Konsep Brechtian:
Seni Sebagai Alat Penyadaran
Abstract
This paper discusses the art of reproduction as a tool of consciousness in Indonesian society. The
art that become an avant-garde one has manifested itself into something high and unreachable.
While reproductive art is present as a false conscious creation tool that emphasizes emotional
engagement. This discussion will show that the text and performance initiated by Bertolt Brecht
is not only beneficial for the study of performing and the study of drama texts but also useful for
analyzing the drama or social theater that occurred in Indonesian society today. The brechtian
concept discussed here is the concept that suggests that the whole apparatus of the show,
including the audience, is required to be distant. This concept is what the public widely known
as verfremdungseffekt. Verfremdungseffekt itself can be interpreted as alienation, distances, or
verfremdungseffekt. All performance apparatus are expected to “not get involved” emotionally
with what is happening on stage. The expected outcome is the critical audience who will reflect
on their spectacle results and then initiate a social, political, economic and cultural change.
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai seni reproduksi sebagai alat penyadaran dalam masyarakat
Indonesia. Seni yang mengavant-garde telah mewujud menjadi sesuatu yang adi luhung dan tidak
terjangkau. Sementara seni yang reproduksional sifatnya hadir sebagai alat penciptaan kesadaran
palsu yang lebih mengedepankan keterlibatan emosi. Diskusi ini akan memperlihatkan bahwa
teks dan performasi yang digagas oleh Bertolt Brecht tidak hanya bermanfaat untuk kepentingan
kajian performasi dan kajian teks drama melainkan juga bermanfaat untuk menganalisis drama
atau teater sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini. Konsep brechtian
yang dibahas di sini adalah konsep yang menggagas bahwa seluruh apparatus pertunjukan,
termasuk penonton dituntut untuk berjarak. Konsep inilah yang oleh masyarakat luas dikenal
sebagai verfremdungseffekt. Verfremdungseffekt sendiri dapat dimaknai sebagai keterasingan,
keberjarakan, atau alienasi. Seluruh apparatus pertunjukan diharapkan “tidak terlibat” secara
emosional dengan apa yang terjadi di atas panggung. Luaran yang diharapkan adalah penonton-
penonton yang kritis yang akan merenungkan hasil tontonan mereka untuk kemudian menggagas
sebuah perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
dari seni yang reproducible menjadi yang sudah disinggung sedikit di atas.
seni avant garde, film-film, terutama yang Dalam pertunjukan-pertunjukannya, Bertolt
“idealis” juga terperangkap dalam ke-avant- Brecht mempersyaratkan adanya alienasi di
garde-an. antara panggung dan penonton. Panggung,
menurut Brecht, memiliki realitasnya sendiri.
Di Indonesia, dalam satu dasawarsa Demikian juga, penonton hadir dan hidup
belakangan ini film-film karya, Garin Nu dalam realitasnya sendiri.
groho dianggap sebagai karya-karya yang
avant garde. Sebut saja film “Daun di Atas Ketika Bertolt Brecht menawarkan
Bantal,” “Opera Jawa,” dan lain-lain, muncul konsep verfremdungseffekt masyarakat
sebagai film-film yang dahulu oleh Walter kritis Jerman yang diwakili oleh pemikir-
Benjamin sebagai seni yang reproducible kini pemikir Mazhab Franfurt sedang menentang
menjadi seni yang avant-garde. Hal ini kecenderungan industri film dan televisi
terjadi karena pada saat yang sama film- Jerman yang terus-menerus memproduksi
film yang “kacangan” yang justru mengalir kesadaran palsu lewat drama-drama te
di arus utama. Opera Jawa merupakan karya levisi. Brecht dengan gagah berani menolak
yang paling adiluhung yang dihasilkan oleh “keterlibatan” yang Aristotelian dalam
Garin Nugroho selama karirnya di dunia film. tayangan-tayangan tersebut. Untuk itulah
Meskipun karya-karya lain masuk dalam konsep verfremdungseffekt atau efek
kategori “idealis,” namun tetap saja film- defamiliarisasi atau efek keterasingan
film itu diusahakan masuk dalam arus utama diperlukan agar supaya penonton dapat
perfilman Indonesia. mengambil jarak dengan tontonannya.
Di sisi lain, di arus utama justru muncul
film-film yang dahulu oleh Walter Benjamin Efek keterasingan ini bekerja untuk
kemunculannya pernah disesali dan digelari menciptakan ruang kosong di antara pe
sebagai “german tragic drama3.” Film-film nonton dengan tontonannya. Ruang kosong
layar lebar maupun film-film TV terus- tersebut akan menjadi arena di mana terjadi
menerus memproduksi kesadaran palsu, dialektika antara apa yang dipahami oleh
tanpa peduli pada penonton dan pemirsanya penonton, dengan apa yang dihasilkan oleh
yang larut dalam empathi berlebihan dan sebuah pertunjukan. Kondisi terlibat yang
terjebak dalam ilusi tanpa akhir. Katarsis Aristotelian itu akan menutup ruang kosong
dijadikan jalan keluar, padahal itu bersifat sehingga tidak tercipta ruang kesadaran.
pasif dan tidak membuat orang berpikir “Terlibat” dalam konteks ini adalah kondisi
mengenai realitas sosial yang sejati, tidak emosi yang teraduk-aduk sehingga tidak
membuat penikmatnya menjadi kritis, dapat melihat sebuah tontonan sebagai
dan pertunjukan itu tidak menyisakan sebuah proses dialektika, yang terjadi antara
sebuah tanda tanya besar yang bisa dibawa tontonan dan penontonnya, dapat juga
pulang oleh penonton untuk dipikirkan dan terjadi antara pemain dan karakter yang
diejawantahkan kemudian. dimainkannya.Nampaknya, Teater Koma
(melalui pertunjukan “IBU Brani” yang
Konsep Verfremdungseffekt dan Kesadaran disutradarai oleh Nano Riantiarno) berusaha
Penonton merealisasikan kondisi “tidak terlibat” kepada
Walter Benjamin dalam bukunya penonton Indonesia. Beberapa penonton
“Understanding Brecht” mengatakan merasakan bahwa ada klimaks-klimaks kecil
bahwa kekuatan Bertolt Brecht adalah yang sengaja “digagalpuncakkan” dalam
gagasannya tentang Verfremdungseffekt pertunjukan tersebut.
Penulis berpendapat bahwa Teater
3 The Origin of Tragic Drama
Koma sudah mengusung konsep brechtian
dalam buku ‘Illumination”. Diunduh
dari adl.m.yahoo.net. pada hari Rabu 6
November 2013 jam 16.10.
Konsep Brechtian: Seni Sebagai Alat Penyadaran 19
sejak lama. Pementasan “Opera Julini” sengaja tidak menggiring suasana menuju
karya Nano Riantiarno, menurut pendapat puncak pada adegan yang menggambarkan
penulis, diperformasikan dengan prinsip- bahwa ia mendapati Katrin, putrinya, mati
prinsip pemanggungan ala Brecht. Properti karena berusaha membangunkan warga
panggung dibiarkan terlihat “kasar” oleh kota dengan tambur agar waspada pada
kasat mata penonton. Kondisi yang sengaja serangan Pasukan Matahari Putih. Sebagai
dibuat untuk menjaga agar penonton sadar pemain, Sari Madjid nampak tidak berusaha
bahwa apa yang mereka tonton tersebut “menjadi” dan “masuk” ke dalam karakter
adalah sebuah pertunjukan. Fakta lain yang ia mainkan. Secara teks, Bertolt Brecht
yang memperlihatkan bahwa Teater Koma telah menciptakan satu suasana performasi
merupakan pengusung konsep brechtian, yang tidak emphatetic. Brecht menempatkan
adalah bahwa mereka mementaskan lagu dan nyanyian, yang tentu saja dalam
repertoir-repertoir seperti “Perempuan koridor brechtian, untuk membuat kondisi
Pilihan Dewa” yang diterjemahkan dari sadar tetap terdapat di antara dunia ciptaan
naskah Der Gutemencsh von Setzuan, “Opera yang kita kenal sebagai panggung dengan
Tiga Gobang” yang diterjemahkan dari The dunia nyata tempat kita berpijak. Alih-alih
Three Penny Opera, dan “IBU Brani” yang meratap dan meraung-raung, Ibu Brani atau
diterjemahlan dari naskah Mother Courage. Anna Firling yang dimainkan oleh Sari Madjid
Meskipun demikian, terdapat perbedaan malah menyanyikan sebuah lagu nina bobo
yang khas dalam performasi yang dilakukan untuk melepas kepergian Katrin.
oleh Teater Koma pada naskah “IBU Brani”
dengan yang dilakukan pada performasi- Lagu Nina Bobo Ibu Brani pada kematian
performasi lain seperti “Opera Julini,” Katrin
“Perempuan Pilihan Dewa,” dan “Opera Tidur, tidurlah anakku sayang
Tiga Gobang.” Perbedaan itu, menurut Tiada lagi yang perlu kau risaukan
kacamata penulis, terdapat pada kondisi Anak-anak tetangga meratap, tapi anakku
“tidak terlibat” yang ditawarkan oleh Brecht bahagia
melalui konsep verfremdungseffekt tadi. Anak-anak tetangga berbaju rombengan
Pada performasi “Opera Julini” konsep Bajumu sutera bikinan malaikat
penataan panggung merupakan appropriasi Mereka kelaparan
yang pas atas konsep brechtian. Panggung Tapi kau makan roti coklat
dibiarkan terlihat “kasar” dan kumuh. Kalaupun basi, ada roti lain
Sekilas terlihat tidak artistik. Saya yakin Tidur, tidurlah anakku sayang
bahwa Nano sengaja melakukan itu agar Satu anakku mati di tanah seberang
penonton senantiasa tersadarkan bahwa apa Satu lagi entah di mana sekarang
yang tersaji di depan mereka adalah sebuah
pertunjukan sandiwara. Akan tetapi, pemain Bagi Brecht, salah satu yang perlu
(terutama pada karakter Julini yang ketika dihilangkan dari performasi sebuah naskah
itu dimainkan oleh Salim Bungsu) dibiarkan adalah ilusi. Pertunjukan yang menyuguhkan
larut dengan karakter. Kondisi tersebut tentu tangisan, sebagaimana ditolak oleh Walter
saja menarik penonton untuk terlibat secara Benjamin melalui buku The Origin of
emosional dengan pertunjukan. German Tragic Drama, hanya menghasilkan
kesadaran-kesadaran palsu. Performasi
Beberapa penonton setia Teater yang empathetic tidak akan mampu
Koma yang penulis ajak diskusi sehabis menyampaikan refleksi kesadaran kritis
menyaksikan pertunjukan “IBU Brani” mengenai gejala-gejala lingkungan sosial
mengatakan bahwa emosi penonton berulang (Sutomo, 2003: 96). Brecht tidak sekadar
kali sengaja diganggu. Tokoh Ibu Brani yang berteriak lewat dialog-dialog melainkan
dimainkan oleh Sari Madjid bahkan dengan
20 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 3, Juni - November 2018
Daftar Pustaka:
Agger, Ben. 2012. Teori Sosial Kritis. Kritik,
Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta.
Penerbit Kreasi Wacana.