Anda di halaman 1dari 10

Intisari Bab IX dan Bab XI buku

“Konsep dan Perspektif Etika dan Hukum Kesehatan Masyarakat”

Oleh :

Frensi Arynanti Tangki’

NIM : K011201202

Kelas : Etika dan Hukum Kesehatan Masyarakat Kelas D


A. Intisari BAB IX “Hukum untuk Kesehatan Reproduksi”
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera secara utuh
( complete well being ) fisik, mental, dan social, yang berkaitan dengan
reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan bagian integral dari kesehatan
umum seseorang dan berkaitan erat dengan pengetahuan, sikap, dan
perilaku menyangkut alat-alat reproduksi dan fungsi-fungsinya serta
gangguan yang timbul. Peraturan perundang-undangan nasional yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

1. Hukum Perkawinan
Saat ini, masih sering terjadi perkawinan usia muda maupun kawin
paksa, sementara perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua
belah pihak. Jika tidak, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
HAM sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia pasal 10. Penegakan hak-hak kesehatan
reproduksi dalam UUP di pengaruhi oleh factor usia pertama kawin,
poligami dan perceraian. Berdasarkan UUP pasal 6, usia minimum calon
mempelai adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki
yang dimaksudkan bahwa calon suami istri harus telah masak jiwanya
untuk melangsungkan perkawinan. Perbedaan usia kawin ini tentu
berimplikasi yang berbeda pada kesehatan reproduksi. Perkawinan usia
muda dapat mempengaruhi psikologis maupun biologis bagi perempuan
termasuk dalam hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya.
Dalam perspektif kependudukan, batas usia yang lebih rendah bagi
seorang perempuan untuk kawin, akan mengakibatkan laju kelahiran yang
tinggi. Dari segi kesehatan, beberapa hasil penelitian menunjukkan akibat
perkawinan pada usia muda sebagai berikut :
a) Salah satu factor yang dapat menimbulkan kanker leher rahim
b) Perempuan belum siap fisik dan mental untuk menjadi ibu rumah
tangga
c) Kawin pada usia muda ( 16 tahun ) berarti bagi perempuan jenjang
pendidikan tertinggi mereka hanya SMP dan sebagian besar putus
sekolah setelah berumah tangga
d) Dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan anak dibanding
dengan golongan usia 20 tahun keatas.
e) Kawin pada usia muda dapat memperpanjang usia produksi

Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali mengenai


undang-undang perkawinan terutama mengenai persyaratan usia
minimum bagi kedua calon mempelai yang diharapkan pembuat
undang-undang perkawinan kelak menetapkan persyaratan kondisi
fisik dan mental untuk menjadi calon ibu. Dengan demikian, kehidupan
didalam keluarga dapat tercipta kesejahteraan.

Selain itu, poligami yang sewenang-wenang juga dapat


mengganggu kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan
memengaruhi kedudukan perempuan dalam perkawinan. Poligami ini
akan meningkatkan pola pernikahan umum yaitu meningkatkan jumlah
perempuan dalam usia reproduksi yang berstatus kawin. Selain itu,
poligami juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya
pertambahan penduduk. Jika diperhatikan, alasan laki-laki melakukan
poligami adalah karena istri tidak dapat melahirkan keturunan atau
mandul. Tapi, alasan tersebut sulit dibuktikan karena suami juga dapat
menyebabkan tidak adanya keturunan yang diperoleh dari sebuah
perkawinan. Sudah tentu tidak adil kalau hanya istri yang dituding
menjadi penyebab ketidakhamilan, apalagi pihak suami tidak berani
berkonsultasi atau memeriksakan dirinya ke dokter ahli kandungan.
Tak hanya itu, perceraian juga menjadi salah satu persoalan gender
dewasa ini. Alasannya hampir sama dengan poligami yaitu karena istri
tidak dapat memberikan keturunan atau bahkan karena factor
ekonomi.
2. Hukum Keluarga Sejahtera
Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera ( UUPKPKS )
pasal 16 menetapkan upaya pembentukan keluarga kecil sejahtera.
Kriteria keluarga ini adalah:
a) Terbentuk berdasarkan perkawinan yang sah
b) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c) Memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara
anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya
d) Dengan jumlah anak yang ideal

Hak-hak kesehatan reproduksi menurut undang-undang ditetapkan


dalam merencanakan jumlah anak yang ideal, jarak kelahiran anak, usia
ideal perkawinan serta usia ideal untuk melahirkan anaknya agar dapat
hidup sehat. Mengenai hak-hak reproduksi kesehatan ini pasal 19
UUPKPKS menyatakan suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang
sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara
pengaturan kehamilan. Selain itu, untuk menciptakan kehidupan keluarga
yang sejahtera, maka diadakan program KB.

3. Hukum Keluarga Berencana


Pertumbuhan penduduk yang meningkat menyebabkan pemerintah
untuk menerapkan program Keluarga Berencana (KB). KB adalah cara
terampuh untuk mengatur pertumbuhan penduduk dan diharapkan juga
agar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat
terlaksana dengan cepat. Pencegahan pertumbuhan penduduk juga
dilakukan mulai dari system berkala sampai kepada sterilisasi, baik
dengan pencegahan pertemuan sperma dengan ovum yang dilaksanakan
dengan kondom dan diaframa maupun dengan cara mengonsumsi pil KB
dan suntik KB. Hanya pertimbangan etis, keluarga berencana dapat dilihat
dari pencegahan kehamilan. Secara etis, ada beberapa hal penting yang
berkaitan dengan masalah keluarga berencana berkaitan dengan
metodenya adalah cara kerjanya yaitu mencegah kehamilan
( antikonsepsi ) atau menghentikan kehamilan ( antinidasi ). Masalah etis
lainnya adalah persetujuan para akseptor. Dalam hal ini, sangat penting
mengenai informasi tentang cara yang digunakan, apakah antikonseptif
atau antinidatif.
Sejarah gerakan KB di Indonesia secara formal diawali dengan
keikutsertaan Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi PBB tentang
Kependudukan ( United Nations Declaration on Population ) yang diikuti
dengan berdirinya Lembaga Keluarga Berencana Nasional ( LKBN ) tahun
1969 dengan status Lembaga semi pemerintah. Kemudian pada tahun
1970, LKBN berubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional ( BKKBN ). Dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 64 Tahun
1983 yang memperbaharui struktur dan tugas BKKBN, maka
disempurnakanlah Keppres No. 38 Tahun 1978, antara lain ditetapkan
bahwa program KB secara operasional didukung oleh semua departemen
dan instansi pemerintah. Tujuan program KB di Indonesia, bukan semata-
mata untuk kepentingan pengendalian pertumbuhan penduduk saja, tetapi
juga untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan keluarga.
Program KB di Indonesia menggunakan metode kontrasepsi yang
berarti mencegah terjadinya suatu kehamilan. Cara kontrasepsi yang
digunakan adalah melumpuhkan sperma atau menghalangi pertemuan sel
sperma dan sel telur. Kontrasepsi yang digunakan dalam program KB
seperti oral pill, spiral (IUD) , kondom, diaframa, foam tablet, jelly, cream,
pantang berkala/system kalender, serta tubektomi dan vasektomi.
Peraturan mengenai kontrasepsi atau pencegahan kehamilan terdapat
dalam pasal 283 KUHP dan pasal 534 KUHP. Bagi petugas KB di
lapangan tidak perlu khawatir oleh karena masih ada jaminan asas
oportunitas dan masih tersedianya pasal 50 KUHP dan pasal 51 KUHP.
Selain itu, petugas KB di lapangan juga dilindungi oleh pasal 21 Undang-
Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera ( UUPKPKS ).
4. Aspek Hukum Pengguguran Kandungan
Secara umum, pengguguran ( induced abortion ) adalah pengakhiran
kehamilan sebelum janin dapat viable, yang pada umumnya disepakati
terjadi pada usia 28 minggu. Setelah lewat 28 minggu, pengakhiran
kehamilan tidak lagi dinamai abortus tetapi pembunuhan janin
(infanticide). Abortus merupakan masalah kesehatan masyarakat karena
memberikan dampak pada kesakitan dan kematian. Secara sistematik,
terjadinya abortus di Indonesia sangat sulit dihitung secara akurat karena
abortus buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi
komplikasi. Berdasarkan perkiraan BKKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus
abortus yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Hal ini membuktikan
bahwa, abortus masih menjadi masalah besar bagi Indonesia.
Menurut terjadinya, pengguguran kandungan dapat dibagi atas dua
yaitu abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah
abortus yang terjadi secara spontan tanpa pengaruh dari luar. Sementara
abortus buatan adalah abortus yang dibuat dengan sengaja, dan terbagi
lagi menjadi dua yaitu abortus terapeutis ( yang dilakukan atas timbangan
medik semata ) dan abortus kriminalis ( abortus yang dilakukan dengan
sengaja, baik dilakukan sendiri maupun oleh orang lain). Ada beberapa
negara yang sudah melegalisir pengguguran kandungan berdasarkan
pada alasan-alasan tertentu misalnya untuk mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk. Namun ada juga negara yang dengan ketat
melarang pengguguran kandungan dengan alasan seperti untuk
melindungi nyawa dan kesehatan ibu.
a) Abortus Provacatus Therapeutis
Abortus Provacatus Therapeutis adalah pengguguran
kandungan yang dilakukan atas pertimbangan medis. Didalam
sumpah dokter, seorang dokter tidak diperbolehkan menggugurkan
kandungan dan mengakhiri hidup pasien yang menurut ilmu dan
pengetahuan kedokteran tidak akan sembuh lagi ( euthanasia ).
Sebagai pengecualian, abortus provacatus hanya dibenarkan
sebagai tindakan pengobatan, apabila merupakan satu-satunya
jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya kematian.
Beberapa penyakit ibu yang saat ini diperkenankan sebagai
indikasi abortus provacatus therapeutic adalah dekompensasi
kordis, glomerulonephritis kronis, sindroma nefrotik, karsinoma rekti
yang harus diradio terapi. Keputusan atas tindakan ini, harus dibuat
sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari ibu
hamil, suami, atau keluarga terdekatnya. Aborsi dalam Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UUK) diatur dalam
Ketentuan Kesehatan Reproduksi. Selain itu juga terdapat pada
pasal 72 UUK, pasal 75 UUK, dan pasal 76 UUK. Bagi yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, maka akan
diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda
paling banyak satu miliar juta rupiah.
b) Abortus Provacatus Criminalis
Abortus Provacatus Criminalis dapat dilakukan sendiri dengan
cara memakan obat-obatan yang dapat membahayakan janin atau
dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja
ingin menggugurkan kandungan. Perangkat hukum yang berkaitan
dengan perlindungan abortus tidak terlepas dari fungsi hukum
sebagai “ a tool of social control” untuk menciptakan ketertiban
masyarakat dan “a tool of social engineering” untuk membawa
masyarakat berkembang lebih maju.
Namun demikian, tidak dapat dihindari bahwa penyelesaian
masalah abortus tidak akan tuntas jika hanya meletakkan
kesalahan pada pihak laki-laki perempuan yang melakukan
hubungan seks diluar nikah. Karena masih banyak factor lain yang
dapat memperngaruhi mereka, misalnya masih adanya tempat-
tempat hiburan malam yang merangsang memberikan kontribusi
terjadinya aborsi, orang tua yang membiarkan anaknya bergaul
bebas serta dokter yang membuka bisnis abortus. Dengan
demikian, penyelesaian tindakan abortus diperlukan pendekatan
religious, sosiologis, psikologis, dan ekonomi.
Dalam KUHP, terdapat beberapa pasal yang berhubungan
dengan pengguguran kandungan yaitu, pasal 283 KUHP, pasal 299
KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP, pasal
349 KUHP, dan pasal 350 KUHP. Namun, perlu untuk meninjau
kembali ketentuan-ketentuan hukum tersebut karena masih
terdapat kelemahan yang ada dalam aturan tersebut terutama
merumuskan ketentuan hukum yang dapat menjerat pelaku yang
tidak bertanggungjawab dari kehamilan yang tidak diinginkan
sebagai akibat pergaulan bebas.

B. Intisari Bab XI “Tanggungjawab Produk ( Product Liability )”


Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia yang juga dialami
oleh negara berkembang lainnya, yaitu menyangkut pada penyadaran semua
pihak, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya
perlindungan konsumen. Pengusaha harus menyadari bahwa mereka harus
menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang
berkualitas, aman dimakan/digunakan,mengikuti standar yang berlaku
dengan harga yang sesuai. Konsumen harus sadar akan hak-hak yang
mereka punya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan social
control terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah.
Dari pendapat Natalie O’Connor tentang tanggungjawab produk, dapat
disimpulkan bahwa tanggungjawab produk adalah suatu konsepsi hukum
yang intinya dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Tanggungjawab produk, barang, dan jasa meletakkan beban tanggungjawab
pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu.
Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 22 UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan
tanggungjawab pelaku usaha. Dengan penerapan tanggungjawab produk ini,
secara umum tidak jauh berbeda dengan konsepsi tanggungjawab
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 ( dan 1865 ) KUH Perdata.
Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada di bawah
tingkat harapan konsumen. Sementara cacat peringatan atau instruksi adalah
cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan tertentu atau
instruksi penggunaan tertentu.

1. Defenisi
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata
dapat dilihat, dipegang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Berkenaan dengan masalah cacat dalam pengertian produk yang cacat
yang menyebabkan produsen harus bertanggungjawab. Menurut
pendapat ahli seperti Hursh,Perkins Cole, disimpulkan bahwa
tanggungjawab produk adalah suatu tanggungjawab secara hukum dari
orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau
badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan sutau
produk atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk
tersebut.
2. Srict Liability Principle
Prinsip tanggungjawab mutlak diterapkan bagi setiap konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman
dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempersalahkan ada atau
tidaknya unsur kesalahan di pihak produsen. Dalam tanggungjawab
produk, pihak konsumen sebagai korban diharuskan menunjukkan :
a) Produk telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen
b) Adanya kerugian yang dialami oleh konsumen
c) Kerugian disebabkan oleh adanya dari produk

Pihak produsen oleh hukum diberikan kesempatan untuk membela


diri dengan mengemukakan bahwa pada waktu terjadinya kerugian,
produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu
diserahkan oleh produsen.

3. Tanggungjawab Produk Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996


Kebutuhan konsumen yang sudah sangat beragam, menyebabkan
produsen mau tidak mau suka tidak suka harus waspada dan harus
senantiasa berusaha memenuhi segala keinginan konsumen didalam
proses produksi ( market in policy ). Jika produsen memproduksi pangan
yang melanggar hukum atau produksinya tidak aman dikonsumsi karena
mengandung racun, dan ternyata setelah pangan tersebut dikonsumsi
menimbulkan kerugian di pihak konsumen karena kesalahan dalam
proses produksinya, maka produsen tersebut bertanggungjawab untuk
memberi ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga.
Dalam hal permintaan ganti rugi ini dilakukan melalui gugatan di
pengadilan, maka konsumen atau ahli warisnya dibebani kewajiban
membuktikan empat hal, sebagai berikut :
a) Produsen telah melanggar aturan hukum
b) Produsen telah melakukan kesalahan
c) Telah timbul kerugian pada konsumen
d) Kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan produsen.
Karena konsumen dibebani kewaiban yang luar biasa beratnya untuk
membuktikan keempat hal diatas jika ingin menggugat, maka konsumen
harus sungguh waspada agar tidak terjatuh dua kali. Namun, pada pasal
41 ayat 1 UUP secara tegas menyatakan bahwa pihak yang
bertanggungjawab atas produk pangan olahan indutri adalah badan usaha
yang memproduksi dan atau orang perseorangan dalam badan usaha
yang diberi tanggungjawab terhadap jalannya usaha tersebut. Pihak yang
berhak mengajukan gugatan ganti rugi sebagai akibat langsung karena
mengonsumsi pangan olahan adalah konsumen atau ahli warisnya dalam
hal konsumen meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai