DISASAR
DENGAN PASAL MAKAR
Akhir-akhir ini banyak kasus makar yang melibatkan sejumlah tokoh. Kasus teranyar
melibatkan advokat Eggi Sudjana dan jenderal purnawirawan Kivlan Zen. Namun, sederet
kasus yang dilaporkan sebagai tindakan makar selama pemerintahan Jokowi Widodo menuai
polemik.
Pertama ialah Eggi Sudjana. Eggi dijerat dengan pasal 107 KUHP tentang makar.
Eggi dijerat dengan Pasal 107 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP Jo Pasal 87 KUHP
dan atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 107 ayat 1 KUHP, makar yang dimaksud ialah
menggulingkan pemerintah yang sah. Pelakunya diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Sementara itu dua orang lainnya yakni Kivlan Zen dan Lieus Sungkharisma juga
disasar pasal makar. Kivlan dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh seorang wiraswasta
bernama Jalaludin. Laporan tersebut telah diterima dengan nomor LP/B/0442/V/2019/
BARESKRIM tertanggal 7 Mei 2019. Sementara laporan terhadap Lieus dilakukan
oleh Eman Soleman, yang juga merupakan seorang wiraswasta. Laporan dengan
nomor LP/B/0441/V/2019/BARESKRIM tersebut tertanggal 7 Mei 2019. Keduanya
disangkakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 14 dan/atau
Pasal 15, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 107 jo Pasal
110 jo Pasal 87 dan/atau Pasal 163 bis jo Pasal 107
Penggunaan pasal makar semestinya merujuk pada pengertian asalnya. Makar dalam
KUHP merujuk pada bahasa Belanda yakni "Aanslag" yang berarti serangan. Karena itu saat
menjerat seseorang dengan pasal makar, polisi harus bisa membuktikan apakah orang
tersebut memang sudah menyerang atau mempersiapkan serangan untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah. Hal itu senada dengan penjelasan di Pasal 87 KUHP tentang makar.
Pasal 87 menyatakan dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan. Pasal 104
KUHP berbunyi, “Makar dengan maksud membunuh, atau merampas kemerdekaan atau
meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun. Dan jika polisi tak bisa membuktikan kedua hal tersebut maka pasal makar tak bisa
digunakan.
Kalau memang dianggap melanggar hukum ya gunakan aturan hukum yang ada. Kalau
tidak ada (bukti) ya dibebaskan. Jangan gunakan pasal makar sembarangan, hanya karena para
tokoh tersebut bersebrangan dengan pemerintah maka disini sebagai apparat berwenang harus
punya etika dan tidak serta merta asal menggunakan pasal kepada pihak oposisi.
Fenomena di atas menunjukan bahwa kebijakan pasal makar, telah menimbulkan dampak
negative baik terhadap apparat yang berwenang, pejabat pubik maupun masyarakat. Secara
etika harusnya pemerintah memberikan ruang yang selebar lebar nya dan secara bebas dalam
menyuarakan pendapat aslakan tidak keluar dari koridor yang berlaku, bukan kah dulu
pemerintahan yang sekarang juga sama suka melakukan pengerahan masa dan ujuk rasa
sebagai oposisi di era pemerintahan SBY, dan mereka bebas menyuarakan aspirasi tanpa takut
di tangkap dan di kenakan pasa makar seperti sekarang,.