Anda di halaman 1dari 2

Hai, Socconians,

Apakah Socconians tahu bahwa anak-anak dan remaja bisa mengalami kecemasan? Ya tentu
saja! Bukan hanya orang dewasa yang bisa mengalami kecemasan. Pada masa pandemi COVID-
19 ini, anak-anak juga rentan mengalami kecemasan. Kok bisa? Ya karena perkembangan
psikologis normal pada anak dipengaruhi oleh faktor seperti rutinitas, interaksi sosial dan
hubungan pertemanan. Di era pandemi ini, tentu banyak perubahan rutinitas yang dialami oleh
anak dan remaja seperti isolasi di rumah, sekolah daring (pembelajaran jarak jauh), tidak ada
waktu bermain di luar rumah, pengurangan aktivitas fisik, jenuh dengan suasana di dalam rumah,
dan minimnya interaksi dengan teman sebaya. Tentu semua rutinitas baru dapat menyebabkan
anak sulit beradapatasi dan tidak adanya kepastian kapan pandemi akan berakhir juga dapat
mengarah pada ketakutan dan kecemasan pada anak.
Dari penelitian Jiao, dikemukakan bahwa gejala kecemasan pada anak di kelompok usia 3 – 6
tahun lebih jelas dibandingkan anak di usia yang lebih tua. Gejala kecemasan pada anak berbeda
dengan gambaran gejala pada orang dewasa. Orang dewasa umumnya akan tampak berkeringat,
sulit duduk diam atau gelisah ketika sedang cemas. Namun, anak-anak cenderung menjadi lebih
rewel, banyak menuntut dan takut anggota keluarganya akan tertular infeksi. Penelitian di Italia
dan Spanyol mengatakan bahwa gejala yang sering muncul adalah sulit berkonsentrasi (77%),
bosan, cepat marah, gelisah, gugup dan merasa kesepian. Reaksi yang muncul pada anak atau
remaja berbeda-beda karena dipengaruhi oleh usia dan tingkat perkembangan. Anak yang berusia
lebih muda akan rewel, banyak menuntut atau mengalami kemunduran dalam perilaku,
sedangkan pada remaja umumnya menjadi lebih cemas, mudah marah, gelisah, dan menarik diri
selama karantina. Sebanyak 82 – 90% anak-anak di Italia dan Spanyol juga mengalami
peningkatan waktu layar (screen time).
Perilaku-perilaku tersebut sering disalahartikan oleh orang tua atau para pengasuh sebagai
perilaku nakal anak-anak. Sebanyak 12% orang tua melaporkan bahwa sulit untuk hidup
berdampingan dengan anak ketika anak menunjukkan gejala-gejala kecemasan tersebut sehingga
dapat memicu kekerasan mental oleh orang tua terhadap anak. Semua berpotensi memicu
konsekuensi mental yang merugikan dan bahkan berkepanjangan pada anak-anak [66]. Interaksi
antara perubahan rutinitas harian mereka, pengurungan di rumah, dan ketakutan terhadap infeksi
dapat lebih meningkatkan reaksi mental yang tidak diinginkan yang mengakibatkan lingkaran
setan. Anak-anak yang menjalani karantina dalam bencana pandemi memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mengembangkan gangguan stres akut, gangguan penyesuaian diri dan kesedihan dan
melaporkan skor PTSD empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak
dikarantina.

Untuk mencegah terjadinya rasa cemas pada anak terutama di masa pandemi ini, orang tua dapat
melakukan beberapa upaya sebagai berikut: (1) melakukan aktivitas bermain bersama sekeluarga, (2)
batasi paparan informasi yang dapat menimbulkan rasa cemas pada anak dan (3) memaparkan
kondisi kehidupan saat ini dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak dan mau mendengarkan
seluruh pertanyaan yang diberikan oleh anak. Pada anak yang menunjukkan kekesalan, mudah
marah, sensitif, banyak menuntut, orang tua dapat membantu anak untuk mengekspresikan perasaan
negatif yang dialaminya dengan cara positif dan tidak menyalahkan. Stres orang tua telah terbukti
memprediksi reaksi stres pada anak-anak dan oleh karena itu orang tua perlu menjaga
ketenangan mereka sendiri. Meskipun dianggap wajar untuk melindungi anak dari informasi
yang tidak menyenangkan, tetapi anak yang sangat kecil pun bereaksi terhadap perubahan
lingkungan dan sering menganggap yang terburuk. Dengan mengelola stres sendiri dengan
lebih baik, orang tua dapat membantu mengelola stres anak.

As there is evidence that significant burden of mental illnesses originate in young age and adult
life productivity is also deeply rooted in early years, close attention to mental health of young
people in quarantine is warranted to avoid any long-term consequences.

Anda mungkin juga menyukai