TEORI KOMUNIKASI
TEORI SPIRAL KEHENINGAN DALAM PEMBAHASAN
ISU POLITIK DAN ISU SOSIAL
KELOMPOK 1
Fachri Maulana (180904094)
Hillary Indah Lestari (180904122)
Kania Rana Deli (180904114)
Mickhael Rajagukguk (180904052)
Muhammad Khatami (180904108)
Noniya Dewinta A. Ritonga (180904074)
Vanessa Fayola (180904066)
BAB I
PENDAHULUAN
Teori Spiral Keheningan secara unik menyilangkan opini publik dan media.
Karena kekuasaan yang begitu besar, media memiliki dampak yang awet dan
mendalam terhadap opini publik. Media massa bekerja secara berkesinambungan
dengan menyuarakan opini mayoritas untuk membungkam opini minoritas,
khususnya mengenai isu-isu budaya dan sosial. Sehingga minoritas rentan untuk
sepakat dengan pandangan mayoritas. Namun, tidak jarang juga penganut opini
minoritas menyuarakan pendapat mereka melalui kegiatan aktivisme.
TINJAUAN TEORITIS
Asumsi yang terakhir dari teori ini adalah bahwa perilaku publik
dipengaruhi evaluasi opini publik. Jika individu-individu merasakan adanya
dukungan mengenai suatu topik, maka mereka akan cenderung mengomunikasikan
hal itu. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa orang-orang lainnya tidak
mendukung suatu topik, maka mereka akan tetap diam. Sebab dalam perilaku
publik, terdapatnya kesediaan seseorang untuk mengeluarkan opini, tindakannya
atau tidak. Hal itu memiliki jelas berkaitan dengan keyakinan-keyakinan seseorang
dan penilaian dari tren keseluruhan di masyarakat atau opini publik di sekitarnya.
Seperti misalnya, jika terdapat iklim liberal di kampus, makan akan lebih banyak
orang yang bersedia untuk menyatakan pendapatnya. Jika terdapat iklim yang
konservatif, orang mungkin lebih tidak terdorong untuk mengemukakan
pendapatnya.
Pengaruh Media
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Teori Spiral Keheningan berpijak
pada opini publik, maka Noelle-Neumann kembali mengingatkan lagi, bahwa
“Banyak dari populasi menyesuaikan perilakunya pada arahan dari media”, yang
kemudian disepakati oleh Nancy Eckstein dan Paul Turman (2002), bahwa “Media
dapat memberikan dorongan di belakang spiral keheningan karena media dianggap
sebagai percakapan satu sisi, sebuah bentuk komunikasi publik yang tidak langsung
di mana orang merasa tidak kuasa untuk memberikan respons”.
Sudah bukan merupakan hal yang mengejutkan lagi bahwa media memiliki
pengaruh terhadap opini publik. Banyak survey telah menunjukkan bahwa orang
menganggap media memiliki terlalu banyak kekuasaan di dalam masyarakat
Amerika Serikat. Begitu juga yang terjadi di Indonesia pada tanggal 25-26 Mei
2019, setelah dilaksanakannya pengumuman hasil pemungutan suara presiden.
Semua media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, bahkan WhatsApp, dan
Line yang sempat dibatasi penggunanya oleh pemerintah Indonesia untuk
mengurangi kemungkinan kericuhan yang bisa terjadi.
Uji kereta api (train test) adalah penilaian mengenai sejauh mana orang akan
mengemukakan opini mereka. Menutrut Teori Spiral Keheningan, kedua orang
yang memiliki sisi yang berbeda, akan bervariasi juga dalam kesediaan mereka
untuk mengungkapkan pandangan mereka ke publik. Uji ini kemudian berlaku juga
pada pesawat atau bis.
Metode ini menyimulasikan perilaku publik ketika dua orang yang memiliki
pendapat yang berbeda mengenai suatu topik. Perlu dicatat bahwa, mereka yang
bersedia untuk menyuarakan pendapat, memiliki kesempatan unutk menggoyahkan
orang lain.
Para hard core mewakili sekelompok individu yang tahu bahwa ada harga
yang harus dibayar bagi keasertifan mereka. Para penyimpang ini berusaha untuk
menentang cara berpikir yang dominan dan siap untuk secara langsung
mengonfrontasi siapa pun yang menghalangi mereka. Hard core dapat juga
dilakukan secara individual oleh seseorang yang sudah siap menerima konsekuensi
apabila pendapatnya tetap tidak diterima, dan ia mungkin bahkan sudah bersedia
untuk keluar dari lingkaran tersebut.
Profile Responden
Usia : 20 Tahun
Agama : Islam
Usia : 18 Tahun
Agama : Buddha
PEMBAHASAN
Pernyataan dan pembahasan wawancara kali ini, didasari oleh Teori Spiral
of Silence. Wawancara dengan responden kami lakukan dengan cara berbincang-
bincang melalui telepon. Kami pewawancara sendiri, terdiri dari dua orang yang
memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan beliau. Informasi ini sudah
kami dapatkan sebelumnya dari salah satu teman kami yang pernah berbincang
ringan tentang isu itu di saat mereka bertemu langsung dan sempat juga melakukan
beberapa tanya-jawab singkat.
“Menurut saya, sepinya rapat DPR ini sebenarnya bukanlah suatu masalah.
Karena, DPR itu Perwakilan Rakyat. Jadi demi kepentingan rakyat itu sendiri,
DPR haruslah fleksibel dengan turun langsung ke lapangan dan melihat langsung
keadaan rakyat dan apa yang dibutuhkan oleh rakyat. Kan percuma juga kalau
menghadiri rapat, tapi yang mau diomongin itu kosong dan ga sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Maksudnya disini juga demi kepentingan rakyat itu
sendiri toh.” Yang mana kami kemudian menanggapi pernyataanya dengan
mengajukan pertanyaan ”Kalau begitu bang, dengan tidak hadirnya mereka -yg
terjun langsung ke lapangan- tadi ke rapat, bagaimana bisa mereka menyampaikan
keadaan lapangan dan ikut untuk mengambil keputusan?”
Disini, responden masih terdengar santai, dan masih pajang bercerita
tantang pandangannya bahwa “Rapat itu kan juga tidak hanya sekali dek...”
responden juga menjelaskan bahwa tidak hanya sekali rapat dan kemudian
mengambil keputusan. Masih banyak agenda rapat yang lain, dimana juga bisa
sekalian mengevaluasi dari hasil rapat sebelumnya. Responden mengatakan bahwa
sekali tidak datang rapat, apalagi dikarenakan alasan terjun langsung ke lapangan
bukanlah suatu masalah.
Hal ini pula yang memotivasi kami untuk menghujani reponden dengan
beberapa pertanyaan mengenai isu dengan pendapat yang bertentangan dengannya.
”Kadang ada banyak hal urgent lain daripada hanya sekadar datang rapat, dek...”
Ada banyak hal penting yang tidak bisa diprediksi sebelumnya dan terjadi
dilapangan. Itulah sebabnya, adalah hal yang wajar jika DPR memilih terjun
langsung kelapangan untuk melihat dan menemukan masalah kebutuhan apa yang
harus dipenuhi untuk masyarakat saat itu. Responden juga berpendapat bahwa
terkadang individu yang datang ke rapat pun tidak mengelurkan pendapat dan
mengikuti rapat dengan baik. Hanya menjadi penonton dan mengisi kehadiran
bahwa sudah hadir dalam rapat. Persoalan apa faedah dari datang rapat tersebut
pun, peserta rapat jarang mengetahuinya.
Ketika mendapat celah itu, kamipun bertanya seputar kinerja DPR sendiri yang
menurut kami kurang memuaskan. Dan ditambah lagi, ketika kami mengangkat
media-media dan opini yang memberitakan tentang kurangnya kinerja dari DPR
sendiri, dan terlihat dari sepinya rapat dewan. Disini, tampak responden semakin
terpojok. Responden sepertinya ingin memilih diam, namun kami kembali bertanya
“Nah, kalau menurut abg sendiri nih, tentang kinerja DPR itu gmna sih bang?”
responden tidak menjawab. Ketika pewawancara kedua kembali mempertanyakan
pertanyaan serupa pun, responden kemudian terlihat kurang asertif dalam
mengapresiasikan opininya.
Dan tampak jelas sekali di akhir pertanyaan kami diatas, setelah cukup lama
terdiam. Responden kemudian angkat bicara bahwa responden juga setuju dengan
berbagai argumen dan statment kami. Responden juga mengatakan bahwa sampai
sekarang ini kinerja dari DPR sendiri belum cukup memuaskan.
Kami menyimpulkan bahwa dalam wawancara kali ini, kami percaya bahwa
disini responden merasa terisolasi dengan pendapat kami sebagai kelompok yang
mendominasi tentang isu. Sebab kami pewawancara secara bersama mendukung
isu dan memberikan pembuktian-pembuktian dari khalayak yang mendukung
pernyataan kami. Dan opini publiklah yang menentukan apakah nilai-nilai ini
diyakini secara bersama diseluruh populasi. Seperti menurut Noelle-Neumann,
ketika orang sepakat mengenai seperangkat nilai bersama, maka ketakutan akan
isolasi akan berkurang. Ketika terdapat perbedaan akan nilai, ketakutan isolasi
akan muncul. Seperti diakhir wawancara kali ini, pada akhirnya memilih untuk
setuju dengan statment yang kami sampaikan. Tampah jelas padahal bahwa
sebenarnya responden tetap tidak sependapat. Tapi, sepertinya responden terlanjur
merasa sebagai minoritas terhadap isu, apapun yang ia katakan tidak akan bisa
merubah pandangan dari mayoritas.
Isu Sosial
Kedua anggota kelompok kami yang lainnya, mewawancarai seorang teman
SMAnya salah satu anggota kami. Ia bernama Aldi. Aldi hanya mengenal teman
SMAnya itu, dan ia tidak mengenal seseorang lainnya. Mereka sempat melakukan
perkenalan singkat sebelum pembicaraan dimulai.
Tanpa diragukan lagi, Aldi mengalami asumsi ketiga, yaitu perilaku publik
yang dipengaruhi oleh penilaian opini publik. Ia merasa bahwa kami tidak berpihak
pada opininya, maka ia lebih memilih untuk diam.
Kami melawan argumennya lagi dengan, menyatakan bahwa yang pasti jadi
nakal itu apabila orang tua tersebut single-parent ketika anaknya masih duduk di
bangku SD.
Saat itu ia terdiam dan merasa sulit untuk ingin melanjutkan percakapan,
lalu ia mengalihkan arah pembicaraan dengan bertanya kembali tentang kehidupan
Adolf Hitler yang sebelumnya kami katakan sebagai contoh.
Dan seperti yang bisa diduga-duga, kami berusaha menekan si Aldi ini
dengan fakta lainnya lagi. Dengan mengejutkan, ketika kami bertanya tentang
pendapatnya lagi, ia akhirnya mengenluarkan kalimat, “Hei, saya ini anak dari
seorang single-parent dari sejak saya SD. Namun, lihatlah diriku. Apakah aku ini
seorang anak nakal?”
Teori Spiral of Silent merupakan salah satu dari sedikit teori dalam komunikasi
yang berfokus pada opini publik. Seperti yang dinyatakan oleh Mihaley
Csikszentmihalyi bahwa
Teori ini telah dinyatakan sebagai dasar yang penting dalam mempelajari
kondisi manusia. Namun, Caroll Glynn dan Jack McLeod (1985) melihat bahwa
bahwa rasa takut akan isolasi mungkin tidak akan memotivasi seseorang untuk
mengemukakan opini mereka. Sama seperti hasil wawancara kami diatas.
Bahwasanya, ketika responden kami sudah merasa terpojokkan dengan argumen
yang kami bangun, ia akan merasa bahwa dia sendirian. Maka, responden mulai
meluruhkan pertahanan yang awalnya di bangun untuk menutupi ketidaksamaan
pemikiran terhadap isu. Kemudian mengubah haluan secara perlahan menjadi
selaras dengan pendapat kami terhada isu. Yang mana responden merasa jika terus
bertahan dan mengatakn bahwa dia tidak sependapat dengan kami, responden tidak
akan menang. Maka, akhirnya responden memilih diam dan ikut dalam arus
mayoritas demi tidak terlihat mencolok dan dianggap berbeda. Ia melakukan
ayunan menit terakhir (last-minute swing). Namun, kadang ada juga yang
merupakan minoritas hard core yang sudah siap dengan konsekuensi yang akan
didapatkan apabila ia mengeluarkan pendapatnya. Ia juga sudah siap untuk
terisolasi juga kalau memang diperlukan.
Di lain sisi, menurut kami, ada juga saat ketika pemilik pandangan minoritas
bukan takut akan terisolasi, namun ia memang merasa bahwa pandangan mayoritas
menjadi lebih bisa dimengerti daripada pandangan miliknya, sehingga yang
membuat pemilik pandangan minoritas itu akhirnya berubah untuk memilih seperti
pandangan mayoritas.
DAFTAR REFERENSI
West, Richard & Turner, Lynn H. 2013. Teori Komunikasi Buku 2 Edisi 3.
Jakarta: Salemba Humanika
LAMPIRAN
R : Boleh banget kok dek. Tapi masalahnya abg lagi di luar kota pulak ini... ada
kegiatan. Bye phone gini ajalah, kalau orang adek mau.
P1 : Waaah... gitu ya bang. Semangat abg yang sedang berkegiatan!. Gak papa kali
kok bang kalau misalnya bye phone gini. Noy izin tambahkan temen
noy ke obrolan kita ya bang?...
P2 : Hallo bang, saya Mickael... temenya Noy. Kemarin pas di kampus, Noy cerita
kalau dia abis ngobrol-ngobrol gitu sama abg. Dan saya tertarik juga nih
bang, buat ngobrol sama abg. Kayaknya seru dan bisa nambah ilmu baru
gitu bang.. heheheh
P1 : Isu kita yang kemaren tu aja bang, kita bincangkan lagi. Ya Mike?
P2 : Iya bang... hehehe, saya penasaran dan pengen denger langsung nih bang
tentang pendapat abg mengenai mengenai Dewan Perwakilan Rakyak
yang Tidak Hadir dalam Rapat Adalah Sebuah Masalah dan
Membuktikan Kinerja DPR yang Buruk.
R : Sama kayak kemaren sih. Menurut saya, sepinya rapat DPR ini sebenarnya
bukanlah suatu masalah. Karena, DPR itu Perwakilan Rakyat. Jadi demi
kepentingan rakyat itu sendiri, DPR haruslah fleksibel dengan turun
langsung ke lapangan dan melihat langsung keadaan rakyat dan apa
yang dibutuhkan oleh rakyat. Kan percuma juga kalau menghadiri rapat, tapi
yang mau diomongin itu kosong dan ga sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Maksudnya disini juga demi kepentingan rakyat itu sendiri toh.
P1 : Kalau begitu bang, dengan tidak hadirnya mereka -yg terjun langsung ke
lapangan- tadi ke rapat, bagaimana bisa mereka menyampaikan
keadaan lapangan dan ikut untuk mengambil keputusan?
P2 : Iya juga ya Mike, kalau mereka ga datang rapat. Gimana caranya nyampein
kejadian lapangan dan mengangkat apa yg disuarakan rakyat untuk
mengambil keputusan?
R : Rapat itu kan juga tidak hanya sekali, dek. Dan dalam mengambil keputusan
itu tidak hanya ditarik benang merah dari satu rapat saja. Masih banyak
agenda rapat yang lain, dimana juga bisa sekalian mengevaluasi dari hasil
rapat sebelumnya. Toh, sekali tidak datang rapat, apalagi dikarenakan
alasan terjun langsung ke lapangan bukanlah suatu masalah.
kan bang?
R : Iya sih, dek. Tapi, kadang ada banyak hal urgent lain daripada hanya sekadar
datang rapat, dek. Ada banyak hal penting yang tidak bisa diprediksi
sebelumnya dan terjadi dilapangan. Jadi wajar aja sih jika DPR memilih
terjun langsung kelapangan untuk melihat dan menemukan masalah
kebutuhan apa yang harus dipenuhi untuk masyarakat saat itu.
P2 : Ya hal urgent nya kan ga senantiasa ada bang. Dan ga secara bersamaan gitu,
dari 500 kursi, yang terisi Cuma 100.
R : Terkadang juga kan, individu yang datang ke rapat pun tidak mengelurkan
pendapat dan mengikuti rapat dengan baik. Hanya menjadi penonton dan
mengisi kehadiran bahwa sudah hadir dalam rapat. Persoalan apa faedah
dari datang rapat tersebut pun, peserta rapat jarang mengetahuinya. Yaahhh..
daipada Cuma datang terkantuk-kantuk ke ruang rapat yg ber-AC itu, lebih
baik panas-panasan di lapangan kan. Hahahah....
P1 : Waaah... dari statment abang barusan, kayanya abg setuju nih sama yang kami
bilang, bahwa kinerja DPR masih cukup buruk.
P2 : Tapi, faktanya juga kan bang.. dilapangan sendiri jarang sekali kita temui
adanya dewan yang mau terjun langsung. Ujung-ujungnya juga kan bang,
DPR itu memerintahkan staffnya ataupun pelaksana tugasnya yang terjun
melihat kelapangan. Mirisnya lagi itupun masih jarang kita temui staff
atau plt di lapangan, bang.
P1 : Noy setuju sih sama yg dibilang Mike. Lantas bang, turun kelapangan macam
apa yang sedari tadi abg gadang-gadangkan? Hehehhe...
P2 : Nah, kalau menurut abg sendiri nih, tentang kinerja DPR itu gmna sih bang?
(Lama tidak ada jawaban)
P1 : oh iya, heheh.. jadi gimana nih bang, kinerja DPR sendiri menurut abg udah
good apa belum nih kah bang?
R : Abang juga kenya setuju aja sih, dengan apa yang kalian sampaikan. Karena
juga sampai sekarang ini kinerja dari DPR sendiri belum cukup
memuaskan.
Log Panggilan:
Wawancara Isu Sosial
P1: Aku sendiri kemarin ada ikut Breakfast Club gitu, kita bahas soal Adolf Hitler.
Jadi ternyata Adolf Hitler itu ibunya adalah keturunan yahudi, yang ayahnya
ceraikan ketika Aldolf Hitler masih kecil. Kemudian mama menikah lagi
dengan seorang Yahudi yang sangat kejam. Jadi ia sendiri memiliki hubungan
dekat dengan keturunan Yahudi, namun dewasa, ia malah justru sangat sadis
dengan keturunan Yahudi tersebut.
P2: Benar. Teman aku juga ada yang orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih
kecil. Dan sekarang hidupnya seperti remaja yang bebas dan emosi, juga
mentalnya tidak terkendali. Ia bisa begitu manja, seperti tidak bisa melakukan
pekerjaan mudah sekalipun.
P1: Itulah yang terjadi pada pada orang tua single-parent ketika anaknya masih
dibawah 9 atau 10 tahun. Mereka tidak mampu mengatasi emosi mental yang
terjadi pada anaknya. Sepertinya memang tidak pernah ada orang tua single-
parent dini yang anaknya baik-baik.
P1: Memangnya pada umur berapakah orang tua Shania itu berpisah?
P2: Nah, hal ini tidak akan begitu berpengaruh pada anak yang sudah bisa mulai
mengerti alasan orang tuanya melakukan demikian. Sebab di tingkat SMP kita
sendiri juga sudah mulai mengerti mengenai hubungan-hubungan dalam suatu
pasangan, bukan? Tapi bagaimana dengan anak SD?
R: (di sini Responden kembali terdiam, dan kami mulai memberikan lebih banyak
fakta-fakta lagi)
P1: Ada satu orang yang ku kenal, ia sudah lumayan lama single-parent. Kedua
anaknya saat itu dua-duanya masih mengibjak bangku SD. Aku berani
menjamin, kalian pasti langsung mengenal siapa kedua orang tersebut apabila
kalian berada dalam satu kelompok kecil bersama mereka. Sebab mereka
sangat menunjukkan kebutuhan mereka terhadap perhatian dari orang-orang
sekitarnya. Mereka sering melakukan gerak-gerik yang bisa menjadi sangat
mengganggu.
P2: Sama persis seperti adik sepupu saya yang juga begitu suka cari perhatian terus-
menerus, non-stop. Kalau disuruh jangan, ia akan dengan sengaja melakukan
yang diperintahkan untuk jangan. Misalnya, orang suruh dia jangan mematikan
lampu, ia akan sengaja mematikan lampu tersebut, tanpa peduli orang lain akan
menjadi marah. Ia memang sudah merupakan anak tanteku, seorang single-
parent, sejak ia berumur 7 tahun.
Lalu kami, secara bersamaan menatap Aldi untuk menunggu tanggapan dari
dirinya.
R: Jadi apa yang yang tadi kamu katakan terjadi pada Adolf Hitler? Apakah
memang saat itu, ia juga sedang mengalami guncangan mental pada dirinya?
P1: Yang jelas, banyak permasalahan keluarga yang dialaminya pada m=usianya
yang belum matang.
P2: Jadi apakah menurutmu, memang benar adanya bahwa orang tua single-parent
sejak usia anak masih di bawah 10 tahun, pasti mengalami guncangan mental?
R: Hm.. kurasa itu jelas tetap berhubungan dengan bagaimana suatu hubungan itu
terpisah. Apakah karna alam, atau memang pertengkaran yang dahsyat.
P2: Keduanya.
R: Hei, saya ini anak dari seorang single-parent dari sejak saya SD. Namun, lihatlah
diriku. Apakah aku ini seorang anak nakal?