Anda di halaman 1dari 3

FILSAFAT PENDIDIKAN

Oleh : Yusril Mahendra Safrillah


NIM : 2018720152

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
Filsafat Pendidikan
“Pendidikan Adalah Perang Melawan Kedunguan” (Rocky Gerung)

Presiden Republik Indonesia dipilih untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hal ini
termuat dalam naskah pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, semua orang di Indonesia ini
harus mendapatkan pendidikan yang layak jika masih ada yang tidak mendapatkan
pendidikan maka pemerintah dinyatakan gagal. Di Indonesia berdasarkan survei yang ada,
mayoritas rakyat Indonesia tidak membutuhkan fasilitas infrastruktur yang mewah namun
mereka hanya membutuhkan dua yaitu: Kesehatan gratis dan Pendidikan gratis. Di negara
timur tengah misalnya seperti Qatar, seluruh bayi yang baru lahir itu mendapatkan hak untuk
memperoleh sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi, pernyataan ini menguatkan bahwa
Pemimpin Qatar paham prosedur bernegara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika kita memakai kata “pendidikan adalah perang melawan kedunguan” dan kita
kaitkan dengan narasi diparagraf sebelumnya bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa berarti
kita harus mencari pemimpin yang harus mampu berperan melawan kedunguan. Timbul
pertanyaan, Apakah pemimpin kita saat ini sudah mampu merealisasikannya? Menurut saya,
belum. Karena setiap kali Presiden mengucapkan kalimat didalam negeri maupun diluar
negeri itu IQ nasional turun 10 poin. Bagaimana tidak, Presiden tidak mengerti dengan apa
yang diucapkannya.

Jadi, tipe Presiden itu ada 2 yaitu: Presiden yang suka membaca dan Presiden yang
gampang dibaca. Presiden yang gampang dibaca karena abstraksinya amburadul, dimana
kemampuan untuk menghasilkan kalimat tangguh tidak kita peroleh dari Presiden. Kalau
sekedar menanyakan nama-nama ikan itu justru mendungukan kehidupan bangsa. Karena kita
diajak untuk sekedar mengisi pertanyaan multiple choice tidak diajak untuk pakai logika.
Coba misalkan Presiden menanyakan mengapa ikan tidak bisa naik pohon maka itu akan
merangsang siswa untuk berpikir dan dia pulang ke rumahnya maka dia akan bertanya
dengan temannya, orang tuanya akan dia libatkan dan gurunya pun akan dibuat berpikir
panjang.

Kalau kita pelajari riwayat founding father kita lalu kita bikin standar maka
standarnya; kemampuan logika dan kemampuan metaforik. Jika kita bandingkan dengan
pemimpin kita saat ini maka jauh sekali dari standar yang dihasilkan oleh para founding
father. Mengapa? Karena dinegara kita saat ini bercanda saja maka akan kena delik. Suatu
ketika salah satu pendiri bangsa yaitu KH. Agus Salim didalam forum berpidato, anda tahu
bahwa KH. Agus Salim itu berjenggot, lalu lawan politiknya dari ujung sana teriak menghina
KH. Agus Salim “MBE”. Kalau sekarang momen seperti itu terjadi pada Presiden yang lagi
berbicara misalnya, lalu lawan politiknya teriak “MBE”, Presiden pasti langsung naik darah.
Tapi apa yang dikatakan KH. Agus Salim pada saat itu? “Saudara panitia setahu saya, saya
diundang untuk forum manusia, lalu kenapa ada binatang di ujung sana”, metafor semacam
itu hanya datang dari orang yang suka baca, Karena dia mampu mengabstraksikan suasana
dan menghasilkan imajinasi.
Disisi lain misalnya, pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18
November 1912 beliau lebih memilih untuk mendirikan pendidikan dibanding harus bergelut
pada dunia politik. Anda bayangkan jika pada waktu itu KH. Ahmad Dahlan lebih memilih
untuk bergelut pada dunia politik, maka berapa banyak siswa dan mahasiswa yang
menganggur dan tidak mendapatkan akses pendidikan yang bermutu dikarenakan fasilitas
yang disediakan oleh pemerintah untuk bersaing di pendidikan negeri masih sangat terbatas.
KH. Ahmad Dahlan mengerti bahwa cerdaskan dulu anak bangsa maka akan lahir pemimpin-
pemimpin yang berkualitas.

Didalam tradisi-tradisi Presiden Prancis, terutama Presiden yang datang dari partai
sosialis Prancis, Setiap minggu Presiden mengundang wartawan paling cerdas, dosen paling
bagus, seniman paling bermutu dan para filsuf, diskusi di kantor Presiden, supaya dia tahu
keaadaan terakhir dari pendidikan. Oleh karena itu, pemimpin-pemimpin RI kedepannya
harus menerapkan tradisi-tradisi seperti Presiden Prancis, agar Indonesia mampu
menghasilkan pendidikan yang bermutu.

Anda mungkin juga menyukai