Anda di halaman 1dari 8

Konsep Brechtian: Seni Sebagai Alat Penyadaran 15

Konsep Brechtian:
Seni Sebagai Alat Penyadaran

Alfian Syahmadan Siagian


alfian.siagian@gmail.com | Literature Studies Department Faculty of Humanities University Of Indonesia

Abstract
This paper discusses the art of reproduction as a tool of consciousness in Indonesian society. The
art that become an avant-garde one has manifested itself into something high and unreachable.
While reproductive art is present as a false conscious creation tool that emphasizes emotional
engagement. This discussion will show that the text and performance initiated by Bertolt Brecht
is not only beneficial for the study of performing and the study of drama texts but also useful for
analyzing the drama or social theater that occurred in Indonesian society today. The brechtian
concept discussed here is the concept that suggests that the whole apparatus of the show,
including the audience, is required to be distant. This concept is what the public widely known
as verfremdungseffekt. Verfremdungseffekt itself can be interpreted as alienation, distances, or
verfremdungseffekt. All performance apparatus are expected to “not get involved” emotionally
with what is happening on stage. The expected outcome is the critical audience who will reflect
on their spectacle results and then initiate a social, political, economic and cultural change.

Keywords: Brectian, verfremdungseffekt, effects of alienation, alienation, consciousness.

Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai seni reproduksi sebagai alat penyadaran dalam masyarakat
Indonesia. Seni yang mengavant-garde telah mewujud menjadi sesuatu yang adi luhung dan tidak
terjangkau. Sementara seni yang reproduksional sifatnya hadir sebagai alat penciptaan kesadaran
palsu yang lebih mengedepankan keterlibatan emosi. Diskusi ini akan memperlihatkan bahwa
teks dan performasi yang digagas oleh Bertolt Brecht tidak hanya bermanfaat untuk kepentingan
kajian performasi dan kajian teks drama melainkan juga bermanfaat untuk menganalisis drama
atau teater sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini. Konsep brechtian
yang dibahas di sini adalah konsep yang menggagas bahwa seluruh apparatus pertunjukan,
termasuk penonton dituntut untuk berjarak. Konsep inilah yang oleh masyarakat luas dikenal
sebagai verfremdungseffekt. Verfremdungseffekt sendiri dapat dimaknai sebagai keterasingan,
keberjarakan, atau alienasi. Seluruh apparatus pertunjukan diharapkan “tidak terlibat” secara
emosional dengan apa yang terjadi di atas panggung. Luaran yang diharapkan adalah penonton-
penonton yang kritis yang akan merenungkan hasil tontonan mereka untuk kemudian menggagas
sebuah perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Kata Kunci: Brectian, verfremdungseffekt, efek keterasingan, alienasi, kesadaran.


16 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 3, Juni - November 2018

Pendahuluan secara politis. Meng-avant-garde  berarti


Pada tanggal 1-19 November mengambil jarak dengan masyarakat
2013 yang lalu kelompok Teater Koma di sedemikian rupa sehingga gagal menjalankan
bawah arahan sutradara Nano Riantiarno fungsinya sebagai alat penyadaran dan
mementaskan  repertoir “IBU Brani” yang masyarakat juga gagal menjalankan fungsi
disadur dari naskah “Mother Courage” karya kritisnya.
dramawan besar Bertolt Brecht. Penonton
kecewa. Bagaimana mungkin Teater Koma Kosep Brecthtian yang penulis usung
yang sedemikian piawainya menghibur dalam tulisan ini tidak hanya ditujukan untuk
penonton tampil begitu flat,  nanggung, kepentingan pemanggungan segala. Konsep
tanpa klimaks, tidak berempati pada Brechtian yang dimaksud dalam tulisan ini
penonton, gagal muncak  dan lain juga ditujukan untuk kepentingan “panggung
sebagainya. Tidak hanya penonton teater sosial” yang ruangnya lebih besar dari pada
yang kecewa, pengamat teater juga kecewa. “panggung seni”.
Beberapa kawan yang merupakan penggiat
teater Jakarta bahkan mengutuk Nano, Permasalahan utama yang dihadapi
sang sutradara, sebagai seorang yang oleh masyarakat kita dewasa ini adalah
sudah  amnesia.  Amnesia  akan kehadiran bahwa isu yang beredar di antara mereka
penonton. dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Sebagian besar masyarakat kita menerima
Bukankah Teater Koma sejak informasi sebagai monolog yang sifatnya
awal, melalui media sosial, media massa pedagogig dan satu arah. Isu yang diproduksi
cetak, radio, TV, dan jejaring sosial, sudah kemudian dengan mudahnya direproduksi
mendengung-dengungkan Brechtian sebagai oleh sebagian anggota masyarakat tanpa
metode akting, pementasan, penyampaian memikirkan dan menelaah isi dan konteks
yang akan mereka usung? Tidak sampaikah dari isu tersebut.
pesan tersebut? Saya rasa tidak. Apakah
nama Brecht dan metode  brechtian  sudah Penulis berharap bahwa diskusi yang
sedemikian asing? Apakah pemahaman dituangkan ke dalam tulisan ini berimplifikasi
teaterawan tentang metode brechtian sudah pada tumbuhnya kesadaran pada
sedemikian kabur? Bisa saja. Tapi satu hal yang masyarakat, setidaknya pada cara anggota
perlu dicatat bahwa metode brechtian yang masyarakat dalam menyikapi isu, berita,
mensyaratkan ruang alienasi yang dan bentuk-bentuk dialog dalam masyarakat
memungkinkan terciptanya ruang dialektika lainnya.
antara subjek pencipta tontonan dengan
subjek penonton telah berevolusi. Repertoir Seni Reproduksi
karya Brecht, sebagaimana terjadi pada Seni dalam alam fikir Walter
“IBU” ini, secara tidak disadari telah menjadi Benjamin memiliki basis material di dalam
karya  Avant Garde. Berevolusi dari seni struktur dan organisasi masyarakat, di
rakyat yang bersifat reproduksi menjadi dalam keyakinan-keyakinannya, cara-cara
sebuah seni agung bersifat klasik yang produksinya, dan penataan politiknya (Jenks
bermutu sangat tinggi. 2013:131). Memang benar jika Benjamin
dalam mengembangkan teori estetiknya
Padahal Brecht, bersama Walter berangkat dari goncangan kehidupan sehari-
Benjamin, adalah tokoh pendukung seni hari yang dialami masyarakat kapitalis.
reproduksial, seni yang berkompromi Aura seni hancur karena gagalnya memoire
dengan teknologi sepanjang tetap dapat involontaire yang seharusnya melindungi
dimanfaatkan sebagai alat berkomunikasi masyarakat dari gegar budaya.  Memoire
Konsep Brechtian: Seni Sebagai Alat Penyadaran 17

involontaire merujuk pada sebuah kapasitas seni dengan orang banyak, demokratisasi


untuk melakukan asosiasi bebas tidak produksi budaya dan yang paling penting
dikendalikan demi kepentingan-kepentingan adalah seni bisa menjadi alat penyadaran
sosial praktis. Teknik fotografi kemudian dan mampu bersifat emansipatoris sehingga
memotong keunikan dan kesatu-satuan yang penikmatnya menjadi kritis terhadap realitas
ada dalam aura. Benjamin melihat bahwa sosial yang terjadi.
foto Agnet mengenai jalan-jalan Kota Paris
yang sepi ditinggalkan oleh penduduknya             Selanjutnya bagi Walter Benjamin,
pada pergantian abad ke-20, merupakan tidak masalah jika seni kehilangan
contoh telanjang bagaimana kamera auranya. Bukankah sudah ada teknologi,
mengandung elemen politik (Soetomo 2003: bukankah sudah tercipta negatif film yang
93). bisa menggandakan segala gambar di
Menurut Benjamin, sebelum masa Bumi ini, bukankah seni sudah mencapai
reproduksi mekanikal memang ke-avant- puncak tertingginya ketika film sudah bisa
garde-an – kemurnian, refleksifitas, keunikan, diproduksi?
kesatu-satuan, pengalaman akan keabadian Benjamin mengatakan: untuk mata yang
– adalah syarat sah sebuah karya seni. Tidak tidak pernah merasa dipuaskan oleh lukisan,
heran jika karya seni yang demikian itu maka fotografi dapat memenuhi rasa lapar
hanya milik mereka-mereka yang berasal dan dahaga. Sesungguhnya novel dan lukisan
dari kalangan bangsawan dan kaum borjuis. yang bersifat individuaulistik teralienasi
Inilah yang disebut ‘aura’ dalam kesenian. dengan penikmatnya, oleh karenanya, film
The concept of aura which was proposed dan sinema diharapkan mampu menyatukan
above with reference to historical may useful individu-individu dalam sebuah penghayatan
ilustrated with reference to the aura of dan fokus perhatian yang sama. Walter
natural ones. We define the aura of latter as Benjamin menyambut munculnya seni film,
the unique phenomenon of a distance1. sebagai kelanjutan dari fotografi sebagai
penemuan yang luar biasa. Sekali lagi, bagi
Di lain pihak, masa reproduksi Benjamin, film adalah puncak tertinggi dari
mekanikal karya seni muncul dalam bentuk pemikiran manusia dalam bidang kesenian.
video, DVD, rekaman-rekaman yang bisa Sama seperti yang dikemukakan oleh
diputar berulang-ulang (piringan hitam, Brecht mengenai alienasi, efek montase
kaset, cakram), reproduksi karya seni patung yang terdapat dalam film dibuat untuk
dan lain-lain. menjaga ruang kesadaran penonton dari
In Principle a work of art has always cengkraman  shock  atas kesan partikular di
reproducible. Man made articraft could atas.
always be imitated by men. Repilcas were
made by pupils in practices of their cratf, Memang konsep auratic da­
by master for diffusing their works, and, lam alam pikir Benjamin ini masih
finally, by third parties in the pursuit of terasa  ambivalen  karena di satu sisi ia
gain. Mechanical production of work of art, menganggap bahwa seni auratic dianggap
however, represents something new2. tidak mampu menjawab tuntutan masyarakat
dewasa ini; tetapi di lain pihak, ia juga
Proses “Deaurifikasi” ini bisa jadi beranggapan bahwa kualitas evokatif dari
merugikan karena seni bisa terjebak dalam seni  auratic  mengandung aspek progresif
komodifikasi sempit. Namun di lain pihak, (Soetomo 2003:91). Sementara itu, film yang
“deaurifikasi” ini bisa mendekatkan karya dianggap seni  reproducible  pun ada dalam
kerangka ambivalensi tadi. Setali tiga uang
1 The Work of art in the age of mechanical
dengan kasus drama “IBU” yang berevolusi
reproduction bagian i dari buku ‘Illumination”.
Diunduh dari adl.m.yahoo.net. pada hari Rabu 6
November 2013 jam 16.10.  
2 Ibid
18 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 3, Juni - November 2018

dari seni yang  reproducible  menjadi yang sudah disinggung sedikit di atas.
seni  avant garde, film-film, terutama yang Dalam pertunjukan-pertunjukannya, Bertolt
“idealis” juga terperangkap dalam ke-avant- Brecht mempersyaratkan adanya alienasi di
garde-an. antara panggung dan penonton. Panggung,
menurut Brecht, memiliki realitasnya sendiri.
Di Indonesia, dalam satu dasawarsa Demikian juga, penonton hadir dan hidup
belakangan ini film-film karya, Garin Nu­ dalam realitasnya sendiri.
groho dianggap sebagai karya-karya yang
avant garde. Sebut saja film “Daun di Atas Ketika Bertolt Brecht menawarkan
Bantal,” “Opera Jawa,” dan lain-lain, muncul konsep verfremdungseffekt masyarakat
sebagai film-film yang dahulu oleh Walter kritis Jerman yang diwakili oleh pemikir-
Benjamin sebagai seni yang reproducible kini pemikir Mazhab Franfurt sedang menentang
menjadi seni yang  avant-garde. Hal ini kecenderungan industri film dan televisi
terjadi karena pada saat yang sama film- Jerman yang terus-menerus memproduksi
film yang “kacangan” yang justru mengalir kesadaran palsu lewat drama-drama te­
di arus utama. Opera Jawa merupakan karya levisi. Brecht dengan gagah berani menolak
yang paling adiluhung yang dihasilkan oleh “keterlibatan” yang Aristotelian dalam
Garin Nugroho selama karirnya di dunia film. tayangan-tayangan tersebut. Untuk itulah
Meskipun karya-karya lain masuk dalam konsep verfremdungseffekt atau efek
kategori “idealis,” namun tetap saja film- defamiliarisasi atau efek keterasingan
film itu diusahakan masuk dalam arus utama diperlukan agar supaya penonton dapat
perfilman Indonesia. mengambil jarak dengan tontonannya.
Di sisi lain, di arus utama justru muncul
film-film yang dahulu oleh Walter Benjamin Efek keterasingan ini bekerja untuk
kemunculannya pernah disesali dan digelari menciptakan ruang kosong di antara pe­
sebagai “german tragic drama3.” Film-film nonton dengan tontonannya. Ruang kosong
layar lebar maupun film-film TV terus- tersebut akan menjadi arena di mana terjadi
menerus memproduksi kesadaran palsu, dialektika antara apa yang dipahami oleh
tanpa peduli pada penonton dan pemirsanya penonton, dengan apa yang dihasilkan oleh
yang larut dalam empathi berlebihan dan sebuah pertunjukan. Kondisi terlibat yang
terjebak dalam ilusi tanpa akhir. Katarsis Aristotelian itu akan menutup ruang kosong
dijadikan jalan keluar, padahal itu bersifat sehingga tidak tercipta ruang kesadaran.
pasif dan tidak membuat orang berpikir “Terlibat” dalam konteks ini adalah kondisi
mengenai realitas sosial yang sejati, tidak emosi yang teraduk-aduk sehingga tidak
membuat penikmatnya menjadi kritis, dapat melihat sebuah tontonan sebagai
dan pertunjukan itu tidak menyisakan sebuah proses dialektika, yang terjadi antara
sebuah tanda tanya besar yang bisa dibawa tontonan dan penontonnya, dapat juga
pulang oleh penonton untuk dipikirkan dan terjadi antara pemain dan karakter yang
diejawantahkan kemudian.     dimainkannya.Nampaknya, Teater Koma
(melalui pertunjukan “IBU Brani” yang
Konsep Verfremdungseffekt dan Kesadaran disutradarai oleh Nano Riantiarno) berusaha
Penonton merealisasikan kondisi “tidak terlibat” kepada
Walter Benjamin dalam bukunya penonton Indonesia. Beberapa penonton
“Understanding Brecht” mengatakan merasakan bahwa ada klimaks-klimaks kecil
bahwa kekuatan Bertolt Brecht adalah yang sengaja “digagalpuncakkan” dalam
gagasannya tentang Verfremdungseffekt pertunjukan tersebut.
Penulis berpendapat bahwa Teater
3 The Origin of Tragic Drama
Koma sudah mengusung konsep brechtian
dalam buku ‘Illumination”. Diunduh
dari adl.m.yahoo.net. pada hari Rabu 6
November 2013 jam 16.10.
Konsep Brechtian: Seni Sebagai Alat Penyadaran 19

sejak lama. Pementasan “Opera Julini” sengaja tidak menggiring suasana menuju
karya Nano Riantiarno, menurut pendapat puncak pada adegan yang menggambarkan
penulis, diperformasikan dengan prinsip- bahwa ia mendapati Katrin, putrinya, mati
prinsip pemanggungan ala Brecht. Properti karena berusaha membangunkan warga
panggung dibiarkan terlihat “kasar” oleh kota dengan tambur agar waspada pada
kasat mata penonton. Kondisi yang sengaja serangan Pasukan Matahari Putih. Sebagai
dibuat untuk menjaga agar penonton sadar pemain, Sari Madjid nampak tidak berusaha
bahwa apa yang mereka tonton tersebut “menjadi” dan “masuk” ke dalam karakter
adalah sebuah pertunjukan. Fakta lain yang ia mainkan. Secara teks, Bertolt Brecht
yang memperlihatkan bahwa Teater Koma telah menciptakan satu suasana performasi
merupakan pengusung konsep brechtian, yang tidak emphatetic. Brecht menempatkan
adalah bahwa mereka mementaskan lagu dan nyanyian, yang tentu saja dalam
repertoir-repertoir seperti “Perempuan koridor brechtian, untuk membuat kondisi
Pilihan Dewa” yang diterjemahkan dari sadar tetap terdapat di antara dunia ciptaan
naskah Der Gutemencsh von Setzuan, “Opera yang kita kenal sebagai panggung dengan
Tiga Gobang” yang diterjemahkan dari The dunia nyata tempat kita berpijak. Alih-alih
Three Penny Opera, dan “IBU Brani” yang meratap dan meraung-raung, Ibu Brani atau
diterjemahlan dari naskah Mother Courage. Anna Firling yang dimainkan oleh Sari Madjid
Meskipun demikian, terdapat perbedaan malah menyanyikan sebuah lagu nina bobo
yang khas dalam performasi yang dilakukan untuk melepas kepergian Katrin.
oleh Teater Koma pada naskah “IBU Brani”
dengan yang dilakukan pada performasi- Lagu Nina Bobo Ibu Brani pada kematian
performasi lain seperti “Opera Julini,” Katrin
“Perempuan Pilihan Dewa,” dan “Opera Tidur, tidurlah anakku sayang
Tiga Gobang.” Perbedaan itu, menurut Tiada lagi yang perlu kau risaukan
kacamata penulis, terdapat pada kondisi Anak-anak tetangga meratap, tapi anakku
“tidak terlibat” yang ditawarkan oleh Brecht bahagia
melalui konsep verfremdungseffekt tadi. Anak-anak tetangga berbaju rombengan
Pada performasi “Opera Julini” konsep Bajumu sutera bikinan malaikat
penataan panggung merupakan appropriasi Mereka kelaparan
yang pas atas konsep brechtian. Panggung Tapi kau makan roti coklat
dibiarkan terlihat “kasar” dan kumuh. Kalaupun basi, ada roti lain
Sekilas terlihat tidak artistik. Saya yakin Tidur, tidurlah anakku sayang
bahwa Nano sengaja melakukan itu agar Satu anakku mati di tanah seberang
penonton senantiasa tersadarkan bahwa apa Satu lagi entah di mana sekarang
yang tersaji di depan mereka adalah sebuah
pertunjukan sandiwara. Akan tetapi, pemain Bagi Brecht, salah satu yang perlu
(terutama pada karakter Julini yang ketika dihilangkan dari performasi sebuah naskah
itu dimainkan oleh Salim Bungsu) dibiarkan adalah ilusi. Pertunjukan yang menyuguhkan
larut dengan karakter. Kondisi tersebut tentu tangisan, sebagaimana ditolak oleh Walter
saja menarik penonton untuk terlibat secara Benjamin melalui buku The Origin of
emosional dengan pertunjukan. German Tragic Drama, hanya menghasilkan
kesadaran-kesadaran palsu. Performasi
Beberapa penonton setia Teater yang empathetic tidak akan mampu
Koma yang penulis ajak diskusi sehabis menyampaikan refleksi kesadaran kritis
menyaksikan pertunjukan “IBU Brani” mengenai gejala-gejala lingkungan sosial
mengatakan bahwa emosi penonton berulang (Sutomo, 2003: 96). Brecht tidak sekadar
kali sengaja diganggu. Tokoh Ibu Brani yang berteriak lewat dialog-dialog melainkan
dimainkan oleh Sari Madjid bahkan dengan
20 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 3, Juni - November 2018

juga menggambarkan gejala-gejala sosial pertunjukan dalam konsep brechtian adalah


secara utuh di dalam teks drama dan dalam keluar dari kondisi katarsis. Sebagai contoh,
performasi. misalnya, di akhir cerita “Perempuan Pilihan
Dewa,” Brecht dengan sengaja mengeluarkan
Pada naskah “Orang Baik” dari seluruh aparatus pertunjukan, dalam hal ini
Setzuan misalnya; kritik Brecht pada kaum termasuk penonton, dari emosi pertunjukan
borjuis bahkan dinyatakan lewat karakter- melalui dalam epilog.
karakter yang ada. Dapat dibayangkan bahwa
orang terkaya di Kota Setzuan disematkan Epilog “Perempuan Pilihan Dewa:”
pada karakter Tukang Cukur. Kondisi kacau Ladies and gentlemen, don’t fell let down:
dan bising disampaikan lewat karakter- We know this ending makes some people
karakter keluarga “yang miskin” secara frown
mental. Pernahkah kita membayangkan He had in mind a sort of golden myth
bahwa orang baik yang ditunggu-tunggu Then found the finish had been tampered
ribuan tahun oleh para Dewa, adalah seorang with
pelacur yang terpaksa melacur karena lapar. Indeed it is curious way of coping:
Bagaimana jika secara empathetic penonton To close the play, leaving the issue open
bersimpati pada karakter miskin tapi tetap Especially since we live by your enjoyment
ingin berderma, termasuk pada para dewa Frustrated audiences mean unemployment
yang memang sedang mencarinya. Sente, Whtatever optimist may have pretended
sang pelacur, terpaksa harus menciptakan Our play will fail if you can’t recommend it
tokoh Sepupu agar ia sadar bahwa ia Was it stage fright made us forget the rest?
harus hidup. Hidup itu tidak hanya sekedar Such things occurs. But what would you
berbuat baik, mendapat pujian dan berakhir suggest?
bahagia seperti drama-drama yang bersifat What is your answer? Nothing’s been
ilutif konvensional umumnya. Performasi arranged
bukanlah tontonan yang mengharubiru Should men be better? Should the world be
melainkan sebuah media untuk melakukan change?
pengamatan atas kondisi sosial politik yang Or just the gods? Or ought there to be none?
ada. We for our part feel well and truly done
There’s only one solution that we know:
Ada beberapa kondisi yang tahapan That you should now consider as you go
yang disaksikan oleh penonton (pengamat) What sort of measures you would recommend
dalam hal ini: To help good people to a happy end
1. Bercerita (Erzahlen) Ladies and gentlemen, in you we trust:
2. Mengamati (Betrachter) There must be happy ending, must, must,
3. Membangkitkan (Weckt Seine aktivitat) must!
4. Mengambil keputusan
(Entscheidungngen) Brecht dalam epilog ini secara
5. Mengambil Jarak (Gegenubergesezt) gamblang mengatakan bahwa bukan
6. Berargumen (Argument) pelaku performasi yang akan mengubah
7. Berpengetahuan (Getrieben) dunia. Para pelaku performasi tidak akan
8. Belajar (Stiduert) mampu mengubah dunia. Penontonlah,
Walter Benjamin dalam bab Epic penonton yang mengikuti cerita, meng­
Theatre pada buku Understanding Brecht amati, membangkitkan, mengambil ke­
mengatakan bahwa pemain teater sebaiknya putusan, mengambil jarak, berargumen,
“tidak terlibat” secara emosional dengan ber­pengetahuan dan belajarlah, yang akan
karakter yang ia mainkan. Menonton sebuah mampu mengubah dunia.
Konsep Brechtian: Seni Sebagai Alat Penyadaran 21

Meskipun demikian secara per­ Performasi besar yang disebut


formasi, kondisi versfremdungseffekt sebagai panggung politik telah melahirkan
yang paling pas yang pernah dilakukan di aktor-aktor yang menyadari betul ke­
Indonesia, atau paling tidak yang pernah aktorannya. Artinya, para aktor tersebut
dilakukan oleh Teater Koma adalah pada dengan sengaja menjadikan diri mereka
pementasan naskah “IBU Brani” yang aktor, atau dengan kata lain meng-abuse
dilaksanakan pada tanggal Pada tanggal 1 diri mereka untuk menjadi aktor sosial.
November 2013 itu. Performasi ala brechtian Celakanya, alienasi yang diambil oleh
yang mereka usung sebelum dan sesudahnya para aktor tersebut tidak ditujukan untuk
masih menyisakan keterlibatan terutama menciptakan ruang kosong yang kelak jadi
pada keaktoran. Para aktor, terutama pada ruang dialektika antara mereka dengan
bagian humor, membiarkan dirinya larut penonton. Dialog (isu) kehidupan sosial
dalam emosi performasi. dipasok oleh aktor-aktor di back stage yang
kemudian dipaksa masuk ke dalam kepala
Konsep Verfremdungseffekt dan Kesadaran penonton. Penonton yang tersedia adalah
Publik penonton-penonton yang terlibat. Sehingga
Erving Goffman mengatakan bahwa dialog menjadi semacam kitab suci yang
semua dari kita ini adalah aktor-aktor sosial diterima sebagai kebenaran tanpa syarat.
yang hidup dan menghidupi panggung
sosial. Panggung sosial dibagi dua yakni Penutup
front stage dan back stage (Goffman: 1990). Sebagai penutup dari paparan ini
Dalam drama sosial yang kita saksikan secara penulis ini menyimpulkan bahwa performasi
gamblang akhir-akhir ini dapat terlihat sosial yang hadir sekarang ini sejatinya
bagaimana para aktor ditampilkan secara membutuhkan apparatus yang sadar akan
kasar di front stage. Demikian juga, dapat verfremdungseffekt. Dialog di era virtual
dilihat secara gamblang bagaimana pada ini muncul dalam berbagai macam ragam
aktor-aktor di back stage mempersiapkan bentuk. Dialog yang hadir, bukan hanya
aktor-aktor mereka. lewat dialog verbal juga lewat berita, meme,
gesture, bahkan gestus (istilah brechtian
Pada tataran front stage, beberapa untuk seluruh tindakan keaktoran).
karakter muncul sebagai main leading actor Performasi sosial tidak akan pernah tak
yang bermain secara gemilang dengan bertendensi. Ia selalu bertendensi. Para
memainkan beberapa adegan kunci yang aktor, baik front stage maupun back stage
menyebabkan beberapa karakter terkunci di sejujurnya lebih berharap pada kehadiran
dalam kotak Pandora yang setiap saat siap penonton yang bersifat katarsis. Emosi
di-bully dan dihina-dina. Para pemain yang penonton sengaja diletupkan melalui
secara kapasitas, kapabilitas dan elektabilitas dialog-dialog panjang seputar keyakinan
masuk ke dalam wilayah main aktor, jelas dan identitas keyakinan mereka. Penonton
sekali memiliki supporting aktor, cameo performasi sosial ini, dalam hal ini
dan backstager. Para backstager jelas sekali masyarakat luas atau grassroot, sebaiknya
terlihat siap dan mempersiapkan isu yang adalah penonton yang yang mengikuti cerita,
kemudian dikembangkan menjadi dialog. mengamati, membangkitkan, mengambil
Salah satu dialog, dan menjadi dialog yang keputusan, mengambil jarak, berargumen,
bertele-tele dan panjang, adalah isu agama. berpengetahuan dan belajarlah yang akan
mampu mengubah dunia. Penonton yang
berverfremdungseffekt.  
22 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 3, Juni - November 2018

Daftar Pustaka:
Agger, Ben. 2012.  Teori Sosial Kritis. Kritik,
Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta.
Penerbit Kreasi Wacana.

Benjamin, Walter. 1988. The Work of art


in the age of mechanical reproduction.
‘Illumination”. New York .Left Book
Publishing. Diunduh dari adl.m.yahoo.net.
pada hari Rabu 6 November 2013 jam 15.25.

Benjamin, Walter. 1988. The Origin of


German Tragic Drama. “Illumination”. New
York. Left Book. Diunduh dari adl.m.yahoo.
net. pada hari Rabu 6 November 2013 jam
15.25.

Benjamin, Walter. 1988.  Understanding


Brecht. New York. New Left Book. Diunduh
dari adl.m.yahoo.net. pada hari Rabu 6
November 2013 jam 16.10.

Goffman, Erving. 1990. The Presentation of


Self In Everyday life. Pennsylvania. Pinguin
Book.

Jenks, Chris. 2013.  Studi Kebudayaan.


Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Lechte, John. 2001.  50 Filsuf Kontemporer.


Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas.
Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2013. Teori Kritis dan


Kajian Sosial-Budaya Kontemporer. Depok.
Bahan Ajar Kuliah.

Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis


Kesadaran. Yogyakarya. Penerbit Kanisius.

The Work of art in the age of mechanical


reproduction bagian i dari buku ‘Illumination”.
Diunduh dari adl.m.yahoo.net. pada hari
Rabu 6 November 2013 jam 16.10.

The Origin of Tragic Drama dalam buku


‘Illumination”. Diunduh dari adl.m.yahoo.
net. pada hari Rabu 6 November 2013 jam
16.10.

Anda mungkin juga menyukai