Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGUJIAN KONSTITUSI UUD 1945 DENGAN HAM

DISUSUN OLEH

[KELOMPOK 7 ]

Maya Shaffina Putri 1812011317

Ahmad Kartin Harits 1812011318

Anugrah Siburian 1812022321

Naufal Ari 1812011322

Rizki Pratama Abung 1812011325

Radha Aulia 1812011326

Theo Rayvalqi 1812011329

DOSEN PENGAJAR

Dr. Zulkarnain Ridlwan, S.H,. M.H.

Fakultas Hukum

Universitas Lampung

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu titik sentral dalam konstitusionalisme adalah persoalan hak asasi manusia.
Dalam kaitan ini, konstitusi memiliki peran penting yang bukan hanya sekedar melakukan
jamninan dan proteksi secara tertulis,melainkan pula menyediakan berbagai nilai yang
digunakan oleh lembaga peradilan dalam interpretasi serta elaborasi hak-hak tersebut.
Penempatan hak asasi manusia dalam konstitusi tidak semata-mata menjadikannya
sebagai hak-hak fundamental yang bersifat mendasar, melainkan pula sebagai hak-hak
konstitusional yang tertinggi.
Sejak Rancangan Undang-Undang Dasar dibahas oleh BPUPKI pada kurun waktu Juni-
Juli 1945 sampai dilakukannya Perubahan Ketiga UUD 1945, ide pengujian
konstitusional oleh organ peradilan yang biasa disebut Mahkamah Konstitusi (judicial
review on the constitutionality of law) memang belum diterima dan dilembagakan di
Indonesia.
Bersamaan dengan bergulirnya reformasi dan tumbangnya rezim orde baru pada tahun
1998, muncul ide untuk melakukan reformasi hukum secara besar-besaran, salah satu
yang paling prinsip dan mendasar dari kehendak itu adalah melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 yang selama ini dianggap sebagai sumber munculnya otoritarianisme
kekuasaan, baik pada masa orde lama maupun pada masa orde baru.
Setelah melalui pembahasan dan perdebatan yang cukup panjang, sejak masa pembahasan
perubahan kedua (tahun 2000) hingga masa pembahasan perubahan ketiga (tahun 2001)
maka melalui pengesahan Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, dibentuklah
suatu organ kekuasaan kehakiman bernama Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri
diluar Mahkamah Agung dan bersama-sama dengan Mahkamah Agung melaksanakan
kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan pasal 24c ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai 4
kewenangan, yaitu:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran Konstitusi?


2. Apa yang dimaksud pengujian Konstitusi?
3. Bagaimana tolak ukur penafsiran Konstitusi?
4. Bagaimana hubungan Mahkamah Konstitusi dengan HAM?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Agar mengetahui peran Konstitusi.


2. Agar mengetahui pengertian pengujian Konstitusi.
3. Agar mengetahui tolak ukur penafsiran Konstitusi.
4. Agar mengetahui hubungan Mahkamah Konstitusi dengan HAM.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritik

2.1.1 Pengertian Konstitusi dan Hak Asasi Manusia


 Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
cum dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama
dengan…“, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata
kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai
arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”.
Dengan demikian, bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu
secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu
yang telah ditetapkan.
 Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi
manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. sedangkan
pengertian HAM menurut perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah hak yang
melekat dengan kemanusiaan kita sendiri, yang tanpa hak itu kita mustahil
hidup sebagai manusia.

2.1.2 Konstitusi dan Hak Asasi Manusia

Salah satu titik sentral dalam konstitusionalisme adalah persoalan hak asasi manusia.
Dalam kaitan ini, konstitusi memiliki peran penting, yang bukan hanya sekadar
melakukan jaminan dan proteksi secara tertulis, melainkan pula menyediakan
berbagai nilai yang digunakan oleh lembaga peradilan dalam interpretasi serta
elaborasi hak-hak tersebut. Artikel ini menjelaskan hubungan antara konstitusi dan
hak asasi manusia, yang mencakup persoalan isi dan pengertian hak asasi manusia,
tempat hak asasi manusia dalam konstitusi, termasuk dalam UUD 1945, serta akibat
pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi. Artikel ini menegaskan bahwa
penempatan hak asasi manusia dalam konstitusi tidak semata-mata menjadikannya
sebagai hak-hak fundamental yang bersifat mendasar, melainkan pula sebagai hak-hak
konstitusional yang tertinggi.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Peran Konstitusi

1. Konstitusi bertujuan untuk memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap


kekuasaan politik. Tujuan ini berfungsi untuk membatasi kekuasaan penguasa
sehingga tidak melakukan tindakan yang merugikan masyarakat banyak.
2. Konstitusi bertujuan untuk melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasaan sendiri.
Bisa juga memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga
dengan adanya konstitusi maka setiap penguasa dan masyarakat wajib menghormati
HAM dan berhak mendapatkan perlindungan dalam melakukan haknya.
3. Konstitusi bertujuan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa
dalam menjalankan kekuasaannya. Selain memberikan batasan-batasan untuk
penguasa dalam menjalankan kekuasaanya, hal ini juga bertujuan untuk memberikan
pedoman bagi penyelenggara negara agar negara dapat berdiri kokoh.

3.2 Pengujian Konstitusi

Pengujian konstitusional di Indonesia mencakup pengujian secara materiil dan juga


pengujian secara formil. Pengujian materiil ditujukan untuk menguji materi atau isi
daripada suatu undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya. Sedangkan
pengujian formil ditujukan pada pengujian yang dilihat dari aspek prosedur dan
wewenang pembentukannya. Pengujian materiil akan menimbulkan konsekuensi
berupa pembatalan (annulment) terhadap materi atau isi daripada undang-undang
yang diuji apabila materi tersebut dinyatakan inkonstitusional (pembatalan sebagian).
Sementara pengujian formil akan menimbulkan konsekeunsi berupa pembatalan
terhadap keseluruhan undang-undang yang diuji karena hal itu berkenaan dengan
wewenang dan prosedur pembentukannya. Manakala terdapat cacat kewenangan
dan/atau cacat prosedur dalam pembentukan suatu undang-undang maka undang-
undang tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi undang-undang dan oleh
karenanya harus dibatalkan secara keseluruhan.
Dalam prakteknya melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang, ternyata
MK membuat terobosan hukum sehubungan dengan rambu-rambu dalam pengujian
materiil ini. Terobosan yang selanjutnya menjadi yurisprudensi di MK itu terukir
untuk pertama kalinya ketika MK melakukan pengujian materiil atas beberapa pasal
dari UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dalam perkara No.001-021-
022/PUU-I/2013.
Dilihat dari segi dimensi waktu pengujiannya, pengujian konstitusional yang
dilakukan oleh MK RI pada prinsipnya tergolong ke dalam jenis posteriori review,
yaitu suatu pengujian terhadap undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan,
hal mana berlainan dari praktek yang berlaku di Perancis yang justru khas dengan
pengujian RUU-nya (a priori review/constitutional preview). Adapun jika diajukan
suatu pengujian atas RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tetapi
belum disahkan dan belum diundangkan maka hal itu harus diletakan dalam bingkai
kontitusional yang digariskan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, khususnya ayat (5)
yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan.”

3.3 Penafsiran Konstitusi

Pandangan Jimly Asshiddiqie (2006: 175) bahwa penafsiran merupakan proses


dimana pengadilan mencari kepastian pengertian mengenai pengaturan tertentu dari
suatu undang-undang,penafsiran merupakan upaya melalui pengadilan untuk mencari
kepastian mengenai apasesungguhnya yang menjadi kehendak pembentuk undang-
undang. Pandangan lain menyebutkan bahwa penafsiran merupakan upaya mencari
arti atau makna atau maksud sesuatu konsep/ kata/istilah, menguraikan atau
mendeskripsikan arti atau makna atau maksud dari konsep/ kata/istilah dengan
maksud agar jelas atau terang artinya.
Dalam studi ilmu hukum tata negara, penafsiran suatu naskah hukum (konstitusi dan
dokumenhukum lainnya) merupakan suatu hal yang niscaya, karena gagasan dan
semangat yang terkandung dalam suatu naskah hukum terkait dengan ruang dan
waktu, dalam arti erat kaitannya dengansituasi dimana dan ketika naskah hukum itu
diterapkan. Kebutuhan akan penafsiran tersebut timbul karena konstitusi tidak
memuat semua ketentuan normatif yang diperlukan dalam rangka penataan kehidupan
bernegara. Untuk melakukan penafsiran konstitusi diperlukan metode dan teknik
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga
upaya menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang ada
dan tidak bertentangan dengan semangat rumusan konstitusi yang lazim digunakan
dalam rumusan normatif(Jimly Asshiddiqie, 1998: 16). Jarak dirumuskannya dan
dibentuk satu konstitusi dengan diterapkanatau diaplikasikannya konstitusi pada masa
yang jauh berbeda, melahirkan aliran-aliran denganpendapat atau pandangan atau
pendirian konstitusional secara teoritis yang bertolak belakangsatu dengan yang
lainnya, yaitu aliran originalisme dan non-originalisme.

3.4 Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia

Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945.
Dalam negara hukum harus ada paham konstitusionalisme, di mana tidak boleh ada
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Untuk memastikan tidak ada undang-undang yang
bertentangan dengan UUD, maka salah satu jalan yang ditempuh adalah memberikan
wewenang atau hak uji materil kepada lembaga kekuasaan kehakiman. Apabila warga
negara, baik perorangan maupun komunitas atau badan hukum yang merasa atau
menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya undang-undang,
mereka dapat mengajukan pengujian atas undang-undang yang bersangkutan kepada
Mahkamah Konstitusi. Khusus untuk perorangan warga negara dan kesatuan
masyarakat hukum adat, mekanisme uji materil juga ditujukan untuk menjamin
terlindunginya HAM yang dijamin UUD 1945.
Beberapa putusan MK dapat dijadikan bukti untuk menilai bahwa uji materil yang
dilakukan MK adalah untuk melindungi dan memajukan HAM di antaranya: (1)
Putusan No 011-017/PUU-VIII/2003 tentang pengujian UndangUndang No 12/2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Putusan No 6-13-20/PUU-
VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia; (3) Putusan No 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (4) Putusan No 27/PUU-IX/2011
tentang pengujian Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 Pertama, hak untuk memajukan diri, hak atas pengakuan dan jaminan atas
kepastian hukum, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam
pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
merupakan HAM yang dijamin dan dilindungi melalui Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945.
Sementara, melalui ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang No 12 Tahun
2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten atau Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau
bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/
PKI atau organisasi terlarang lainnya, hak-hak asasi yang dijamin UUD
1945 di atas justru dilanggar.
Di sini, putusan MK menyatakan tindakan diskriminasi berdasarkan
perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik tidak dibenarkan. Dalam
ranah sipil dan politik, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan
dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh
konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan
penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi dari warga Negara. Atas dasar pertimbangan
tersebut, MK menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun
2003 bertentangan dengan UUD 1945.
 Kedua, hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara
lisan dan tulisan, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak
untuk memiliki hak milik pribadi, hak berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi merupakan hak yang diakui dan
dijamin dalam Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (4) dan
Pasal 28 F UUD 1945. Sementara itu, Pasal 30 Ayat (3) huruf c
UndangUndang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan
“Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan: pengawasan peredaran barang cetakan”.
Atas dasar ketentuan itu, pejabat berwenang diberikan otoritas untuk
memprediksi sesuatu sebagai hal yang berpotensi meresahkan masyarakat dan
atau berpotensi mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Sehingga,
Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang diberikan otoritas pun telah melarang
beredarnya Buku Enam Jalan Menuju Tuhan. Kewenangan larangan peredaran
buku sebagai langkah preventif ini cenderung hanya bersifat prediktif bahkan
ramalan, karena tidak memiliki parameter objektif sebagai rambu-rambu agar
kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dasar yang ada di
UUD 1945. Prediksi yang memperkirakan keresahan dapat timbul di
masyarakat akibat peredaran buku tersebut, tidak serta merta menjadi alasan
pembenar untuk merugikan hak konstitusional warga negara. Sehingga
kewenangan itu menimbulkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran
terhadap HAM.
Berdasarkan putusan tersebut, hak seseorang untuk bebas mengeluarkan
pikiran secara lisan dan tulisan serta hak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi sebagaimana dijamin
UUD 1945 telah dijaga dan dilindungi dari penyelenggaraan kekuasaan
negara secara sewenang-wenang.

 Ketiga, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak
mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup dijamin dan
dilindungi dengan instrumen Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1)
UUD 1945. Dari jaminan konstitusional dimaksud, maka setiap orang berhak
mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu,
tidak dibenarkan adanya pembatasan terhadak hak ini. Sementara, Pasal 21
dan dan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 18/2004 tentang
Perkebunan dinilai memiliki rumusan yang luas dan telah membatasi HAM
untuk mengembangkan diri, dalam rangka memenuhi basic needs sebagai
manusia.
 Keempat, UUD 1945 menjamin hak setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. Selain itu,
Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 juga memperkuat keberadaan hak tersebut
dengan menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Sementara dalam
pelaksanaannya, Pemerintah dan DPR justru menerbitkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana beberapa ketentuan
Undang-Undang dimaksud dinilai telah melanggar hak konstitusional yang
dimuat dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945. Ketentuan yang dimaksud
adalah : Pasal 29 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8); Pasal 64; Pasal
65 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan(9); Pasal 66 Ayat (1), (2), (3)
dan (4). Pada pokoknya, ketentuan tersebut mengatur tentang sistem
outsourcing. Sistem ini menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security,
tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan
kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan
mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan menjadi persoalan
bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Kasus-kasus uji materil di atas merupakan contoh nyata di mana dalam proses
pembuatan sebuah undang-undang, para pembuatnya tidak luput dari kesalahan. Bisa
jadi kesalahan itu karena sesuatu yang disengaja atas dorongan kepentingan tertentu
atau bisa jadi kesalahan dimaksudm merupakan kelalaian pembuat undang-undang.
Idealnya, kesalahan yang berakibat terlanggarnya hak asasi manusia semestinya tidak
terjadi. Namun praktik yang terjadi membukti bahwa kesalahan tersebut banyak terjadi.
Karena itu pentingnya keberadaan mekanisme uji materiil yang dilaksanakan MK.
Selain itu, dari contoh di atas, terlihat bahwa MK tidak saja bertindak sebagai lembaga
pengawal konstitusi (guardian of the constitution), melainkan juga sebagai lembaga
pengawal tegaknya HAM. Melalui kewenangan uji materil yang dimilikinya, MK
tampil sebagai lembaga penegak hukum yang mengawal berjalannya kekuasaan negara
agar tidak terjebak pada tindakan sewenang-wenang dan melanggar HAM.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

 Salah satu titik sentral dalam konstitusionalisme adalah persoalan hak asasi
manusia. Dalam kaitan ini, konstitusi memiliki peran penting, yang bukan
hanya sekadar melakukan jaminan dan proteksi secara tertulis, melainkan
pula menyediakan berbagai nilai yang digunakan oleh lembaga peradilan
dalam interpretasi serta elaborasi hak-hak tersebut. Artikel ini menjelaskan
hubungan antara konstitusi dan hak asasi manusia, yang mencakup
persoalan isi dan pengertian hak asasi manusia, tempat hak asasi manusia
dalam konstitusi, termasuk dalam UUD 1945, serta akibat pengaturan hak
asasi manusia dalam konstitusi.
 Konstitusi memberikan pengawasan, pembatasan, maupun perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia.
 Dilihat dari segi dimensi waktu pengujiannya, pengujian konstitusional
yang dilakukan oleh MK RI pada prinsipnya tergolong ke dalam jenis
posteriori review, yaitu suatu pengujian terhadap undang-undang yang telah
disahkan dan diundangkan, hal mana berlainan dari praktek yang berlaku di
Perancis yang justru khas dengan pengujian RUU-nya (a priori
review/constitutional preview).
 Penafsiran hukum merupakan upaya mencari arti atau makna atau maksud
sesuatu konsep/ kata/istilah, menguraikan atau mendeskripsikan arti atau
makna atau maksud dari konsep/ kata/istilah dengan maksud agar jelas atau
terang artinya.
 Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia meliputi hak
untuk memajukan diri, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapat
kepastian hukum, hak untuk bekerja.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Refensi:
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Jakarta, Konpress
Asshiddique, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta,
Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai