Anda di halaman 1dari 13

1

DASAR-DASAR TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM HUKUM


PERLINDUNGAN KONSUMEN
Toto Tohir Suriaatmadja, S.H.,M.H
Email : totorerat@yahoo.com
(Dosen dan Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum / Pascasarjana Unisba - Bandung)

Abstrac
In life, every ones is a consumer. The early, relation consumer and producer as private
relation without intervention of state. And then, growth the law of consumer protection. The
relation consumer and producer often subject to contract, or really there is no relation
between them. But, consumer have a legal protection right. So, without contract or strict
connection, producer must be liability for consumer loss. That is must be analysis, base of
producer liability, and reason of why producer must liability for consumer loss
Key word : producer; consumer; liability

Abstrak
Dalam keseharian manusia adalah konsumen. Hubungan konsumen dan produsen pada
mulanya dibiarkan apa adanya sebagai hubungan privat, tanpa ada turut campur penguasa.
Kemudian lahir hukum perlindungan konsumen. Hubungan konsumen produsen sering tidak
dilandasi perjanjian atau sama sekali tidak ada hubungan. Akan tetapi, konsumen tetap
dilindungi secara hukum. Jadi tanpa ada dasar perjanjian atau hubungan langsung produsen
tetap bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Inilah yang ditelusuri dan dikaji dalam
tulisan ini, dasar tanggung jawab produsen; dan, alasan produsen harus bertanggung jawab.
Kata kunci : produsen; konsumen; tanggung jawab.

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari semua kita adalah konsumen yang berati bahwa ia
akan menggunakan barang atau jasa yang dihasilkan oleh orang lain. Dari keadaan ini
pula akan ada pihak yang memproduksi, membuat, atau menyediakan barang atau jasa
yang dibutuhkan pihak lain. Dengan demikian, dalam keseharian untuk memenuhi
kebutuhan hidup, manusia akan selalu berhadapan dua pihak yaitu konsumen dan
produsen. Kedua pihak pada mulanya dibiarkan berada pada posisi bebas sehingga
segala sesuatunya diserakan kepada para pihak.
Sejak tahun 60-an muncul suara-suara untuk diadakan pengaturan perlindungan
konsumen, Di indonesia sendiri perlindungan konsumen secara legal formal dalam
bentuk Undang-undang yang khusus untuk itu, dimulai dengan lahirnya Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunhgan Konsumen (UUPK).
Pengertian konsumen menurut undang-undang ini adalah, (Pasal 2 angka 1 UUPK)
2

Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Sementara itu, pengertian pelaku usaha (produsen) adalah, (Pasal 3 angka 2 UUPK)

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dengan adanya UUPK, perlindungan terhadap konsumen semakin khusus, tegas


dan formal karena diatur dalam sebuah undang-undang. UUPK mengatur banyak hal
sejak pengertian, hak dan kewajiban, perbuatan yang dilarang, pemberdayaan
konsumen, cara-cara menuntut dan tanggung jawab produsen terhadap konsumen atau
kalau dilhat sebaliknya hal-hal yang dapat dituntut konsumen ketika ia mengalami
kerugian. Ketika konsumen mengkonsumsi produk apakah ia berhadapan dengan
produsen ? jawaban atas pertnyaan ini dapat dilihat dari Pasal 1 angka 3 di atas. Selain
itu dapat dilihat pula dari penjelasan pasal tersebut yang menyatakan,
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,
BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Penjelasan ini membingungkan karena hanya badan usaha baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum. Mungkin perseorangan termasuk dalam
pengertian lain-lain atau perseorangan tidak perlu dijelaskan karena dianggap sudah
jelas. Menurut Ahmad Miru dan Suratman Yudo, cakupan pengertian tersebut sama
dengan pengertian yang dianut di Belanda (Ahmadi Miru dan Suratman Yudo, 2004 :
8).
Padahal dalam keseharian, hubungan konsumen lebih banyak dilakukan dengan
perorangan bukan dengan badan usaha. Pertanyaannya adalah, Bagaimana dasar
tanggung jawab produsen ketika konsumen tidak ada hubungan langsung dengan
produsen ? Mengapa produsen harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen ?
3

B. Hubungan Perdata Umum


UUPK lahir pada tahun 1999. Sebelum tahun 1999 bukan berarti tidak ada
hukum yang melindungi konsumen karena sebelum lahirnya UUPK sudah ada
peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen, tetapi tidak dimaksudkan
khusus untuk perlindungan konsumen.
Peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain,
a. Undang-undang No 2 Tahun 1981 tentang Netrologi
b. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967
d. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 Tentang perindustrian
e. Undang-undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
f. Undang-undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan (AZ Nasution, 1999)
Sementara itu, setelah UUPK,
a. UU NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
b. PP No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat
c. PP No. 59 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan penyekenggaraan
Perlindungan Konsumen
d. PP No 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen nasional
e. Kepmenindandag, 418/MPP/Kep/4/2002, tentang Pembentukan Tim Penyeleksi
Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen
f. Kepmenindandag 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat
Namun demikian dari keseluruhan peraturan tersebut yang paling penting dalam
hubungan dengan tanggung jawab adalah KUHPerdata. Konsumen sebagai pengguna
(Penggunaan kata “pengguna” lebih tepat karena dapat mencakup berbagai cara
pemanfaatan barang dan jasa; tidak harus selalu dikonsumsi yang dalam bahasa awam
berati sesuatu yang dimakan. ) barang jasa produsen (Penggunaan kata barang dalam
pengertian originalnya kurang tepat karena tidak mencakup sesuatu yang hidup seperti
tumbuhan dan hewan karena barang lebih menunjuk benda mati. Bandingkan dengan isi
Pasal 1 angka 4 UUPK) atau, mendapatkan barang transaksi secara individual
(privat-perdata). Transaksi tersebut dapat melalui berbagi cara, dapat berupa jual beli,
4

hadiah, tukar menukar, dan lain lain. Dengan demikian, secara hukum transaksi tersebut
dikuasai oleh hukum perdata yaitu perikatan atau Buku III KUHPerdata. Salah satu
sumber perikatan adalah perjanjian. KUHPerdata menganut sistem terbuka yang berarti
siapapun boleh membuat segala perjanjian yang memperjanjian apa saja selama
memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320. Pasal 1320 KUHPerdata merupakan
syarat umum yang berlaku bagi segala perjanjian baik yang diatur dalam KIUHPerdata
maupun di luar KUHPerdata
Isi Pasal 1320 supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
o kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
o kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
o suatu pokok persoalan tertentu;
o suatu sebab yang tidak terlarang.
Oleh karena hubungan produsen atau penjual dengan konsumen dilihat dari Pasal
1320 KUHPerdata akan melahirkan suatu kaidah, apabila produsen dan konsumen
telah bersepakat mengenai segala sesuatunya, selesailah perjanjian tersebut.
Dalam hal terjadi ingkiar janji dapat menuntut ke pengadilan. Persoalan utamanya
menuntut menggunakan dasar ingkar janji adalah, pembuktian yang cukup sulit.
Dapat juga terjadi kemungkinan ada unsur melawan hukum maka konsumen dapat
menuntut berdasar Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan dasar ini maka tergugat selalu
dianggap tidak mempunyai kesalahan sampai dapat dibuktikan oleh penggugat
bahwa tergugat bersalah. Membebankan pembuktian pada penggugat ini dilihat dari
prinsip tanggung jawab merupakan prinsip tanggung atas dasar kesalahan atau dikenal
pula dengan the based on faul liability principle, liability based on fault principle. Di
dalam lingkungan ahli hukum, Pasal 1365 KUH Perdata (Pasal 1365 KUH Perdata
berbunyi :
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut. Pasal ini mengharuskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan
suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti kerugian, yaitu : 1. adanya
perbuatan melawan hukum dari tergugat; 2. perbuatan tersebut dapat dipersalahkan
kepadanya; dan, 3. adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.
Dalam hal sebab akibat dari suatu perbuatan ini dikenal teori tentang sebab akibat :
theorie conditio sine qua non dari Von Bury dan theorie adequate veroorzaking . Lihat
5

; Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 23). Pasal 1365 KUHPerdata tersebut bersesuaian


dengan Pasal 1401 BW Belanda atau pasal 162 NBW, yang dikenal dengan pasal
tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) . Isi Pasal tersebut adalah,
“Barang siapa yang melakukan perbuatan hukum dan kepadanya dapat
dipertanggungjawabkan wajib mengganti kerugian yang timbul karenanya”. Adapun
yang dimaksut perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang menyalahi hak orang
lain yang diwajibkan undan-undang, mengganggu pergaulan masyarakat, dan
mengganggu hak dan benda orang lain. Sesungguhnya pasal ini tidak merumuskan
tentang onrechtmatigedaad tetapi hanya mengemukakan unsur-unsur yang harus ada
supaya suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai onrechtmatigedaad. Lihat : M.A.
Moegni, 1979 : 18 dst. Mengenai istilah yang digunakan Lihat : M.A. Moegni, 1979 :
13 dst.; Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 12 dst.). Arti perbuatan dalam “perbuatan
melawan hukum”, tidak hanya perbuatan aktif tetapi juga pasif yaitu meliputi tidak
berbuat sesuatu dalam hal yang seharusnya menurut hukum orang harus berbuat.
Menurut Pasal 1365 sesuai dengan unsur-unsurnya, penggugat selalu harus
membuktikan kesalahan tergugat; Jadi, penerapan ketentuan pasal di atas memberi
beban kepada penggugat (yang dirugikan) untuk membuktikan bahwa kerugian itu
timbul akibat perbuatan melanggar hukum dari tergugat. Selama penggugat belum
mampu membuktikan kesalahan tergugat maka tergugat selalu dianggap tidak
mempunyai kesalahan, dan oleh karenanya tergugat tidak mempunyai kewajiban
hukum apapun kepada penggugat (Lihat Toto Tohir Suriaatmadja, 2006 : 27).

C. Hubungan Hukum Konsumen


Dalam masyarakat yang demokratis hubungan secara privat sebagaiman
digambarkan di atas merupakan dasar pemikiran yang lebih sesuai dengan kebebasan
individual. Dalam hubungan perjanjian selama memenuhi syarat sah sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, mestinya tidak diperlukan hukum perlindungan
konsumen. Akan tetapi di lain pihak ternyata bahwa menggunakan dasar KUHPerdata
akan memakan waktu lama dan berinplikasi pada biaya, saat konsumen harus
menggugat produsen.
Hal itu berbeda apabila menggunakan hukum konsumen karena UUPK menggunakan
prinsip yang berbeda dengan KUHPerdata dalam prosedur pembuktian.
Pasal 19 UUPK (Pasal 19 ayat (1) UUPK) menyatakan, pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
6

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau


diperdagangkan.
Ganti rugi tersebut dapat berupa :
 pengembalian uang atau
 penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
 perawatan kesehatan dan/atau
 pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (2) UUPK ).

Adapun waktu pembayaran ganti rugi adalah 7 hari setelah tanggal transaksi.
Artinya tanggal transaksi belum dihitung hari dalam tenggang 7 hari tersebut.

Dalam ayat 5 Pasal 19 ini dikemukakan pula hal-hal yang dapat membebaskan
produsen/ pelaku usaha yaitu apabila dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut
kesalahan konsumen (Pasal 19 ayat (5) menyatakan, Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.). Lebih rinci
dikemukakan alasan pembebas bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 27.
Dalam hal sengketa tidak dapat diselesaikan sebagaimana dissebutkan Pasal 19 maka
konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Di pengadilan berlaku prinsip
pembuktian sebagaimana disebutkan Pasal 28 yang berbunyi,
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha.

Dengan demikian, seorang pelaku usaha yang dituntut ganti rugi ke pengadilan
akan selalu dianggap bersalah karena ia diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Dalam ilmu hukum pembuktian demikian disebut prinsip tanggung
jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle) yaitu bahwa
tergugat dianggap selalu bersalah kecuali apabila dapat membuktikan hal-hal yang
dapat membebaskan dari kesalahan. Jadi dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip
yang dianut dalam perbuatan melkanggar hukum, hanya beban pembuktian menjadi
terbalik yaitu ada pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah
(Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pembuktian terbalik dianut yaitu dalam
7

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No


31 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Pasal 38 B). Suatu hal yang sangat
menguntungkan untuk penyidik dan penuntut, karena terdakwa harus membuktikan
bahwa ia tidak bersalah (tidak melakukan korupsi). Dengan demikian, apabila tergugat
dituntut oleh penggugat atas kerugian yang ditimbulkannya maka sebelum tergugat
dapat membuktikan ketidakbersalahannya, ia selalu dianggap bersalah; dan oleh
karenanya ia selalu dianggap mempunyai kewajiban hukum kepada penggugat.

Alasan yang dapat digunakan seorang pelaku usaha yang memproduksi barang
untuk dapat membebaskan diri dari kewajiban bertanggung jawab adalah apabila
adanya sala satu atau beberapa alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 yaitu :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, di satu sisi memberi sedikit
keuntungan kepada konsumen karena pembuktian menjadi beban produsen, namun di
sisi lain adanya kesempatan membuktikan lebih besar bagi produsen untuk
membebaskan diri dari tanggung jawab karena liku-liku memproduksi dan seluk-beluk
jalur distribusi sangat dikuasai oleh produse. Dengan kata lain dalam hal tersebut
konsumen sebagai awam.

D. Status Konsumen
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa konsumen tidak selalu
berhubungan dengan produsen; konsumen di satu temnpat, produsen di tempat lain,
tidak ada kontak, tidak ada komunikasi, dan tidak ada pembicaraan apa pun. Secara
hukum konsumen tidak mempunyai hubungan hukum langsung dengan konsumen.
Berdasarkan prinsip hukum kontrak, ataupun perbuatan melanggar hukum tidak
mungkin seorang yang tidak mempunyai hubungan hukum dapat menuntut. Dalam
hubungan ini, hukum perlindungan konsumen mempunyai kekhususan yang berbeda
dari KUHPerdata
8

Tuntutan ganti rugi dimulai dengan adanya kontrak; tanpa kontrak tidak ada
tuntutan. Ini prinsip klasik dalam perjanjian yang pernah diterapkan dalam
perlindungan konsumen. Untuk saat ini hubungan konsumen-produsen berdasar kontrak
tidak menjadi dasar utama. Secara subtantif dasar ini diawali dengan adanya doktrin
privity of contract (Privity of contrak ini harus dibedakan dengan private of otonom
karena keduanya berbeda. Privity of contrak artinya kontrak hanya mengikat para pihak
yang mengadakan perjanjian, sedangan private of otonom artinya para artinya para
pihak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak apa saja dan berisi apa saja.
Seperti Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Lihat PWD Redmon,1974 : 144, Macdonald
And Evans, 1974 : 144, dan Henry Cambell Black, 1985 : 1095) yang berarti kontrak
hanya mengikat para pihak sepanjang materi kontrak. Hal ini memberi kesulitan
tersendiri kepada konsumen untuk melakukan tuntutan karena harus paham dengan isi
kontrak yang dibuatnya dengan pelaku usaha.
Kemudian lahir dasar hubungan atas dasar Buyer Beware (Lihat dan
bandingkan, Shidarta : 2006 : 61 - 64) yang berarti pembeli harus berhati-hati ; tidak
ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan penjelasan tentang produknya.
Dalam hubungan ini, konsumen dibebani dengan suatu kewajiban, tetapi dilain pihak
menghilangkan kewajiban produsen. Contoh konkrit keseharian sisa sisa dasar
hubungan demikian masih sering terlihat dalam tulisan, teliti sebelum membeli; dan
hati-hati dalam memilih barang. Dari peringatan demikian tergambar bahwa beban
ada pada pembeli bukan pelaku usaha sehingga kerugian konsumen dianggap kelalaian
konsumen.
Pada fase selanjutnya lahir lahir dasar hubungan berdasar pada the due care
theory yang berarti bahwa pelaku usaha harus berhati-hati. Selama pelaku usaha telah
berlaku hati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan; tuntutan terhadapnya
berupa melanggar kehati-hatian. Dasar hubungan ini sangat subjektif dan sepihak
karena hanya melindungi pelaku usaha. Perkembangan terakhir dalam perlindungan
konsumen didasarkan pada hubungan kontrak bukan syarat ( contract no condition )
untuk menentukan hubungan hukum konsumen dengan produsen. Dengan dasar ini,
materi gugatan dapat diperluas, dapat masuk pihak ketiga, dan sekaligus pembuktian
menjadi khusus. Dari dasar ini lahir class action atau representative action, lahirnya
legal standing LSM yang diakui dalam bidang konsumen
Dengan dasar kontrak bukan syarat, pihak yang dapat dituntut ganti rugi
menjadi lebih luas lagi karena bukan hanya penjual tetapi juga fabrikan atau produsen
9

yang sama sekali tidak mempunyai hubungan langsung dengan konsumen. Hubungan
konsumen dengan produsen dalam hukum konsumen ini lahir karena adanya produk.
Tuntutan ini dapa dicontohkan, kalau ada seseorang yang dirugikan oleh pengangkut
udara yang disebabkan kerusakan teknik pesawat, maka ia, selain dapat menuntut
kepada pengangkut juga dapat menuntut kepada pabrik pesawat. Inilah yang dinamakan
dengan product liability dengan prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah
tanggung jawab mutlak. Dalam tanggung jawab mutlak, unsur kesalahan bukan
menjadi sesuatu yang harus dibicarakan (Untuk lebih jelas mengenai prinsip tanggung
jawab, lihat Toto Tohir S, 2006 : 29-32)

E. Dasar Tanggung Jawab


Pada dasarnya tanggung jawab timbul melalui dua hal yaitu perjanjian dan
karena hukum baik berupa perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan yang sesuai
hukum. Hal ini disebabkan perjanjian pada dasarnya diadakan untuk saling
memberikan keuntungan kepada para pihak. Dengan demikian, adanya tanggung
jawab dalam perjanjian bukan semata-mata disebabkan oleh adanya kerugian tetapi
dari perjanjian menimbulkan harapan akan mendapat keuntungan bagi para pihak
yang mengadakan perjanjian. Oleh karena itu, faktor mendapat keuntungan ini,
walaupun baru merupakan harapan bagi pihak yang mengadakan perjanjian,
merupakan kata kunci untuk menentukan ada atau tidak adanya tanggung jawab dalam
suatu hubungan hukum yang berupa perjanjian.
Sementara itu, dalam perbuatan melawan hukum, adanya tanggung jawab
dikarenakan adanya kerugian yang menimpa bagi pihak yang terkena perbuatan
melanggar hukum tersebut. Kerugian ini dapat berupa kerugian yang dapat dihitung
dengan uang maupun yang tidak dapat dihitung dengan uang.
Secara historis teori pertama tentang pertanggung jawaban ini adalah adanya
kewajiban untuk menuntut balas dendam dari seseorang yang telah terkena tindakan
merugikan dari pihak lain, baik dilakukan oleh pihak lain tersebut maupun oleh
sesuatu yang berada di bawah kekuasannya (Roscoe Pound,1982 : 80). Untuk
penyelesaian balas dendam ini maka muncul lah konsep tebusan. Dalam Al. Qur’an
konsep ini dikenal dengan qishos. Konsep qishos merupakan konsep yang paling tidak
disukai oleh mereka yang tidak memahami Islam secara kaffah karena hanya dilihat
dari adanya balas dendam semata, tidak dilihat dari dasar dan tujuan konsep tersebut.
Dari pandangan demikian timbul selisih yang belum berakhir antara kaum orientalis-
10

sekularis dengan oksidentialis-agamis. Al,Qur’an sendiri mengatur qishos pada surat


Al-Baqoroh ayat 178-179. yang sesuai dengan kerugian yang diderita. Tujuan dari
konsep ini adalah untuk adanya perdamaian dalam pergaulan sosial masyarakat.
Dengan demikian, tujuan dari konsep tebusan ini adalah masyarakat. Jadi, individu
yang dirugikan ataupun individu yang merugikan bukan dipandang sebagai individu
secara perorangan yang lepas dari masyarakat atau lingkungan sosialnya tetapi
merupakan individu sebagai bagian dari masyarakat tempat ia bergaul dan
melaksanakan kehidupannya. Dalam Hukum Adat Dayak misalnya, seorang yang
melarikan anak gadis diwajibkan menyerahkan seekor binatang korban pada kepala
persekutuan untuk jamuan adat dengan tujuan masyarakat menjadi bersih dan suci
kembali. (Lihat, Suroyo Wignjodipuro, 1979 : 288).
Perkembangan selanjutnya, seseorang yang melakukan suatu tindakan yang merugikan
bagi pihak lain tidak lagi digunakan konsep tebusan tetapi konsep ganti kerugian.
Dalam konsep ini pelaku diharuskan bertanggung jawab atas kerugian yang telah
disebabkannya yaitu, menghabiskan kesumat itu dengan menentukan ganti kerugian
yang harus dibayar (Roscoe Pound, 81). Dalam tulisan asalnya diistilahkan dengan
pampasan. Namun, pampasan dalam peristilahan sekarang lebih dikenal dalam hukum
perang yaitu bagi pihak yang kalah diharuskan membayar pampasan perang. Oleh
karena itu untuk konsistensi penulisan istilah pampasan diartikan sebagai ganti
kerugian. Dengan demikian terciptalah ganti kerugian berupa sejumlah uang sebagai
hukuman terhadap suatu delik, dan telah menjadi awal atau titik tolak sejarah
pertanggungjawaban. Dalam hal delik, Al-Qur’an telah mengatur yang disebut diat
yaitu berupa tebusan dengan sejumlah uang/harta lainnya sesuai dengan persetujuan
para pihak. Lihat Q.S. Al.Baqoroh (2) : 178.
Sementara itu, Friedmann mengemukakan bahwa alasan yang mendasari tanggung
jawab atas kerugian pada hakikatnya hukuman atas kelalaian bagi penyebab kerugian.
Kemudian bergeser dari dasar pandangan yang bersifat cacat moral kepada tanggung
jawab sosial dengan memperluas prinsip umum tanggung jawab yang tidak adil atas
kerugian karena kecerobohan atau perbuatan yang tidak berhati-hati. Di sini lahir
peraturan yang melindungi publik seperti undang-undang khusus tanggung jawab
langsung para pengendara kendaraan bermotor. Kemudian bergeser lagi dengan
perluasan konsepsi kelalaian menjadi tidak berbeda dengan tanggung jawab
langsung (W. Friedman, 1990 : 47-48. ).
11

Baik dalam perjanjian maupun dalam perbuatan melanggar hukum, tanggung


jawab timbul karena didasari adanya pihak lain yang dirugikan atau dengan bahasa
lain, dasar pertanggungjawaban telah menjadi rangkap yaitu disatu sisi berdasarkan
kewajiban membayar ganti kerugian bagi perbuatan yang telah merugikan, dan di lain
pihak berdasarkan kewajiban untuk melaksanakan janji yang diucapkan dengan formal
dan khidmat.
Dalam perkembangan yang lebih maju, tanggung jawab selalu dihubungkan
dengan suatu kegiatan yang mengandung bahaya (hazard) ataupun sangat berbahaya
(ultra hazardous) dan dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain dengan korban
yang cukup banyak. Dalam dunia internasional, pencanangan tanggung jawab
demikian sangat menonjol seperti dalam masalah lingkungan hidup, dalam kegiatan
eksplorasi ruang angkasa, dan dalam kegiatan yang mengandung bahan berbahaya.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa dasar timbulnya pertanggungjawaban dapat
karena perjanjian atau karena hukum baik yang bersifat perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad dalam hukum Belanda atau Tort dalam hukum Anglo Sakson),
maupun perbuatan yang sesuai dengan hukum; atau karena dapat membahayakan
pihak lain.
Timbulnya pertanggung jawaban ini dapat dikarenakan adanya kerugian baik
materil maupun immateril; ada yang bersifat kebendaan baik yang dapat dinilai
dengan uang maupun yang tidak dapat dinilai dengan uang karena memang tidak ada
standar harga yang dapat dijadikan patokan. Dalam perjanjian misalnya, kedua segi ini
dapat timbul yaitu ganti kerugian atas sejumlah kerugian yang dapat dihitung dengan
uang karena hilangnya keuntungan, tetapi dapat juga karena rasa dipermalukan
sehingga ganti kerugiannya tidak dapat distandardisasikan. Jadi, timbulnya
pertanggungjawaban dapat karena ia mendapat keuntungan, merugikan orang lain dan
ia mendapat keuntungan, atau semata-mata merugikan orang lain. Oleh karena itu,
kiranya dapat dipahami bahwa seseorang yang mendapat keuntungan selalu disertai
dengan tangung jawab. Karena dari tanggung jawab inilah akan melahirkan
pertanggungjawaban hukum. Pertanggungjawaban hukum sendiri harus dibedakan
dari tanggung jawab lainnya, misalnya tanggung jawab secara moral, karena yang
dapat dituntut melalui badan yang berwenang memutus suatu sengketa (pengadilan)
hanyalah tanggung jawab hukum. Tanggung jawab di luar hukum tidak mungkin dapat
dituntut di pengadilan. Dalam hukum Inggris ada yang disebut dengan commercial
agreement dan social/family agreement. Dari keduanya, comercial agreement dapat
12

dituntut secara hukum sedangkan social/f.amily agreement pada dasarnya tidak dapat
dituntut secara hukum.

F. Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa,
a. Hubungan konsumen dengan produsen bukan semata-mata adanya hubungan
perjanjian tetapi karena adanya produk yang digunakan oleh konsumen.
b. Perkembangan dasar hubungan konsumen-produsen lebih memberikan
perlindungan yang kuat kepada konsumen
c. Dasar tanggung jawab produsen atau pelaku usaha adalah karena ia mendapat
keuntungan.

Sebagai saran dapat diajukan hal-hal berikut,


a. sekuat apapun hukum akan tergantung pada penegakannya. Sangat layak apabila
ditumbuhkan penguatan kesadaran konsumen akan hak-haknya.
b. Untuk membantu terwujudnya kehendak tersebut, perlu dukungan masyarakat
terutama dari masyarakat penggiat perlindungan konsumen melalau LSM
c. Kampus sebagai dunia ilmu dan tempatnya pandai sudah sewajarnya
berpartisipasi menjadi bagian dalam kegiatan perlindungan konsumen.

G. Daftar Pustaka

A. Buku
Ahmad Miru dan Suratman Yudo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali
Grafindo

AZ Nasution. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Jakarta:


Dayawidya

Black. Henry Cambell. 1985. Black’s Law Dictionary. Fifth Edition :


St. Paul Minn Wesr Publishing Co

Departemen Agama: Al Qur’an dan Terjemahnya

Friedman, W. 1990. Legal Theory Terjemahan Rajawali, Teori & Filsafat Hukum Hukum &
Masalah-Masalah Kontemporer (Susunan III). Jakarta: Rajawali Press
13

M.A. Moegni. 1979. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita

Redmon, PWD. 1974. General Principles Of English Law. London:


Macdonald And Evans

Roscoe Pound. 1982. Pengantar Filsafat Hukum. Terjemahan Mohammad Radjab. Jakarta:
Bhratara Aksara

Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta:


Gramedia Widiasarana Indonesia

Suroyo Wignjodipuro. 1979. Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat.


Bandung: Alumni

Toto Tohir Suriaatmadja. 2006. Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara
Nasional. Bandung: Mandar Maju

Wirjono Prodjodikoro. 1976. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung:


Sumur Bandung

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No 2 Tahun 1981 tentang Netrologi
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers
Undang-undang No. 5 Tahun 1984 Tentang perindustrian
Undang-undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
Undang-undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
PP No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
PP No. 59 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan penyekenggaraan Perlindungan
Konsumen
PP No 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen nasional
Kepmen In dan Dag, 418/MPP/Kep/4/2002, tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon
Anggota Badan Perlindungan Konsumen
Kepmen In dan Dag 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai