Oleh :
Nama : Shinta Ayu Putri
Npm : 1952011070
Nama Dosen :
Siti Nurhasanah, S.H.,M.H.
Fakultas Hukum
Universitas Lampung
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Waris dengan topik pembahasan
yaitu tentang “Perencanaan Bisnis (Business Plan)”. Makalah ini saya buat untuk memenuhi
tugas mata kuliah Hukum Waris serta sebagai penambah pengetahuan bagi kita semua.
Dalam penulisan makalah ini pasti banyak kesalahan atau kekurangan baik secara tidak sengaja
ataupun ketidaktahuan. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan dalam membaca makalah ini.
Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca.
Besar harapan saya agar karya tulis ini nantinya berguna dan menjadi bahan bacaan bagi
mahasiswa lainnya. Akhir kata saya mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan bagi
pembaca sekalian.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…………………………………………..……………1
DAFTAR ISI……………..……..………………………………………………………………..………………………………………..2
BAB I PENDAHULUAN
1) Latar belakang…………………………………………………………………………………. ………………………….3
.
2) Rumusan masalah…………………………………………………………………………….………………………….3
3) Tujuan………………………………………………………………………………………………….………………………3
BAB II RUMUSAN MASALAH
1) Pengertian waris……………………………………………………………………………….…………………………4
2) Syarat dan rukun waris………………………………………………………………………………………………..5
3) Golongan ahli waris……………………………………………………………………………………………………. 6 ...
1) Kesimpulan ………………………………………………….……………………………………………………………15
2) Saran ……………………………………………………………………………………………………………..…………15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang
masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan
yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang
yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta
peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam
Firman Allah SWT sebagai berikut :
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut
o Apa yang dimaksud dengan waris ?
o Apa saja syarat dan rukun waris ?
o Sebutkan golongan ahli waris !
o Sebutkan hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
o Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
o Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
o Apa yang di maksud dengan ‘Aulu ?
o Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
o Apa yang di maksud dengan Wasiat ?
3. TUJUAN
o Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
o Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan agama
Islam.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1) PENGERTIAN WARIS
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورثadalah kata
kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna
tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-
bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan
warisan, diantaranya adalah:
a. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
b. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik
secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
c. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak
setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan
wasiat.
d. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
e. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum
diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf
a KHI).
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut
adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian
seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang
banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan
nyata.
b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah
dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun,
sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada
ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya
atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli
waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi
yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi,
yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
3) GOLONGAN AHLI WARIS
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal
sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak
perempuan.
Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan
hanya 3 orang saja, yaitu :
1. Bapak.
2. Anak laki-laki.
3. Suami.
Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu
hanya 5 orang saja, yaitu :
1. Isteri.
2. Anak perempuan.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki.
4. Ibu.
5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya
ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak
laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya
yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah
SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan
untuk biaya mengurus mayat.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si
mayat.
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian
dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak
mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh ( ) الفرائض adalah
bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh() الفريضه yang oleh para ulama diartikan semakna
dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya. Ketentuan
kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :
Yang mendapat setengah harta.
Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah
berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :
ْن أَ ْو َ ين َوصِ َّي ٍة َبعْ ِد مِنْ َت َر ْك َن ِممَّا الرُّ ُب ُع َفلَ ُك ُم َولَ ٌد لَهُنَّ َك
ٍ ان َفإِنْ َدي َ ِِب َها يُوص
Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah di bayar utangnya.”
Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan
anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak
laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang,
seperempat itu di bagi rata antara mereka.
Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki,
sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan ijma’ para ulama’)
Untuk seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah
SWT. Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila
beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu
sebapak berbilang(dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta
warisan. (berdasarkan ijma’ para ulama’).
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut
ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat
pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang
mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat
pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu,
sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga
kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih
dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di
bawah ini :
o Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
o Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
o Bapak.
o Kakek.
Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah
seorang dari empat orang berikut :
o Bapak.
o Anak laki-laki.
o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
o Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris
apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
o Anak laki-laki.
o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
o Bapak.
Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka
tidak mendapat harta waris, yaitu:
o Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara
perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
o Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak)
mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
o Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak
perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
7) PENGERTIAN ‘AULU
‘Aulu artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak daripada satu bilangan, atau
berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada kelipatan
persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya. Umpamanya ahli waris adalah suami dan dua
saudara seibu sebapak, maka suami mendapat ketentuan 1/2 , dua saudara perempuan
mendapat 2/3 sedangkan kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6
untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara perempuan. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah
7, sedangkan penyebut keduanya hany 6. Disini nyata bahwa pembilang lebih banyak dari
penyebut. Apabila terdapat masalah seperti ini, harta hendaknya kita bagi tujuh bagian : tiga
bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan. Sebenarnya keduan
macam ahli waris ini tidak mengambil seperti ketentuan masing-masing, tetapi keadilan
memaksa menjalankan seperti tersebut.
Contoh yang kedua : Ahli waris adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu sebapak atau
sebapak, dan seorang saudara seibu(baik laki-laki maupun perempuan). Ketentuan masing-
masing adalah intri mendapar 1/4 , ibu mendapat 1/6, dua saudara perempuan mendapat 2/3
dan seorang saudara seibu mendapat 1/6. Kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut
beberapa ketentuan tersebut adalah 12, kita atur sebagai berikut : 1/4+1/6+2/3+1/6 =
3/12+2/12+8/12+2/12 = 15/12. Jadi, harta perlu di bagi 15 bagian : 3 bagian dari 15 bagian
untuk istri, 2 bagian untuk ibu, 8 bagian untuk dua orang saudara perempuan, 2 bagian untuk
saudara seorang seibu. Berarti tiap-tiap bagian itu di hitung dari 15, bukan dari 12, sedangkan
ketentuan masing-masing hendaknya di ambil dari 12, tetapi dalam masalah ‘aulu masing-
masing hanya mengambil dari 15 . inilah yang dimaksud dengan ‘aulu. Terjadinya karena
banyaknya ahli waris sehingga jumlah ketentuan mereka lebih banyak dari pada satu bilangan,
buktinya pembilang lebih banyak dari penyebut.
b) Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara
waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama
dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim
dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga
sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya:” Diriwayatkan daripada
Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat
an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”
c) Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima
warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika
tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada
hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan
sendirinya benda itu bisa diwariskan.
d) Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah
memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu
beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan,
penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI)
Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa
perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum
kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.
Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam
pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.”
9) PENGERTIAN WASIAT
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang
meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunnah.
Rukun wasiat adalah sebagai berikut :
Ada orang yang berwasiat.
Ada yang menerima wasiat.
Sesuatu yang di wasiatkan.
Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di
izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda
Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat
mereka dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “
Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris,
wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya
yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada hak
wasiat lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)
1) KESIMPULAN
Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli
waris yang masih hidup.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
(Pasal 171 huruf a KHI).
Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang
yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga
tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin
kebenarannya.
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang
meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.
2) SARAN
Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di
kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu
pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.
Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak
menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta
penginggalan yang meninggal.
Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode
pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri
bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di
jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di
lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-
hari orang-orang dalam suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/
http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-faraidh/
Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa
Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani Press,
1995, hlm. 33