Anda di halaman 1dari 54

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum

Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

LAPORAN PENELITIAN
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA DENPASAR
TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH
NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG
IZIN GANGGUAN

TIM PENYUSUN

PEMERINTAH KOTA DENPASAR

2015

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
i
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

KATA PENGANTAR

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Kota


Denpasar mengadakan kerjasama untuk pembuatan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan
beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan Walikota. Oleh Fakultas
Hukum pengerjaannya ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang kemudian
membentuk Tim Peneliti yang bertugas melakukan penelitian hukum
dan menuangkannya dalam bentuk Naskah Akademik.
Naskah Alademik ini sebagai karya penelitian hukum tidak
menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari
pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi
publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam
penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan
Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.
Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan Pemerintah Kota Denpasar, sehingga Tim
Peneliti mempunyai kesempatan mengembangkan bidang keilmuannya.
Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti atas dedikasi dan
integritasnya sehingga tugas ini dapat diselesaikan.

Denpasar, November 2015


Tim Peneliti

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
ii
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

DAFTAR ISI

JUDUL................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Identifikasi Masalah .................................................................... 2

1.3. Tujuan dan Kegunaan ................................................................. 3

1.4. Metode ........................................................................................ 3

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS ................................ 7

2.1. Kajian Teoritis ........................................................................... 7

2.2. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan


Norma ..................................................................................... 13

2.3 Relevansinya dengan Pengaturan Retribusi Izin Gangguan ...... 20

2.4 Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,


serta permasalahan yang dihadapi masyarakat ....................... 24

2.5 Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan


diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan
daerah .................................................................................... 24

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN TERKAIT ............................................................... 26

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS ............... 29

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
iii
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB V JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH ................................. 39

5.1. Orientasi Umum ...................................................................... 39

5.2. Materi Muatan Perwali Tentang Retribusi Izin Gangguan ......... 41

BAB VI PENUTUP ............................................................................... 43

6.1. Simpulan ................................................................................ 43

6.2. Saran ...................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 47

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
iv
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah
daerah dalam implementasi kebijakan dalam kaitannya dengan
perizinan daerah merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan
kegiatan pengelolaan pelayanan publik.
Perubahan paradigma baru dalam kaitannya dengan pelayanan
perizinan, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam
penataan dan pengelolaan perizinan yang lebih tertib, akuntabel, dan
transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang profesional dan
modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi
diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan
keuangan daerah dari pemerintah daerah lain, masyarakat /stake-
holder.
Dalam kaitannya dengan kewenangan pembentukan Peraturan
Daerah di Propinsi Bali khususnya di Kota Denpasar, Kota Denpasar
telah membentuk Peraturan Daerah No 15 tahun 2011 tentang
Retribusi Izin Gangguan (selanjutnya disebut Perda Izin 2005).

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
1
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang adanya pendelegasian


kewenangan dalam bentuk Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan yang
materi muatannya terdiri atas :
1. Tata Cara Pemungutan
2. Tata cara pembayaran, penempatan tempat pembayaran,
anggsuran, penundaan pembayaran
3. Keringanan, pengurangan dan pembebasan
4. Tata Cara Penagihan
5. Penghapusan piutang yang kadaluwarsa
Adanya pendelegasian kewenangan dalam bentuk Peraturan
Walikota sehingga perlu untuk menyusun dan metepakan Peraturan
Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Izin Gangguan.

B. Identifikasi Masalah
Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu
pengaturan menyangkut penormaan materi muatan dan prosedur
pembentukan. Kajian ini fokus pada upaya penyusunan naskah
akademik rancangan peraturan walikota oleh karena itu berada pada
isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai
suatu aturan yang mengandung norma hukum.
Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni:
Penetapan
1. Tarif Retribusi
2. Tata Cara Pemungutan
3. Tata Cara Pembayaran, Penempatan Tempat Pembayaran,
Anggsuran, Penundaan Pembayaran
4. Keringanan, Pengurangan Dan Pembebasan
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
2
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

5. Tata Cara Penagihan


6. Penghapusan Piutang yang kadaluwarsa

C. Tujuan dan Kegunaan


1. Tujuan, yakni:
a. Merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan
Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.
b. Merumuskan ruang lingkup materi rancangan Peraturan
Walikota Kota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.
2. Kegunaan, yakni:
a. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan
bagi penyusun Rancangan Peraturan Walikota Kota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Izin Gangguan
b. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak
yang berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Walikota
Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15
Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.

D. Metode
Dalam penyusunan Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan
menggunakan metode penelitian hukum (legal research), dalam artian
menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta
didukung dengan bahan hukum informatif. Bahan-bahan hukum ini
dianalisis secara hermeneutika hukum.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
3
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

1. Pendekatan.
Penelitian Hukum mengenal beberapa metode pendekatan yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach),dan
pendekatan kasus (case approach)1. Dalam penelitian ini digunakan
beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan konsep hukum (analytical and conceptual
approach), dan analytical approach.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisa Kajian Akademik
Rancangan Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan
gangguan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis
(analytical approach), pendekatan histories (historical approach),
pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus
(case approach)2.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut
paut dengan retribusi izin gangguan, antara lain Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor
15 tahun 2011 tentang Retribusi Izin Gangguan.
Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan
dengan menelaah pendapat para ahli berkaitan dengan konsep yang

1 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama


Offset, h. 93-137.
2 ibid.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
4
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

digunakan mengenai Retribusi Izin Gangguan. Pendekatan analitis


(analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan
menguraikan aturan hukum sehingga mendapat komponen-
komponennya atau unsur-unsurnya untuk dapat diterapkan dalam
suatu persoalan tertentu.

2. Sumber Bahan Hukum


Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum informatif. Bahan
hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan
hukum, Dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No 15 Tahun 2011tentang
Retribusi Izin Gangguan serta peraturan perundang-undangan yang
lain yang terkait dengan Retribusi Izin Gangguan.
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti
hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini.
Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau
pejabat, baik dari lingkungan Pemerintah Daerah Kota Denpasar
maupun para pihak yang membidangi tentang Retribusi Izin Gangguan.
Bahan ini digunakan sebagai penunjang dan untuk mengonfirmasi data
primer dan data sekunder.

3. Pengumpulan Bahan Hukum.


Metode Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara :
a. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan
dengan cara studi dokumenter dan kepustakaan.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
5
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

b. Bahan hukum informatif dikumpulkan dengan cara studi lapangan


yaitu wawancara dan FGD (Focus Group Discussion).

4. Analisis.
Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan
interpretasi secara Hermeneutikal yaitu berdasarkan pemahanan tata
bahasa (gramatikal) yakni berdasarkan makna kata dalam konteks
kalimatnya, aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang
sejarah pembentukannya (historikal) dalam kaitannya dengan tujuan
yang mau diwujudkannya (teleologikal) yang mentukan isi hukum
positif itu (untuk menemukan ratio legis-nya) serta dalam konteks
hubungannya dengan aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal)
dan secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan
kemasyarakatan dan kenyataan ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu
pandangan hidup, serta nilai-nilai cultural dan kemanusiaan
fundamental (philosopical) dalam proyeksi ke masa depan
(futurelogikal)3

3 Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hokum normative” analisis penelitian


philosophical dan dogmatical”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds., 2009,
Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
h. 145-146.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
6
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

2.1 Kajian Teoritis


Konsep-konsep pokok yang digunakan dalam kajian ini adalah
konsep retribusi dan rancangan peraturan walikota yang akan diurai
dalam urutan sebagai berikut:
1. Menempatkan sudut pandang perbedaan pajak daerah dan
retribusi daerah.
2. Konsep retribusi daerah.
3. Konsep Retribusi Izin Gangguan.
4. Konsep peraturan daerah.

1. Menempatkan Sudut Pandang Perbedaan Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah
Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi
dua,yakni: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan
tertentu dan (2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan.4 Pada
retribusi daerah terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa
yang langsung dari pihak pemerintah.5 Secara argumentum a contrario,
pada pajak daerah tidak terdapat pengembalian jasa yang langsung dari
pihak pemerintah. Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang
tidak lansung merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah,
sebagaimanatampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah, di dalamnya
harus pula terdapat unsur imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya

4 Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik


PerubahanKebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta h. 125
5 R. Soedargo, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco,

Bandung, h. 29.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
7
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

retribusi daerah. Faktor yang membedakan, pada pajak daerah


kontraprestasi tersebut untukmasyarakat yang lebih luas, atau setidak-
tidaknya untuk sektor pajak yangbersangkutan, sedangkan pada
retribusi daerah kontraprestasinya langsungkepada pembayar
retribusi.6 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas
jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi
pembayarannya tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat
dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi
langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau
dibuatuntuk itu.7Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan
pajak dan retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan
suatu barang publik, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan
kepada orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah
pajak. Pelayanan suatubarang privat, yakni barang/jasa yang memberi
keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah
retribusi. Dengan demikian, secara konseptual dalam konsep pajak
daerah terdapat ciri-ciri, yang membedakannya dengan retribusi
daerah, yakni:
a. pengembalian barang/jasa yang tidak langsung dari pihak
pemerintah daerah;
b. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang
secara kolektif; dan
c. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk
sektor retribusi yang bersangkutan

6 Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing,


Jakarta, h. 56.
Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press,
7

Yogyakarta, h. 35
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
8
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

2. Konsep Retribusi Daerah.


Konsepsi Pengaturan Retribusi Daerah memposisikan
pemahaman dan pandangan mengenai materi muatan Peraturan
Daerah tentang Retribusi Daerah berikut model kerangka
rancangannya di dalam sistem pengaturan tentang retribusi daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), sistem perundang-undangan
daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU P3) dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
(UU Pemda). Pemosisian itu menjadi penting dalam konteks
pembentukan peraturan daerah tentang retribusi daerah, yang
bermuara pada isu-isu: [1] apakah semua ketentuan tentang retribusi
daerah dalam UU PDRD dimasukan sebagai materi muatan Peraturan
Daerah tentang Retribusi Daerah, [2] bagaimanakah pengelompokan
materi muatan pengaturan retribusi daerah di dalam kerangka
Peraturan Daerah, [3] apakah ketentuan pidana dalam UU PDRD
dimasukan sebagai ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah tentang
Retribusi Daerah.
Menempatkan sudut pandang Retribusi Daerah dalam Sistem
Pungutan Daerah. Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan
menjadi dua, yakni: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi
layanan tertentu dan (2) Pajak yangdipungut tanpa kompensasi
layanan. Pada retribusi daerah terdapat suatu kontraprestasi langsung
Menurut Soedargo juga memberikan konsepsi Pengaturan
Retribusi Daerah tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
9
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

dari pihak pemerintah.8Secara argumentum a contrario, pada pajak


daerah tidak terdapat pengembalian jasa yang langsung dari pihak
pemerintah. Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak
lansung merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah,
sebagaimana tampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah, di
dalamnya harus pula terdapat unsure imbalan/kontraprestasi
sebagaimana halnya retribusi daerah. faktor yang membedakan, pada
pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih
luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan,
sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasinya langsung kepada
pembayar retribusi.9 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi
kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima konstraprestasi
langsung yang dapat dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi
menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang
telah disediakan atau dibuat untuk itu.10
Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan
retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu
barang publik, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan kepada
orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak.
Pelayanan suatu barang privat, yakni barang/jasa yang memberi
keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah
retribusi.11 Dengan demikian, secara konseptual dalam konsep pajak

8 R. Soedargo, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (N.V. Eresco, Bandung,


1964), h. 29
9 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, (Yellow Printing, Jakarta,

2007), h. 56.
10 Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, (UII Press, Yogyakarta,

2003), h.35.
11 Kesit Bambang Prakosa, ibid h 35.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
10
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

daerah terdapat ciriciri, yang membedakannya dengan retribusi daerah,


yakni:
a. pengembalian barang/jasa yang tidak langsung dari pihak
pemerintah daerah;
b. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang
secara kolektif; dan
c. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk
sektor pajak yang bersangkutan.

3. Konsep Retribusi Daerah dan Retribusi Izin Gangguan


Pasal 1 angka 62 UU PDRD 2009 menentukan Retribusi daerah
adalah Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah
pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Dalam Pasal 144 ayat (1) dan ayat (2)UU PDRD 2009 obyek
retribusi izin gangguan adalah :
(1) Objek Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 141 huruf c adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan
kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan
ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-
menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban,
keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban
lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan
kerja.
(2) Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
11
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

4. Konsep Peraturan Walikota


Menurut Pasal 1 angka 26 UU No 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan
Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan
gubernur dan peraturan bupati/wali kota
Peraturan Walikota yang dimaksud dalam kajian ini adalah
Peraturan Walikota Denpasar , yakni peraturan perundang-undangan
yang Walikota berdasarkan adanya pendelegasian kewenagan
mengatur. Berdasarkan Pasal 246 UU No 233 Tahun 2014 Perkada
adalah
(1) Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada.
(2) Ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan, serta
pembentukan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237
berlaku secara mutatis mutandis terhadap asas pembentukan
dan materi muatan, serta pembentukan Perkada.
Dengan demikian dalam pengertian Peraturan Walikota
Kabupaten/ Kota terdapat unsur-unsur:
1. Bentuknya berupa peraturan tertulis;
2. Pembentuknya adalah Walikota i; dan
3. Kekuatan mengikat adalah mengikat secara umum.
Mengikat secara umum merupakan konsekuensi logis dari
karakter norma hukum yang termuat dalam peraturan tertulis tersebut,
yakni norma hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya
norma hukum yang umum-konkret.12 Norma umum-abstrak adalah

12 A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik


Indonesiadalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis
mengenai KeputusanPresiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I
– Pelita IV”, DisertasiDoktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.
317.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
12
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

norma yang ditujukan kepadaorang tidak tertentu dan objek yang


diatur berupa fakta tidak tertentu. Norma umum-konkret adalah norma
yang ditujukan kepada orang tidak tertentu dan objek yang diatur
berupa fakta tertentu.Berdasarkan pemahaman tersebut, penyusunan
konsep awal Perwali tentang Retribusi Izin Gangguan sebagai salah
satu keluaran dari kajian akademik ini diarahkan pada karakter norma
hukum tersebut di atas.

2.2 Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan


Norma
Berikutnya, tentang Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang Baik, yang secara teoritik meliputi Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang bersifat formal dan
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang
bersifat materiil.13
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
yang bersifat formal dituangkan dalam UU pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang secara muatais mutandis belakujuga bagi
pembentukan Peraturan Walikota. Asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik”, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan

13 Ibid h. 238-309.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
13
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

g. keterbukaan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 (khususnya
berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
UU Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil
yang lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
tertentu dijelaskan dalam Penjelasan UU Pembentukan Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud dengan asas sesuai dengan
bidang hukum masing-masing antara lain:
a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara
lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
14
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-


undangan yang baik dengan pengaturan retribusi dapat diuraikan
sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan retribusi bertujuan: (1)
memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang
dikenakan retribusi, dan berapa besaran yang harus dibayar dan
bagaimana cara membayarnya; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi
Pemerintah Daerah melakukan pungutan retribusi, sehingga retribusi
dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam rangka
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan
kepada masyarakat.
Tujuan pemungutan retribusi sebagai sumber pedapatan asli
daerah atau menambah kas daerah secara teoritik dapat dibenarkan,
dengan analogi pada teori tentang fungsi pajak (baca: fungsi pungutan),
yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni fungsi penerimaan
(bubgetair) dan fungsi pengaturan (regulerend). Fungsi Penerimaan
adalah pungutan sebagai instrumen untuk mengisi kas Negara yang
digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Fungsi Pengaturan adalah retribusi digunakan sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.14 Misalnya retribusi izin
mendirikan bangunan (IMB) dimaksudkan untuk menjamin
keselamatan penghuni bangunan dan lingkungannya.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan retribusi dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh Walikota

14Anggito Abimanyu, et.al., Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun


2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Pusat Pengkajian Ekonomi dan
Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional
Departemen Keuangan RI, Jakarta, 2005), h. 34. Tim Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta, t.t.), h. 15-16.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
15
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Denpasar dengan persetujuan bersama DPRD Kota Denpasar.


Rancangan dapat berasal dari Walikota atau dari DPRD.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan
retribusi harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang
diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Pasal 156 ayat (3) dan
ayat (4) UU PDRD.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan
dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang retribusi adalah harus
memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan
keadilan dalam pengenaan retribusi; (2) yuridis, adanya jaminan
kepastian dalam pengenaan retribusi, termasuk subsansinya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan retribusi memang dapat
memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi
masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat
diwujudkan sepanjang pengaturan retribusi memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi
pengaturan retribusi memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya
wajib retribusi, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi
eksisting di atas.
Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan Daerah tentang retribusi sesuai persyaratan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
16
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

hukum dalam Peraturan Daerah tentang retribusi yang menjamin


kepastian.
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat
dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun
lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan
tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya
partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah
memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah
bersangkutan.
Secara khusus UU PDRD mengatur kewajiban untuk melakukan
sosialisasi Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong
dalam Retribusi Perizinan Tertentu kepada masyarakat sebelum
ditetapkan (Pasal 156 ayat (7) UU PDRD). Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan penyebarluasan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan retribusi dapat diuraikan
sebagai berikut:
Pertama, keadilan. Peraturan Daerah tentang retribusi harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan mempunyai dua arti.
Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum.
Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat.15 Demikian pula dalam penyusunan norma
hukum retribusi adalah dimaksudkan untuk berlaku umum (untuk

15 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Moden, (Gramedia, Jakarta, 1987),h. 81.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
17
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

setiap wajib retribusi dan dikenakan untuk setiap objek retribusi). Agar
mendapatkan rumusan norma hukum retribusi yang sesuai dengan
aspirasi keadilan yang berkembang dalam masyarakat, maka harus
diadakan konsultasi publik.
Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Berdasarkan asas ini materi muatan Peraturan Daerah tentang
retribusi tidak berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang
menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.16
Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum. Agar Peraturan Daerah
tentang retribusi dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum
mempunyai dua arti. Pertama, kepastian hukum dalam arti kepastian
pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan dilaksanakan
dengan pasti oleh negara. Kedua, kepastian hukum dalam arti
kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya.
Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan
kewajibannya.17 Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian
hukum adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini
berarti yakni norma hukum retribusi harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya.
Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan
kewajiban dalam kaitannya dengan retribusi. Termasuk di sini, adalah

16 Tentang inti dari kesamaan tersebut diadaptasi dari Franz Magnis-Suseno,


Ibid., h. 116.
17 Tentang dua arti kepastian hukum berdasarkan Franz Magnis-Suseno, Ibid.,

h. 79-80.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
18
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

norma hukum retribusi dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh


berlaku surut.
Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam
konteks penyusunan norma hukum retribusi harus ada keseimbangan
beban dan manfaat, atau, kewajiban membayar retribusi dengan hak
yang didapatkannya dengan membayar retribusi. Juga harus ada
keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan wajib retribusi ketika
melakukan kelalaian atau pelanggaran.18
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud
Pasal 6 ayat (2) UU P3, dalam pengaturan tentang retribusi berkaitan
dengan kriteria umum tentang pungutan daerah, yakni:
1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya
dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat
pendapatan masyarakat.
2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat.
3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung,
pelayanan memuaskan bagi masyarakat terkena pungutan
daerah.
4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pungutan.
5. non-distorsi terhadap perekonomian, implikasi pungutan yang
hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian;
jangan sampai suatu pungutan menimbulkan beban tambahan

18 Berdasarkan H. Lauddin Marsuni, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di


Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2006), h. 113.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
19
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

yang berlebihan, sehingga akan menimbulkan kerugian pada


masyarakat.19
Selain itu, berkaitan dengan prinsip yang diperkenalkan oleh
Adam Smith sebagai “The Four Maxims” untuk dipertimbangkan dalam
merumuskan suatu kebijakan retribusi, antara lain:
1. Prinsip keadilan (Equty). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya
keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek
retribusi, yakni dalam pemungutan retribusi tidak ada
diskriminasi di antara sesama wajib retribusi yang memiliki
kemampuan yang sama.
2. Prinsip kepastian (Certainty). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya kepastian, baik bagi petugas retribusi maupun semua
wajib retribusi dan seluruh masyarakat, antara lain mencakup
dasar hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek
retribusi, kepastian mengenai objek retribusi, dan kepastian
mengenai tata cara pemungutannya.
3. Prinsip efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya efisiensi pemungutan retribusi, artinya biaya yang
dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan tidak boleh lebih
besar dari jumlah retribusi yang dipungut.20

2.3 Relevansinya dengan Pengaturan Retribusi Izin Gangguan


Pengaturan retrubusi izin gangguan mendasarkan pada tiga
landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis,

19 Anggito Abimanyu, et.al., Op. Cit., h. 32. Tjip Ismail, “Optimalisasi Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam
Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi
Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan
Daerah, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, 2002), h. 115-143. Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia,
Edisi Kedua, (Yellow Printing, Jakarta, 2007) ,h. 197-202.
20 Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t.,h. 13-14.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
20
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

sebagaimana diamanatkan UU P3. Pertama, Landasan Filosofis. Negara


Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan
kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan
bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Sejalan dengan
itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan
daerah itumengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi
seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Berlakunya
Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
Negara.
Retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan
daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan retribusi daerah
dan pemberian diskresi dalam penetapan tariff. Kebijakan pajak daerah
dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi,

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
21
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas


dengan memperhatikan potensi daerah.21
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis
pengaturan retribusi izin gangguan merupakan sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan
daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga
perlu pengaturan retribusi daerah berdasarkan prinsip demokrasi,
pemerataan dan keadilan, peran sertamasyarakat, dan akuntabilitas
dengan memperhatikan potensi daerah.
Jadi, Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan Daerah
tentang retribusi izin gangguan, berdasarkan prinsip demokrasi,
pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas.
Adapun tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai
landasan hukum pemungutan retribusi izin gangguan, yang merupakan
salah satu sumber pendapatan Kota Denpasar yang penting guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kota Denpasar.
Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang PDRD.
Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap
daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan

21 Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
22
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan


efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang-Undang ini, yakni Pasal 158 ayat (1), ditentukan Pajak
Daerah ditetapkan dengan Undang- Undang yang pelaksanaannya di
daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 23A, yang
menegaskan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan-ketentuan
konstitusional tersebut menegaskan, bahwa pemungutan Daerah harus
didasarkan pada Undang-Undang.
Selama ini pungutan daerah yang berupa Retribusi diatur dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000,yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis Retribusi kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 108 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdiri atas: Retribusi Jasa Umum,
Retribusi Jasa Usaha dan Perizinan Tertentu dalam Pasal 156 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
23
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

2.4 Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,


serta permasalahan yang dihadapi masyarakat
Dalam praktik penyelenggaran perizinan terkait dengan izin
gangguan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang
merupakan komitmen pelayanan yang dimulai dari bentuk pengaturan
antara lain : Objek, Subjek, dan Golongan Retribusi. Cara Mengukur
Tingkat Penggunaan Jasa, Prinsip dalam Penetapan Stuktur dan
Besarnya Tarif Retribusi, Struktur dan Besarnya Tarif Retibusi, Wilayah
Pemungutan, Penentuan Pembayaran, Tempat Pembayaran, dan
Penundaan Pembayaran, Sanksi Administratif, Penagihan,
Penghapusan Piutang Retribusi yang Kedaluwarsa.
Penerapan terkait dengan izin ganguan ini merupakan salah satu
cara untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

2.5 Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan


diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan
daerah
Pembentukan Rancangan Peraturan Walikota tentang Izin
Gangguan merupakan sarana untuk menjaga agar terlaksananya :
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,
tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan izin gangguan ;
b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik mengatur
mengenai izin gangguan; dan
c. terwujudnya penyelenggaran izin gangguan merupakan kegiatan
yang dilaksanakan untuk menghubungkan kemampuan
pelayanan dan bentuk bentuk kewajiban dari pemegang izin
gangguan
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
24
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Pembentukan Peraturan Walikota Kota Denpasar tentang


Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin
Gangguan membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, sehingga
sangat diperlukan adanya pengaturan sebagai dasar izin gangguan.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
25
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dengan diberlakukannya UU No. 23 tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, seluruh instansi pemerintah dituntut untuk
dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
yaitu pelayanan yang cepat, mudah, murah dan akuntabel. Untuk itu
setiap unit pelayanan diharapkan mampu berinovasi menciptakan
berbagai terobosan yang memudahkan masyarakat mendapatkan
layanan tanpa melanggar norma hukum yang berlaku.
Pemerintah Kota Denpasar berdasarkan pada UU No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang PDRD dan Perda
No 15 Tahun 2011 tentang Izin Gangguan, menyadari bahwa dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, yang
menentukan adalah kualitas penyelenggaraan pemerintahan terkait
dengan Izin Gangguan.
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pembentukan Rancangan Peraturan Walikota terkait dengan Izin
Gangguan :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan
KotamadyaDaerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3465).
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
26
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587), sebagimana diubah beberapa kali terkhir dengan Undang-
Undang No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indoensia Indonesia Tahun 2015
Nomor 24, Tambahan Lembaran negara republik Indonesia Nomor
5657);
6. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Daerah Kota Denpasar (Lembaran Daerah
Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Daerah Kota Denpasar Nomor 4).
7. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Retribusi Izin Gangguan (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun
2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar
Nomor 15).

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
27
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

8. Peraturan Walikota Denpasar Nonor 21 Tahun 2013 tentan


Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Berita Daerah Tahun 2013
No 21)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
28
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa konsideran yang


terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya berkaitan
dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang
terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek
hukum yang diatur oleh undang-undang itu. Kelima landasan tersebut
adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis, dan juridis,
serta landasan yang bersifat administratif. Keempat landasan yang
pertama adalah landasan keberlakuan yang bersifat mutlak, sedangkan
satu landasan yang terakhir bersifat fakultatif. 22 Berikut dikemukakan
pengertian masing-masing landasan keberlakuan tersebut.
Pertama, landasan filosofis. Undang-Undang dapat digambarkan
sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-
nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang dalam kenyataan.
Dengan demikian, cita-cita filosofis yang terkandung dalam undang-
undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut
masyarakat bangsa yang bersangkutan itu sendiri. Bagi Indonesia,
Pancasila merupakan landasan filosofis semua produk undang-undang
Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Kedua, landasan sosiologis adalah bahwa setiap norma hukum
yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan
tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang
sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu,
dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-

22 Jimly Asshiddiqie, Perih Undang-Undang, (Konstitusi Press, Jakarta, 2006),


h. 169-174.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
29
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu gagasan normative


yang dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan pada
kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan
demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-undang itu kelak
dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya di tengah-tengah
masyarakat hukum yang diaturnya.
Ketiga, landasan politis ialah bahwa dalam konsideran harus pula
tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam
UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum
yang melandasi pembentukan undangundang yang bersangkutan.
Keempat, landasan juridis. Dimaksud dengan landasan ini oleh
Jimly Asshiddiqie adalah yang disebutnya sebagai bagian konsideran
“Mengingat” dari undang-undang (dan peraturan perundang-undangan
pada umumnya).
Kelima, landasan administratif adalah yang dituangkan dalam
konsideran “Memperhatikan”.
Di halaman-halaman berikutnya, Jimly Asshiddiqie kembali
membicarakan keberlakuan norma hukum atas keberlakuan secara
filosofis, politis, juridis, sosiologis, maupun secara administratif.
Namun, yang diuraikan hanya empat keberlakuan yang pertama. Pada
dasarnya uraiannya sama dengan uraian sebelumnya, hanya yang
berbeda pada uraian tentang keberlakuan politis dan
keberlakuan sosiologis. Untuk jelasnya adalah sebagai berikut.1123
Pertama, keberlakuan filosofis. Suatu norma hukum dikatakan
berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian
dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Untuk hal ini,
nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam
Pancasila sebagai “staatsfundamentalnorm”

23Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 240-244.


Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
30
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Kedua, keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma


hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang
dilihat dari pertimbangan yang
bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum dikatakan
berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang:
1. ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum
yang lebih superior atau lebih tinggi, seperti dalam pandangan
Hans Kelsen dengan “Stuffenbau Theorie des Recht”.
2. ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan
hubungan keharusanantara suatu kondisi dengan akibatnya,
seperti dalam pandangan J.H.A.Logemann.
3. Ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur
pembentukan hukum yang berlaku, seperti dalam pandangan W.
Zevenbergen.
4. ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang
berwenang untuk itu.
Pandangan Jimly Asshiddiqie tentang keberlakuan yuridis lebih luas
dari yang disebutnya sebagai bagian konsideran “Mengingat” dari
undang-undang, yang tiada lain adalah dasar hukum.
Ketiga, keberlakuan politis. Suatu norma hukum dikatakan
berlaku secara politis
apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor
kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen.
Keempat, keberlakuan sosiologis. Pandangan sosiologis mengenai
keberlakuan ini cendrung lebih mengutamakan pendekatan yang
empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan:
1. Kriteria pengakuan (recognition theory), menyangkut sejauh mana
subjek hukum yang diatur dapat mengakui keberadaan dan daya

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
31
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap


norma hukum yang bersangkutan.
2. Kriteria penerimaan (reception theory), pada pokoknya berkenaan
dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk
menerima daya atur, daya ikat, dan daya paksa norma hukum
baginya.
3. Kriteria faktisitas hukum, menekankan pada kenyataan faktual,
yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-
sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat.
Kriteria faktisitas hukum menempatkan keberlakuan sosiologis dalam
konteks pelaksanaan undang-undang atau peraturan daerah,
sedangkan dalam konteks pembentukan undang-undang atau
peraturan daerah tidak menekankan pada kenyataan faktual, yaitu
tidak menekankan sejauh mana norma hukum itu sendiri memang
sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat.
Dalam konteks pembentukan undang-undang atau peraturan
daerah yang ditekankan adalah perihal undang-undang atau peraturan
daerah yang harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat
sendiri akan norma hukum sesuai dengan realitas kesadaran hukum
masyarakat. Untuk itu mesti diartikulasi dan diagregasi tuntutan
kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum sehingga undang-
undang atau peraturan daerah mempunyai validitas dan upaya itu
tergambarkan dalam konsiderans undang-undang atau peraturan
daerah. Untuk jelasnya dapat digambarkan dalam ragaan berikut.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
32
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Ragaan : Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan


pelaksanaan UU atau Perda.

M. Solly Lubis mengemukakan, ada tiga dasar atau landasan


dalam rangka pembuatan segala peraturan, yaitu:
a. Landasan filosofis.
b. Landasan yuridis.
c. Landasan politis.24
Perbedaannya dengan pandangan Jimly Asshiddiqie adalah tidak
dimasukkannya landasan atau unsur sosiologis dan administratif,
sebagai salah satu landasan keberlakuan pembuatan peraturan
perundang-undangan. Berikut ini pandangan Solly Lubis tentang
masing-masing landasan tersebut.
Pertama, landasan filosofis yaitu dasar filsafat atau pandangan,
atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan
kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft
peraturan Negara. Misalnya, di Negara Republik Indonesia, Pancasila

24 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Penerbit CV


Mandar Maju, Bandung, 1989), h. 6-9.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
33
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak


dibuat suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat itu.25
Kedua, landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi
dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan. Landasan yuridis dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Landasan yuridis dari segi formal, yakni landasan yuridis yang
memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi instansi tertentu untuk
membuat peraturan tertentu, misalnya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
menjadi landasan yuridis dari segi formil bagi Presiden untuk
membuat RUU.
2. Landasan yuridis dari segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk
mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 18 UUD 1945 menjadi
landasan yuridis dari segi materiil untuk membuat UU organik
mengenai pemerintahan daerah.26
Ketiga, landasan politis ialah garis kebijaksanaan politik yang
menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan Negara. Misalnya, garis
politik otonomi yang tercantum dalam Tap MPR No. IV Tahun 1973
tentang GBHN menjadi landasan politik pembuatan UU Nomor 5 Tahuh
1974 yang mengatur pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Tegasnya,
garis politik otonomi dalam GBHN itu memberi pengarahan dalam
pembuatan UU tersebut.

25 Bandingkan Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, bahwa kelakuan

filosofis atau h berlakunya secara filosofis adalah kaidah hukum bersangkutan sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya Pancasila,
masyarakat adil dan makmur, dan seterusnya. Lihat Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka, Perih Kaedah Hukum, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989),
h. 92.
26 Pendapat tersebut dikemukakan ketika UUD 1945 belum diubah. Meski

demikian pendapat tersebut masih relevan ketika UUD 1945 sudah mengalami
perubahan keempat kalinya.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
34
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Pendapat M. Solly Lubis tentang landasan yuridis sama dengan


muatan dasar hukum menurut Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, angka 26 (vide Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan), yang pada intinya mencakup dasar hukum formal dan
dasar hukum materiil. Sedangkan yang dimaksud dengan landasan
politis oleh M. Solly Lubis adalah politik hukum, yang pada dasarnya
adalah kebijakan hukum (legal policy). Makna landasan politis yang
demikian sama dengan pandangan Jimly Asshiddiqie, bahwa landasan
politis ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai
sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi
pembentukan undang-undang yang bersangkutan.27 Namun, dalam
halaman yang lain, Jimly Asshiddiqie memaknai keberlakuan politik itu
sebagai suatu konstelasi politik di parlemen.28
Bagir Manan mengemukakan tiga dasar agar hukum mempunyai
kekuatan berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis,
sosiologis, dan filosofis. Oleh karena peraturan perundang-undangan
adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik
haruslah mempunyai tiga dasar keberlakuan tersebut.29 Berikut ini
pendapat Bagir Manan tentang hal tersebut.
Pertama, dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding)
mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat
peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat
yang berwenang; 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis

27 Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 172.


28 Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 242-243.
29 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Penerbit Ind-

Hill.Co, Jakarta, 1992), h. 14-17.


Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
35
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama


yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau sederajat; 3) keharusan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; dan 4)
keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.
Pandangan Bagir Manan tentang dasar berlaku secara yuridis
(juridische gelding) cakupannya lebih luas dari pandangan M. Solly
Lubis, di dalamnya tidak saja terdapat dasar hukum formal dan dasar
hukum materiil, juga terdapat keharusan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan
keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.
Kedua, dasar berlaku secara sosiologis (sociologische gelding)
berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-
masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan dasar
sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan akan diterima
oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan
institusional untuk melaksanakannya.
Ketiga, dasar berlaku secara filosofis (filosofiische gelding) berarti
mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik
sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana
mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.
Pandangan Bagir Manan tersebut, dari segi rinciannya terdapat
perbedaan dengan M. Solly Lubis, yakni tidak memasukkan dasar
berlaku politis, juga berbeda dengan Jimly Asshiddiqie, yakni tidak
memasukan dasar berlaku politis dan administratif. Substansi
pandangan Bagir Manan tidak berbeda dengan M. Solly Lubis
menyangkut dasar filosofis dan yuridis, dan juga tidak berbeda dengan
Jimly Asshiddiqie menyangkut konsiderans filosofis, yuridis, dan
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
36
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

sosiologis. Berdasarkan pemahaman normatif dan teoritis tersebut,


maka unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar
belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat
dimaknai sebagai berikut:
1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang
menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang
atau peraturan daerah, yang meliputi:
a. Dasar hukum formal, yakni Peraturan Perundang-undangan
yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu
Peraturan Perundang-undangan. Termasuk keharusan
mengikuti prosedur tertentu.
b. Dasar hukum substansial, yakni Peraturan Perundang-
undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu
diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.
Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan.
3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik
yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan
retribusi adalah pengaturan retribusi mendasarkan pada tiga landasan
keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana
diamanatkan UU P3. Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
37
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan


bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan.
Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-
masing pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi
dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
38
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB V
JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1 Orientasi Umum


Bab ini berisi uraian mengenai: (1) ruang lingkup materi muatan
30 Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15
Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan; dan (2) keterkaitan ruang lingkup
materi muatan Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan
Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan dengan hukum
positif lainnya. Dimaksud dengan ruang lingkup materi muatan
Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15
Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan adalah jangkauan materi
pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda retribusi izin
gangguan, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak boleh
dimuat dalam raperda retribusi izin gangguan .31
Materi yang boleh dimuat ditentukan oleh kriteria materi muatan,
baik yang digali dari asas otonomi daerah dan tugas pembantuan

30 Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi pengaturan


yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam suatu jenis peraturan
perundangundangan, yang tidak dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan
lainnya. Diadaptasi dari A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi muatan peraturan
perundangundangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan Penataran Latihan
Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, h. 59-78. Bandingan dengan Pasal 1 angka
12 UU P3 yang menentukan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah
materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis,
fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Frase “sesuai dengan jenis,
fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” menunjukan materi pengaturan
yang khas pada setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
31 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra

Wija Atmaja, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II
(Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II
Denpasar), Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung,
h. 14
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
39
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

maupun yang ditentukan secara objektif-normatif dalam peraturan


perundang-undanganyang lebih tinggi sebagai materi muatan Perda
tentang raperda retribusi izin gangguan . Materi yang tidak boleh
dimuat tiada lain merupakan batas materi muatan raperda retribusi
izin gangguan, seperti tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dimaksud dengan ruang lingkup materi muatan perwali retribusi
adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam
raperda retribusi, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang
tidak boleh dimuat dalam raperda retribusi.32 Jadi, yang dimaksud
dengan materi muatan baik mengenai batas materi muatan maupun
lingkup materi muatan.
Materi yang tidak boleh dimuat telah dikemukakan dalam uraian
batas negatif di atas, juga tidak boleh memuat materi yang tidak sesuai
dengan keharusan mendasarkan landasan keabsahan dan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang telah
dikemukakan dalam uraian batas positif tersebut di atas.
Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara
objektif-normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi sebagai materi muatan Perwali tentang Pelaksanaan Peraturan
Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan

32Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra


Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar),
Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),h. 14.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
40
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

5.2 Materi Muatan Perwali Tentang Retribusi Izin Gangguan


Berdasarkan adanya pendelegasian kewenangan daer Peraturan
Daerah No 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Gangguan terdapat 6
materi pokok yang dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan walikota
Adapun materi yang dimaksud adalah antara lain
1. Tata Cara Pemungutan
2. Tata cara pembayaran, penempatan tempat pembayaran,
anggsuran, penundaan pembayaran
3. Keringanan, pengurangan dan pembebasan
4. Tata Cara Penagihan
5. Penghapusan piutang yang kadaluwarsa
Peraturan Perundang-undangan dan pengelompokkan batang
tubuh Peraturan Perundang-undangan dalam perumusan materi
muatan dalam peraturan walikota, yakni:
1. Judul.
2. Pembukaan.
3. Batang Tubuh:
a. Ketentuan Umum.
b. Materi Pokok yang Diatur.
c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan).
d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).
e. Ketentuan Penutup.
4. Penutup.
5. Penjelasan (jika diperlukan).
6. Lampiran (jika diperlukan) ditempatkan dalam Tambahan
Lembaran Daerah.
Dalam kaitannya dengan penyusunan Peraturan Walikota tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin
Gangguan dapat dituangkan materi muatan sebagai berikut :
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
41
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

1. BAB I KETENTUAN UMUM


2. BAB II TATA CARA PEMUNGUTAN
3. BAB III TATA CARA PEMBAYARAN, PENEMPATAN TEMPAT
PEMBAYARAN, ANGGSURAN, PENUNDAAN PEMBAYARAN
4. BAB IV KERINGANAN, PENGURANGAN DAN PEMBEBASAN
5. BAB V TATA CARA PENAGIHAN
6. BAB VI PENGHAPUSAN PIUTANG YANG KADALUWARSA
7. BAB VII PENUTP
8. PENJELASAN
9. LAMPIRAN

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
42
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

BAB V
PENUTUP

6.1 Simpulan
Berdasarkan pada adanya pendelegasian kewenangan dari
Peraturan daerah No 15 Tahun 2011 tentang Izin Gangguan
menunjukkan adanya dasar hukum pembentukan Peraturan Walikoa
tentang Retribusi Izin Gangguan .
Dalam rangka pembentukan Peraturan Walikota tentang
Retribusi Izin Gangguan terdapat lima isu hukum yang perlu dikaji
untuk mendapatkan bahan hukum adalah:
1) Tarif
2) Tata Cara Pemungutan
3) Tata cara pembayaran, penempatan tempat pembayaran,
anggsuran, penundaan pembayaran
4) Keringanan, pengurangan dan pembebasan
5) Tata Cara Penagihan
6) Penghapusan piutang yang kadaluwarsa
Lima hal tersebut dikaji dalam perspektif penelitian hukum
(legal research), dalam artian menggunakan bahan hukum dan
dianalisis secara hermeneutika hukum, yakni memahami,
menginterpretasi, danmenerapkan suatu norma hukum secara bolak-
balik antara keseluruhan dan bagian. Landasan filosofis pengaturan
Retribusi Izin Gangguan adalah bahwa Retribusi Izin Gangguan
merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah danmeningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, sehingga perlu pengaturan Retribusi Izin Gangguan

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
43
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta


masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Landasan yuridis pengaturan Retribusi Izin Gangguan adalah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang
Retribusi Izin Gangguan dalam Peraturan Daerah adalah Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal
dan yang materiil. Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum
tentang Retribusi Izin Gangguan adalah:
1. Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Retribusi Izin Gangguan
bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai
siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan berapa besaran yang
harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya; dan (2)
memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kota melakukan
pungutan Retribusi Izin Gangguan, sehingga Retribusi Izin
Gangguan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam
rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat .
Pengaturan Retribusi Izin Gangguan dengan Peraturan Daerah
dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan bersama
DPRD Kota Denpasar.
3. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan
Retribusi Izin Gangguan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun
materi pokok yang diatur dengan Peraturan Retribusi Izin
Gangguan mengacu pada Pasal 156 ayat (3) dan ayat (4) UU
PDRD.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
44
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

4. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah


tentang Retribusi Izin Gangguan harus memperhatikan beberapa
aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan
Retribusi Izin Gangguan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian
dalam pengenaan Retribusi Izin Gangguan, termasuk
subsansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis,
pengaturan Retribusi Izin Gangguan memang dapat memberikan
manfaat, baik bagi pemerintah kota maupun bagi masyarakat,
termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum.
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan
Daerah tentang Retribusi Izin Gangguan memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur pemungutan
Retribusi Izin Gangguan.
6. Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Retribusi Izin Gangguan sesuai persyaratan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan
hukum dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Gangguan
menjamin kepastian.
7. Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Retribusi Izin Gangguan harus menjamin partisipasi masyarakat,
dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan
masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah
Kota untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan
relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu,
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
45
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

maka terlebih dahulu Pemerintah Kota memberikan informasi


tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 (khususnya
berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
UU Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

6.2 Saran
Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan
Peraturan Walikota Denpasar tentang Retribusi Izin Gangguan, yang
diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya, adalah:
1. Menyiapkan perangkat hukum dalam bentuk pengaturan tentang
retribusi izin gangguan
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dan dapat segera
mengetahui tentang perangkat pengaturan tentang izin gangguan

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
46
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abimanyu, Anggito, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat
Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi,
Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan
RI, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press,


Jakarta.

Attamimi;A. Hamid S. 1982, “Materi muatan peraturan


perundangundangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan
Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan
Perundangundangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, Jakarta.

………….., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia


dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi
Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi
Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan


Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II
Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis
Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung.

………….., 2004, “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Yang Baik”, Makalah, pada Pembekalan Calon Anggota Fraksi PDI
Perjuangan DPRD Kota Denpasar Periode 2004-2009,
diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan Kota Denpasar, pada 13-14 Agustus di
Denpasar.

…………….., 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS


dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah,
Lokakarya Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi
Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), pada Minggu-
Rabu 11-14 Juni di Bandung.
Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar
tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
47
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

…………….., 2006, “Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah


Berdasarkan Asas dan Teknik Penyusunan serta Perumusan
Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, Pertemuan
Konsultasi Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS,
diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional
(KPAN), pada 3-6 September di Jayapura.

Brotodiharjo,R. Santoso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco

Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk


Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan,
Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Fiedmann, W., 1990, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis &
Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Mohamad
Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit CV Rajawali.
Jakarta. Gadamer, Hans-Georg, 2004, Kebenaran dan Metode:
Pengantar Filsafat Hermeneutika, terjemahan Ahmad Sahidah
(judul asli: Truth and Method, The Seabury Press, New York,
1975), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada


Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung.

Ismail, Tjip, 2002, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane,
et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi
Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah
dalam Membiayai Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

………….., 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Edisi Kedua,


Yellow Printing, Jakarta. Jones, Charles O., 1991, Pengantar
Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers,
Jakarta.

Kumorotomo, Wahyudi, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan


Kebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta.

Leyh, Gregory, “Pendahuluan”, dalam Gregory Leyh, ed., 2008,


Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, terjemahan M.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
48
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Moden, Gramedia, Jakarta.

Mahfud MD, Moh., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan


Konstitusi, LP3ES, Jakarta.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,


Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta.

Marsuni, H. Lauddin, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di


Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offset,


Jakarta.

Prakosa, Kesit Bambang, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press,
Yogyakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum:


Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat
Keilmuan Ilmu HUkum sebagai Landasan Pengmbangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Soedargo, R., 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco,
Bandung.

Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Edisi


Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t., Pedoman Nasional Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta.

Vlies, I.C. Van Der, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan


Perundangundangan, terjemahan, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
49
Izin Gangguan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana PPH

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan


KotamadyaDaerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3465).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagimana diubah beberapa kali terkhir dengan Undang-Undang
No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indoensia Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan
Lembaran negara republik Indonesia Nomor 5657);
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota
Denpasar Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah
Kota Denpasar Nomor 4).
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Retribusi Izin Gangguan (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun
2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar
Nomor 15).
Peraturan Walikota Denpasar Nonor 21 Tahun 2013 tentan
Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Berita Daerah Tahun 2013
No 21)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar


tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 2011 tentang
50
Izin Gangguan

Anda mungkin juga menyukai