Anda di halaman 1dari 19

A.

DEFINISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun
parsial, yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma
pada wajah sering melibatkan tulang-tulang pembentuk wajah, diantaranya
mandibula.

Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya


kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah
ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.

Klasifikasi Fraktur Mandibula:

1. Menurut garis fraktur :


a. Fraktur komplit : Apabila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua konteks tulang
b. Fraktur inkomplit : Apabila garis patah tidak melalui penampang tulang.
2. Menurut bentuk fraktur dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur tranfersal : Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang. Segmen patah tulang direposisi atau direduksi
kembali ketempatnya semula, maka segmen akan stabil dan biasanya akan
mudah dikontrol dengan bidai gips
b. Fraktur patah oblique : Fraktur dimana garis patahannya membentuk
sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil.
c. Fraktur serial : Fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas.
Menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat
sembuh dengan imobilisasi luar.
d. Fraktur kompresi : Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumpuk
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra dengan
vertebra lain.
e. Fraktur anulasi : Fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat
insisi tendon atau ligament. Contohnya fraktur patella
3. Menurut jumlah garis fraktur
a. Fraktur komminute : Terjadi banyak garis fraktur atau banyak fragmen
kecil yang terlepas
b. Fraktur segmental : Apabila garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan sehingga satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah
menjadi sulit untuk sembuh.
c. Fraktur multiple : Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan tempat.

Gambar 3 : Tipe fraktur mandibula. A. Greenstick B. Simple C. Kominuisi


D. Kompoun

4. Menurut hubungannya antara fragmen dengan dunia luar


a. Fraktur terbuka : Apabila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang
fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fragmen terbuka dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :
1) Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit terkontaminasi
ringan, luka kurang dari 1 cm.
2) Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi lebih besar dari 1 cm
3) Luka besar sampai dengan 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neuromaskular, kontaminasi besar.

Grade/derajat fraktur terbuka :

1) Grade I : Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.


2) Grade II : fraktur terbuka merobek kulit dan otot.
3) Grade III : banyak sekali jejas kerusakan kulit otot, jaringan syaraf,
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8cm.
b. Fraktur tertutup : Terjadi pada tulang yang abnormal atau sakit. Penyebab
terbanyaknya adalah osteoporosis dan osteomalacia.

1. Lokasi fraktur
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari fraktur
mandibula dapat terjadi pada daerah-daerah sebagai berikut :
a. Dentoalveolar
b. Kondilus
c. Koronoideus
d. Ramus
e. Sudut mandibula
f. Korpus mandibula
g. Simfisis
h. Parasimfisis

Gambar 4 : Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan lokasi fraktur


Gambar1. Anatomi tulang mandibula

B. ANATOMI FISIOLOGI
Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pada daerah muka,
terdapat barisan gigi. Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris, yang
mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus
yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar, yang
mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing
ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus
koronoideus. Prosesus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar
dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang
disebut simfisis mentum, yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua
buah tulang.
Bagian atas korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus
alveolaris, yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah
korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan
korpus mandibula, kurang lebih 1 inci dari simfisis, didapatkan foramen mentalis
yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus
mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan pertemuan
antara tepi belakang ramus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan
mudah diraba pada 2-3 jari di bawah lobulus aurikularis.
Prosesus koronoideus yang tipis dan tajam merupakan tempat insersio
m.temporalis. Prosesus kondiloideus membentuk persendian dengan fossa
artikularis permukaan infratemporalis dari skuama os temporalis. Kartilago
artikuler melapisi bagian superior dan anterior dari prosesus kondiloideus,
sedangkan bagian posterior tidak. Permukaan lateral dari prosesus kondiloideus
ditutupi oleh kelenjar parotis dan terletak di depan tragus. Antara prosesus
koronoideus dan prosesus kondiloideus membentuk sulkus mandibula dimana lewat
vasa dan nervus. Kira-kira ditengah dari permukaan medial ramus mandibula
didpatkan foramen mandibula. Melalui foramen ini masuk kedalam kanal yang
mengarah ke bawah depan di dalam jaringan tulang, dimana dilalui oleh vasa
pembuluh darah dan saluran limfe.
Mandibula mendapat nutrisi dari a.alveolaris inferior cabang pertama dari
a.maksillaris yang masuk melalui foramen mandibularis, bersama vena dan
n.alveolaris. A.alveolaris inferior memberi cabang-cabang ke gigi-gigi bawah serta
gusi sekitarnya, kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a.mentalis. Sebelum
keluar dari foramen mentalis bercabang insisivus yang berjalan ke depan di dalam
tulang. A.mentalis beranastomosis dengan a.fasialis, a.submentalis, a.labii inferior.
A.submentalis dan a.labii inferior merupakan cabang dari a.facialis.
a.mentalis memberi nutrisi ke dagu. Sedangkan aliran balik dari mandibula melalui
v.alveolaris inferior ke v.fasialis posterior. V.mentalis mengalirkan darah ke
v.submentalis yang selanjutnya mengalirkan darah ke v.fasialis anterior. V. fasialis
posterior dan v.fasialis comunis mengalirkan darah ke v.jugularis interna.
Aliran limfe ,mandibula menuju ke limfe node submandibularis yang
selanjutnya menuju ke rantai jugularis interna. N.alveolaris inferior cabang dari
n.mandibularis berjalan bersama arteri dan vena alveolaris inferior masuk melalui
foramen mandibularis berjalan di kanalis mandibularis memberi cabang sensoris ke
gigi bawah, dan keluar di foramen sebagai n.mentalis, merupakan araf sensoris
daerah dagu dan bibir bawah.
Ada 4 pasang otot yang disebut sebagai otot pengunyah, yaitu m.masseter,
m.temporalis, m.pterigoideus lateralis dan m.pterigoideus medialis. Sedangkan
m.digastrikus, walaupun tidak termasuk otot-otot pengunyah, namun mempunyai
fungsi yang penting pada mandibula. Bila otot digastrikus kanan dan kiri
berkontraksi mandibula bergerak ke bawah dan tertarik ke belakang dan gigi-gigi
terbuka. Saat mandibula terstabilisasi m.digastrikus dan m.suprahyoid mengangkat
os hyoid, keadaan ini penting untuk proses menelan.
Gerakan mandibula pada waktu mengunyah mempunyai 2 arah, yaitu :
1. Rotasi melalui sumbu horisontalyang melalui senteral dari kondilus
2. Sliding atau gerakan ke arah lateral dari mandibula pada persendian
temporomandibuler.
Mengunyah merupakan suatu proses terdiri dari 3 siklus, yaitu :
1. Fase membuka.
2. Fase memotong, menghancurkan, menggiling. Otot-otot mengalami
kontraksi isotonic atau relaksasi. Kontraksi isometric dari elevbator hanya
terjadi bila gigi atas dan bawah rapat atau bila terdapat bahan yang keras
diantaranya akhir fase menutup.
3. Fase menutup
Pada akhir fase menutup dan fase oklusi didapatkan kenaikan tonus
pada otot elevator.Setelah makanan menjadi lembut berupa suatu bolus
dilanjutkan dengan proses menelan. Untuk fungsi buka, katub mulut,
mengunyah dan menelan yang baik dibutuhkan :
2. Tulang mandibula yang utuh dan rigid
3. Oklusi yang ideal
4. Otot-otot pengunyah beserta persarafan serta
5. Persendian temporomandibular (TMJ) yang utuh.

C. ETIOLOGI
1.  Trauma langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat
tersebut.
2.  Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh
dari area benturan.
3.  Fraktur patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa
trauma.Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi
tulang dan tumor tulang.
D. PATOFISIOLOGI

Fraktur disebabkan oleh adanya trauma (langsung dan tidak langsung), stress 
fatique (kelelahan akibat tekanan berulang) dan pathologis. Karena adanya tekanan
atau daya yang mengenai tulang  maka akan mengakibatkan terjadinya fraktur dan
perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patahan dan kedalam jaringan lunak
disekitar tulang tersebut. Bila terjadi hematoma maka pembuluh darah vena akan
mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan leukosit
yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan implamasi atau peradangan
yang menyebabkan bengkak dan akhirnya terjadi nyeri. Selain itu karena kerusakan
pembuluh darah kecil atau besar pada waktu terjadi fraktur menyebabkan tekanan
darah menjadi turun, begitupula dengan suplai darah ke otak sehingga kesadaran
pun menurun yang mengakibatkan syok hipovolemi. Bila mengenai jaringan lunak
maka akan terjadi luka dan kuman akan mudah untuk masuk sehingga mudah
terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat delayed union dan mal union dan yang
tidak terinfeksi mengakibatkan non union. Apabila fraktur mengenai peristeum atau
jaringan tulang dan korteks maka akan mengkibatkan deformitas, krepitasi dan
pemendekan ekstremitas. Berdasarkan proses diatas tanda dan gejalanya yaitu
nyeri/tenderness, deformitas/perubahan bentuk, bengkak, peningkatan suhu
tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan apabila hal ini tidak teratasi, maka
akan menimbulkan komplikasi yaitu komplikasi umum misalnya : syok, sindrom
remuk dan emboli lemak. Komplikasi dini misalnya : cedera syaraf, cedara arteri,
cedera organ vital, cedera kulit dan jaringan lunak, sedangkan komplikasi lanjut
misalnya : delayed union, mal union, non union, kontraktur sendi dan miossitis
ossifycans, avaseural necrosis dan osteo arthritis.
E. PATHWAY

Gambar 3. Pathway fraktur

Tahap penyembuhan tulang :


Setelah tulang mengalami fraktur
1.      Stadium Hematum
Pada stadium ini karena pembuluh darah pecah, maka terjadi perdarahan pada
daerah fraktur. Hematum terbentuk mengelilingi daerah tulang yang
mengalami fraktur, kemudian setelah 24 jam aliran darah pada daerah fraktur
berkurang sehingga terjadi penggabungan haematum dengan fibroblast dan
membentuk fibrin.
2.      Stadium proliferasi
Dalam 48-72 jam setelah terjadi fraktur, sel sel jaringan baru mulai terbentuk
pada daerah fraktur.
3.      Stadium Pembentukan Kallus
Dalam waktu 6-10 hari fraktur, terjadi perubahan granulasi jaringan dan
pembentukan kallus, pertumbuhan jaringan berlangsung secara terus menerus
sampai fragmen menyatu kembali memerlukan waktu 3-4 minggu.
4.      Stadium Ossifikasi
Ossifikasi terjadi 3 -10 minggu, kallus yang menetap berubah menjadi tulang
yang kaku, akibat dari penumpukan garam-garam mineral menutup dan
meliputi ujung-ujung fragmen tulang yang kemudian akan menjadi tulang.
5.      Stadium konsolidasi
Setelah pembentukan tulang, kallus diremodeling oleh aktivitas osteoblast
dan osteoklast

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri
Rasa nyeri yang hebat dapat dirasakan saaat pasien mencoba menggerakkan
rahang untuk berbicara, mengunyah atau menelan.
2. Perdarahan dari rongga mulut.
3. Maloklusi
Keadaan dimana rahang tak dapat dikatupkan, mulut seperti keadaan sebelum
trauma.
4. Trismus
Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm, batas terendah nilai normal
adalah 40 mm.
5. Pergerakan Abnormal.
a. Ketidakmampuan membuka rahang membuat dugaan pergesekan pada
prosesus koronoid dalam arkus zygomatikcus.
b. Ketidakmampuan menutup rahang menandakan fraktur pada prosessus
alveolar, angulus, ramus dari simfisis.
6. Krepitasi tulang
Krepitasi tulang tulang adalah bunyi berciut yang terdengar jika tepian-tepian
fraktur bergesakan saat berlangsungnya gerakan mengunyah, bicara, atau
menelan.
7. Mati rasa pada bibir dan pipi
Patognomonis untuk fraktur distal dari foramen mandibula.
8. Oedem daerah fraktur dan wajah tidak simetris.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula
umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur
mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan
berbagai kemungkinan komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami
gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union. Ada
beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula
dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor
risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik,
kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak
menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan
mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-
kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat
untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya
komplikasi antara lain sepsis oral, adanya gigi pada garis fraktur, penyalahgunaan
alkohol dan penyakit kronis, waktu mendapatkan perawatan yang lama, kurang
patuhnya pasien dan adanya dislokasi segmen fraktur.
Adapun komplikasi lainyang dapat terjadi yaitu :
a. Komplikasi yang timbul selama perawatan
b. Infeksi
c. Kerusakan saraf
d. Gigi yang berpindah tempat
e. Komplikasi pada daerah ginggival dan periodontal
f. Reaksi terhadap obat

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Hb menurun terutama fraktur terbuka,
peningkatan leukosit adalah respon stres normal setelah trauma.
4. Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan
pembengkakan. Seringpula terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat jelas
deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi perpindahan
tempat dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup geligi anterior, dan
mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga
rahang bawah dengan tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes
dari sudut mulut pasien
5. Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus
pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang perbatasan bawah
mandibula. Bagian-bagian melunak harus ditemukan pada daerah-daerah
fraktur, demikian pula terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. Jika
fraktur mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan mengalami mati
rasa.
6. Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan. Dari dalam mulut. Sulkus
bukal diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma
didalam sulkus lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu
patognomonik fraktur mandibula.
I. PENATALAKSANAAN
a. Pencegahan

Patah tulang tidak selalu dapat dicegah, namun Anda dapat mengurangi risiko
patah tulang dengan:

1. Menggunakan alat keselamatan saat berkendara, seperti sabuk


pengaman saat mengemudikan mobil, atau helm saat mengendarai motor.
2. Mengenakan alat pelindung tubuh saat melakukan olahraga yang
melibatkan benturan atau berisiko menyebabkan Anda terjatuh.
3. Melakukan latihan secara rutin untuk menjaga keseimbangan tubuh dan
meningkatkan kekuatan tulang, terutama pada penderita osteoporosis.
4. Berkonsultasi dengan dokter mengenai kebutuhan nutrisi atau suplemen
untuk menjaga kesehatan tulang.

b. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal
yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing),
sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penaganana luka
jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan
cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi,
sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase
penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah
(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan
menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-
gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada
perkembangan selanjutnya oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai
konsep dasar penanganan fraktur rahang dan tulang wajah (maksilofasial)
terutama dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan
perkembangan teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head
bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari
fixation), serta fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat
tulang (plate and screw).
Prosedur penanganan fraktur mandibula :

1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi


tertutup dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih
disukai paada kebanyakan fraktur.

2. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi


tertutup dan arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.

3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan
fraktur

4. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankan


selama 4-6 minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.

5. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila


dilakukan reduksi terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.

Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang
Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah
rahang atau fraktur maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan
atau penyambungan fragmen fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang
normal dan telah beradaptasi dengan jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh
saraf disekitar rahang dan wajah.

Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan
memberikan gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan
jangka panjang. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang
adalah infeksi pada jaringan lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat
menyebabkan kehilangan jaringan lunak dan keras yang banyak. Komplikasi
lain, jika penyambungan tidak adekuat (malunion)dan oklusi rahang atas dan
bawah tidak tercapai maka akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak
nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang
(Temporomandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan
antara sendi rahang kiri dan kanan.

Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan
otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain)
Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam
hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh
pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara
adekuat. Komplikasi setelah pembedahan yang dapat terjadi pada semua operasi
penyambungan tulang adalah terlambatnya penyambungan dan penyembuhan
tulang (delayed union) atau kegagalan penyambungan tulang (nonunion)yang
sering disebabkan tidak stabilnya fragmen fraktur karena immobilisasi yang
kurang baik. Komplikasi yang secara klinis dan estetik nampak adalah
perubahan bentuk dan proporsi wajah.

Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar


penatalaksanaan fraktur pada umumnya. Pertama periksalah A(airway),
B(Breathing) dan C(circulation). Bila pada ketiga topik ini tidak ditemukan
kelainan pada pasien, lakukan penanganan terhadap fraktur mandibula pasien.
Bila pada pasien terdapat perdarahan aktif, hentikanlah dulu perdarahannya. Bila
pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu meredakan
rasa nyeri.

c. Rehabilitatif

Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama


merupakanmasalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan
ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai
dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif serta
penguatan otot.
J. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien fraktur menurut Doengoes, (2000) diperoleh data sebagai
berikut :
1.  Aktivitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan
nyeri)
2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri) atau
hipotensi ( kehilangan darah), takikardia ( respon stress, hipovolemia), penurunan /
tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada
bagian yang terkena pembengkakan jaringan atau massa hepatoma pada sisi cedera.
3.  Neurosensori
Gejala : Hilang sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (panastesis)
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme
otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi, agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri
atau trauma)

4.  Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ; tidak ada nyeri
akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulse jaringan, perubahan warna, pendarahan,
pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
6.Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera
7. Pemeriksaan Diagnostik
a   Pemeriksaan roentgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.  Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
c.  Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.  Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi). Peningkatan
jumlah SOP adalah respon stress setelah trauma.
e.   Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kirens ginjal.
f.    Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple atau cedera hati.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1.  Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan fragmen tulang, edema
dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas
2.  Hambatan mobilitas  fisik  berhubungan dengan kerusakan integritas sstruktur
tulang dan penurunan kekuatan otot
3. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk dan penonjolan
tulang
4.  Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ;
kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi
tulang.

PERENCANAAN
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun
perencanaan untuk masing masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa
keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang/hilang
Kriteria hasil :
1)  Menyatakan nyeri hilang
2)  Menunjukan sikap santai
3) Menunjukan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individu.
Intervensi :
1)  Kaji tingkat nyeri, lokasi nyeri, kedalaman, karakteristik serta intensitas
2)  Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat,
traksi
3)  Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
4)  Berikan alternatif tindakan kenyamanan misalnya : pijatan dan perubahan posisi.
5)   Ajarkan menggunakan teknik manajemen stress misalnya : relaksasi progresif,
latihan nafas dalam.
6)  Kolaborasi, berikan analgetik sesuai program.

2. Hambatan mobilitas  fisik  berhubungan dengan kerusakan integritas


sstruktur tulang dan penurunan kekuatan otot
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan mobilitas
fisik terpenuhi.
Kriteria hasil :
1)  Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin.
2)  Mempertahankan posisi fungsional.
3)   Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4)   Menunjukan teknik yang memampukan melakukan aktivitas.
Intervensi :
1)  Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cidera atau pengobatan dan
perhatikan persepsi klien tehadap imobilisasi.
2)   Instruksikan dan Bantu dalam gerak aktif atau pasif pada ekstremitas yang sakit
dan tidak sakit.
3)  Bantu dan dorong perawatan diri dan Bantu imobilitas dengan kursi roda dan
tongkat.
4) Observasi TTV.
5)  Konsul dengan ahli terapi atau okupasi dan spesifikasi rehabilitasi.

3. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk dan


penonjolan tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas
kulit tidak terjadi.
Kriteria evaluasi :
1) Menyatakan ketidaknyamanan hilang.
2)  Menunjukan teknik/prilaku untuk mencegah kerusakan kulit.
3) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi :
1)  kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan dan
perubahan warna.
2)  Massage kulit dan penonjolan tulang
3)  Ubah posisi sesering mungkin
4)  Bersihkan kelebihan plester dari kulit
5)  Massage kulit disekitar balutan luka dengan alcohol
6)  Letakan bantalan pelindung dibawah kaki dandi atas tonjolan tulang.

4. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ;


kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif,
traksi tulang.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drinase purulen atau eritema dan
demam.
Intervensi :
1)   Inspeksi untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas
2)   Observasi tanda tanda infeksi
3)   Lakukan perawatan luka sesuai program
4)   Observasi hasil laboratorium dan tanda tanda vital
5)   Berikan obat antibiotik sesuai program.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn. 2015. Rencana Asuhan Keperawatan. Penerbit buku kedokteran


EGC; Jakarta

Guyton & Hall. 2016. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta; EGC.

Nanda International. 2016. Diagnosis Keperawatan 2009-2011.penerbit buku


kedokteran EGC; Jakarta

Syaifudin. 2016. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperwatan. Penerbit buku


kedokteran EGC; Jakarta

Sylvia, A. 2016. Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai