Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius
baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub
Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri
terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan  di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per
tahun (Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta kematian
tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari  5 orang balita di dunia meninggal setiap harinya. Dari
seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi pada 15 negara,
termasuk  Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6
juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA)
pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian
pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di Indonesia 83
orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian
jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian
balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA  nampak dari jumlah
kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota. Sampai dengan
awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA mengunjungi puskesmas
dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan prosentase penyakit ISPA di
setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk
tahun 2010, menemukan angka kematian balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk
bayi  laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000
kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih di
dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA diantaranya
infeksi saluran pernapasan
atas sebanyak4.428 kasus, TB sebanyak 1.720 kasus, faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bro
nkhitis  akut  sebanyak  1.215kasus, dan batuk 853 kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat
dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap puskesmas, yaitu bronchitis  dan  bronkhioolitis
akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran bagian atas akut sebanyak 278
kasus,  tuberculosis  paru  sebanyak  159  kasus,  asma  sebanyak  150
kasus, pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan
gangguan mastoid sebanyak 39 kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama diantara 10
besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang terdaftar di
Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun ditahun 2012 yang
berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti rata-rata balita yang terkena
ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata kunjungan balita
yang positif karena penyakit dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai 25 orang.   Dominasi
ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011
dan  menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia
tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang semakin tinggi
pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang memberikan
kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab bagaimanapun juga faktor dominan
penyebab penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban,
pencemaran udara dalam rumah, pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak
memadai dan air minum yang kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat begitu
banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan yang tidak sehat
dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010 dimana secara nasional
pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak hanya sebesar 55,53%,
presentase paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (25,35%). Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas sanitasi
layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan
(38,55%) (Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang hanya
sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga menunjukan
kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah manapun kita berada di
Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di wilayah Daerah Instimewa
Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase
rumah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun
2005, hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan sebagian
rumah di beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh tersebut mengakibatkan
kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman  tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085 rumah
(37,20%), dari rumah yang diperiksatersebut kategori sehat sebanyak 69.823
rumah (83,0%) (Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628 rumah (14,97%). Dari
hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332 (79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, DIY”.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu “Adakah hubungan antara
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?”

C.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

2.    Tujuan Khusus
a.         Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b.         Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D.    Manfaat Penelitian
1.    Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi puskesmas
tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan sanitasi
lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya, membuat tempat limbah rumah
tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah, menjaga
pencahayaan dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2.    Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat seperti lantai yang kotor,
kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi dalam
rumah, pembuangan limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan kejadian
ISPA pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti yang ingin
mengembangkan penelitian lebih lanjut.

E.     Keaslian Penelitian
1.    Ayu (2006), meneliti ”Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali”. Jenis penelitian ini adalah observasional
dengan rancangan penelitiancross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah cluster random sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara
ventilasi rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA, antara lain
ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001), dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan rancangan
penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
2.    Keman (2006), memeneliti tentang “Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Terhadap
Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu
11 Kabupaten Gianyar Bali”. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan
rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5
tahun. Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakansystem random sampling. Sebagai
respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan antara sanitasi
fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian ISPA pada balita di bawah 5 tahun di
mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan
keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi penelitian, jenis
penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu variabel penelitian, tempat
penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
3.    Juwati (2008), meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan Penyakit
ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta”. Jenis penelitian ini
adalah non eksperimen dengan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik
pengambilan sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian, rancangan
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Juwati
adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Tinjauan Teori
1.    Balita
a.    Pengertian Balita
            Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak usia kurang dari
empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih tergantung penuh kepada
orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan lain, seperti berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan
usia balita tersebut (Nelson, 2000).
        Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang manusia, bahkan
menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa selanjutnya.
Pada masa ini, pertumbuhan balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering
disebut sebagai golden ageatau masa keemasan (Nelson, 2000).
b.   Karakteristik Balita
        Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-4 tahun dan
anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih cepat dibandingkan masa
prasekolah sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya pertumbuhannya berlansung
lebih baik(Nelson, 2000).
        Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya sehingga berat
badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan aktivitas yang mulai meningkat.
Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan teman
seusianya sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c.    Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga proses
yang sama(Supartiny, 2004):
1)        Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak akan berusaha
menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2)        Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak akan lebih dulu
menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.
3)        Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-
lain.
        Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif yang artinya, anak
mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah sel serta jaringan intraseluler, seperti
meningkatnya berat badan dan tinggi badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala, muncul dan
bertambahnya gigi dan gerahang, menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot,
bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya (Supartiny,
2004).
        Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya berlangsung secara
perlahan-lahan, bertahap, dan terpola secara proporsional tiap bulannya. Ketika kita melihat
adanya penambahan ukuran tubuh pada balita maka bisa dikatakan proses pertumbuhan balita
tersebut berlangsung baik, salah satu caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat
badan dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang
terlihat merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan atau
hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
        Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya pada diri balita
akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi), baik itu kemampuan
personal maupun kemampuan sosil (Suririnah, 2006).
1)        Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan
meliputi;
a)        Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca
b)        Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan menyimak pembicaraan
c)        Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk
d)       Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda kasar atau halus
e)        Pengecap,  misalnya merasakan pahit, manis dan asam.
2)        Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari kemampuan personal
yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita akan berhubungan degan beragam aspek
lingkungan sekitar yang membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat di mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun dan
mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia
belum pandai dalam berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d.   Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi yang
meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan
stimulasi dini (asah)(Nelson, 2000).
1)        Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).
Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh kembang anak. Pada usia balita,
perkembangan dalam kemampuan untuk berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional
dan inteligensi anak berjalan sangat cepat (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan mempengaruhi tumbuh
kembang fisik maupun biologis balita. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zat-
zat gizi yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-
zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson, 2000).
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan berlangsung
optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian
otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis
yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan
terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit (Nelson, 2000).
2)        Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).
Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu orangtua merupakan
tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi
atau kasih  sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam
kemampuan membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua merupakan teladan
yang baik bagi anak-anaknya karena melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru
unsur-unsur positif dan menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak
orangtua sebaiknya melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Nelson, 2000).
3)        Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak
sedini mungkin, bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan
agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan
merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan
mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu,
stimulasi dini juga dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,
kreativitas dan lain-lain pada anak(Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistik,
kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal,
kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis
(Suririnah, 2006).
2.    Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
a.       Pengertian ISPA
      Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari walaupun beberapa
penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari(Gunawan, 2004).
      ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak yang
dapat menyerang dari salah satu organ saluran pernapasan mulai dari hidung
hingga alveoli beserta organadneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA adalah proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus,
bakteri, atipikal, atau spairasi subtansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran
pernapasan (Wong, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, penyakit ISPA adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
b.      Jenis-jenis penyakit ISPA
      Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah: influenza, sinusitis,
faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis paru.
1)    Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak dan
penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah,
2005). Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh
virus haemophillus influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri kepala yang hebat,
nyeri otot, demam, menggigil dan anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali mengalami komplikasi
terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi sekunder bakteri patogen
seperti pneumokokus, sreptokokus, haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor
predisposisi kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin. Keluar
sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret menjadi
kental danpurulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan
mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2)   Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat menyebabkan
perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum dan leukosit dan jaringan menjadi
kemerahan dan mengalami pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian
atas,sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering ditemukan pada anak kecil karena sinus
frontalis belum berkembang pada anak kecil.  Jika terkena infeksi sinusitis maka akan
menyebabkan nyeri tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat
berulang-ulang hinga menetap dan kadang-kadang menyebabkan post nasal drip (Hull, 2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran
cairan serosa sampai purulen melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan tertekan di
atas sinus yang tertekan akibat tersumbatnyaostium sehingga timbul tekanan negatif dalam
sinus. Gejala lain seperti yeri kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat
mulut, penciuman terganggu, bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke
kelopak mata (Ngastiyah, 2005).
3)   Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang  faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di sekitarnya, sehingga
infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil, sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut
dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat nyeri di tenggorokan, mulut
berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai otalgia, demam tinggi dan pembesaran
kelenjar submandibula(Ngastiyah, 2005).
4)   Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda
karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus, streptococcus viridans,
pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses radang pada laring dipermudah oleh trauma,
bahan kimia, radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).
Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya infeksi ini disebabkan oleh
infeksi virus pada saluran pernapasan terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung
menyebar ke saluran penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus, sulit
bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada bayi (Hull,
2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek, nyeri menelan, dan pada
waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas sampai stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan
terdapat tanda obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas bertambah
berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).
5)   Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang saluran pernafasan
bagian atas, dengan tanda kas timbulnya pseudomembran.
Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae corynebacterium, bersifat gram positif,
tidak bergerak dan tidak berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan suhu c
selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu, dan lendir
yang telah mengering(Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain conynebacterium
diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui
percikan ludah dari orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-7
hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan
gejala lokal yang timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan
pada kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium lanjut (Ngastiyah,
2005).
6)   Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan).
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak dan
bergram negatif. penyakit ini sangat mudah tertular dan dapat mengenai seluruh golongan umur,
biasanya lebih banyak mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada
ditempat yang padat penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis. Penyakit ini biasanya
berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa bayi. Pada orang
dengan pertusis biasanya akan muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme,
muntah, sianosis, apneu dan akan mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari 2-3
minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan menjadi
berat  menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak
dan anoreksia, keringat dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar, tanpak
gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah, 2005).
7)   Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat
malnutrisi atau faktor lain akan menderita pneumonia berulang.
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi traktus
respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik dengan mendadak
sampai 39-40 dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernapasan cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta  sianosis di
sekitar mulut dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering
kemudian menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).
8)   Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering di derita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian
besar disebabkan oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat mengenai trakea dan
laring yang berlansung lama. penyakit ini dapat memproduksi mukus yang berlebihan sehingga
menimbulkan batuk kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun (Somantri, 2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat mengakibatkan kerusakan dan
dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih
banyak. Penyakit ini biasanya karena infeksi  pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada
anak-anak kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, disertai batuk pilek
beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak
napas, makin lama makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk,
terlihat juga pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan
biasanya terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang di sertai dengan
mengi (Ngastiyah, 2005).
9)   Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer yang disebabkan
olehmycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer
biasanya terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian
atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki, penyakit
ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat dengan kepadatan penghuni yang dapat membuat
cahaya matahari susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering ditemukan
pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,
tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu  60 c selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar fokus primer
tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan juga bisa melalui oral jika
meminum susu yang mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini adalah
demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk, demam,
anoreksia dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus
abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpahepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c.       Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan Streptococcus
pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus aureaus
dan Klebsiella  pneumonia, sedangkan virus yang sering menjadi
penyebab ISPA adalah respiratory syncytial virus (RSV) daninfluenza. Jamur yang biasanya
ditemukan sebagai penyebab ISPA pada anak dengan AIDS adalahPneumocystisjiroveci (WHO,
2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1)   Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster dan
infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli,
torch, Streptokokus dan Pneumokokus. Pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus,
yaitu Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV),
dan bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus,
dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
2)   Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Streptococci A. Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).

3)    Anak usia sekolah dan remaja


ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh virus, yaitu Adeno,
Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A
dan Mycoplasma (Depkes RI, 2010).
d.        Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala ISPA pada anak balita secara umum (Wong, 2003):
1)   Demam
Suhu badan meningkat 39,5-40,5  c, malas dan peka ransang, terkadang eoforia dan lebih
aktif dari normal, dapat mencetuskan kejang febris.
2)   Meningismus
Demam yang terjadi secara tiba-tiba dan disertai sakit kepala, nyeri dan kekakuan pada
punggung dan leher, adanya tanda kernig dan akan berkurang saat suhu tubuh turun.
3)   Muntah
Muntah dapat didahului tanda-tanda lain degan selang beberapa jam biasanya berlansung
singkat tetapi dapat menetap selama sakit.
4)   Diare
Diare biasanya ringan tapi lama kelamaan menjadi berat dan akan terjadi dehidrasi.
5)   Sumbatan lubang hidung
Lubang hidung balita mudah tersumbat oleh pembengkakan mukosa dan eksudasi yang
dapat mempengaruhi pernafasan dan menyusui pada bayi sehingga dapat menyebabkan otitis
media dansinusitis.
6)   Keluarnya cairan dari lubang hidung
Keluarnya cairan pada lubang hidung yang bersifat encer dan sedikit kental
dan purulentergantung pada tipe dan tahap infeksi, dapat menyebabkan kegatalan, dapat
mengiritasi bibir bagian atas dan kulit sekitar hidung.
7)   Batuk
Gambaran umum dari penyakit pernafasan dapat menjadi bukti hanya selama fase akut dan
dapat menetap selama beberapa bulan setelah penyakit muncul.
8)   Bunyi pernafasan
Suara serak, mengorok, stridor dan mengi.
9)   Sakit tenggorokan
Sakit tenggorokan merupakan keluhan yang sering dari anak dewasa, anak kecil tidak bisa
mengambarkan gejala, mungkin tidak akan mengeluh meskipun sudah sangat terinflamasi.
Seringkali anak menolak untuk makan dan minum.
Menurut derajat keparahanya, ISPA dapat di bagi menjadi tiga golongan (Kartasasmita,
2010):
a)   ISPA ringan
ISPA ringan yaitu terjadi batuk, serak (anak mengeluarkan suara parau pada waktu anak
bersuara), pilek (anak mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung), demam (suhu tubuh
meningkat lebih dari suhu tubuh normal) (Kartasasmita, 2010).
b)   ISPA sedang
ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak umur 1 tahun, suhu tubuh
meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit yang
menyerupai bercak campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari lubang
telinga(Kartasasmita, 2010).
c)   ISPA berat
ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan mulut, terlihat cuping hidung saat
bernafas, kesadaran menurun, pernafasan berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah, sela
iga tertarik ke dalam pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak
teraba, tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita, 2010).
e.         Cara penularan penyakit ISPA
ISPA ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan mengalami batuk,
bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri atau zat virus yang menyebabkan
ISPA secara tidak sengaja akan menginfeksi orang yang ada di sekitar yang menghirup udara
tersebut.
Faktor yang dapat memudahkan penularan (Said, 2010):
1)   Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah berkembangbiak dalam rumah
yang lantainya lembab, pencahayaan kurang, ventilasi yang tidak memenuhi standar dan polusi
udara entah karena asap rokok ataupun asap api sebagai bahan untuk memasak (Said, 2010).
2)   Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang lain baik lewat kontak
lansung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk tanpa menutup mulut dan
hidung (Said, 2010).
3)   Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang yang satu ke orang yang lain,
terutama pada rumah yang anggota keluarganya banyak dan tinggal dalam rumah yang
ukurannya kecil (Said, 2010).
f.         Pencegahan ISPA
ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan atau mengurangi
faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan melakukan pendidikan
kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan
pedoman diagnosis dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan
waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama pneumonia berat.
Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan
imunisasi, dan pengurangan polusi udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko.
Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi kejadian
ISPA (Depkes RI, 2010).
   Usaha pencegahan ISPA (WHO, 2003):
1)    Pencegahan Non spesifik.
a)   Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
Meningkatkan derajat sosio-ekonomi dapat mengurangi kejadian ISPA. Pada beberapa
negara berpenghasilan rendah pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan kesehatan
yang tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur kesehatan untuk
diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga kesehatan yang  terampil
terbatas, di tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang (WHO, 2003).
b)   Menurunkan angka kemiskinan
Angka kemiskinan yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian ISPA. Di negara berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah terdapat
banyak kasus ISPA karena susah untuk mendapat tempat tinggal yang layak ditambah besarnya
populasi anak akan semakin menambah tekanan pada pengendalian dan pencegahan ISPA
terutama pada aspek pembiayaan (WHO, 2003).
c)   Meningkatkan pendidikan kesehatan
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah pendidikan ibu dan
status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada
balita(Depkes RI, 2010).
d)  Meningkatkan status gizi
Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena ISPA. Imunisasi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah imunisasi pertusis (DTP),
campak,Haemophilus influenza, dan pneumokokus (WHO, 2003).
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan
alami terhadap ISPA sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari
jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Hull, 2008).
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan
pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita
dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat pneumonia dapat
dicegah (Hull, 2008).
e)   Meningkatkan derajat kesehatan
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk infeksi kronis dan
infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain seperti malaria, campak, gizi kurang,
defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn). tingginya prevalensi kolonisasi patogen di nasofaring,
tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan ASI dan
imunisasi yang tidak adekwat memperburuk derajat kesehatan (Depkes RI, 2010).
f)    Lingkungan yang bersih, bebas polusi
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam ruang akibat penggunaan biomass (bahan bakar
rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah lagi dengan
tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan dan kepercayaan
lokal yang salah (Depkes RI, 2010).
2)   Pencegahan Spesifik
a)   Cegah BBLR
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA. BBLR terdiri
atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan (prematur)
khususnya yang masa kehamilannya <35 minggu, biasanya mengalami penyulit seperti
gangguan napas karena infeksi pada saluran pernafasan (Depkes RI, 2010).
BLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir hingga dapat
terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir
yang bernafas cepat >60 kali/menit, lambat <30 kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut,
bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada serta merintih, dengan demikian BBLR sangat
beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Depkes RI, 2010).
b)   Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan
infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan
pemberian mikronutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian
ASI suboptimal mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20%
(Depkes RI, 2010).
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita
dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama
(Depkes RI, 2010).
c)   Vaksinasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah
vaksin pertussis(ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae type
b) dan Pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk
ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib
dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat
mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak
negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.
(1)      Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini dapat
dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan sendirinya, namun dapat dikatakan berat dengan
berbagai komplikasi seperti ISPA terutama pneumonia yang bahkan dapat mengakibatkan
kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem imun (WHO,
2003).
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit campak biasanya berat.
Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat
menurunkan kematian akibat pneumonia (Depkes RI, 2010)
(2)      Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari. Penyakit ini masih
sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi terhadap
penyakit ini sudah lama masuk ke dalam program imunisasi nasional di Indonesia, diberikan
dalam sediaan DTP, bersama difteri dan tetanus (Ngastiyah, 2005).
(3)      Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b (Hib) merupakan
penyebab ISPA dan radang otak (meningitis) yang utama. Diduga Hib mengakibatkan penyakit
berat pada 2 sampai 3 juta anak setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih dari 10
tahun, namun penggunaannya masih terbatas dan belum merata.. Hal ini dimungkinkan karena
harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib diberikan
kepada semua anak di negara berkembang (Somantri, 2007).
(4)      Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama terutama pneumonia pada anak di
negara berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun
dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan anak dibawah 3 tahun sudah tersedia,
yang dikenal sebagai Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) (Ngastiyah, 2005).
g.        Pertolongan pertama penderita ISPA
Usaha penanganan ISPA pada anak di rumah oleh seorang ibu dilakukan beberapa cara:
1)    Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua bulan dengan demam harus segera
dirujuk. Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara
pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan,
memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air
(tidak perlu di tambah air es)(Kusbiyantoro, 2009).
2)   Mengatasi batuk
Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu jeruk
nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan
diberikan tiga kali sehari (Kusbiyantoro, 2009).
3)    Pemberian nutrisi
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi sering, lebih-lebih
jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap diteruskan (Kusbiyantoro,
2009).
4)    Pemberian minuman
Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita (Kusbiyantoro, 2009).
5)    Pertolongan lain yang dapat dilakukan
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih
pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk
mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Apabila selama
perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau
petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di atas
diusahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari penuh
dan setelah dua hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan
ulang (Kusbiyantoro, 2009).
3.    Lingkungan Rumah
a.         Pengertian Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup,
benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata. Rumah dibuat karena manusia ingin
bernaung serta melindungi mereka dari berbagai macam ancaman kesehatan. Lingkungan
rumah antara lain mencakup udara, ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian rumah,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan air
besar atau kecil dan penyediaan sumber air bersih(Slamet, 2009).
Lingkungan rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi derajat kesehatan serta
produktifitas seseorang. Rumah merupakan surga bagi kita karena disitulah tempat kita
berlindung. Lingkungan rumah sebaiknya dijauhi dari segala macam faktor-fakor yang dapat
merugikan kesehatan misalnya limbah buangan pabrik, asap yang membuat udara tercemar,
tempat pembuangan sampah atau perternakan yang kurang bersih, fasilitas-fasilitas lainya
seperti air minum yang kurang bersih, fasilitas pembuangan limbah dan air yang tidak memadai.
Disamping itu sumber daya alam yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan seperti
adanya sinar matahari yang bisa menyinari segala ruangan di dalam rumah sehingga tidak
terjadi kelembaban di dalam rumah (Hindarto, 2007).
b.         Syarat Lingkungan dan Rumah Sehat
1)   Syarat lingkungan sehat.
a)   Sampah
Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas
manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Ada beberapa bentuk sampah yaitu
padat, cair dan gas. Secara sederhana sampah dapat dibagi berdasarkan sifatnya yaitu sampah
organik dan anorganik. Sampah organik yaitu sampah basah yang berasal dari makluk hidup
seperti dedaunan dan sampah dapur. Sampah organik ini mudah terurai secara alami.
Sementara itu sampah anorganik yaitu sampah kering yang tidak dapat terurai seperti karet,
plastik, kaleng dan logam(Suharmadi, 2002).
Sampah selalu menjadi persoalan rumit dalam masyarakat yang kurang peka terhadap
lingkungan. Ketidaksiplinan mengenai kebersihan dapat menciptakan suasana semberawut
akibat timbunan sampah, kondisi yang tidak menyenangkan akan muncul seperti bau tidak
sedap, lalat berterbangan dan peluang pencemaran lingkungan sekitar akan menjadi santapan
sehari-hari.Sampah rumah tangga dapat ditanggulangi dengan membuat lubang tempat
pembuangan sampah, melalui penimbunan supaya dapat diolah menjadi pupuk kandang
dan briket arang (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).
b)   Sumber Air dan Sumur
Penyediaan air minimum setiap rumah pada dasarnya harus memenuhi persyaratan.
Berkenaan dengan itu maka air yang akan dipergunakan untuk air minum harus berdasarkan
rekomendasi dari PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan contoh air hendaknya
dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya bukan oleh pihak developer. Untuk
menyediakan air minum dengan jumlah yang cukup, dapat diambil sumber dari Sumur gali,
sumurartesis dan PDAM/PAM (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(1)      Gali
Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil dari sumur gali, maka untuk setiap
sumur gali hanya diperbolehkan mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Pipa sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur tersebut selalu dapat
menyediakan air dengan jumlah yang cukup, walaupun pada musim kemarau (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008) .
Jarak sumur gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-lebih septic tank harus lebih
besar dari 8 meter. Untuk sumur gali jarak tersebut diukur dari dinding sumur ke dinding bagian
luar septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2)      Sumur Artesis
Debit air harus dapat memenuhi kebutuhan setiap penghuni rumah dengan cukup.
Pusatreservoir dengan ketinggian yang cukup ( >4 meter dari kran rumah yang tertinggi) dan
volume minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah per hari dari rumah-rumah
yang disalurkan oleh sumur tersebut (Suharmadi, 2002).
Jarak lokasi sumur artesis dengan lokasi pembuangan air kotor (≥25 meter). Letak pompa
atau inlet pipa sedot harus paling dekat 2 meter di bawah muka air terendah yang ada dalam
jamban.
Instalasi jaring-jaring pipa distribusinya harus direncanakan dan dipasang sesuai dengan
ketentuan PDAM setempat dan pelaksanaannya harus ditangani oleh instalatur yang
mempunyai surat pas dari PDAM setempat. Untuk itu baik perencanaan maupun
pelaksanaannya harus diawasi oleh PDAM (Suharmadi, 2002).
(3)      PDAM (PAM)
Rumah yang dianggap telah tersedia air PAM dengan baik yaitu bila penyambungan pipa
beserta meterannya telah terpasang. Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya
supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan tersebut perlu adanya
testing secara periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah disaring. Debit
airnya harus mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan baik, maka persyaratan bak
reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi. Tiap rumah agar dipasang meteran
air, dan jaringan instalasi distribusinya harus dilegalisir oleh PAM setempat (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
c)   Pembuangan air kotoran (WC)
Pembuangan air kotoran dari WC dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dari
tingginya permukaan tanah. Apabila permukaan air tanah cukup dalam yakni di bawah 1 meter,
dari permukaan tanah, sebaiknya dipakai sistim Septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008):
(1)      Bak septic
Dinding dan alas atau dasarnya harus rapat (tebal plesteran harus >2 cm), volume air dalam
bak septic minimal 1 meter kubik, tinggi air dalam bak septic minimal 1,20 meter, letak
lubang inlet minimal harus 10 cm di atas lubang outlet, bagian dinding penyekat yang masuk
dalam air minimal harus 40 cm, jarak lubang outlet dan inlet minimal 1 meter, jarak dari sumur
penampungan minimal 8 meter (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2)      Lubang pemeriksaan kontrol untuk bak septic
Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak inlet perlu dipasang lubang untuk
pemeriksaan dan pengurasan. Alat tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat dari
permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(3)      Peresapan
Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air minimal 400 liter/hari, kalau
peresapan tersebut hanya dipakai untuk meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau
peresapan tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari cucian dan kamar mandi, maka daya
resapnya harus mampu untuk meresapkan air minimal 2000 liter/hari (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis tanahnya. Oleh karena itu untuk
daerah-daerah yang jenis tanahnya bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari tanah
tersebut perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang resap yang dibutuhkan. Jenis tanah yang
sulit meresapkan air atau kedap air antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya warnanya
hitam), tanah lempung, tanah berkapur atau batuan kapur. Untuk menyelidiki daya serap tanah
dapat dilakukan pengujian melalui laboratorium mekanika tanah dengan dicoba langsung di
lapangan. Apabila akan dicoba langsung di lapangan maka sebaiknya dilakukan pada waktu
musim hujan (agar pengadaan tanah dalam keadaan yang terjelek) (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
d)  Pembuangan air limbah dan air hujan
Apabila akan dipakai saluran, dapat dikerjakan sebagai berikut, kalau pembuangan air dari
cucian dan kamar mandi disalurkan rembesan, maka harus dipenuhi syarat (Suharmadi, 2002):
(1)      Luas bidang rembesan harus dihitung dulu untuk mampu meresapkan air tersebut di atas (±
2000 liter/hari).
(2)      Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut dimasukan ke rembesan
(3)      Pembuangan atau pengaliran air hujan harus disediakan tersendiri karena debitnya cukup besar
(dibuang ke saluran umum atau sungai).
e)   Asap dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain disebabkan oleh infeksi
kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan
karena asap dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya
antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak, asap rokok,
pengguna insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti
cat dan asbes (Sukar, 1996).
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan
bakarbiomassa yang menimbulkan asap yang berbahaya bagi kesehatan adalah :
(1)      Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung unsur-unsur kimia,
seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini
tergantung pada kandungan kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam
seperti Pb danCd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu
lama akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat pernapasan. Hal ini
akan menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas
sampai dengan timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).
(2)      Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena diketahui
bersifatkarsinogenik adalah benzo-a-pyrene (Anwar, 1992).
(3)      Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung dan alat pernapasan
bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan
air mata atau lendir dalam saluran pernapasan (Anwar, 1992).
(4)      Carbonmonoksida(CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen dalam tubuh, yang
disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan molekul
hemoglobin membentukCOHb (Anwar, 1992).
(5)      Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah
kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau virus (influenza)
(Anwar, 1992).
(6)      Sulfurdioksida(SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air membentuk asam sulfat
aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru (Anwar, 1992).
Anak-anak atau balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan ibunya ketika
sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan polusi
dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus
menyebabkan iritasipada mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya infeksi
(Anwar, 1992).
f)    Kebiasaan merokok dalam rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah
perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun
menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru
perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni,
2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung
rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh
asapsidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua
atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok
pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota
keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat
penyakitanginapectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit
saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas
berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang
tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di
jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan
mengakibatkan pecahnya kantong udara(Dachroni, 2003).
2)   Bahan bangunan Rumah
a)   Lantai
Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media yang baik untuk
perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA. Usaha yang perlu dilakukan untuk
menghindari bakteri atau virus infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari
bahan kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di plaster atau memasang
ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan (Departemen Pekerjaan Umum, 1985).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009  tentang hubungan antara lantai rumah dengan kejadian
ISPA di Desa Cepogo memperkuat fakta bahwa lantai rumah yang tidak  memenuhi syarat
kesehatan dapat mempengaruhi kejadian ISPA
dengan didapatkan nilai p (0,025)  lebih kecil dari nilai α (0,05). Dari sampel penelitian yang
diteliti memperlihatkan bahwa, rumah  yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 13 rumah
sedangkan lantai rumah yang  tidak  memenuhi  syarat  sebanyak 24   rumah.
b)   Dinding
Dinding adalah bagian dari bangunan yang dipasang secara vertikal dengan fungsi sebagai
pemisah antar ruang dalam rumah dengan ruang luar rumah. Dinding rumah yang sehat
menggunakan tembok yang terbuat dari batako dan sudah diplester, tetapi dinding rumah di
daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu, hal ini
akan mempersulit untuk dibersihkan sehingga menyebabkan penumpukan debu dan menjadi
media yang baik untuk perkembangan bakteri seperti bakteri penyebab ISPA (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 mengambarkan bahwa dinding rumah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan mempunyai hubungan erat dengan kejadian ISPA
dengan nilai p  (0,00) lebih kecil dari nilai α  (0,05). Dari beberapa responden yang
diteliti didapatkan responden yang terinfeksi penyakit ISPA dan menggunakan dinding
rumah yang  memenuhi syarat kesehatan sebanyak 5 rumah dan responden yang terkena ISPA
dan menggunakan dinding rumah yang tidak  memenuhisyarat kesehatan sebanyak 32 rumah.
c)   Atap
Atap adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai penutup seluruh ruangan
yang ada dibawahnya terhadap pengaruh panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan
perlindungan. Atap  rumah yang sehat seharusnya terbuat dari genteng dan menggunakan
plafon atau langit-langit agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah ataupun panas
matahari. Atap rumah yang terbuat dari genteng akan tahan terhadap pengaruh cuaca, serta
masyarakat juga dapat membuatnya sendiri (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Supriyanto (2008) di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai atap rumah yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 16 rumah dan responden yang terkena ISPA yang
menggunakan  ataprumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 21  rumah.

d)  Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa menggantikan udara ruangan
yang sudah terpakai dengan udara yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan
kelembaban udara dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya
lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono, 2011):
(1)      Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang
ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai
sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2)      Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap hasil pembakaran
sampah atau asap kendaraan bermotor serta debu.
(3)      Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang hawa tidak terhalang oleh
barang-barang rumah seperti lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.
(4)      Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah.
 Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah
di DesaPenjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang menggunakan  ventilasi
rumah yang baik sebanyak 10  rumah dan responden yang terkena ISPA yang menggunakan
ventilasi rumah yangtidak  baik sebanyak 27 rumah.
e)   Tingkat kepadatan penghuni
Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas bangunan harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 20  untuk tiap anggota keluarga.
Riskesdas (2007) menunjukan  provinsi dengan proporsi hunian padat lebih
tinggi dari reratanasional antara lain Papua (51,0%), Papua Barat
(40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%). (BPPK Depkes RI, 2008).
Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan (Ambarwati, 2007) :
(1)      Tentukan rumah yang akan di hitung
(2)      Ukur dan hitung luas rumah L = p x l
(3)      Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah tersebut dengan cara :
  

f)    Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.
Kurangnya cahaya, terutama cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang
nyaman, juga merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya merusak mata (Suharmadi,
2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:

(1)      Cahaya alamiah
Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela,
celah-celah, dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak
terhalang oleh bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar yang tinggi. Cahaya matahari dapat
mengurangi kelembaban dalam ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman
penyebab penyakit seperti penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurang 10-20% dari luas lantai rumah (Kasjono, 2011).
(2)      Cahaya buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu minyak, listrik, gas dan
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat
ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari pagi yang baik,
sebaiknya jendela kamar harus menghadap ke timur. Luas jendela sebaiknya 10-20% dari luas
lantai rumah. Kuat sinar yang memenuhi standar penerangan dalam rumah yaitu berkisar antara
50-100 lux. Pada bagian tertentu kuat penyinaran untuk penerangan seperti dapur memerlukan
200 lux, sedangkan kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar berkisar 100
lux  (Kasjono, 2011).
Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan antara kondisi fisik kamar hunian
dengan kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan
responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang baik sebanyak 10 rumah
sedangkan responden yang terkena ISPA yang mendapatkan pencahayaan yang kurang baik
sebanyak 27  rumah.
g)   Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat perhatian kusus dari penghuni
rumah. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit
basah, hal ini akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut. Kelembaban
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA.
Kelembaban rumah yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40% atau
lebih dari 60% (Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi square untuk
hubungan antarakelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita
di Desa Cepogo, didapatkan nilai p (0,883)lebih  kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
terdapat hubungan yang signifikan antarakelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan
menunjukan responden yang terkena ISPAmempunyai kelembaban rumah yang kurang baik
sebanyak 18 rumah dan responden yang terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah baik
sebanyak 15 rumah.
h)   Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena kuman biasanya
bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan bantuan tekanan oksigen dan suhu dari
lingkungannya. Dalam mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan rumah
tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah cukup tinggi maka akan membahayakan
bagi kesehatan (Sanropie, 1989).
Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih rendah 4   dari temperatur udara
luar ruangan. Untuk daerah tropis umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30  c sudah cukup
segar(Sanropie, 1989).
B.       Kerangka Teori

C.      Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah
       ISPA

Variabel pengganggu
1.    Nutrisi
2.    Status imunisasi
3.    Status ekonomi
4.    Pendidikan
  

Keterangan :
Variabel yang diteliti          :      
Variabel yang tidak diteliti :

D.      Hipotesis Penelitian
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-
4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB III
METODE PENELITIAN

A.      Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang berbentuk
angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode
penelitian observasional dan menggunakan  rancangancross sectional yaitu suatu penelitian
dimana variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek
penelitian diobservasi dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang
digunakan adalah korelasional deskriptif  yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti
dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori
yang ada yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).

B.       Tempat dan Waktu Penelitian


Penelilitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal 04 April 2013.

C.      Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


1.    Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005).Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur 1-4 tahun yang
terdaftar di Puskesmas Ngaglik I terhitung dari tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal
04 April 2013 yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 37 orang.
2.  Sampel penelitian       
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini
adalah total populasi yang berjumlah 37 orang.
3.  Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada
atau tersedia (Notoatmodjo, 2005).

D.      Variabel Penelitian
1.    Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah sanitasi lingkungan rumah.
2.    Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

E.       Definisi Operasional
1.    Lingkungan Rumah
Lingkungan  rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah dikategorikan:

a.    Baik            : 7-9
b.    Sedang        : 4-6
c.    Buruk          : 1-3
2.  Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas medis
lainnya di Puskesmas Ngaglik I.

F.       Tehnik Pengumpulan Data


Data diperoleh langsung oleh peneliti yang diawali dengan informed consent dengan
menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan sanitasi lingkungan
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita 1-4 tahun yang
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari Puskesmas
Ngaglik I.

G.      Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam penelitian ini
berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas ventilasi rumah
dan hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan dan lux meter untuk
mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa check list yaitu suatu daftar
pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran
pengamatan (Notoatmodjo, 2005).

H.      Pengolahan dan Analisa Data


1.    Pengolahan data
Menurut Setyadi (2009), pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh data
atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus
tertentu sehingga menhasilkan informasi yang diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan
cara mengolah hasil check list yang telah diisi oleh peneliti, kemudian diolah dengan
menggunakan komputer. Pengolahan meliputi:
a.    Editing
            Editing adalah memeriksa seluruh pernyataan dan pertanyaan yang sudah diisi oleh
peneliti. Jika terdapat kekeliruan, check list belum diisi atau pengisian yang tidak sesuai
dengan petunjuk akan diperbaiki dengan mengulang, sehingga data yang dimasukkan dalam
komputer adalah data yang benar.
b.    Coding
            Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden ke dalam
kategori dengan memberikan tanda atau simbol untuk memudahkan pengolahan data,
kemudian dilakukan skoring. Dalam hal ini peneliti memberikan skor pada masing-masing
variabel.
c.    Entry data
            Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan dalam tabel
dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang dimasukkan melalui pengolahan dalam
komputer.
d.   Tabulating
            Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan pertanyaan
dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang dijadikan dasar pertimbangan
dalam pemberian predikat sesuai ketentuan. Data yang ditabulasi kemudian dianalisis.

2.    Rencana Analisis Data


Hasil pengolahan data di analisis dengan uji statistik yaitu menggunakan Analisis
Univariat dan Bivariat .
a.    Analisis Univariat
            Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan variabel terikat
yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi lingkungan rumah dari hasil penelitian.
Pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel (Notoatmodjo, 2005).
b.    Analisis Bivariat
            Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi(Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variabel terikat(dependent) dan variabel bebas (independent) yaitu hubungan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis bivariat
yaitu dengan menguji masing-masing variabel dengan menggunakan program komputer.
            Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan
tingkat kepercayaan 95% :
1)   Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2)   Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

I.         Jalannya Penelitian
1.    Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal penelitian ini
adalah:
a.       Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b.      Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c.       Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d.      Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta.
e.       Menyusun proposal penelitian.
f.       Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
g.      Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
h.      Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
2.    Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:
a.    Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan
penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
b.    Mengajukan izin penelitian.
c.    Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
d.   Memberikan informed consent.
e.    Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
f.     Melakukan pengolahan data.
g.    Menganalisis data.
3.    Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
a.    Menyimpulkan hasil penelitian.
b.    Membuat laporan hasil penelitian.
c.    Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
d.   Melaksanakan seminar hasil penelitian.
e.    Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
f.     Pengumpulan hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media         Promosi


Kesehatan Indomesia No XIV.

Ambarwati. (2007). Cara-Cara Membuat Rumah   Sehat. Jakarta: Arsitek.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT     Rineka


Cipta.

Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki


Saluran  Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.

Azwar. (1990). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.

BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.

Budiarto. (2007). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Dachroni. (2003). Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Jakarta: Media        Promosi


Kesehatan Indonesia No XIV.

Departemen Pekerjaan Umum. (1985). Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat.      Jakarta:


Dinas Cipta Karya.

Depkes RI. (2010). Riskesdas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dinkes Kabupaten Sleman. (2011). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten


Sleman.      Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

Dinkes Provinsi DIY. (2010). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas


Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman.


(2008). Informasi              Penyehatan Lingkugan Pemukiman. Jakarta: Departemen
Kesehatan             RI.

Gunawan. (1999). ISPA pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: Dinkes    Provinsi


DIY.

Hindarto, P. (2007). Inspirasi Rumah Sehat di Perkotaan. Yogyakarta: Andi          Offset.

Hull, D. (2008). Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.

Iswarini, W. (2006). Rumah Sebagai Tempat Tinggal yang Nyaman. Bandung:


PT             Cipta Karya.
Juwati, S. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penanganan Penyakit          ISPA di
Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis      Yogyakarta.

Kartasasmita, B, C. (2010). Pneumonia Pembunuh Nomor 1. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Kasjono, S, H. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta: Gosyen.

Keman, P. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Social Ekonomi Terhadap       Kejadian


ISPA Pada Anak Balita serta Manajemen          Penanggulangannya    di Puskesmas
Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali.

Kemenkes RI. (2010). Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta:     Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

                                        (2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Indonesia.

Kumolowati, dkk. (2011). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.        Yogyakarta:


Dinas Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Kusbiyantoro. (2009). Pedoman pengendalian ISPA. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Nelson, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.


                                        (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka       Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian


Ilmu            Keperawatan. Jakarta: SalembaMedika.

Ranuh. (2001). Penanganan Penyakit Menular Pada Anak. Jakarta: EGC.

Said, M. (2010). Pengendalian ISPA Dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta: menrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Sanropie. (1989). Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta.

Setyadi. (2009). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Slamet, S, J. (2009). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University press.

Somantri, S. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan             Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.


Suharmadi. (2002). Lingkungan Rumah Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan       Republik
Indonesia.

Sukar. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA.         Bandung:


Buletin Penelitian Kesehatan.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Supriyanto, J, K. (2008). Hubungan Antara Kondisi Fisik Kamar Hunian Dengan Kejadian


ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara.   Yogyakarta.

Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka      Utama.

Tim Penulis Penebar Swadaya. (2008). Penanganan dan Pengelolaan Sampah.      Jakarta:


Penebar Swadaya.

Weber, M. (2011). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Jakarta:


Kementrian       Kesehatan Republik Indonesia .

Wong, dkk. (1991). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.


                    (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jajarta: EGC.

World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and            Control
of Pneumonia. Ge-neva: WHO.

                                                              (2003). Penanganan ISPA Pada Anak di


Rumah       Sakit    Negara Berkembang. Jakarta: Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai