PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius
baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub
Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri
terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per
tahun (Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta kematian
tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap harinya. Dari
seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi pada 15 negara,
termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6
juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA)
pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian
pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di Indonesia 83
orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian
jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian
balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari jumlah
kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota. Sampai dengan
awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA mengunjungi puskesmas
dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan prosentase penyakit ISPA di
setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk
tahun 2010, menemukan angka kematian balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk
bayi laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000
kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih di
dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA diantaranya
infeksi saluran pernapasan
atas sebanyak4.428 kasus, TB sebanyak 1.720 kasus, faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bro
nkhitis akut sebanyak 1.215kasus, dan batuk 853 kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat
dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap puskesmas, yaitu bronchitis dan bronkhioolitis
akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran bagian atas akut sebanyak 278
kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma sebanyak 150
kasus, pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan
gangguan mastoid sebanyak 39 kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama diantara 10
besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang terdaftar di
Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun ditahun 2012 yang
berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti rata-rata balita yang terkena
ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata kunjungan balita
yang positif karena penyakit dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi
ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011
dan menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia
tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang semakin tinggi
pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang memberikan
kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab bagaimanapun juga faktor dominan
penyebab penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban,
pencemaran udara dalam rumah, pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak
memadai dan air minum yang kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat begitu
banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan yang tidak sehat
dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010 dimana secara nasional
pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak hanya sebesar 55,53%,
presentase paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (25,35%). Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas sanitasi
layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan
(38,55%) (Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang hanya
sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga menunjukan
kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah manapun kita berada di
Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di wilayah Daerah Instimewa
Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase
rumah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun
2005, hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan sebagian
rumah di beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh tersebut mengakibatkan
kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085 rumah
(37,20%), dari rumah yang diperiksatersebut kategori sehat sebanyak 69.823
rumah (83,0%) (Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628 rumah (14,97%). Dari
hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332 (79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, DIY”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu “Adakah hubungan antara
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi puskesmas
tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan sanitasi
lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya, membuat tempat limbah rumah
tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah, menjaga
pencahayaan dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat seperti lantai yang kotor,
kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi dalam
rumah, pembuangan limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan kejadian
ISPA pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti yang ingin
mengembangkan penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti ”Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali”. Jenis penelitian ini adalah observasional
dengan rancangan penelitiancross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah cluster random sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara
ventilasi rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA, antara lain
ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001), dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan rancangan
penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang “Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Terhadap
Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu
11 Kabupaten Gianyar Bali”. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan
rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5
tahun. Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakansystem random sampling. Sebagai
respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan antara sanitasi
fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian ISPA pada balita di bawah 5 tahun di
mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan
keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi penelitian, jenis
penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu variabel penelitian, tempat
penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan Penyakit
ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta”. Jenis penelitian ini
adalah non eksperimen dengan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik
pengambilan sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian, rancangan
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Juwati
adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak usia kurang dari
empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih tergantung penuh kepada
orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan lain, seperti berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan
usia balita tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang manusia, bahkan
menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa selanjutnya.
Pada masa ini, pertumbuhan balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering
disebut sebagai golden ageatau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-4 tahun dan
anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih cepat dibandingkan masa
prasekolah sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya pertumbuhannya berlansung
lebih baik(Nelson, 2000).
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya sehingga berat
badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan aktivitas yang mulai meningkat.
Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan teman
seusianya sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga proses
yang sama(Supartiny, 2004):
1) Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak akan berusaha
menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2) Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak akan lebih dulu
menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.
3) Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-
lain.
Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif yang artinya, anak
mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah sel serta jaringan intraseluler, seperti
meningkatnya berat badan dan tinggi badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala, muncul dan
bertambahnya gigi dan gerahang, menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot,
bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya (Supartiny,
2004).
Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya berlangsung secara
perlahan-lahan, bertahap, dan terpola secara proporsional tiap bulannya. Ketika kita melihat
adanya penambahan ukuran tubuh pada balita maka bisa dikatakan proses pertumbuhan balita
tersebut berlangsung baik, salah satu caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat
badan dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang
terlihat merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan atau
hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya pada diri balita
akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi), baik itu kemampuan
personal maupun kemampuan sosil (Suririnah, 2006).
1) Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan
meliputi;
a) Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca
b) Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan menyimak pembicaraan
c) Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk
d) Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda kasar atau halus
e) Pengecap, misalnya merasakan pahit, manis dan asam.
2) Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari kemampuan personal
yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita akan berhubungan degan beragam aspek
lingkungan sekitar yang membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat di mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun dan
mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia
belum pandai dalam berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi yang
meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan
stimulasi dini (asah)(Nelson, 2000).
1) Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).
Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh kembang anak. Pada usia balita,
perkembangan dalam kemampuan untuk berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional
dan inteligensi anak berjalan sangat cepat (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan mempengaruhi tumbuh
kembang fisik maupun biologis balita. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zat-
zat gizi yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-
zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson, 2000).
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan berlangsung
optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian
otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis
yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan
terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit (Nelson, 2000).
2) Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).
Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu orangtua merupakan
tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi
atau kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam
kemampuan membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua merupakan teladan
yang baik bagi anak-anaknya karena melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru
unsur-unsur positif dan menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak
orangtua sebaiknya melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Nelson, 2000).
3) Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak
sedini mungkin, bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan
agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan
merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan
mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu,
stimulasi dini juga dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,
kreativitas dan lain-lain pada anak(Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistik,
kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal,
kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis
(Suririnah, 2006).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
a. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari walaupun beberapa
penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari(Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak yang
dapat menyerang dari salah satu organ saluran pernapasan mulai dari hidung
hingga alveoli beserta organadneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA adalah proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus,
bakteri, atipikal, atau spairasi subtansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran
pernapasan (Wong, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, penyakit ISPA adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
b. Jenis-jenis penyakit ISPA
Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah: influenza, sinusitis,
faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis paru.
1) Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak dan
penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah,
2005). Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh
virus haemophillus influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri kepala yang hebat,
nyeri otot, demam, menggigil dan anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali mengalami komplikasi
terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi sekunder bakteri patogen
seperti pneumokokus, sreptokokus, haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor
predisposisi kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin. Keluar
sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret menjadi
kental danpurulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan
mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat menyebabkan
perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum dan leukosit dan jaringan menjadi
kemerahan dan mengalami pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian
atas,sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering ditemukan pada anak kecil karena sinus
frontalis belum berkembang pada anak kecil. Jika terkena infeksi sinusitis maka akan
menyebabkan nyeri tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat
berulang-ulang hinga menetap dan kadang-kadang menyebabkan post nasal drip (Hull, 2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran
cairan serosa sampai purulen melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan tertekan di
atas sinus yang tertekan akibat tersumbatnyaostium sehingga timbul tekanan negatif dalam
sinus. Gejala lain seperti yeri kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat
mulut, penciuman terganggu, bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke
kelopak mata (Ngastiyah, 2005).
3) Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di sekitarnya, sehingga
infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil, sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut
dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat nyeri di tenggorokan, mulut
berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai otalgia, demam tinggi dan pembesaran
kelenjar submandibula(Ngastiyah, 2005).
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda
karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus, streptococcus viridans,
pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses radang pada laring dipermudah oleh trauma,
bahan kimia, radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).
Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya infeksi ini disebabkan oleh
infeksi virus pada saluran pernapasan terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung
menyebar ke saluran penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus, sulit
bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada bayi (Hull,
2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek, nyeri menelan, dan pada
waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas sampai stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan
terdapat tanda obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas bertambah
berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).
5) Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang saluran pernafasan
bagian atas, dengan tanda kas timbulnya pseudomembran.
Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae corynebacterium, bersifat gram positif,
tidak bergerak dan tidak berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan suhu c
selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu, dan lendir
yang telah mengering(Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain conynebacterium
diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui
percikan ludah dari orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-7
hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan
gejala lokal yang timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan
pada kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium lanjut (Ngastiyah,
2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan).
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak dan
bergram negatif. penyakit ini sangat mudah tertular dan dapat mengenai seluruh golongan umur,
biasanya lebih banyak mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada
ditempat yang padat penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis. Penyakit ini biasanya
berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa bayi. Pada orang
dengan pertusis biasanya akan muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme,
muntah, sianosis, apneu dan akan mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari 2-3
minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan menjadi
berat menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak
dan anoreksia, keringat dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar, tanpak
gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah, 2005).
7) Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat
malnutrisi atau faktor lain akan menderita pneumonia berulang.
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi traktus
respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik dengan mendadak
sampai 39-40 dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernapasan cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di
sekitar mulut dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering
kemudian menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering di derita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian
besar disebabkan oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat mengenai trakea dan
laring yang berlansung lama. penyakit ini dapat memproduksi mukus yang berlebihan sehingga
menimbulkan batuk kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun (Somantri, 2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat mengakibatkan kerusakan dan
dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih
banyak. Penyakit ini biasanya karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada
anak-anak kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, disertai batuk pilek
beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak
napas, makin lama makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk,
terlihat juga pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan
biasanya terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang di sertai dengan
mengi (Ngastiyah, 2005).
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer yang disebabkan
olehmycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer
biasanya terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian
atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki, penyakit
ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat dengan kepadatan penghuni yang dapat membuat
cahaya matahari susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering ditemukan
pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,
tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar fokus primer
tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan juga bisa melalui oral jika
meminum susu yang mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini adalah
demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk, demam,
anoreksia dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus
abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpahepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c. Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan Streptococcus
pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus aureaus
dan Klebsiella pneumonia, sedangkan virus yang sering menjadi
penyebab ISPA adalah respiratory syncytial virus (RSV) daninfluenza. Jamur yang biasanya
ditemukan sebagai penyebab ISPA pada anak dengan AIDS adalahPneumocystisjiroveci (WHO,
2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1) Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster dan
infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli,
torch, Streptokokus dan Pneumokokus. Pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus,
yaitu Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV),
dan bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus,
dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
2) Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Streptococci A. Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa menggantikan udara ruangan
yang sudah terpakai dengan udara yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan
kelembaban udara dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya
lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono, 2011):
(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang
ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai
sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap hasil pembakaran
sampah atau asap kendaraan bermotor serta debu.
(3) Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang hawa tidak terhalang oleh
barang-barang rumah seperti lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.
(4) Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah
di DesaPenjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang menggunakan ventilasi
rumah yang baik sebanyak 10 rumah dan responden yang terkena ISPA yang menggunakan
ventilasi rumah yangtidak baik sebanyak 27 rumah.
e) Tingkat kepadatan penghuni
Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas bangunan harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 20 untuk tiap anggota keluarga.
Riskesdas (2007) menunjukan provinsi dengan proporsi hunian padat lebih
tinggi dari reratanasional antara lain Papua (51,0%), Papua Barat
(40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%). (BPPK Depkes RI, 2008).
Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan (Ambarwati, 2007) :
(1) Tentukan rumah yang akan di hitung
(2) Ukur dan hitung luas rumah L = p x l
(3) Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah tersebut dengan cara :
f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.
Kurangnya cahaya, terutama cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang
nyaman, juga merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya merusak mata (Suharmadi,
2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:
(1) Cahaya alamiah
Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela,
celah-celah, dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak
terhalang oleh bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar yang tinggi. Cahaya matahari dapat
mengurangi kelembaban dalam ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman
penyebab penyakit seperti penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurang 10-20% dari luas lantai rumah (Kasjono, 2011).
(2) Cahaya buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu minyak, listrik, gas dan
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat
ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari pagi yang baik,
sebaiknya jendela kamar harus menghadap ke timur. Luas jendela sebaiknya 10-20% dari luas
lantai rumah. Kuat sinar yang memenuhi standar penerangan dalam rumah yaitu berkisar antara
50-100 lux. Pada bagian tertentu kuat penyinaran untuk penerangan seperti dapur memerlukan
200 lux, sedangkan kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar berkisar 100
lux (Kasjono, 2011).
Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan antara kondisi fisik kamar hunian
dengan kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan
responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang baik sebanyak 10 rumah
sedangkan responden yang terkena ISPA yang mendapatkan pencahayaan yang kurang baik
sebanyak 27 rumah.
g) Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat perhatian kusus dari penghuni
rumah. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit
basah, hal ini akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut. Kelembaban
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA.
Kelembaban rumah yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40% atau
lebih dari 60% (Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi square untuk
hubungan antarakelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita
di Desa Cepogo, didapatkan nilai p (0,883)lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
terdapat hubungan yang signifikan antarakelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan
menunjukan responden yang terkena ISPAmempunyai kelembaban rumah yang kurang baik
sebanyak 18 rumah dan responden yang terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah baik
sebanyak 15 rumah.
h) Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena kuman biasanya
bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan bantuan tekanan oksigen dan suhu dari
lingkungannya. Dalam mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan rumah
tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah cukup tinggi maka akan membahayakan
bagi kesehatan (Sanropie, 1989).
Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih rendah 4 dari temperatur udara
luar ruangan. Untuk daerah tropis umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30 c sudah cukup
segar(Sanropie, 1989).
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah
ISPA
Variabel pengganggu
1. Nutrisi
2. Status imunisasi
3. Status ekonomi
4. Pendidikan
Keterangan :
Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :
D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-
4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang berbentuk
angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode
penelitian observasional dan menggunakan rancangancross sectional yaitu suatu penelitian
dimana variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek
penelitian diobservasi dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang
digunakan adalah korelasional deskriptif yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti
dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori
yang ada yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
E. Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah dikategorikan:
a. Baik : 7-9
b. Sedang : 4-6
c. Buruk : 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas medis
lainnya di Puskesmas Ngaglik I.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam penelitian ini
berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas ventilasi rumah
dan hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan dan lux meter untuk
mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa check list yaitu suatu daftar
pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran
pengamatan (Notoatmodjo, 2005).
I. Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal penelitian ini
adalah:
a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d. Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta.
e. Menyusun proposal penelitian.
f. Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
g. Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
h. Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:
a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan
penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
b. Mengajukan izin penelitian.
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
d. Memberikan informed consent.
e. Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
f. Melakukan pengolahan data.
g. Menganalisis data.
3. Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
a. Menyimpulkan hasil penelitian.
b. Membuat laporan hasil penelitian.
c. Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
d. Melaksanakan seminar hasil penelitian.
e. Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
f. Pengumpulan hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and Control
of Pneumonia. Ge-neva: WHO.