Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN

SURVEI HIDROGELOGI DAERAH JEPON DAN


SEKITARNYA

Tim Penyusun:
Dr. Dasapta Erwin Irawan
Aditya Pratama, S.T., M.T.
Dimas Maulana Wibowo, S.Si.

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2017

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

1. Pendahuluan 3

2. Metode Penelitian 3

3. Geologi dan Hidrogeologi Daerah Penelitian 5

3.1 Kondisi Geologi Daerah Penelitian 5


3.2 Kondisi Hidrogeologi Daerah Penelitian 8
3.3 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah 11

4. Kesimpulan 16

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 18

2
1. PENDAHULUAN

Gundih Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan proyek CCS pertama di Asia
Tenggara. Proyek ini dilakukan untuk mengurangi emisi CO 2 di lingkungan dengan cara
menginjeksikan CO2 yang sudah tidak bermanfaat dan dihasilkan dari pertambangan minyak
dan gas bumi Blok Gundih, Desa Sumber, Kecamatan Kradenan, Blora, Jawa Tengah. Sumur
Jepon 1 merupakan lokasi injeksi CO2 dengan target formasi adalah Formasi Ngrayong pada
kedalaman 830-1100 meter di bawah permukaan, yang terususun atas litologi batupasir.
Sumur ini terletak di Kecamatan Jepon, Blora, Jawa Tengah. Berdasarkan pengamatan di
lapangan, pada radius sekitar 1 km dari sumur Jepon 1 terdapat banyak pemukiman (Gambar
1) yang secara umum sumber air mereka berasal dari air tanah melalui sumur gali atau sumur
bor. Sementara itu, injeksi CO2 pada sumur Jepon 1 dapat menyebabkan terjadinya perubahan
kualitas (pencemaran) air tanah di sekitarnya apabila terjadi kebocoran. Identifikasi arah
aliran dan baseline dari kondisi hidrogeologi pada daerah di sekitar sumur Jepon 1 dapat
membantu dalam menganalisis ada atau tidaknya pencemaran air tanah akibat injeksi CO 2
dan memperkirakan persebaran pencemarannya.

2. METODE PENELITIAN

Pengambilan data hidrogeologi dilakukan pada 15-19 Februari 2017. Data diambil pada
sungai dan sumur gali milik warga. Data hidrogeologi yang diambil di lapangan berupa data
elevasi muka air tanah (MAT) untuk pembuatan peta muka air tanah dan analisis pola aliran,
serta data sifat fisik dan kimia air tanah berupa warna, bau, pH, temperatur, Dissolved
Oxygen (DO), konduktivitas, salinitas, dan Total Dissolved Solids (TDS). Sementara itu,
dilakukan pula pengukuran sifat fisik dan kimia air di laboratorium seperti yang dinyatakan
pada Lampiran 1 Untuk mendukung kajian hidrogeologi, dilakukan pengamatan geologi,
meliputi observasi singkapan dan dilakukan pemboran dangkal untuk mengetahui litologi
pada akifer di daerah penelitian.

Pengambilan data sifat fisik dan kimia di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat
intelegent meter (Gambar 2) dan Lutron Digital Instrument Conductivity Meter CD-4303
(Gambar 2). Sementara itu, untuk mengukur kedalaman muka air tanah pada sumur warga

3
digunakan alat Solinst Water Level Meter Model 101 (Gambar 2). Pemboran dangkal
dilakukan menggunakan alat AMS Hand Auger (Gambar 2). Sifat fisik dan kimia air yang
tidak terukur di lapangan kemudian diukur di Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, melalui sampel air yang diambil di
lapangan.

Gambar 1. Peta indeks daerah penelitian, tanda panah merah menunjukkan pemukiman
(https://www.google.co.id/maps/@-6.9034495,107.6431575,12z?hl=id)

Pengambilan data hidrogeologi dilakukan pada 21 sumur warga dan lima titik di sungai yang
seluruhnya berada di sekeliling sumur Jepon 1 (Gambar 1). Sampel air yang diuji di
laboratorium diambil dari sembilan titik yang berbeda, delapan titik di sumur warga dan satu
titik di sungai. Sementara itu, pemboran dangkal dilakukan pada delapan titik dengan
kedalaman antara 0,6-2 m (Gambar 1).

Data elevasi MAT dan air sungai diolah untuk mengetahui pola aliran air tanah, sedangkan
sifat fisik dan kimia air digunakan sebagai dasar dalam menentukan baseline kondisi
hidrogeologi di daerah penelitian. Data-data tersebut kemudian ditunjang dengan data geologi
yang diperoleh melalui observasi singkapan dan pengamatan data pemboran dangkal untuk
memperkirakan sistem akifer.

A B C

Gambar 2. A) Pengukuran kualitas air dengan intelegent meter, B) Alat AMS Hand Auger, C)

4
Pengukuran muka air tanah dengan Solinst Water Level Meter Model 101, D) Alat Lutron
Digital Instrument Conductivity Meter CD-4303

3. GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN


3.1 Kondisi Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan peta geologi daerah penelitian, terdapat empat formasi yang berada di sekitar
daerah penelitian, yaitu Formasi Lidah, Formasi Mundu, Formasi Ledok, dan Formasi
Wonocolo (Lampiran 2). Formasi Lidah tersusun atas litologi berupa batulempung berwarna
abu-abu kehitaman dengan sisipan batupasir bermoluska, Formasi Mundu tersusun atas
litologi berupa napal berwarna kelabu-kuning kecoklatan dan bersifat pasiran, Formasi Ledok
terdiri dari batugamping, serta Formasi Wonocolo tersusun atas litologi batulempung dengan
sisipan tipis batugamping (Datun dkk, 1996; Kadar dan Sudijono, 1993; Situmorang dkk.,
1992; Pringgoprawiro dan Sukido, 1992).

Setelah dilakukan pengamatan lapangan, terdapat dua singkapan dan delapan contoh soil dari
pemboran dangkal yang dianalisis untuk mengetahui kondisi geologi dan sistem akifer di
daerah penelitian. Kedua singkapan tersusun atas litologi berupa kalkarenit, dengan ciri-ciri
sebagai berikut:

1. Si-1 (Gambar 3), berupa kalkarenit, kondisi lapuk, warna coklat kekuningan, berada 250
m arah timur dari SU 1, berada di dinding kanan sungai, ukuran butir pasir halus,
membundar, kemas tertutup, pemilahan baik, porositas baik, butir terdiri dari kuarsa dan
litik, matriks karbonatan.
2. Si-2 (Gambar 4), berupa napal, kondisi lapuk, warna abu-abu gelap, berada di dinding kiri
dan kanan sungai (SN 3), ukuran butir pasir halus-lempung, membundar-membundar
tanggung kemas tertutup, pemilahan baik, porositas baik, butir terdiri dari kuarsa, litik,
cangkang moluska, matriks karbonatan.

Berdasarkan peta geologi daerah penelitian (Lampiran 2), lokasi Si-1 berada di dekat batas
antara Formasi Mundu dan Formasi Ledok. Diperkirakan singkapan ini termasuk pada
Formasi Ledok berupa batugamping. Sementara itu, singkapan Si-2 diperkirakan termasuk
pada Formasi Mundu, sesuai dengan lokasi ditemukannya, yaitu di dekat titik SN 3
(Lampiran 2).

Berdasarkan pengamatan core yang diperoleh melalui pemboran dangkal, pada titik bor 1, 2,
3, 5, 6, 7, dan 8 ditemukan soil dengan ukuran bulir lempung, berwarna kelabu gelap-kuning

5
kecoklatan dan bersifat karbonatan (Gambar 5). Sementara itu, pada titik bor 4 ditemukan
soil yang diperkirakan hasil pelapukan litologi pada Formasi Lidah. Pada kedalaman 0-1,8 m
ditemukan soil yang berwarna kelabu gelap, serta porositas dan permeabilitas rendah,
sedangkan pada kedalaman 1,8-2 m soil berwarna kelabu terang dan karbonatan (Gambar 6).
Kondisi ini sesuai dengan litologi pada Formasi Lidah sesuai penjelasan di atas.

Secara umum, titik-titik pengamatan di lapangan berada pada dua formasi, yaitu Formasi
Mundu dan Formasi Lidah, walaupun secara setempat ditemukan singkapan dan soil hasil
pelapukan formasi yang lain.

Gambar 3. Singkpan Si-1 dan hand specimen

6
Gambar 4. Singkpan Si-2 dan hand specimen

Gambar 5. A) BOR 1, air tanah ditemukan pada titik yang ditandai tanda panah, B) Sebagian
soil pada BOR 8

A B

Gambar 6. Kenampakan soil pada BOR 4, perbedaan jenis litologi ditandai oleh tunjuk jari

3.2 Kondisi Hidrogeologi Daerah Penelitian

3.2.1 Sistem Akuifer

Air tanah pada daerah penelitian secara umum merupakan sumber air yang digunakan secara
langsung untuk keperluan pokok warga, seperti minum dan memasak. Air tanah adalah air
yang berada pada zona saturasi, yaitu zona yang berisi tanah atau batuan yang porinya telah
jenuh oleh air (Fetter, 2001). Sementara itu, menurut Fetter (2001), akuifer adalah batuan
atau sedimen, dalam suatu formasi, kumpulan formasi, atau bagian dari formasi, yang jenuh
dan cukup permeabel untuk mengalirkan air secara ekonomis menuju sumur dan mata air.

Berdasarkan ciri litologi dan hasil observasi lapangan, akuifer pada daerah penelitian berjenis
akuifer bebas. Akuifer bebas disebut juga sebagai akuifer muka air tanah (water table

7
aquifer), yaitu akuifer yang tidak tertekan oleh lapisan sedimen atau batuan di atasnya dan
muncul di permukaan akibat pembukaan pada zona aerasi (Poehls dan Smith, 2009).

Sementara itu, sistem akuifer di daerah penelitian termasuk pada sistem akuifer batuan
sedimen, artinya bahwa akuifer di daerah penelitian tersusun atas litologi berupa batuan
sedimen. Kondisi ini didasarkan pada geologi daerah penelitian yang telah dijelaskan pada
Bagian 3.1. Muka air tanah di daerah penelitian berada pada kedalaman 1-8,2 m pada elevasi
permukaan yang berbeda-beda. Sementara itu, data pemboran dangkal yang mencapai
kedalaman 2 m menunjukkan bahwa dari delapan bor dangkal ditemukan soil hasil pelapukan
batuan sedimen yang diperkirakan termasuk pada Formasi Lidah dan Formasi Mundu. Pada
beberapa lubang bor juga ditemukan air tanah, yaitu di BOR 1 pada kedalaman 0,65 cm
(Gambar 5), BOR 3 pada kedalaman 1 m, BOR 6 pada kedalaman 1 m, dan BOR 7 pada
kedalaman 0,5 m. Pada kedalaman ditemukannya air tanah soil yang diperoleh dari lubang
bor sangat lembek karena jenuh oleh air (Gambar 7). Sementara itu,
A B

berdasarkan peta geologi daerah penelitian, kedua formasi tersebut memiliki ketebalan 200-
250 m (Datun dkk, 1996; Kadar dan Sudijono, 1993; Situmorang dkk., 1992; Pringgoprawiro
dan Sukido, 1992). Ini menunjukkan bahwa air tanah yang menjadi sumber air bagi warga
berada pada akifer batuan sedimen.

Gambar 7. Kenampakan soil pada titik ditemukan air tanah di BOR 6 (A) dan BOR 7 (B)

Berdasarkan penjelasan di atas, diperkirakan lapisan akifer tempat terdapatnya air tanah yang
dijadikan sumber air warga adalah lapisan hasil pelapukan batuan sedimen pada Formasi
Lidah dan Formasi Mundu. Pada lapisan ini, batuan sedimen telah mengalami pelapukan
yang kuat, sehingga hampir sepenuhnya berubah menjadi soil. Kondisi ini menyebabkan air
meteorik dapat dengan mudah meresap dan tersimpan dalam lapisan tersebut. Selain itu,

8
lapisan batuan sisa yang berada lebih dalam akan cenderung memiliki banyak rekahan akibat
pelapukan, terutama pelapukan mekanik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada SU 13
sampai SU 18 muka air tanah berada pada kedalaman 1-4,35 m, padahal titik pengamatan
tersebut berada pada Formasi Lidah yang secara umum tersusun atas batulempung (Lampiran
2). Lapisan akifer ini berada di dekat permukaan tanpa ada lapisan penyekat di atasnya,
sehingga memang benar seperti yang disebutkan di atas, bahwa akifer di daerah penelitian
termasuk pada akifer bebas.

3.2.2 Pola Aliran Air Tanah

Analisis pola aliran air tanah pada daerah penelitian diinterpretasi berdasarkan Peta Muka Air
Tanah (Gambar 8). Peta Muka Air Tanah dibuat berdasarkan data hasil pengukuran elevasi
mata air dan sumur gali di lapangan dan dikontrol oleh topografi permukaan karena jenis
akuifernya berupa akuifer bebas. Fetter (2001) menjelaskan bahwa pembuatan garis
ekuipotensial atau kontur muka air tanah untuk akuifer bebas merupakan refleksi dari
topografi permukaan, sedangkan untuk akuifer tertekan tidak terpengaruh karena tidak
terdapat hubungan hidrolik antara permukaan dengan akuifer.

Penarikan garis aliran air tanah pada penelitian ini didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu
berlakunya hukum Darcy yang menyatakan bahwa air tanah selalu mengalir dari hydraulic
head atau potensial tinggi ke rendah (Hubbert, 1953) serta akuifer bersifat homogen, dan
isotropik. Pada kasus ini, sistem akuifernya yang berupa batuan sedimen, maka akuifer
diasumsikan sebagai media berpori yang homogen dan isotropik. Berdasarkan asumsi-asumsi
tersebut, ditariklah garis aliran air tanah yang selalu tegak lurus dengan garis kontur muka air
tanah atau garis ekuipotensial (Gambar 8) yang menunjukan arah pergerakan air tanah
(Fetter, 2001).

Gambar 8. Penarikan garis aliran (flow line) pada kondisi: A) isotropik, dan B) anisotropik

9
(Fetter, 2001)

Penentuan pola aliran airtanah berdasarkan pemetaan hidrogeologi dengan melakukan


pengukuran muka airtanah pada sumur warga sekitar dan data tambahan berupa air sungai.
Muka airtanah yang digambarkan merupakan pola aliran untuk akuifer dangkal, karena
hampir semua pengukuran muka airtanah dilakukan pada akuifer dangkal, pada kedalaman 1-
8,2 m dari permukaan tanah. Sebaran muka airtanah pada daerah penelitian dapat
digambarkan pada peta kontur MAT (Gambar 9). Berdasarkan peta kontur elevasi muka
airtanah pada daerah penelitian dapat disketahui bahwa arah aliran airtanah pada daerah
penelitian secara umum adalah dari Timurlaut ke Baratdaya tegak lurus dari kontur elevasi
muka airtanah (Gambar 9). Pengontrol utama untuk aliran airtanah pada daerah penelitian
sangat dipengaruhi oleh bentukan dan elevasi dari topografi karena sistem yang bekerja pada
akuifer dangkal di daerah penelitian adalah akuifer bebas. Elevasi daerah di timur daerah
penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sebelah baratnya (Gambar 9). Kondisi
ini akan sangat berbahaya apabila terjadi kebocoran CO2 dan mencemari air tanah, karena di
barat daerah penelitian cukup banyak terdapat pemukiman yang sebagian besar sumber
airnya dari air tanah (Gambar 1).

10
Gambar 9. Peta pola aliran air tanah

3.3 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah

Beberapa sifat fisik dan kimia air yang diperoleh di lapangan serta laboratorium kemudian
diolah menjadi peta persebaran nilainya. Sementara itu, sifat fisik dan kimia lainnya
dibandingkan dengan referensi, seperti KEP MENKES No. 492 Tahun 2010 tentang air
minum, untuk mengetahui apakah air tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak.

Sifat fisika dan kimia yang dianalisis pada bagian ini berfokus pada TDS, pH, dan
bikarbonat. Menurut Poehls dan Smith (2009), Total Dissolved Solids (TDS) merupakan
kandungan material padat yang terlarut dalam air baik terionisasi ataupun tidak, sedangkan
pH merupakan nilai logaritma negatif dari aktifitas ion hidrogen. Nilai pH dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu pH asam (pH<7), netral (pH=7), dan basa (pH>7). Menurut Chambers dan
Holliday (1975), sifat asam dan basa suatu komponen kimia juga dapat ditentukan
berdasarkan kemampuannya sebagai pemberi proton (bersifat asam) ataupun penerima proton
(bersifat basa).

3.3.1 Reaksi Pelarutan Batugamping

Pelarutan batugamping oleh air tanah merupakan reaksi geokimia yang terjadi pada
batugamping di daerah penelitian. Fetter (2001) menyatakan pelarutan dapat terjadi akibat
adanya reaksi antara air meteorik dan karbondioksida (CO2) di atmosfer, sehingga
menghasilkan asam lemah berupa asam karbonat (H2CO3). Air hujan yang turun dan
terinfiltrasi masuk ke dalam akuifer batugamping akan menyebabkan reaksi pelarutan
tersebut. Selain itu, karbon dioksida yang terkandung dalam tanah hasil pelapukan akibat
pembusukan oleh tanaman juga dapat mereaksikan air tanah yang awalnya netral menjadi
bersifat lebih asam (Fetter, 2001). Reaksi pelarutan batugamping dengan air yang telah
bereaksi dengan karbon dioksida terangkum dalam reaksi I berikut:

CaCO3 + H2O + CO2 ↔ Ca2+ + 2HCO3- ……..(I)

Reaksi pelarutan di atas menghasilkan ion kalsium (Ca 2+) dan bikarbonat (HCO3-). Hal
tersebut mengakibatkan ion hasil pelarutan akan terakumulasi konsentrasinya dan
mempertinggi nilai TDS serta bikarbonat, sehingga nilai TDS dan bikarbonat dalam air akan
tinggi. Kondisi ini sesuai dengan hasil pengukuran yang diperoleh. Gambar 10 menunjukkan
persebaran nilai TDS di daerah penelitian. Nilai TDS di daerah penelitian berada pada kisaran

11
20–91 mg/L, sedangkan nilai kandungan bikarbonat adalah 275-673 mg/L. Nilai TDS di utara
daerah penelitian cukup tingggi, karena akuifer pada daerah tersebut adalah lapisan hasil
pelapukan napal yang mengandung karbonat tinggi. Sementara itu, nilai TDS yang tinggi di
barat daerah penelitian kemungkinan disebabkan karena banyaknya akumulasi material padat,
mengingat daerah tersebut adalah daerah hilir.

Berdasarkan pengukuran sifat fisik airtanah pada daerah penelitian dapat diketahui bahwa pH
pada daerah penelitian memiliki pH yang relatif basa dengan nilai pH 8.1–9.6 dengan
karateristik nilai pH dari hulu ke hilir (timur ke barat) memiliki kecenderungan menurun
(Gambar 11). Hal tersebut disebabkan oleh kehadiran ion bikarbonat sebagai hasil dari reaksi
pelarutan batugamping. Walaupun bersifat amfoter, yaitu ion yang mampu berperan sebagai
asam maupun basa, sifat basa pada ion bikarbonat lebih kuat, terutama pada daerah yang
mengalami reaksi pelarutan batugamping. Sifat amfoter pada ion bikarbonat dijelaskan dalam
reaksi II berikut:

H2CO3 ↔ H+ + HCO3- ↔ 2H+ + CO32- ……..(II)

Reaksi II tersebut menunjukkan bahwa ion bikarbonat dapat berfungsi sebagai pemberi
ataupun penerima proton. Sifat ion bikarbonat yang lebih basa dijelaskan dalam reaksi III
berikut:

H2O + HCO3- → H2CO3 + OH- ……..(III)

Reaksi III tersebut menunjukkan reaksi antara ion bikarbonat dengan air tanah yang mengalir
ke daerah dengan litologi batupgamping ataupun air sisa reaksi pelarutan sebelumnya.
Berdasarkan reaksi tersebut, ion bikarbonat menunjukkan sifat basa karena
kecenderungannya untuk menerima proton. Hasil reaksi tersebut akan menghasilkan ion
hidroksil (OH-) yang membuat kesetimbangan nilai pH menjadi lebih tinggi. Selain itu, hasil
reaksi lainnya berupa asam karbonat akan berperan dalam reaksi pelarutan batugamping
selanjutnya.

3.3.2 Kualitas Air Tanah

Fetter (2001) membuat klasifikasi air berdasarkan TDS (Tabel 1) berdasarkan jumlah total
padatan (dalam mg/L) yang tersisa ketika air mengalami evaporasi hingga mengering.
Kisaran nilai TDS pada daerah penelitian adalah 20–91 mg/L, sehingga tergolong sebagai air

12
segar dan masih sangat erat kaitannya dengan air meteorik atau air permukaan. diperkirakan
bahwa air tanah di daerah penelitian merupakan air meteorik yang tidak terlalu lama berada
dibawah permukaan (airtanah dangkal).

Tabel 1. Klasifikasi air berasarkan TDS (Fetter, 2001)


Golongan TDS (mg/L)

Air Segar (Fresh) 0 – 1000

Air Payau (Brackish) 1000 – 10.000

Air Garam (Saline) 10.000 – 100.000

Air Asin (Brine) > 100.000

Analisis kelayakan konsumsi air tanah ditentukan berdasarkan PER MENKES No.492 Tahun
2010. Menurut regulasi tersebut, air layak konsumsi harus berada pada nilai pH antara 6,5–
8,5 dan TDS di bawah 500 mg/L. Nilai TDS pada daerah penelitian sudah memenuhi kriteria
karena menunjukkan nilai TDS di bawah 500 mg/L pada setiap titik pengukuran (Lampiran
3). Kisaran nilai pH pada daerah penelitian adalah 8.1–9.6. Berdasarkan analisis persebaran
nilai pHnya, daerah yang air tanahnya layak konsumsi berada di bagian barat daerah
penelitian (Gambar 11). Sementara itu, parameter bau, rasa, dan temperatur pada seluruh titik
pengamatan di sumur warga termasuk pada klasifikasi layak konsumsi berdasarkan PER
MENKES No. 492 Tahun 2010 (Lampiran 3). Temperatur air pada derah penelitian memiliki
suhu yang normal dengan nilai berkisar 26.9-28.3o C. Seluruh sampel tidak memiliki bau dan
tidak berasa.

Sementara itu, berdasarkan pengujian laboratorium air yang diambil dari 9 lokasi berbeda,
yaitu SU 1, SU 3, SU 3', SU 6, SU 10, SU 11, SU 15, SU 17, dan SN 3, secara umum nilai
dari parameter yang diuji berada di bawah ambang batas berdasarkan PER MENKES No.492
Tahun 2010 (Lampiran 1). Namun untuk nilai coliform pada masing-masing sampel berada
diatas ambang batas. Tingginya nilai coliform dapat dipengaruhi oleh limbah rumah tangga.
Satu penyebabnya adalah meresapnya air sungai yang tercemar limbah rumah tangga ke
dalam tanah, kemudian mencemari air tanah. Hal ini juga yang dapat menyebabkan nilai DO
di daerah penelitian relatif rendah (Gambar 12). Hanya di bagian timur laut daerah penelitian
yang memiliki DO relatif tinggi (>10 ppm).

Sementara itu, kandungan CO2 total dalam air di daerah penelitian berada pada kisaran 0,85-

13
5,98 mg/L, dengan rata-rata 3,08 mg/L, sedangkan CO2 agresif seluruh titik adalah nol.
Kandungan CO2 dapat berasal dari dari udara dan dekomposisi zat organik. Tingginya
kandungan CO2 dalam air akan menyebabkan terjadinya korosi pada pipa-pipa logam dan
mengakibatkan efek toksikologis. Sementara itu, kandungan CO2 dalam air tanah di daerah
penelitian berpotensi mengalami kenaikan apabila terjadi kebocoran CO2 tepat pada lapisan
akuifer saat injeksi CO2 dilakukan.

14
Gambar 10. Peta persebaran nilai TDS

15
Gambar 11. Peta persebaran nilai pH

Gambar 12. Peta persebaran nilai DO

4. KESIMPULAN

Berdasarkan interpretasi dan diskusi yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:

● Daerah penelitian tersusun atas empat formasi, yaitu Formasi Lidah, Formasi Mundu,
Formasi Ledok, dan Formasi Wonocolo. Akuifer di daerah penelitian adalah lapisan hasil
pelapukan batuan sedimen yang termasuk pada Formasi Lidah dan Formasi Mundu.
Akuifer tersebut termasuk pada akuifer dangkal dengan jenis akuifer bebas, dengan
kedalaman muka air tanah antara 1-8,2 m.
● Arah aliran airtanah adalah dari Timurlaut ke Baratdaya dengan kontrol utamanya adalah
kondisi morfologi dan topografi di daerah penelitian.
● Airtanah di daerah penelitian berasal dari air meteorik, sehingga masih digolongkan pada
air fresh water.
● Kondisi akuifer yang berupa hasil lapukan batuan sedimen karbonat dan/atau karbonatan,
menyebabkan kandungan TDS dan bikarbonat dalam air tanah tinggi.

16
● Secara umum, nilai parameter sifat fisik dan kimia air di daerah penelitian berada di
bawah ambang batas. Namun, terdapat beberapa parameter yang nilainya berada di atas
ambang batas, seperti nilai pH di sebagian lokasi, nilai coliform, dan nilai DO (terutama di
bagian barat daerah penelitian).
● Kandungan CO2 dalam air di daerah penelitian berada pada kisaran 0,85-5,98 mg/L,
dengan rata-rata 3,08 mg/L, sedangkan CO2 agresif seluruh titik adalah nol.

5. DAFTAR PUSTAKA

Datun, M., Sukandarrumidi, Hermanto, B., dan Suwarna, N. (1996): Peta Geologi Lembar
Ngawi, Jawa, Direktorat Vulkanologi, Bandung.
Fetter, C.W. (2001): Applied Hydrogeology, Fourth Edition, Pearson Prentice Hall, New
Jersey, 1-100.
Google. Map [Internet]. Google Maps Homepage [diunduh pada 19 Mei 2017]. Tersedia dari:
https://www.google.co.id/maps/.
Hubbert, M. K. (1953): Entrapment of Petroleum under Hydrodynamic Conditions. Bulletin
of The American Association of Petroleum Geologists No.8, 37, 1954-2026.
Kadar, D. dan Sudijono. (1993): Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa Timur, Direktorat
Vulkanologi, Bandung.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010): Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Jakarta.
Poehls, D.J., dan Smiths, G.J. (2009): Encyclopedic Dictionary of Hydrogeology, Elsevier,
Inc., Burlington, MA, 1-100.
Pringgoprawiro, H. dan Sukido. (1992): Peta Geologi Lembar Bojonegoro, Jawa, Direktorat
Vulkanologi, Bandung.
Situmorang, R. L., Smit, R., dan Vessem, E. J. V. (1992): Peta Geologi Lembar Jatirogo,
Jawa, Direktorat Vulkanologi, Bandung.

17
18
Stasiun SU 1 SU 3 SU 3’ SU 6 SU 10 SU 11
Parameter
Daya hantar listrik (uS/cm) 586 847 635 870 1401 798

Air raksa (Hg) (ppb) 0,09 0,09 <0,09 0,09 <0,09 0,18

Arsen (mg/L) 0,0022 0,0004 0,0004 0,0011 0,0005 0,0004

Besi (mg/L) <0,01 <0,01 <0,01 0,045 0,7017 0,098

Fluorida (mg/L) 0,290 0,360 0,360 0,246 1 0,318

Kadmium (mg/L) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

Kesadahan (mg/L) 286 290 290 340 412 256

Klorida (mg/L) 17,1 59,9 18,1 65,7 178 27,6

Kromium Hexavalen (mg/L) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

Mangan (mg/L) <0,20 <0,20 <0,02 0,153 <0,20 <0,02

Nitrat (mg/L) 6,77 12,7 1,69 1,11 4,38 1,33

Nitrit (mg/L) 0,041 0,024 <0,004 <0,004 0,013 <0,004

CO2 Total (mg/L) 3,41 2,56 5,98 1,28 5,12 2,56

CO2 Agresif (mg/L) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Bikarbonat (mg/L) 346 365 365 382 673 508

Karbonat (mg/L) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Selenium (mg/L) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

Seng (mg/L) 0,016 0,006 0,030 <0,001 0,049 0,010

Timbal (mg/L) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

Zat Organik (mg/L) 2,86 6,62 5,72 6,02 41,5 5,7

MBAS (mg/L) 0,019 0,106 0,011 0,07 0,074 <0,01

Fenol (mg/L) 0,013 0,019 0,018 0,018 0,018 0,014

Total Coliform (100/ml) 14 93 43 ≤ 2400 93 4

Fecal Coliform (100/ml) 14 9 43 93 93 4

LAMPIRAN 1. Data Hasil Pengujian Laboratorium Air

19
LAMPIRAN 2. Peta Geologi Daerah Jepon dan Sekitarnya

20
SN 6
SN 4

SN 3

LAMPIRAN 3. Data Sifat Fisik dan Kimia Air Hasil Pengukuran


di Lapangan

21
Koordinat
Stasiun Warna Bau TDS (ppm) Cd (uS) Salinitas DO (ppm) Temp (C) pH
x y
N1 558782 9228372 Jernih Tidak berbau 26.8 40.6 0.01 35.7 27.8 8.8
N2 557244 9227261 Agak keruh Tidak berbau 49,3 74,4 0,01 3,8 26,1 5,6
N3 558241 9226047 Agak keruh Tidak berbau 68,1 94,5 0,01 5,2 27,9 8,4
N4 559014 9226933 Jernih Tidak berbau 52,5 76,7 0,01 4,2 27,9 8,5
N5 560151 9227053 Jernih Tidak berbau 61,8 94,5 0,01 3,5 27,9 8,6
U1 558785 9228384 Jernih Tidak berbau 41.5 57.6 0.01 20.3 27.8 9.2
U2 559307 9228039 Jernih Tidak berbau 52 71.1 0.01 24.2 27.7 9.0
U3 558962 9228136 Jernih Tidak berbau 72.4 121.6 0.01 22.9 28.5 8.8
U 3' 558962 9228136 Jernih Tidak berbau 82.4 122.4 0.01 19.2 29.3 8.8
U4 558114 9228582 Jernih Tidak berbau 65.5 107.7 0.01 17.8 27.9 8.6
U5 557324 9228537 Jernih Tidak berbau 61.9 95 0.01 6.9 28.8 8.
U6 556769 9228377 Jernih Tidak berbau 60.6 83 0.01 15.5 27.9 8.
U7 556240 9228292 Jernih Tidak berbau 80 119.1 0.02 9.8 28.2 8.5
U8 555522 9228407 Jernih Tidak berbau 62.3 126.5 0.01 7.3 27.9 8.9
U9 555087 9228593 Jernih Tidak berbau 73.4 114.2 0.02 4.3 28.1 8.5
U 10 554718 9228729 Jernih Tidak berbau 61.4 88.2 0.02 7.8 27.9 8.3
U 11 557808 9225324 Kekuningan Tidak berbau 55.2 86.2 0.02 2.4 27.9 8.1
U 12 557609 9225411 Jernih Tidak berbau 63.4 92.3 0.02 2 28 8.3
U 13 557240 9225370 Jernih Tidak berbau 77.8 120.2 0.02 1.3 27.4 8.8
U 14 556923 9225443 Jernih Tidak berbau 68.2 97.2 0.02 2.3 28.3 8.6
U 15 556515 9225639 Jernih Tidak berbau 70.6 107.3 0.02 3.3 26.9 8.
U 16 556071 9225977 Jernih Tidak berbau 78.5 118.4 0.01 3.4 28.7 8.
U 17 556015 9226516 Jernih Tidak berbau 84.4 114.5 0.01 1.4 26.8 8.
U 18 555476 9227274 Jernih Tidak berbau 86.8 131.8 0.01 5.8 27.9 8.
U 19 555172 9227809 Jernih Tidak berbau 58.9 89.5 0.01 2.7 27.9 8.
U 20 554912 9228219 Jernih Tidak berbau 84.3 128.5 0.01 5.3 27.9 8.

22

Anda mungkin juga menyukai