Abstrac
In life, every ones is a consumer. The early, relation consumer and producer as private
relation without intervention of state. And then, growth the law of consumer protection. The
relation consumer and producer often subject to contract, or really there is no relation
between them. But, consumer have a legal protection right. So, without contract or strict
connection, producer must be liability for consumer loss. That is must be analysis, base of
producer liability, and reason of why producer must liability for consumer loss
Key word : producer; consumer; liability
Abstrak
Dalam keseharian manusia adalah konsumen. Hubungan konsumen dan produsen pada
mulanya dibiarkan apa adanya sebagai hubungan privat, tanpa ada turut campur penguasa.
Kemudian lahir hukum perlindungan konsumen. Hubungan konsumen produsen sering tidak
dilandasi perjanjian atau sama sekali tidak ada hubungan. Akan tetapi, konsumen tetap
dilindungi secara hukum. Jadi tanpa ada dasar perjanjian atau hubungan langsung produsen
tetap bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Inilah yang ditelusuri dan dikaji dalam
tulisan ini, dasar tanggung jawab produsen; dan, alasan produsen harus bertanggung jawab.
Kata kunci : produsen; konsumen; tanggung jawab.
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari semua kita adalah konsumen yang berati bahwa ia
akan menggunakan barang atau jasa yang dihasilkan oleh orang lain. Dari keadaan ini
pula akan ada pihak yang memproduksi, membuat, atau menyediakan barang atau jasa
yang dibutuhkan pihak lain. Dengan demikian, dalam keseharian untuk memenuhi
kebutuhan hidup, manusia akan selalu berhadapan dua pihak yaitu konsumen dan
produsen. Kedua pihak pada mulanya dibiarkan berada pada posisi bebas sehingga
segala sesuatunya diserakan kepada para pihak.
Sejak tahun 60-an muncul suara-suara untuk diadakan pengaturan perlindungan
konsumen, Di indonesia sendiri perlindungan konsumen secara legal formal dalam
bentuk Undang-undang yang khusus untuk itu, dimulai dengan lahirnya Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunhgan Konsumen (UUPK).
Pengertian konsumen menurut undang-undang ini adalah, (Pasal 2 angka 1 UUPK)
2
Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sementara itu, pengertian pelaku usaha (produsen) adalah, (Pasal 3 angka 2 UUPK)
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
hadiah, tukar menukar, dan lain lain. Dengan demikian, secara hukum transaksi tersebut
dikuasai oleh hukum perdata yaitu perikatan atau Buku III KUHPerdata. Salah satu
sumber perikatan adalah perjanjian. KUHPerdata menganut sistem terbuka yang berarti
siapapun boleh membuat segala perjanjian yang memperjanjian apa saja selama
memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320. Pasal 1320 KUHPerdata merupakan
syarat umum yang berlaku bagi segala perjanjian baik yang diatur dalam KIUHPerdata
maupun di luar KUHPerdata
Isi Pasal 1320 supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
o kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
o kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
o suatu pokok persoalan tertentu;
o suatu sebab yang tidak terlarang.
Oleh karena hubungan produsen atau penjual dengan konsumen dilihat dari Pasal
1320 KUHPerdata akan melahirkan suatu kaidah, apabila produsen dan konsumen
telah bersepakat mengenai segala sesuatunya, selesailah perjanjian tersebut.
Dalam hal terjadi ingkiar janji dapat menuntut ke pengadilan. Persoalan utamanya
menuntut menggunakan dasar ingkar janji adalah, pembuktian yang cukup sulit.
Dapat juga terjadi kemungkinan ada unsur melawan hukum maka konsumen dapat
menuntut berdasar Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan dasar ini maka tergugat selalu
dianggap tidak mempunyai kesalahan sampai dapat dibuktikan oleh penggugat
bahwa tergugat bersalah. Membebankan pembuktian pada penggugat ini dilihat dari
prinsip tanggung jawab merupakan prinsip tanggung atas dasar kesalahan atau dikenal
pula dengan the based on faul liability principle, liability based on fault principle. Di
dalam lingkungan ahli hukum, Pasal 1365 KUH Perdata (Pasal 1365 KUH Perdata
berbunyi :
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut. Pasal ini mengharuskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan
suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti kerugian, yaitu : 1. adanya
perbuatan melawan hukum dari tergugat; 2. perbuatan tersebut dapat dipersalahkan
kepadanya; dan, 3. adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.
Dalam hal sebab akibat dari suatu perbuatan ini dikenal teori tentang sebab akibat :
theorie conditio sine qua non dari Von Bury dan theorie adequate veroorzaking . Lihat
5
Adapun waktu pembayaran ganti rugi adalah 7 hari setelah tanggal transaksi.
Artinya tanggal transaksi belum dihitung hari dalam tenggang 7 hari tersebut.
Dalam ayat 5 Pasal 19 ini dikemukakan pula hal-hal yang dapat membebaskan
produsen/ pelaku usaha yaitu apabila dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut
kesalahan konsumen (Pasal 19 ayat (5) menyatakan, Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.). Lebih rinci
dikemukakan alasan pembebas bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 27.
Dalam hal sengketa tidak dapat diselesaikan sebagaimana dissebutkan Pasal 19 maka
konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Di pengadilan berlaku prinsip
pembuktian sebagaimana disebutkan Pasal 28 yang berbunyi,
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha.
Dengan demikian, seorang pelaku usaha yang dituntut ganti rugi ke pengadilan
akan selalu dianggap bersalah karena ia diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Dalam ilmu hukum pembuktian demikian disebut prinsip tanggung
jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle) yaitu bahwa
tergugat dianggap selalu bersalah kecuali apabila dapat membuktikan hal-hal yang
dapat membebaskan dari kesalahan. Jadi dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip
yang dianut dalam perbuatan melkanggar hukum, hanya beban pembuktian menjadi
terbalik yaitu ada pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah
(Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pembuktian terbalik dianut yaitu dalam
7
Alasan yang dapat digunakan seorang pelaku usaha yang memproduksi barang
untuk dapat membebaskan diri dari kewajiban bertanggung jawab adalah apabila
adanya sala satu atau beberapa alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 yaitu :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, di satu sisi memberi sedikit
keuntungan kepada konsumen karena pembuktian menjadi beban produsen, namun di
sisi lain adanya kesempatan membuktikan lebih besar bagi produsen untuk
membebaskan diri dari tanggung jawab karena liku-liku memproduksi dan seluk-beluk
jalur distribusi sangat dikuasai oleh produse. Dengan kata lain dalam hal tersebut
konsumen sebagai awam.
D. Status Konsumen
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa konsumen tidak selalu
berhubungan dengan produsen; konsumen di satu temnpat, produsen di tempat lain,
tidak ada kontak, tidak ada komunikasi, dan tidak ada pembicaraan apa pun. Secara
hukum konsumen tidak mempunyai hubungan hukum langsung dengan konsumen.
Berdasarkan prinsip hukum kontrak, ataupun perbuatan melanggar hukum tidak
mungkin seorang yang tidak mempunyai hubungan hukum dapat menuntut. Dalam
hubungan ini, hukum perlindungan konsumen mempunyai kekhususan yang berbeda
dari KUHPerdata
8
Tuntutan ganti rugi dimulai dengan adanya kontrak; tanpa kontrak tidak ada
tuntutan. Ini prinsip klasik dalam perjanjian yang pernah diterapkan dalam
perlindungan konsumen. Untuk saat ini hubungan konsumen-produsen berdasar kontrak
tidak menjadi dasar utama. Secara subtantif dasar ini diawali dengan adanya doktrin
privity of contract (Privity of contrak ini harus dibedakan dengan private of otonom
karena keduanya berbeda. Privity of contrak artinya kontrak hanya mengikat para pihak
yang mengadakan perjanjian, sedangan private of otonom artinya para artinya para
pihak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak apa saja dan berisi apa saja.
Seperti Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Lihat PWD Redmon,1974 : 144, Macdonald
And Evans, 1974 : 144, dan Henry Cambell Black, 1985 : 1095) yang berarti kontrak
hanya mengikat para pihak sepanjang materi kontrak. Hal ini memberi kesulitan
tersendiri kepada konsumen untuk melakukan tuntutan karena harus paham dengan isi
kontrak yang dibuatnya dengan pelaku usaha.
Kemudian lahir dasar hubungan atas dasar Buyer Beware (Lihat dan
bandingkan, Shidarta : 2006 : 61 - 64) yang berarti pembeli harus berhati-hati ; tidak
ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan penjelasan tentang produknya.
Dalam hubungan ini, konsumen dibebani dengan suatu kewajiban, tetapi dilain pihak
menghilangkan kewajiban produsen. Contoh konkrit keseharian sisa sisa dasar
hubungan demikian masih sering terlihat dalam tulisan, teliti sebelum membeli; dan
hati-hati dalam memilih barang. Dari peringatan demikian tergambar bahwa beban
ada pada pembeli bukan pelaku usaha sehingga kerugian konsumen dianggap kelalaian
konsumen.
Pada fase selanjutnya lahir lahir dasar hubungan berdasar pada the due care
theory yang berarti bahwa pelaku usaha harus berhati-hati. Selama pelaku usaha telah
berlaku hati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan; tuntutan terhadapnya
berupa melanggar kehati-hatian. Dasar hubungan ini sangat subjektif dan sepihak
karena hanya melindungi pelaku usaha. Perkembangan terakhir dalam perlindungan
konsumen didasarkan pada hubungan kontrak bukan syarat ( contract no condition )
untuk menentukan hubungan hukum konsumen dengan produsen. Dengan dasar ini,
materi gugatan dapat diperluas, dapat masuk pihak ketiga, dan sekaligus pembuktian
menjadi khusus. Dari dasar ini lahir class action atau representative action, lahirnya
legal standing LSM yang diakui dalam bidang konsumen
Dengan dasar kontrak bukan syarat, pihak yang dapat dituntut ganti rugi
menjadi lebih luas lagi karena bukan hanya penjual tetapi juga fabrikan atau produsen
9
yang sama sekali tidak mempunyai hubungan langsung dengan konsumen. Hubungan
konsumen dengan produsen dalam hukum konsumen ini lahir karena adanya produk.
Tuntutan ini dapa dicontohkan, kalau ada seseorang yang dirugikan oleh pengangkut
udara yang disebabkan kerusakan teknik pesawat, maka ia, selain dapat menuntut
kepada pengangkut juga dapat menuntut kepada pabrik pesawat. Inilah yang dinamakan
dengan product liability dengan prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah
tanggung jawab mutlak. Dalam tanggung jawab mutlak, unsur kesalahan bukan
menjadi sesuatu yang harus dibicarakan (Untuk lebih jelas mengenai prinsip tanggung
jawab, lihat Toto Tohir S, 2006 : 29-32)
dituntut secara hukum sedangkan social/f.amily agreement pada dasarnya tidak dapat
dituntut secara hukum.
F. Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa,
a. Hubungan konsumen dengan produsen bukan semata-mata adanya hubungan
perjanjian tetapi karena adanya produk yang digunakan oleh konsumen.
b. Perkembangan dasar hubungan konsumen-produsen lebih memberikan
perlindungan yang kuat kepada konsumen
c. Dasar tanggung jawab produsen atau pelaku usaha adalah karena ia mendapat
keuntungan.
G. Daftar Pustaka
A. Buku
Ahmad Miru dan Suratman Yudo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali
Grafindo
Friedman, W. 1990. Legal Theory Terjemahan Rajawali, Teori & Filsafat Hukum Hukum &
Masalah-Masalah Kontemporer (Susunan III). Jakarta: Rajawali Press
13
Roscoe Pound. 1982. Pengantar Filsafat Hukum. Terjemahan Mohammad Radjab. Jakarta:
Bhratara Aksara
Toto Tohir Suriaatmadja. 2006. Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara
Nasional. Bandung: Mandar Maju
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No 2 Tahun 1981 tentang Netrologi
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers
Undang-undang No. 5 Tahun 1984 Tentang perindustrian
Undang-undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
Undang-undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
PP No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
PP No. 59 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan penyekenggaraan Perlindungan
Konsumen
PP No 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen nasional
Kepmen In dan Dag, 418/MPP/Kep/4/2002, tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon
Anggota Badan Perlindungan Konsumen
Kepmen In dan Dag 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat