Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK


ILMU KOMUNIKASI

TEORI KOMUNIKASI
TEORI SPIRAL KEHENINGAN DALAM PEMBAHASAN
ISU POLITIK DAN ISU SOSIAL

KELOMPOK 1
Fachri Maulana (180904094)
Hillary Indah Lestari (180904122)
Kania Rana Deli (180904114)
Mickhael Rajagukguk (180904052)
Muhammad Khatami (180904108)
Noniya Dewinta A. Ritonga (180904074)
Vanessa Fayola (180904066)
BAB I

PENDAHULUAN

Pada awal 1970-an, Elizabeth Noelle-Neumann mengonseptualisasikan


Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory). Teori ini menyatakan bahwa
orang yang memiliki sudut pandang yang minoritas akan lebih terdorong untuk
diam ataupun terbatas dalam menyampaikan opininya kepada publik. Sedangkan
mereka yang memiliki sudut pandang mayoritas akan lebih terdorong untuk
membuka suaranya di publik. Definisi opini publik itu sendiri adalah sikap yang
dapat diekspresikan tanpa harus memunculkan bahaya akan isolasi terhadap
dirinya.

Teori Spiral Keheningan secara unik menyilangkan opini publik dan media.
Karena kekuasaan yang begitu besar, media memiliki dampak yang awet dan
mendalam terhadap opini publik. Media massa bekerja secara berkesinambungan
dengan menyuarakan opini mayoritas untuk membungkam opini minoritas,
khususnya mengenai isu-isu budaya dan sosial. Sehingga minoritas rentan untuk
sepakat dengan pandangan mayoritas. Namun, tidak jarang juga penganut opini
minoritas menyuarakan pendapat mereka melalui kegiatan aktivisme.

Neoelle-Neumann kemudian menyelidiki lebih lanjut perbedaan antara


pandangan mayoritas dan minoritas ini di pusat lansia. Kemudian ia menemukan
bahwa mereka yang berada dalam kelompok mayoritas memiliki kepercayaan diri
untuk menyuarakan pendapat mereka. Mereka akan dengan nyaman menunjukkan
keyakinan mereka memalui berbagai hal. Misalnya, memakai kancing, memasang
stiker mobil, dan mencetak pendapat mereka pada pakaian yang mereka kenakan.
Tidak seperti pemegang pendapat minoritas yang biasanya berhati-hati dan diam,
yang memperkuat perepsi publik mengenai kelemahan mereka. Mereka lebih
memilih untuk mengutarakan pendapat mereka hanya di lingkungan anggota
keluarga, teman terdekat, atau mengunggah opini di internet dengan anonim.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Asumsi Teori Spiral Keheningan


Noelle-Naumann (1991;1993) telah menyatakan adanya tiga asumsi dalam
teori ini, yaitu:
 Masyarakat mengancam individu-individu yang menyimpang dengan adanya
isolasi; rasa takut terhadap isolasi sangat berkuasa.
 Rasa takut akan isolasi menyebabkan individu-individu untuk setiap saat
mencoba menilai iklim opini.
 Perilaku publik dipengaruhi oleh penilaian akan opini publik.

Asumsi yang pertama menyatakan bahwa masyarakat dari kelompok


mayoritas yang memegang kekuasaan akan memberikan ancaman isolasi terhadap
mereka yang dianggap kelompok minoritas.

Elizabeth Blakeslee (2005) dari New York Times menyatakan bahwa


“Ketidaknyamanan berdiri sendirian dapat membuat opini mayoritas tampak lebih
menarik dibandingkan dengan berpegang pada keyakinan diri sendiri”. Dengan
begitu ia menyimpulkan bahwa orang tidak benar-benar memiliki rasa takut akan
isolasi melainkan hanya kekurangan rasa percaya diri mengenai penilaian mereka
sendiri.

Dalam asumsi yang kedua, dinyatakan bahwa orang secara terus-menerus


menilai iklim dari opini publik, menerima informasi melalui sumber observasi
pribadi atau media. Dari sumber-sumber tersebut yang sehingga memungkinkan
individu-individu terlibat dalam kemampuan kuasi-statistik untuk mengevaluasi
opini publik. Indra kuasi-statistik (quasi-statistical sense) berarti bahwa orang
mampu untuk memperkirakan kekuatan dari sisi-sisi yang berlawanan di dalam
sebuah debat publik. Dengan lebih banyak mengerti tentang pandangan mayoritas
maupun minoritas, seseorang dapat menghindarkannya dari rasa terisolasi. Ia dapat
setuju terhadap mayoritas karena suatu hal dan ia juga dapat setuju dengan
pandangan minoritas karna suatu hal lainnya.

Asumsi yang terakhir dari teori ini adalah bahwa perilaku publik
dipengaruhi evaluasi opini publik. Jika individu-individu merasakan adanya
dukungan mengenai suatu topik, maka mereka akan cenderung mengomunikasikan
hal itu. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa orang-orang lainnya tidak
mendukung suatu topik, maka mereka akan tetap diam. Sebab dalam perilaku
publik, terdapatnya kesediaan seseorang untuk mengeluarkan opini, tindakannya
atau tidak. Hal itu memiliki jelas berkaitan dengan keyakinan-keyakinan seseorang
dan penilaian dari tren keseluruhan di masyarakat atau opini publik di sekitarnya.
Seperti misalnya, jika terdapat iklim liberal di kampus, makan akan lebih banyak
orang yang bersedia untuk menyatakan pendapatnya. Jika terdapat iklim yang
konservatif, orang mungkin lebih tidak terdorong untuk mengemukakan
pendapatnya.

Pengaruh Media

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Teori Spiral Keheningan berpijak
pada opini publik, maka Noelle-Neumann kembali mengingatkan lagi, bahwa
“Banyak dari populasi menyesuaikan perilakunya pada arahan dari media”, yang
kemudian disepakati oleh Nancy Eckstein dan Paul Turman (2002), bahwa “Media
dapat memberikan dorongan di belakang spiral keheningan karena media dianggap
sebagai percakapan satu sisi, sebuah bentuk komunikasi publik yang tidak langsung
di mana orang merasa tidak kuasa untuk memberikan respons”.

Alasan itupun didukung dengan adanya tiga karakteristik media yang


dikemukakan oleh teoritikus, yaitu, ubikuitas, kekumulatifan, dan konsonansi.
Ubikuitas (ubiquity) merujut pada fakta bahwa media adalah sumber
informasi yang berkuasa. Sehingga menyebabkan para konsumen menjadi bias dan
mudah sepakat dengan pandangan media. Begitu juga yang dilakukan media untuk
mengubah opini publik.
Kekumulatifan (cumulativeness) dari media merujuk pada proses media
yang mengulangi dirinya sendiri melintasi program dan waktu. Jadi suatu cerita
yang Anda baca dari surat kabar di pagi hari, dapat anda dengar lagi dari radio
dalam perjalanan Anda menuju ke tempat kerja. Kemudian, juga ada terjadinya
kemungkinan akan Anda dengar lagi ketika menonton televisi di rumah sehabis
pulang dari tempat kerja, atau membaca dari internet melalui telepon genggam saat
hendak tidur.

Konsonansi (consonance) berhubungan dengan keyakinan, sikap, dan nilai


yang dapat dipegang oleh media. Karena kesamaan keyakinan, sikap, dan nilai yang
dianut oleh para media-media, hal ini menyebabkan munculnya anggapan
sepertinya suatu opini berasal dari publik, padahal sebenarnya hanya karena media
yang menganut kesamaan.

Sudah bukan merupakan hal yang mengejutkan lagi bahwa media memiliki
pengaruh terhadap opini publik. Banyak survey telah menunjukkan bahwa orang
menganggap media memiliki terlalu banyak kekuasaan di dalam masyarakat
Amerika Serikat. Begitu juga yang terjadi di Indonesia pada tanggal 25-26 Mei
2019, setelah dilaksanakannya pengumuman hasil pemungutan suara presiden.
Semua media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, bahkan WhatsApp, dan
Line yang sempat dibatasi penggunanya oleh pemerintah Indonesia untuk
mengurangi kemungkinan kericuhan yang bisa terjadi.

Uji Kereta Api

Uji kereta api (train test) adalah penilaian mengenai sejauh mana orang akan
mengemukakan opini mereka. Menutrut Teori Spiral Keheningan, kedua orang
yang memiliki sisi yang berbeda, akan bervariasi juga dalam kesediaan mereka
untuk mengungkapkan pandangan mereka ke publik. Uji ini kemudian berlaku juga
pada pesawat atau bis.

Noelle-Neumann kemudian mengungkapkan beberapa faktor yang


menentukan apakah seseorang akan menyarakan opininya melaui uji kereta api. Hal
tersebut adalah sebagai berikut:
 Pendukung dari opini yang dominan lebih bersedia untuk menyarakan opini
dibandingkan mereka yang memiliki opini minoritas.
 Orang dari kota-kota besar yang adalah pria berusia antara 45 dan 49 lebih
bersedia untuk menyarakan pendapat.
 Terdapat berbagai cara untuk menyuarakan pendapat- misalnya menempelkan
poster, menempelkan stiker pada mobil, dan mendistribusikan selebaran.
 Orang akan lebih menyuarakan pendapat jikia pendapat ini sesuai dengan
keyakinan mereka dan juga sesuai dengan tren terkini dan semangat dari
kelompok usianya.
 Orang akan menyuarakan pendapat jika itu sejajar dengan pandangan
masyarakat.
 Orang cenderung berbagi pendapat dengan mereka yang sepakat dibandingkan
dengan mereka yang tidak sepakat.
 Orang mendapatkan kekuatan akan keyakinan melalui berbagai sumber,
termasuk keluarga, teman, dan kenalan.
 Orang mungkin akan terlibat dalam ayunan menit terakhir (last –minute
swing, atau melompat ke sisi opini yang populer pada saat-saat terakhir
percakapan.

Metode ini menyimulasikan perilaku publik ketika dua orang yang memiliki
pendapat yang berbeda mengenai suatu topik. Perlu dicatat bahwa, mereka yang
bersedia untuk menyuarakan pendapat, memiliki kesempatan unutk menggoyahkan
orang lain.

Para Hard Core

Para hard core mewakili sekelompok individu yang tahu bahwa ada harga
yang harus dibayar bagi keasertifan mereka. Para penyimpang ini berusaha untuk
menentang cara berpikir yang dominan dan siap untuk secara langsung
mengonfrontasi siapa pun yang menghalangi mereka. Hard core dapat juga
dilakukan secara individual oleh seseorang yang sudah siap menerima konsekuensi
apabila pendapatnya tetap tidak diterima, dan ia mungkin bahkan sudah bersedia
untuk keluar dari lingkaran tersebut.
Profile Responden

Nama : Rahmad Dianta Purba

Usia : 20 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Status : Mahasiswa Semester VI Prodi Manajemen di Fakultas Ekonomi


Bisnis, UNIMED

Beliau merupakan seorang yang aktif dalam berbagai kegiatan dan


organisasi yang berbau sosial dan politik. Beliau juga sering mengikuti kompetisi
debat mahasiswa di berbagai kesempatan. Beliau juga merupakan anak dari seorang
anggota DPRD di salah satu kabupaten di Sumatera Utara.

Nama : Aldi Andreano

Usia : 18 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Buddha

Status : Mahasiswa Semester II Prodi Teknologi Informasi di


MIKROSKIL

Sejak SD ibu Aldi meninggal, ia dididik oleh ayahnya. Ia memiliki satu


kakak perempuan yang baru saja menikah tahun lalu, 2018. Keluarganya
merupakan keluarga yang harmonis. Mereka sangat dekat kepada satu dengan yang
lainnya. Itulah alasan utama ia tidak memiliki keterbelakangan mental seperti
kekurangan kasih dan perhatian dari orang lain.
BAB III

PEMBAHASAN

Pada Isu Politik

Pernyataan dan pembahasan wawancara kali ini, didasari oleh Teori Spiral
of Silence. Wawancara dengan responden kami lakukan dengan cara berbincang-
bincang melalui telepon. Kami pewawancara sendiri, terdiri dari dua orang yang
memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan beliau. Informasi ini sudah
kami dapatkan sebelumnya dari salah satu teman kami yang pernah berbincang
ringan tentang isu itu di saat mereka bertemu langsung dan sempat juga melakukan
beberapa tanya-jawab singkat.

Kami tertarik untuk mewawancari responden karena responden ini karena


ia memiliki pandangan yang berbeda dengan kami, yang artinya ia juga memiliki
pandangan yang berbeda terhadap opini publik tentang isu bahwa Dewan
Perwakilan Rakyak yang Tidak Hadir dalam Rapat Adalah Sebuah Masalah dan
Membuktikan Kinerja DPR yang Buruk. Responden berdiri sebagai individu yang
mengatakan bahwa dari sepinya rapat DPR, kita tidak bisa menarik kesimpulan
bahwa kinerja DPR itu buruk.

Responden mengatakan bahwa sepinya rapat DPR ini bukanlah suatu


masalah, karena mereka harus fleksibel dan tugas dasarnya bukan hanya
menghadiri rapat.

“Menurut saya, sepinya rapat DPR ini sebenarnya bukanlah suatu masalah.
Karena, DPR itu Perwakilan Rakyat. Jadi demi kepentingan rakyat itu sendiri,
DPR haruslah fleksibel dengan turun langsung ke lapangan dan melihat langsung
keadaan rakyat dan apa yang dibutuhkan oleh rakyat. Kan percuma juga kalau
menghadiri rapat, tapi yang mau diomongin itu kosong dan ga sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Maksudnya disini juga demi kepentingan rakyat itu
sendiri toh.” Yang mana kami kemudian menanggapi pernyataanya dengan
mengajukan pertanyaan ”Kalau begitu bang, dengan tidak hadirnya mereka -yg
terjun langsung ke lapangan- tadi ke rapat, bagaimana bisa mereka menyampaikan
keadaan lapangan dan ikut untuk mengambil keputusan?”
Disini, responden masih terdengar santai, dan masih pajang bercerita
tantang pandangannya bahwa “Rapat itu kan juga tidak hanya sekali dek...”
responden juga menjelaskan bahwa tidak hanya sekali rapat dan kemudian
mengambil keputusan. Masih banyak agenda rapat yang lain, dimana juga bisa
sekalian mengevaluasi dari hasil rapat sebelumnya. Responden mengatakan bahwa
sekali tidak datang rapat, apalagi dikarenakan alasan terjun langsung ke lapangan
bukanlah suatu masalah.

Hal ini pula yang memotivasi kami untuk menghujani reponden dengan
beberapa pertanyaan mengenai isu dengan pendapat yang bertentangan dengannya.

Kemudian kami memberikannya pertanyaan berupa “Loh, bang...


Merekakan sudah punya jadwal masing-masing. Tentang tanggal berapa harus
survei lapangan, kapan rapat, kapan kunjungan masyarakat, dan lainnya bang.
Jadi jadwal mereka tidak mungkin dibuat bertabrakan dengan jadwal rapat itu
sendiri kan? Juga kan masing-masing mereka punya tanggungjawab untuk datang
rapat kan?”

Disini responden mulai terdengar gugup, tapi responden masih tetap


mencoba menjawab pertanyaan kami dan menjelaskan pendapatnya dengan tenang.
Responden mengatakan bahwa,

”Kadang ada banyak hal urgent lain daripada hanya sekadar datang rapat, dek...”

Ada banyak hal penting yang tidak bisa diprediksi sebelumnya dan terjadi
dilapangan. Itulah sebabnya, adalah hal yang wajar jika DPR memilih terjun
langsung kelapangan untuk melihat dan menemukan masalah kebutuhan apa yang
harus dipenuhi untuk masyarakat saat itu. Responden juga berpendapat bahwa
terkadang individu yang datang ke rapat pun tidak mengelurkan pendapat dan
mengikuti rapat dengan baik. Hanya menjadi penonton dan mengisi kehadiran
bahwa sudah hadir dalam rapat. Persoalan apa faedah dari datang rapat tersebut
pun, peserta rapat jarang mengetahuinya.

“Yaahhh.. daipada Cuma datang terkantuk-kantuk ke ruang rapat yg ber-AC itu,


lebih baik panas-panasan di lapangan kan.” Maka dari itu, lebih penting
melakukan hal-hal nyata daripada hanya mengantuk duduk di ruangan yang sejuk.
Dengan ini, kemudian kami kembali memberikan argumen berupa “Tapi,
faktanya bang.. dilapangan sendiri jarang sekali kita temui adanya dewan yang
mau terjun langsung.” Kami juga mengatakan bahwa ujung-ujungnya DPR itu
memerintahkan staffnya, pelaksana tugasnya yang terjun melihat kelapangan.
Mirisnya lagi itupun masih jarang kita temui staff atau plt di lapangan. “Lantas,
turun kelapangan macam apa yang sedari tadi abg gadang-gadangkan?” setelah
pertnayaan kami terlontar, disini tampak jelas bahwa responden sangat gugup dan
cemas ingin menjawab apa. Responden terdiam beberapa saat kemudian mencoba
berpendapat, namun bingung hendak mengutarakan apa. “Eee... iya... Tapikan,
eee.. ya gitu.”

Kami menyimpulkan bahwa responden mulai merasa terpojokan.


Responden menganggap bahwa pandangannya adalah pandangan minoritas dan
sebagai akibatnya, ia semakin sedikit berbicara.

Ketika mendapat celah itu, kamipun bertanya seputar kinerja DPR sendiri yang
menurut kami kurang memuaskan. Dan ditambah lagi, ketika kami mengangkat
media-media dan opini yang memberitakan tentang kurangnya kinerja dari DPR
sendiri, dan terlihat dari sepinya rapat dewan. Disini, tampak responden semakin
terpojok. Responden sepertinya ingin memilih diam, namun kami kembali bertanya
“Nah, kalau menurut abg sendiri nih, tentang kinerja DPR itu gmna sih bang?”
responden tidak menjawab. Ketika pewawancara kedua kembali mempertanyakan
pertanyaan serupa pun, responden kemudian terlihat kurang asertif dalam
mengapresiasikan opininya.

Disini kami menangkap, bahwa responden merasa terlibat dalam


kemampuan kuasi-statistik dalam mengevaluasi opininya. Indra kuasi-statistik
sendiri disini merupakan di mana dengan dua orang sekaligus menanyakan perihal
yang sama, dan tampak jelas bahwa kedua-duanya tidak sependapat dengan
responden. Responden memperkirakan kekuatan dari sisi-sisi yang berlawan dari
isu kali ini. Responden mampu melakukan ini dikarenakan dengan mendengarkan
pendapat kedua pewawancara dan menggabungkan pengetahuan itu kedalam
pandangannya sendiri. Yaitu, indra kuasi-statistik responden membuatnya percaya
banhwa ia satu-satunya individu dipembicaraan kali ini, yang tidak setuju dengan
isu. Ia dapat melihat bahwa dalam isu ini dia benar-benar kalah. Neolle-Neumann
menyebut hal ini sebagai organ frekuensi kuasi-statistik karena ia yakin bahwa
orang seperti responden mampu memperkirakan secara angka dimana orang
berpihak pada suatu topik.

Dimana sebenarnya dari awal, kami juga sudah merasakan bahwa


responden sebenarnya juga tidak begitu berminta menyampaikan pendapatnya.
Namun, menilik dari responden ini adalah seorang debaters maka walaupun
responden paham bahwa dia adalah minoritas dan lebih baik diam mengikuti
pendapat yang ada. Disatu sisi, responden memiliki latar belakang debat yang
memang tidak mau kalah dan hening dengan mosi.

Kemudian juga kami menemukan bias dari responden dalam


menyampaikan pendapatnya. Dimana, pada hakikatnya sendiri Ayah dari
responden ini sedang duduk di DPRD salah satu kabupaten di Sumatera Utara.
Kami melihat bahwa ini menjadi latar belakang kedua, kenapa responden yang
seyogiyanya lebih memilih diam namun pada awalnya cuckup banyak membidas
argumen kami. Tapi, kemudian di pertanyaan-pertanyaan logika dan sudah terbukti
dimana juga sangat di dukung oleh publik, kemudan responden melemahkan
pertahannya. Latar belakang debat dan stastus kekeluargaanya dengan DPRD mulai
melemah.

Dan tampak jelas sekali di akhir pertanyaan kami diatas, setelah cukup lama
terdiam. Responden kemudian angkat bicara bahwa responden juga setuju dengan
berbagai argumen dan statment kami. Responden juga mengatakan bahwa sampai
sekarang ini kinerja dari DPR sendiri belum cukup memuaskan.

Kami menyimpulkan bahwa dalam wawancara kali ini, kami percaya bahwa
disini responden merasa terisolasi dengan pendapat kami sebagai kelompok yang
mendominasi tentang isu. Sebab kami pewawancara secara bersama mendukung
isu dan memberikan pembuktian-pembuktian dari khalayak yang mendukung
pernyataan kami. Dan opini publiklah yang menentukan apakah nilai-nilai ini
diyakini secara bersama diseluruh populasi. Seperti menurut Noelle-Neumann,
ketika orang sepakat mengenai seperangkat nilai bersama, maka ketakutan akan
isolasi akan berkurang. Ketika terdapat perbedaan akan nilai, ketakutan isolasi
akan muncul. Seperti diakhir wawancara kali ini, pada akhirnya memilih untuk
setuju dengan statment yang kami sampaikan. Tampah jelas padahal bahwa
sebenarnya responden tetap tidak sependapat. Tapi, sepertinya responden terlanjur
merasa sebagai minoritas terhadap isu, apapun yang ia katakan tidak akan bisa
merubah pandangan dari mayoritas.

Isu Sosial
Kedua anggota kelompok kami yang lainnya, mewawancarai seorang teman
SMAnya salah satu anggota kami. Ia bernama Aldi. Aldi hanya mengenal teman
SMAnya itu, dan ia tidak mengenal seseorang lainnya. Mereka sempat melakukan
perkenalan singkat sebelum pembicaraan dimulai.

Kami tidak memulainya dengan terus terang. Kami mulai berbincang-


bincang ringan seperti bagaimana selayaknya kehidupan sehari-hari para
mahasiswa.

Kami akan membahas tentang Semua Anak Seorang Single-Parent Selalu


Nakal. Kami tahu bahwa Aldi akan menolak pernyataan ini sebab salah seorang
anggota kami tahu bahwa ibunya Aldi sudah meninggal sejak Aldi masih di bangku
SD, dan Aldi bukanlah anak nakal, melainkan ia adalah seorang yang penurut dan
asik, seperti anak-anak normal lainnya, ia tidak memiliki kebutuhan khusus dalam
tingkah lakunya.

Ketika kami mulai memberikan contoh-contoh seperti Adolf Hitler yang


ibunya sempat bercerai dengan ayahnya, kemudian dilanjuti lagi dengan contoh
lainnya, ia hanya terus diam dan menyaksikan. Ia tidak begitu antusias untuk
memberikan pendapatnya.

Di saat inilah, semakin terlihat jelas bahwa ia sedang menghadapi


pergumulan dalam dirinya sendiri. Ia merasa segan untuk memberikan argumennya,
pertama-tama disebabkan karena, kami tidak memiliki hubungan yang dekat
terhadapnya. Jadi, ia pun tidak memiliki jaminan bahwa kami tidak akan
mengisolasinya. Oleh karena itu, inilah yang dinyatakan sebagai asumsi pertama
Teori Spiral Keheningan, yaitu adanya rasa takut terhadap isolasi, sangat berkuasa.
Perckapan sementara bersama Aldi tidak akan mengalami asumsi yang
kedua, karena kami tidak melakukan janji untuk bertemu dan memiliki
kemungkinan untuk membahas isu di lain hari kedepannya. Ditambah lagi
kenyataan bahwa media di Indonesia tidak sedang gencar-gencarnya membahas
persoalan single-parent. Maka bisa dikatakan bahwa ia belum mengalami masa
asumsi kedua pada percakapan kami ini, di mana rasa takut akan isolasi
menyebabkannya untuk setiap saat mencoba menilai iklim opini. Mungkin ia akan
mengalaminya nanti ketika ia pulang, dan mencari tahu lebih banyak mengenai
single-parent melalui media internet yang akan membantunya apabila ada
percakapan mengenai hal ini lagi.

Tanpa diragukan lagi, Aldi mengalami asumsi ketiga, yaitu perilaku publik
yang dipengaruhi oleh penilaian opini publik. Ia merasa bahwa kami tidak berpihak
pada opininya, maka ia lebih memilih untuk diam.

Namun, ketika kami terus melanjutkan percakapan mengenai single-parent


ini, bisa dilihat dari diri Aldi yang mulai terasa semakin tidak nyaman. Kami
bertanya padanya bagaimana pendapatnya. Awalnya ia tampak ragu. Sebelum ia
menggunakan kemampuan indra kuasi-statistiknya.

Ia mulai dengan memberikan argumen bahwa single-parent yang


memutuskan hubungannya dengan baik-baik, tidak akan menyebabkan anaknya
menjadi kacau dan nakal. Lalu ia memberikan salah satu contoh temannya yang
dididik oleh single-parent sejak SMP.

Kami melawan argumennya lagi dengan, menyatakan bahwa yang pasti jadi
nakal itu apabila orang tua tersebut single-parent ketika anaknya masih duduk di
bangku SD.

Saat itu ia terdiam dan merasa sulit untuk ingin melanjutkan percakapan,
lalu ia mengalihkan arah pembicaraan dengan bertanya kembali tentang kehidupan
Adolf Hitler yang sebelumnya kami katakan sebagai contoh.

Dan seperti yang bisa diduga-duga, kami berusaha menekan si Aldi ini
dengan fakta lainnya lagi. Dengan mengejutkan, ketika kami bertanya tentang
pendapatnya lagi, ia akhirnya mengenluarkan kalimat, “Hei, saya ini anak dari
seorang single-parent dari sejak saya SD. Namun, lihatlah diriku. Apakah aku ini
seorang anak nakal?”

Di sinilah kami mendapatkan bahwa Aldi merupakan hard core, ia memiliki


pandangan minoritas di sini, dan ia berada pada ujung akhir dari proses spiral
keheningan tanpa memenulikan ancaman akan isolasi yang bisa terjadi padanya.

Dengan begitu,berakhirlah sudah wawancara kami terhadap dirinya. kami


dengan terus terang meceritakan dibalik percakapan bersifat menyudutkan ini. Ia
mengaku bahwa tadi adalah percakapan yang intens dan ia sempat mengalami
pergumulan untuk menjawab ataupun menanggapi. Ia tidak menyangka
bahwasannya yang tadi kami lakukan merupakan aksi yang telah direncanakan.
BAB IV

KRITIK DAN PENUTUP

Teori Spiral of Silent merupakan salah satu dari sedikit teori dalam komunikasi
yang berfokus pada opini publik. Seperti yang dinyatakan oleh Mihaley
Csikszentmihalyi bahwa

”Dalam sebuah demokrasi yang berkaitan dengan pemilihan, bahkan didalam


bentuk pemerintahan yang palin tiran...Hak untuk memimpin dan memutuskan
harus terletak pada kesepakatan dari segmenyang signifikan dari sebuah
populasi.”

Teori ini telah dinyatakan sebagai dasar yang penting dalam mempelajari
kondisi manusia. Namun, Caroll Glynn dan Jack McLeod (1985) melihat bahwa
bahwa rasa takut akan isolasi mungkin tidak akan memotivasi seseorang untuk
mengemukakan opini mereka. Sama seperti hasil wawancara kami diatas.
Bahwasanya, ketika responden kami sudah merasa terpojokkan dengan argumen
yang kami bangun, ia akan merasa bahwa dia sendirian. Maka, responden mulai
meluruhkan pertahanan yang awalnya di bangun untuk menutupi ketidaksamaan
pemikiran terhadap isu. Kemudian mengubah haluan secara perlahan menjadi
selaras dengan pendapat kami terhada isu. Yang mana responden merasa jika terus
bertahan dan mengatakn bahwa dia tidak sependapat dengan kami, responden tidak
akan menang. Maka, akhirnya responden memilih diam dan ikut dalam arus
mayoritas demi tidak terlihat mencolok dan dianggap berbeda. Ia melakukan
ayunan menit terakhir (last-minute swing). Namun, kadang ada juga yang
merupakan minoritas hard core yang sudah siap dengan konsekuensi yang akan
didapatkan apabila ia mengeluarkan pendapatnya. Ia juga sudah siap untuk
terisolasi juga kalau memang diperlukan.

Di lain sisi, menurut kami, ada juga saat ketika pemilik pandangan minoritas
bukan takut akan terisolasi, namun ia memang merasa bahwa pandangan mayoritas
menjadi lebih bisa dimengerti daripada pandangan miliknya, sehingga yang
membuat pemilik pandangan minoritas itu akhirnya berubah untuk memilih seperti
pandangan mayoritas.
DAFTAR REFERENSI

West, Richard & Turner, Lynn H. 2013. Teori Komunikasi Buku 2 Edisi 3.
Jakarta: Salemba Humanika
LAMPIRAN

Wawancara Terhadap Isu Politik

Responden ( R ) : Rahmad Dianta Purba

Pewawancara I ( P1 ) : Noniya Dewinta Ritonga

Pewawancara II ( P2 ) : Mickhael Rajagukguk

P1 : Hallo, Selamat siang Bang Rahmad.

R : Ya hallo... Selamat siang juga dek. Ada apa ya dek?

P1 : Seperti ini bang, persoalan perbincangan kita di pertemuan kemarin sore


seputar isu politik mengenai Dewan Perwakilan Rakyak yang Tidak
Hadir dalam Rapat Adalah Sebuah Masalah dan Membuktikan Kinerja
DPR yang Buruk. Nah, setelah Noy ceritain ke teman Noy, dia
jadi tertarik nih bang membahas isu tersebut terkait dengan pandangan
abang. Boleh ga ya bang... kita bincang-bincang ringan gitu sama abg lagi?
Hehehe...

R : Boleh banget kok dek. Tapi masalahnya abg lagi di luar kota pulak ini... ada
kegiatan. Bye phone gini ajalah, kalau orang adek mau.

P1 : Waaah... gitu ya bang. Semangat abg yang sedang berkegiatan!. Gak papa kali
kok bang kalau misalnya bye phone gini. Noy izin tambahkan temen
noy ke obrolan kita ya bang?...

R : Oke dek, lanjut aja...

P2 : Hallo bang, saya Mickael... temenya Noy. Kemarin pas di kampus, Noy cerita
kalau dia abis ngobrol-ngobrol gitu sama abg. Dan saya tertarik juga nih
bang, buat ngobrol sama abg. Kayaknya seru dan bisa nambah ilmu baru
gitu bang.. heheheh

R : Hahahaha gitu ya, oke deh.. yoklah, ngobrol apa kita?

P1 : Isu kita yang kemaren tu aja bang, kita bincangkan lagi. Ya Mike?
P2 : Iya bang... hehehe, saya penasaran dan pengen denger langsung nih bang
tentang pendapat abg mengenai mengenai Dewan Perwakilan Rakyak
yang Tidak Hadir dalam Rapat Adalah Sebuah Masalah dan
Membuktikan Kinerja DPR yang Buruk.

R : Sama kayak kemaren sih. Menurut saya, sepinya rapat DPR ini sebenarnya
bukanlah suatu masalah. Karena, DPR itu Perwakilan Rakyat. Jadi demi
kepentingan rakyat itu sendiri, DPR haruslah fleksibel dengan turun
langsung ke lapangan dan melihat langsung keadaan rakyat dan apa
yang dibutuhkan oleh rakyat. Kan percuma juga kalau menghadiri rapat, tapi
yang mau diomongin itu kosong dan ga sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Maksudnya disini juga demi kepentingan rakyat itu sendiri toh.

P1 : Kalau begitu bang, dengan tidak hadirnya mereka -yg terjun langsung ke
lapangan- tadi ke rapat, bagaimana bisa mereka menyampaikan
keadaan lapangan dan ikut untuk mengambil keputusan?

P2 : Iya juga ya Mike, kalau mereka ga datang rapat. Gimana caranya nyampein
kejadian lapangan dan mengangkat apa yg disuarakan rakyat untuk
mengambil keputusan?

R : Rapat itu kan juga tidak hanya sekali, dek. Dan dalam mengambil keputusan
itu tidak hanya ditarik benang merah dari satu rapat saja. Masih banyak
agenda rapat yang lain, dimana juga bisa sekalian mengevaluasi dari hasil
rapat sebelumnya. Toh, sekali tidak datang rapat, apalagi dikarenakan
alasan terjun langsung ke lapangan bukanlah suatu masalah.

P2 : Loh, bang... Merekakan sudah punya jadwal masing-masing. Tentang tanggal


berapa harus survei lapangan, kapan rapat, kapan kunjungan masyarakat,
dan lainnya bang. Jadi jadwal mereka tidak mungkin dibuat
bertabrakan dengan jadwal rapat itu sendiri dong bang.

P1 : Juga kan masing-masing mereka punya tanggungjawab untuk datang rapat


gitu,

kan bang?
R : Iya sih, dek. Tapi, kadang ada banyak hal urgent lain daripada hanya sekadar
datang rapat, dek. Ada banyak hal penting yang tidak bisa diprediksi
sebelumnya dan terjadi dilapangan. Jadi wajar aja sih jika DPR memilih
terjun langsung kelapangan untuk melihat dan menemukan masalah
kebutuhan apa yang harus dipenuhi untuk masyarakat saat itu.

P2 : Ya hal urgent nya kan ga senantiasa ada bang. Dan ga secara bersamaan gitu,
dari 500 kursi, yang terisi Cuma 100.

R : Terkadang juga kan, individu yang datang ke rapat pun tidak mengelurkan
pendapat dan mengikuti rapat dengan baik. Hanya menjadi penonton dan
mengisi kehadiran bahwa sudah hadir dalam rapat. Persoalan apa faedah
dari datang rapat tersebut pun, peserta rapat jarang mengetahuinya. Yaahhh..
daipada Cuma datang terkantuk-kantuk ke ruang rapat yg ber-AC itu, lebih
baik panas-panasan di lapangan kan. Hahahah....

P1 : Waaah... dari statment abang barusan, kayanya abg setuju nih sama yang kami
bilang, bahwa kinerja DPR masih cukup buruk.

R : (Hening) Hmmmm... aaah, hahahah.

P2 : Tapi, faktanya juga kan bang.. dilapangan sendiri jarang sekali kita temui
adanya dewan yang mau terjun langsung. Ujung-ujungnya juga kan bang,
DPR itu memerintahkan staffnya ataupun pelaksana tugasnya yang terjun
melihat kelapangan. Mirisnya lagi itupun masih jarang kita temui staff
atau plt di lapangan, bang.

R : (Gugup) Eee.. gimana ya, iya juga sih kadang...

P1 : Noy setuju sih sama yg dibilang Mike. Lantas bang, turun kelapangan macam
apa yang sedari tadi abg gadang-gadangkan? Hehehhe...

R : (Cukup lama terdiam) Eee... iya... Tapikan, eee.. ya gitu. Hehhehe

P2 : Nah, kalau menurut abg sendiri nih, tentang kinerja DPR itu gmna sih bang?
(Lama tidak ada jawaban)

P1 : Bang Rahmad? Masih disana kah? Hehehe

R : eeeeh? Iya dek.. masih, hahahha

P1 : oh iya, heheh.. jadi gimana nih bang, kinerja DPR sendiri menurut abg udah
good apa belum nih kah bang?

(diam kembali, cukup lama)

R : Abang juga kenya setuju aja sih, dengan apa yang kalian sampaikan. Karena
juga sampai sekarang ini kinerja dari DPR sendiri belum cukup
memuaskan.

Log Panggilan:
Wawancara Isu Sosial

Responden ( R ) : Aldi Andreano

Pewawancara I ( P1 ) : Vanessa Fayola

Pewawancara II ( P2 ) : Hillary Indah Lestari

P1: Hei, Bagaimana kabarmu, Di?

R: Yah biasa, kuliah, pulang, dan kerja.

P1: Ini perkenalkan temanku, Hillary. Hill, ini Aldi.

P2: (mengajaknya untuk bersalaman)

R: (menerima jabatan tangan Hillary)

P1: Aku sendiri kemarin ada ikut Breakfast Club gitu, kita bahas soal Adolf Hitler.
Jadi ternyata Adolf Hitler itu ibunya adalah keturunan yahudi, yang ayahnya
ceraikan ketika Aldolf Hitler masih kecil. Kemudian mama menikah lagi
dengan seorang Yahudi yang sangat kejam. Jadi ia sendiri memiliki hubungan
dekat dengan keturunan Yahudi, namun dewasa, ia malah justru sangat sadis
dengan keturunan Yahudi tersebut.

P2: Benar. Teman aku juga ada yang orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih
kecil. Dan sekarang hidupnya seperti remaja yang bebas dan emosi, juga
mentalnya tidak terkendali. Ia bisa begitu manja, seperti tidak bisa melakukan
pekerjaan mudah sekalipun.

P1: Itulah yang terjadi pada pada orang tua single-parent ketika anaknya masih
dibawah 9 atau 10 tahun. Mereka tidak mampu mengatasi emosi mental yang
terjadi pada anaknya. Sepertinya memang tidak pernah ada orang tua single-
parent dini yang anaknya baik-baik.

P2: Bagaimana menurutmu, Di?


R: (ia terlihat agak kikkuk, lalu kemudian menjawab) Ya benar saya sependapat.
Namun, sepertinya hal ini lebih mencondong hanya pada hubungan orang tua
yang pisah yang diakibatkan oleh pertengkaran keras dan bukan pisah baik-
baik. misalnya, ada teman ku Shania yang orangtuanya berpisah secara baik-
baik, dan ia bukan merupakan anak yang wild and free begitu kok.

P1: Memangnya pada umur berapakah orang tua Shania itu berpisah?

R: Ketika ia sudah SMP

P2: Nah, hal ini tidak akan begitu berpengaruh pada anak yang sudah bisa mulai
mengerti alasan orang tuanya melakukan demikian. Sebab di tingkat SMP kita
sendiri juga sudah mulai mengerti mengenai hubungan-hubungan dalam suatu
pasangan, bukan? Tapi bagaimana dengan anak SD?

R: (di sini Responden kembali terdiam, dan kami mulai memberikan lebih banyak
fakta-fakta lagi)

P1: Ada satu orang yang ku kenal, ia sudah lumayan lama single-parent. Kedua
anaknya saat itu dua-duanya masih mengibjak bangku SD. Aku berani
menjamin, kalian pasti langsung mengenal siapa kedua orang tersebut apabila
kalian berada dalam satu kelompok kecil bersama mereka. Sebab mereka
sangat menunjukkan kebutuhan mereka terhadap perhatian dari orang-orang
sekitarnya. Mereka sering melakukan gerak-gerik yang bisa menjadi sangat
mengganggu.

P2: Sama persis seperti adik sepupu saya yang juga begitu suka cari perhatian terus-
menerus, non-stop. Kalau disuruh jangan, ia akan dengan sengaja melakukan
yang diperintahkan untuk jangan. Misalnya, orang suruh dia jangan mematikan
lampu, ia akan sengaja mematikan lampu tersebut, tanpa peduli orang lain akan
menjadi marah. Ia memang sudah merupakan anak tanteku, seorang single-
parent, sejak ia berumur 7 tahun.

Lalu kami, secara bersamaan menatap Aldi untuk menunggu tanggapan dari
dirinya.
R: Jadi apa yang yang tadi kamu katakan terjadi pada Adolf Hitler? Apakah
memang saat itu, ia juga sedang mengalami guncangan mental pada dirinya?

P1: Yang jelas, banyak permasalahan keluarga yang dialaminya pada m=usianya
yang belum matang.

P2: Jadi apakah menurutmu, memang benar adanya bahwa orang tua single-parent
sejak usia anak masih di bawah 10 tahun, pasti mengalami guncangan mental?

R: Hm.. kurasa itu jelas tetap berhubungan dengan bagaimana suatu hubungan itu
terpisah. Apakah karna alam, atau memang pertengkaran yang dahsyat.

P2: Keduanya.

R: Hei, saya ini anak dari seorang single-parent dari sejak saya SD. Namun, lihatlah
diriku. Apakah aku ini seorang anak nakal?

Anda mungkin juga menyukai