

Pemberian glukokortikosteroid dalam dosis sedang sampai tinggi kepada wanita

hamil menyebabkan penurunan pembentukan estrogen plasenta yang mencolok.

Glukokortikosteroid bekerja untuk menghambat sekresi ACTH oleh kelenjar hipofisis

ibu dan janin, sehingga terjadi penurunan sekresi prekursor estrogen plasenta oleh

adrenal ibu dan janin (dehidroepiandrosteron sulfat).

b. Disfungsi Adrenal Ibu.

Pada wanita hamil dengan penyakit. Addison, kadar estrogen urin ibu menurun

(Baulieu dkk., 1956). Penurunan ini terutama mempengaruhi estron dan estradiol-17,

karma kontribusi adrenal janin terhadap sintesis estriol secara kuantitatif jauh lebih

penting, terutama pada akhir kehamilan.

c. Tumor Penghasil Androgen Pada Ovarium Ibu

Efisiensi plasenta yang luar biasa dalam aromatisasi steroid-C19 mungkin

tergambarkan oleh dua keadaan. Pertama, Edman dkk. (1981) mendapatkan bahwa

bersihan androstenedion plasma ibu oleh plasenta menjadi estradiol sangat menyerupai

aliran darah plasenta yang diperkirakan.

Dengan demikian, hampir semua androstenedion yang masuk ke ruang antarvilus

diserap oleh sinsitium dan ,diubah menjadi estradiol-17 dan tidak ada satupun dari

steroid-C19 ini yang lolos ke janin.

Kedua, pada wanita hamil dengan tumor ovarium penghasil androgen relatif

jarang terjadi virilisasi pada janin perempuan. Temuan ini juga mengisyaratkan bahwa

plasenta secara efisien mengubah steroid-C19, (yang dapat diaromatisasi), termasuk

testosteron bioaktif, menjadi estrogen, sehingga pasase transplasenta dapat dicegah.

Memang, mungkin janin perempuan yang mengalami virilisasi pada wanita

dengan tumor penghasil androgen adalah kasus-kasus yang tumomya menghasilkan

androgen steroid-C19 yang tidak dapat diaromatisasi (mis. 5-dihidrotestosteron), atau

28
terjadi produksi testosteron pada kehamilan sangat dini dengan jumlah yang melebihi

kemampuan aromatase plasenta.

d. Penyakit Ginjal Pada Ibu.

Pada wanita hamil dengan pielonefritis, kadar estriol urin mungkin rendah. Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya bersihan ginjal, karena pada

kehamilan semacam ini kadar estrogen dalam serum normal.

e. Penyakit Hipertensi dan Diabetes Pada Ibu.

Pada ibu dengan penyakit-penyakit yang menyebabkan berkurangnya aliran

darah uteroplasenta, pembentukan dehidroepiandrosteron oleh adrenal janin terganggu.

Dengan demikian, penyebab utama berkurangnya pembentukan estrogen pada

penyakit-penyakit ibu ini bukanlah penurunan fungsi plasenta.

f. Penyakit Trofoblastik Gestasional.

Pada kasus mola hidatidosa komplet atau koriokarsinoma, tidak terdapat

prekursor steroid-C19 dari adrenal janin untuk biosintesis estrogen trofoblas. Karena

itu, pembentukan estrogen di plasenta terbatas pada pemakaian steroid-C19 di plasma

ibu, sehingga estrogen yang dihasilkan terutama adalah estradiol-17 (Mac Donald dan

Siiteri, 1964, 1966).

Pada kehamilan mola, terdapat variasi yang luas dalam kecepatan pembentukan

estradiol-17 dan progesteron; namun, hal ini tidak selalu berkaitan dengan volume

jaringan trofoblas neoplastik. Terjadi pelepasan gumpalan massa jaringan mola yang

besar dari dinding uterus oleh bekuan darah dalam jumlah bervariasi.

Akibatnya, sebagian jaringan trofoblastik (dalam jumlah bervariasi) tidak

mendapat pasokan prekursor untuk membentuk estradiol-17 dan progesteron dari

darah ibu (MacDonald dan Siiteri, 1964, 1966).

29
4. Progesteron

Pada manusia, setelah beberapa (6 sampai 7) minggu pertama gestasi, produksi

progesteron di ovarium sangat sedikit (Diczfalusy dan Troen, 1961). Pengangkatan korpus

luteum secara bedah atau bahkan ooforektomi bilateral yang dilakukan pada minggu ke-7

sampai ke-10 kehamilan tidak menyebabkan penurunan kecepatan ekskresi pregnandiol

urin, yang merupakan metabolit utama progesteron di urin.

Pada kehamilan normal, kadar progesteron serta kadar estradiol dan estriol di plasma

meningkat secara bertahap, seperti diperlihatkan pada Gambar 5.

GAMBAR 5. Rata-rata kadar plasma progesteron, estradiol takterkonjugasi, dan estriol

takterkonjugasi pada 33 wanita normal selama 9 minggu terakhir sebelum pelahiran (Diadaptasi dari

Tungsubutra dan France, 1978.)

Laju Produksi Progesteron

Teknik-teknik dilusi isotop untuk mengukur kecepatan produksi hormon endogen pada

manusia pertama kali diterapkan untuk meneliti progesteron pada kehamilan. Hasil studi-

studi ini, yang dilakukan oleh Pearlman pada tahun 1957, memperlihatkan bahwa produksi

harian progesteron pada kehamilan tunggal normal menjelang aterm adalah sekitar 250 mg.

30
Temuan dari studi-studi berikutnya yang menggunakan metode lain juga memberi hasil

setara. Namun, pada sebagian kehamilan dengan janin multipel, laju produksi progesteron

harian dapat melebihi 600 mg per hari.

Sumber Kolesterol Untuk Biosintesis Progesteron Oleh Plasenta.

Progesteron disintesis dari kolesterol dalam suatu reaksi enzimatik dua langkah.

pertama, kolesterol diubah di mitokondria menjadi zat antara steroid, pregnenolon, dalam

suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim pemutus rantai-samping kolesterol sitokrom P450.

Pregnenolon diubah menjadi progesteron di mikrosom, oleh 3-hidroksisteroid

dehidrogenase, 5-4-isomerase.

Plasenta manusia menghasilkan progesteron dalam jumlah luar biasa banyak; meski

demikian, kapasitas untuk biosintesis kolesterol di trofoblas terbatas. Laju penyerapan asetat

berlabel radioaktif ke dalam kolesterol oleh jaringan plasenta berlangsung sangat lambat,

dan aktivitas enzim penentukecepatan dalam biosintesis kolesterol, 3-hidroksi-3-

metilglutaril koenzim A (HMG KoA) reduktase, di mikrosom jaringan plasenta rendah.

Dengan demikian, plasenta harus mengandalkan kolesterol eksogen untuk membentuk

progesteron. Bloch (1945) serta Werbin dkk. (1957) menemukan bahwa setelah pemberian

kolesterol berlabel radioaktif secara intravena ke wanita hamil, aktivitas spesifik

pregnandiol urin serupa dengan aktivitas kolesterol plasma. Hellig dkk. (1970) juga menda-

patkan bahwa kolesterol plasma ibu merupakan prekursor utama untuk biosintesis

progesteron pada kehamilan (mencapai 90 persen).

Temuan-temuan ini konsisten dengan kesimpulan bahwa sintesis kolesterol secara de

novo di trofoblas berlangsung minimal. HMG KoA reduktase plasenta di trofoblas dihambat

oleh tingginya kadar LDL dalam darah, sehingga sintesisnya terhambat. Pada defisiensi

LDL, sintesis kolesterol secara de novo di trofoblas cukup besar, walaupun jauh dari

memadai untuk memenuhi kebutuhan plasenta baik untuk sintesis membran maupun sintesis

progesteron normal.

31
Pemanfaatan Kolesterol LDL Plasma Ibu Oleh Plasenta.

Pada penelitian-penelitian yang serupa dengan penelitian yang menggunakan jaringan

adrenal janin, Simpson dkk. (1979, 1980) membuktikan bahwa trofoblas lebih suka

menggunakan kolesterol LDL untuk biosintesis progesteron.

Dengan demikian, pembentukan progesteron plasenta terjadi melalui penyerapan dan

pemakaian prekursor yang ada di dalam darah. Tetapi tidak seperti estrogen, yang dibentuk

terutama dari prekursor adrenal janin, biosintesis progesteron oleh plasenta berlangsung

melalui pemanfaatan prekursor dari ibu, yaitu kolesterol LDL. Topik ini dibahas oleh Casey

dkk. (1992).

Temuan-temuan ini memberi pemahaman tidak saja tentang mekanisme biokimiawi

pembentukan progesteron oleh plasenta, tetapi mungkin juga tentang aspek lain dari

fisiologi ibu-plasenta-janin. Kecepatan biosintesis progesteron sangat bergantung pada

jumlah reseptor LDL di membran plasma trofoblas, sehingga tidak bergantung terutama ter-

hadap aliran darah uteroplasenta.

Simpson dan Burkhart (1980) juga menemukan. bahwa progesteron, dalam konsentrasi

yang setara dipertimbangkan dalam mengevaluasi peran progesteron dalam inisiasi

persalinan

Selama kehamilan, terjadi peningkatan yang tidal seimbang pada konsentrasi 5-

dihidroprogesteron plasma. Dengan demikian, pada wanita hamil, rasio konsentrasi

metabolit progesteron ini terhadap konsentrasi progesteron meningkat (Milewich dkk.,

1975). Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi mungkin relevan dengan resistensi

terhadap zat-zat presor yang secara normal timbul pada wanita hamil (Everett dkk., 1978)

Pada wanita hamil dan janin, progesteron juga diubah menjadi mineralokortikosteroid

deoksikortikosteron yang poten. Konsentrasi deoksikortikosteron meningkat secara

mencolok bail pada kompartemen ibu maupun janin. Pada kehamilan manusia, sebagian

besar deoksikortikosteron dibentuk di luar adrenal dari progesteron yang beredar dalam

darah (Casey dan MacDonald, 1982).

32
Sekresi Steroid Terarah Dari Sinsitiotrofoblas.

Estrogen yang disintesis di sinsitium cenderung masuk ke sirkulasi ibu. Gurpide dkk.

(1966) melaporkan bahwa lebih dari 90 % estradiol17 dan estriol yang terbentuk di

sinsitiotrofoblas masuk ke plasma ibu.

Hal yang sama berlaku untuk progesteron yang dibentuk di sinsitium. Gurpide dkk.

(1972) juga mendapatkan bahwa 85 % atau lebih progesteron plasenta masuk ke plasma ibu,

dan sangat sedikit progesteron plasma ibu yang menembus plasenta untuk masuk ke janin.

5. Adrenokortikotropin Korionik

Suatu protein yang mirip dengan hormon adrenokortikotropik (ACTH) telah berhasil

diisolasi dari jaringan plasenta. Odagiri dkk. (1979) mendapatkan bahwa ACTH, lipotropin,

dan -endorfin dapat ditemukan dari ekstrak plasenta dan mungkin berasal dari molekul

prekursor 31-kd yang sama atau serupa, proopiomelanokortin (POMC).

Liotta dkk. (1977) juga mendapatkan bahwa ACTH diproduksi oleh sel-sel plasenta

yang tersebar. Pemberian deksametason kepada wanita hamil tidak mempengaruhi kadar

ACTH bioaktif atau imunoreaktif di jaringan plasenta. Yang terakhir, diperoleh bukti dari

penyerapan asam amino berlabel radioaktif menjadi peptida yang mencirikan ACTH.

Peran fisiologis ACTH plasenta masih belum jelas. Kadar ACTH dalam plasma

sepanjang kehamilan (sebelum persalinan) lebih rendah daripada kadar pada pria dan wanita

tidak hamil; namun, konsentrasi meningkat seiring dengan perkembangan kehamilan (Carr

dkk., 1981).

Selama kehamilan, plasenta mungkin menghasilkan ACTH yang disekresikan ke ibu

atau janin tetapi ACTH tidak melewati plasenta (yi. dari ibu ke janin). Pemberian

deksametason kepada wanita hamil tidak terlalu menyebabkan supresi kadar kortisol bebas

33
urin seefektif yang terjadi pada pria atau wanita tidak hamil.In vitro, corticotropin-releasing

hormone merangsang-sintesis dan pelepasan ACTH korionik.

6. Tirotropin Korionik

Terdapat bukti bahwa plasenta menghasilkan suatu tirotropin korionik, tetapi peran

biologis yang signifikan dari peptida ini pada kehamilan normal manusia belum diketahui.

Trofoblas neoplastik pada mola hidatidosa atau koriokarsinoma mungkin menghasilkan

sekelompok tirotropin korionik, tetapi meningkatnya aktivitas yang merangsang tiroid pada

wanita dengan penyakit trofoblas ganas diperkirakan terutama disebabkan oleh sifat hCG

yang merangsang tiroid

Relaksin.

Ekspresi relaksin dapat dijumpai di korpus luteum, desidua, dan plasenta manusia (Bogie

dkk., 1995). Peptida ini disintesis sebagai molekul praprorelaksin tunggal yang terdiri dari

105 asam amino.

Penguraian praprorelaksin menghasilkan dua rantai (A dan B). Relaksin secara struktural

serupa dengan insulin dan faktor pertumbuhan saraf (nerve growth factor). Terdapat dua gen

relaksin (H1 dan H2), tetapi hanya H2 yang ditranskripsikan di korpus luteum. Jaringan lain,

termasuk desidua, plasenta, dan membran janin, juga mengekspresikan H1.

Relaksin bekerja pada otot polos miometrium untuk merangsang adenilil siklase dan

untuk meningkatkan relaksasi uterus.Namun, pemahaman tentang sintesis dan kerja relaksin

masih jauh dari sempurna.

34
7. Protein Terkait Hormon Paratiroid (Parathyroid Hormone-Related Protein =

PTH-rP)

Sejak PTH-rP teridentifikasi, banyak diajukan kemungkinan fungsi dari protein ini.

Sintesis PTH-rP dapat dijumpai di sejumlah jaringan orang dewasa normal, terutama di

organ reproduksi pria dan wanita, termasuk uterus (miometrium dan endometrium), korpus

luteum, dan jaringan payudara Fase laktasi.Perlu diingat bahwa PTH-rP tidak dihasilkan di

kelenjar paratiroid orang dewasa normal.

Sejumlah jaringan janin juga membentuk PTH-rP, termasuk paratiroid, ginjal, dan

plasenta. Karena PTH imunoreaktif sulit dideteksi di darah janin, dan karena PTH-rP

dihasilkan oleh beberapa jaringan janin, maka diperkirakan bahwa PTH-rP berfungsi

sebagai paratiroid janin.

Temuan dari beberapa studi terakhir menunjang pandangan ini. Laju sekresi PTH oleh

paratiroid dewasa dimodulasi oleh konsentrasi Ca2+ plasma. sekresi PTH-rP dari jaringan

lain tidak dikendalikan oleh konsentrasi kalsium kecuali di plasenta. Hellman dkk. (1992)

mendapatkan bahwa sekresi PTH-rP oleh trofoblas responsif terhadap Ca2+ ekstrasel.

8. Varian Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Variant, hGH-V)

Terdapat sebuah gen yang mengkode varian hormon pertumbuhan yang diekspresikan

di plasenta, tetapi tidak di hipofisis. Gen ini terletak di kelompok gen hormon pertumbuhan–

prolaktin.

Varian hGH, yang kadang-kadang disebut hormon pertumbuhan plasenta, adalah suatu

protein yang terdiri dari 191 asam amino yang berbeda di 15 posisi asam amino dari sekuens

untuk hGH. hGH-V disintesis di plasenta, mungkin di sinsitium, tetapi pola sintesis sekresi

hGH-V pada gestasi tidak diketahui pasti karena antibodi terhadap hGH-V bereaksi silang

dengan hGH.

Diperkirakan bahwa hGH-V terdapat di plasma ibu mulai dari ke-21 sampai 26 dan

meningkat konsentrasinya sekitar minggu ke-36, setelah itu relative konstan. Terdapat

35
korelasi antara kadar hGH-V di dalam plasma ibu dan insulin growth factor-1, serta sekresi

hGH-V oleh trofoblas in vitro dihambat oleh glukosa sesuai dosis (dose-dependent) (Patel

dkk., 1995). Profil aktivitas biologis hGH-V serupa dengan profil untuk hPL.

9. Hormon Pelepas Menyerupai Hormon Hipotalamus (Hypothalamus- Liked-

Releasing Hormones)

Untuk setiap hypothalamic-releasing hormone atau hypothalamic-inhibiting hormone

yang sudah dijelaskan GnRH, TRH, CRH, GHRH, dan somatostatin terdapat sebuah hormon

analog yang dihasilkan di plasenta manusia (Petraglia dkk., 1992; Siler-Khodr, 1988).

Namun, peran hormon-hormon ini dalam trofoblas belum diketahui dengan sempurna.

Banyak peneliti beranggapan bahwa keberadaan berbagai hormon ini di plasenta

mengisyaratkan suatu hierarki kontrol sintesis zat-zat trofik korionik.

Hormon Pelepas Gonadotropin (Gonadotropin- Releasing Hormone, GnRH).

Di plasenta terdapat gonadotropin-releasing hormone (GnRH) imuno-reaktif dalam

jumlah cukup besar (Siler-Khodr, 1988; Siler-Khodr dan Khodr, 1978). Yang menarik, para

peneliti ini juga mendapatkan bahwa GnRH imunoreaktif tersebut terdapat di sitotrofoblas,

tetapi tidak di sinsitiotrofoblas.

SilerKhodr (1983) menyebut GnRH korionik sebagai KG-releasing hormone. Gibbons

dkk. (1975) serta Khodr dan Siler-Khodr (1980) memperlihatkan bahwa plasenta manusia

in vitro dapat mensintesis baik GnRH maupun TRH (thyrotropin-releasing hormone).

Hormon Pelepas Kortikotropin (Corticotropin Relasing Hormone, CRH).

Usaha untuk mengisolasi dan mengidentifikasi corticotropin-releasing hormone (CRH)

dari hipotalamus memerlukan waktu sekitar 40 tahun. Gen CRH yang sama (lengan panjang

kromosom 8) yang diekspresikan di jaringan hipotalamus juga diekspresikan di trofoblas,

amnion, korion laeve, dan desidua.

36
Pada wanita tidak hamil, kadar CRH plasma adalah sekitar 15 pg m. Kadar mi meningkat

menjadi sekitar 250 pg/ml pada awal trimester ketiga dan menjadi 1000 sampai 2000 pg/ml

secara mendadak pada 5 sampai 6 minggu terakhir (Goland dkk., 1988). Setelah persalinan

dimulai, kadar CRH di dalam plasma ibu meningkat lebih tinggi menjadi sekitar dua sampai

tiga kali lipat (Petraglia dkk., 1989, 1990).

Fungsi biologis CRH yang disintesis di plasenta (dan membran janin/desidua) belum

terlalu jelas dipahami. Reseptor untuk CRH terdapat di banyak jaringan: plasenta, adrenal,

ganglion simpatis, limfosit, traktus gastrointestinal, pankreas, gonad, dan miometrium.

Temuan bahwa hanya sebagian kecil CRH plasenta yang masuk ke sirkulasi umbilikus

janin mengurangi peran CRH plasenta dalam steroidogenesis adrenal janin. Sejumlah besar

CRH dari trofoblas masuk ke darah ibu, tetapi di plasma ibu juga terdapat protein pengikat

CRH spesifik dalam konsentrasi tinggi, dan CRH yang terikat tampaknya secara biologis

tidak aktif dan menjadi sasaran proses penguraian.

Peran biologis lain yang diperkirakan dimiliki oleh CRH antara lain adalah induksi

relaksasi otot polos (pembuluh darah dan miometrium) serta imunosupresi. juga

dikemukakan kemungkinan efek fisiologis yang sebaliknya, yaitu induksi kontraksi

miometrium (yi. inisiasi persalinan oleh CRH) (Wadhwa dkk., 1998). Pembentukan

prostaglandin di plasenta, amnion, korion laeve, dan desidua meningkat pada pemberian

CRH (Gones dan Challis, 1989).

Glukokortikosteroid bekerja di hipotalamus untuk menghambat pelepasan CRH, tetapi

terhadap biakan trofoblas, manusia, glukokortikosteroid merangsang ekspresi gen CRH,

yang menyebabkan peningkatan dua sampai lima kali lipat mRNA dan protein CRH

(Robinson dkk., 1988).

Dengan demikian, di plasenta terdapat kemungkinan lengkung umpan balik positif yang

melibatkan stimulasi CRH plasenta terhadap pembentukan ACTH plasenta, stimulasi ACTH

plasenta terhadap pembentukan glukokortikosteroid, dan stimulasi glukokortikosteroid

terhadap ekspresi CRH plasenta (Riley dkk. , 1991).

37
Hormon Pelepas Tirotropin (Tyrothropin Releasing Hormone, cTRH).

Sintesis chorionic thyroid-releasing hormone (cTRH) di plasenta sudah terbukti, tetapi

pengendalian sintesis dan peran biologis hormon ini masih belum banyak diketahui.

Hormon Pelepas Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Releasing Hormones,

GHRH).

Hormon ini juga dikenal dengan nama somatokrinin. Somatokrinin diekspresikan di

beberapa tumor manusia dan diperkirakan berperan dalam perkembangan akromegali pada

pengidap tumor-tumor tersebut. mRNA untuk GHRH telah ditemukan di plasenta manusia

(Berry dkk., 1992). Fungsi GHRH plasenta belum diketahui.

10. Hormon Peptida Plasenta Lainnya

a. Neuropeptida-Y (NPY).

Peptida kecil yang terdiri dari 36 asam amino ini tersebar luas di otak. Peptida ini juga

ditemukan di neuron-neuron simpatis yang mempersarafi sistem kardiovaskular,

pernapasan, gastrointestinal, dan genitourinaria. Neuropeptida-Y (NPY) telah berhasil

diisolasi dari plasenta dan ditemukan di sitotrofoblas (Petraglia dkk., 1989). Reseptor untuk

NPY telah ditemukan di plasenta, dan pemberian NPY ke sel-sel plasenta menyebabkan

pelepasan CRH.

b. Inhibin dan Aktivin.

Inhibin adalah suatu-hormon glikoprotein yang terutama bekerja untuk menghambat

pelepasan FSH oleh hipofisis. Zat ini diproduksi oleh testis manusia dan oleh sel-sel

granulosa ovarium, termasuk korpus luteum.

38
Inhibin adalah suatu heterodimer dengan subunit- dan subunit- yang tidak serupa.

Subunit- inhibin terdiri dari salah satu dari dua peptida yang berbeda, PA atau PB.

Aktivin berkaitan erat dengan inhibin dan dibentuk oleh kombinasi dua subunit-.

plasenta menghasilkan inhibin subunit-, subunit-PA, dan subunit- dengan kadar tertinggi

pada kehamilan aterm (Petraglia dkk., 1991).

Inhibih, yang dihasilkan di plasenta, bersama dengan sejumlah besar hormon steroid

seks yang diproduksi selama kehamilan pada manusia, mungkin berfungsi menghambat

sekresi FSH sehingga mencegah ovulasi selama kehamilan. Petraglia dkk. (1994)

mendapatkan bahwa kadar aktivin A serum cepat menurun setelah pelahiran.

Zat ini tidak terdeteksi dalam darah janin sebelum persalinan tetapi terdapat dalam darah

tali pusat setelah persalinan dimulai. Receptor untuk aktivin diekspresikan di plasenta dan

amnion. Inhibin mungkin bekerja melalui GnRH untuk mengendahkan sintesis/sekresi hCG

di plasenta (Petraglia dkk., 1987). Aktivin dan inhibin korionik mungkin berfungsi dalam

proses-proses metabolic plasenta selain sintesis GnRH, tetapi fungsi-fungsi ini belum

dipastikan.

c. Peptida Natriuretik Atrium (Atrial Natriuretic Peptide, ANP).

Peptida yang terdiri dari 28 asam amino ini berfungsi menimbulkan natriuresis, diuresis,

dan vasorelaksasi. Zat ini pada keadaan normal dihasilkan oleh miosit atrium, dan juga

disintesis oleh sel mirip sitotrofoblas plasenta (Lim dan Gude, 1995). Receptor peptida

natriuretik atrium (ANP) ditemukan di jaringan miometrium plasenta

39
BAB III

KESIMPULAN

Salah satu fungsi terpenting plasenta adalah menghasilkan hormon. HCG merupakan

suatu glikoprotein dengan aktivitas biologic yang sangat mirip dengan luteinizing hormone

(LH), dan keduanya sama-sama bekerja melalui receptor LH/hCG membran plasma.

Walaupun diproduksi hampir seluruhnya di placenta, hCG juga disintesis di ginjal janin.

HPL secara struktural mirip dengan prolaktin manusia (hPRL), diperkirakan memiliki

efek pada sejumlah proses metabolik penting mencakup lipolisis dan peningkatan kadar

asam lemak bebas dalam sirkulasi sehingga tersedia sumber energi untuk metabolisme ibu

dan nutrisi janin.

Estrogen yang dihasilkan oleh plasenta sebagian besar berasal dari konversi prekursor

androgen maternal maupun adrenal janin. Di plasenta, kolesterol dikonversi menjadi

pregnenolon sulfat yang kemudian dikonversi lagi menjadi dehidroepiandrosteron sulfat

(DHEA-S). DHEA-S ini kemudian mengalami metabolisme lebih lanjut menjadi estron (E1)

dan melalui testosteron menjadi estradiol (E2)

Progesteron awalnya dihasilkan korpus luteum hingga kehamilan usia 10 minggu.

Setelah masa transisi (antara minggu ke 7 dan 11), plasenta mengambil alih peran korpus

luteum dalam menghasilkan progesterone. Sintesis progesteron plasenta sangat tergantung

dari hubungan antara maternal dan plasenta tetapi sama sekali tidak tergantung prekursor dari

janin.

Hormon Adrenortikotropin Chorionik, merupakan hormon yang kerjanya mirip dengan

ACTH. Selama kehamilan, plasenta mungkin menghasilkan ACTH yang disekresikan ke ibu

atau janin tetapi ACTH tidak melewati plasenta (dari ibu ke janin).

Hormon Tirotropin Chorionic diperkirakan dihasilkan oleh plasenta, tetapi peran

biologis yang signifikan dari peptida ini pada kehamilan normal manusia belum diketahui.

40
Sejumlah jaringan janin juga membentuk PTH-rP (protein terikat hormon), termasuk

paratiroid, ginjal, dan plasenta. diperkirakan PTH-rP berfungsi sebagai paratiroid janin.

Selain hormon-hormon di atas, plasenta juga menghasilkan varian hormon pertumbuhan

(hGH-V), hormon pelepas serupa hormon pelepas Hipotalamus (GnRH, CRH, cTRH,

GHRH) dan hormon peptide lainnya termasuk Peptida Y (NPY), Inhibin dan aktivin serta

Peptida Natriuretik Atrium (ANP).

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham. 2010. William Obstetry 23rd edition, The Mc-Graw Hill Companies

2. Bloom dan Fawcet. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 12. Jakarta. EGC.

3. Coad, J dan Dunstal, M. 2007. Anatomi dan Fisiologi untuk Bidan. Jakarta EGC

4. Guyton dan Hall. 2008. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta. EGC

5. Heffner, L dan Schust, D. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi. Edisi 2. Jakarta. EMS

6. Junqueira,L.C, Carneiro, J dan Kelley, R.O, 1998. Histologi Dasar Edisi 8. Jakarta EGC.

7. Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia. Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta. EGC

8. Bennet, V. Ruth, dkk. 2001. Myles Textbook For Midwives. Churcill Livingstone, New

York.

42

Anda mungkin juga menyukai