Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Keperawatan

Volume 13 Nomor 1, Maret 2021


e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF BERPENGARUH TERHADAP


TINGKAT NYERI SENDI PADA LANSIA
Eva Dwi Ramayanti*, Erik Irham Lutfi, Ilham Udin Polisiri
Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kadiri, Pojok, Kec. Mojoroto,
Kediri, Jawa Timur, Indonesia 64115
*rama.yanti71@yahoo.com

ABSTRAK
Lansia merupakan seseorang yang berusia diatas 45 tahun yang mulaM mengalami proses menua.
Membuat mereka mengalami degeratif fungsi tubuh. Muncul berbagai penyakit salah satunya rematik.
keluhan utamnya adalah nyeri. Penanganan komplementer untuk mengurangi nyeri dengan terapi
Relaksasi Otot Progresif. Metode Penelitian ini pre-eksperimental denan pendekatan one group pretest
post test dengan total sampling. Sample dalam penelitian ini Sebanyak 22 sampel. Instrumen
penelitian yang digunakan adalah konsioner skala nyeri Numerik. Uji Validtas dan Relibilitas
instrumen menggunakan Conten dan Contruct. Analisa data univariat dengan distribusi Prosentase dan
Analisa bivariat dengan bantuan komputer menggunaka Wilcoxon Test. Penilaian dilakukan sebelum
diberikan terapi relaksasi otot progresif dengan hasil hampir seluruh (77,3%) lansia mengalami nyeri
berat dan setelah diberi terapi hampir seluruhnya ( 95,5 % ) lansia mengelami nyeri ringan. Ada
perbedaan bermakna pada kelompok eksperimen. P value = (0,000) maka nilai p-value <0,05 (0,000<
0,05 hal ini menunjukan bahwa H0 di tolak dan H1 diterima artinya ada Pengaruh Pemberian terhadap
Tingkat Nyeri pada lansia. Terapi Relaksasi Otot Progresif secara signifikan dapat menurunkan tingkat
nyeri pada lansia.

Kata kunci: lansia; terapi relaksasi otot progresif; tingkat nyeri

PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION THERAPY AFFECT ON LEVEL OF JOINT


PAIN IN LANS

ABSTRACT
Elderly is someone over 45 years old who initially experiences the aging process. Make them
degerative body functions. Various diseases appear, one of which is rheumatism. the main complaint
is pain. Complementary measures to reduce pain with Progressive Muscle Relaxation therapy. This
research method is pre-experimental with a one group pretest post test approach with total sampling.
The samples in this study were 22 samples. The research instrument used was a numerical pain scale
questionnaire. Test the validity and reliability of the instrument using Conten and Contruct. Univariate
data analysis with percentage distribution and bivariate analysis with computer assistance using the
Wilcoxon Test. The assessment was carried out before being given progressive muscle relaxation
therapy with the result that almost all (77.3%) elderly experienced severe pain and after being given
therapy almost all (95.5%) elderly experienced mild pain. There were significant differences in the
experimental group. P value = (0.000) then the p-value <0.05 (0.000 <0.05, this indicates that H0 is
rejected and H1 is accepted, meaning that there is an effect of giving on pain levels in the elderly.
Progressive Muscle Relaxation Therapy can significantly reduce the level of pain. pain in the elderly.

Keywords: elderly; progressive muscle relaxation therapy; pain rate

PENDAHULUAN
Lansia adalah seseorang yang berumur 60-74 tahun yang mengalami perubaha biologis, fisik,
kejiwaan, dan social. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki
tahapan akhir dari fase kehidupan Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu

171
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan (Depkes RI, 2014).Di Indonesia,
jumlah lansia mencapai 23,9 juta jiwa di tahun 2014 dan diprediksi pada tahun 2020 akan
terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar 11,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa. Penduduk
lansia di kota Kediri pada tahun 2015 meliputi 27,128 jiwa (Profil Kesehatan Kota Kediri,
Dinkes Kota Kediri, 2015). Dalam proses degeratif lansia akan mengalami perubahan struktur
anatomi. Proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel dan proses ini
berlangsung secara terus menerus yang akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan
biokemis pada pada jaringan tubuh dan akhirnya mempengaruhi fungsi dan kemampuan
badan secara keseluruhan (Azizah, 2011). Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran
biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik. Masalah-masalah kesehatan
akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh,salah satunya adalah penyakit rematik.
Reumatik adalah penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat sistemik, progesif,cenderung
kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris (Chairuddin, 2012).
Rematik adalah penyakit kronis yang menyebabkan munculnya nyeri, kekakuan,
pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi (Nainggolan, 2009).
Rematik dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung
paling sering terlibat pada rematik kekakuan paling sering terburuk di pagi hari (Nainggolan,
2009). Hal ini dapatberlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari (American
College of Rheumatology, 2012). Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan,
pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang. Penyakit ini
dapat dikategorikan secara luas berupa penyakit sendi, keterbatasan fisik, gangguan tulang
belakang, dan kondisi yang disebabkan oleh trauma World Health Organization (WHO,
2015). Gejala dari penyakit rematik termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurang nafsu
makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi, serta kekakuan otot dan kekauan sendi
biasanya paling sering di pagi hari, rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan
fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare,
2010). Gejala sistemik dari rematik adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan
menurun dan anemia (Long, 2008).

Prevalensi rematik tahun 2010 di Indonesia mencapai 2 juta jiwa, dengan angka perbandingan
pasien wanita tiga kali lipat dari laki-laki. Di Indonesia, jumlah penderita rematik pada tahun
2011 diperkirakan prevalensi mencapai 29,35%, pada tahun 2012 prevalensinya sebanyak
39,47%, dan tahun 2013 prevalensinya sebanyak 45,59%. Dari data tersebut, dapat di ketahui
bahwa, ada prevelensi jumlah penderita rematik (Nugroho, 2006). Menurut data BPS Provinsi
Jawa Timur didapat bahwa penyakit rematik banyak diderita oleh kaum lansia, pada tahun
2008 saja sebanyak 28% dari 4.209.817 lansia menderita penyakit rematik (Smart,
2010).Selain itu, menurut Wiyono, (2010) disebutkan bahwa di Kota Kediri didapat jumlah
penderita penyakit rematik mencapai 7.179 kasus di rumah sakit dan 33.85 kasus di
puskesmas (Adellia, 2011).

Survey dilakukan pada lansia sebanak 22 yang berusia di atas 50 dan yang di antara rematik
18 orang. Dari hasil wawancara sebagian besar dari masarakat mengeluh nyeri ringan dan
sedang serta tidak ada yang mengeluh nyeri berat. Pada wawancara di ketahui bahwa sebagian
belum mengetahui penanganan nyeri akibat rematik. Masih banyak responden yang
mengalami rematik dengan keluhan nyeri dan belum mendapat penananganan yang tepat
dikomunitas. Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Zeng QY et al (2008), prevalensi
rematik di Indonesia mencapai 23,6% hingga 31,3%. Angka ini menunjukkan bahwa rasa
nyeri akibat rematik sudah cukup mengganggu aktivitas masyarakat. Penyebab penyakit
rematik belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme

172
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

imunitas (antigen – antibodi), faktor metabolik dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurun&
Raenah, 2008).

Nyeri sendi itu sendiri dapat memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien.
Efek nyeri dapat menyebabkan penurunan aktifitas, sosial, gangguan tidur, kecemasan. Lansia
yang mengalami nyeri dengan riwayat rematik akan kesulitan unutk memnuhi kebutuhan
sehari-harinya. sehingga banyak diantara mereka yang hidurp dengan ketergantungan
terhdapa anggota keluarga yang lain (Hamarno, 2010). Kondisi ini sedikit banyak akan
menambah gangguan kesehatan tidak hanya fisik tapi juga psikologis (Poter & Pery,2013).
Nyeri merupakan respon subyektif dimana seseorang memperlihatkan tidak nyaman secara
verbal maupun non verbal atau keduanya, akut maupun kronis. senssai nyeri akan muncul
sebagi respon dari pelepasan mediaor nyeri seperti serotini, bradikinin dan prostaglandin.
Sensai neri akan berkurang bila tubuh dapat mengeluarkan endorphin, dimana
neurotrasnmitter ini akan membuat tubuh menjadi lebih relaksasi (Engram, 2011).

Solusi dari nyeri rematik yang terjadi yaitu di mana pola makan yang sehat sebaiknya dimulai
dengan mengadakan perubahan-perubahan kecil pada makanan yang kita pilih, juga
mengurangi makanan dapat mempengaruhi kekambuhan Rematik. selain pengaturan diet
dibutuhkan juga pola exercise tertentu untuk mencegah dan mengurangi nyeri utamaya pada
sendi dan ektremitas gerak. salah satunya dengan terapi komplementer (Putri, 2012). Terapi
relaksasi otot progresif merupakan salah satu terapi komplementer yang dilakukan dengan
teknik khusus yang di desain untuk membantu meredakan ketegangan otot . (Asmadi, 2012).
Terapi ini bisa memberikan rellaksasi dengan pengeluaran hormon endorphin sehingga
sensasi neri kaan berkurang (Siswanto, 2018)

Pada latihan relaksasi ini perhatian individu diarahkan untuk membedakan perasaan saat
kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang. Setelah
otot-otot terbiasa dengan relaksasi maka keadaan rileks bisa didapatkan dan ini bisa
menciptakan pikiran positif yang berpengaruh pada penurunan tingkat nyeri (Adelia, 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi relaksasi otot
progresif terhadap tingkat nyeri pada lansia dengan riwayat rematik usia 45-70. Penelitian
dilakuan secara pre eksperimen dengan melibatkan lanisa di komunitas dengan keluhan nyeri
ringan dan sedang dengan riwayat remati atau nyeri pada sendi akibat proses Degeratif ( Enno,
2020).

METODE
Penelitian menggunakan metode pre eksperimen dengan rancanggan one goup pre test - post
test design. Populasi penelitian adalah semua lansia dengan riwayat rematik usia 45-70.
Sampel dalam penelitian ini 22 orang. Dalam penelitian ini responden yang dijadikan dalam
populasi yang mengalami nyeri sendi dalam katagori ringan dan sedang. Dengan
pertimbangan terapi yang diberikan bersifat komplementer dalam layanan keperawatan di
gerontik komunitas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan
menggunakan Total sampling. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan lembar
Instrumen pengukur skala nyeri Numerik. instrumen penelitian diisi oleh responden dengan
menggunakan skala nyeri numerik. Uji validitas dan reliabiltas dalam penelitian
menggunakan metode Content dan Construct. Kriteria nyeri yang digunakan dari tingkatan
Normal, Ringan dan Nyeri sedang. Langkah selanjutnya data dikumpulkan dan dilakukan
validasi. Kemudian dilakukan Analisa data dengan bantuan sistem komputerisasi dimana
analisa univaiat dengan menggunakan distribusi frekuensi dan analisa bivariat dengan
menggunakan uji Wilcoxon.

173
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

HASIL
Tabel 1.
Karateriktik dan Prosentase Tingkat Nyeri Responden (n=22)
Jenis kelamin f %
Jenis kelamin:
Laki-laki 10 46
Perempuan 12 54
Usia:
45-65 13 59
65-70 9 41
Pendidikan:
SD 3 14
SMP 8 36
SMA 9 41
Diploma/Sarjana 2 9
Pekerjaan:
Petani 6 23
Swata 17 57
Buruh 2 7
IRT 5 13
Status:
Menikah 6 20
Janda /duda 13 43
Tiak menikah 11 37
Tingkat Nyeri
Pre
Normal 0 0
Ringan 4 18
Sedang 18 82
Post
Normal 3 5
Ringan 15 68
Sedang 4 27
a: 0,05 Pv: 0,000

Penelitian dilakukan pada 22 responden. Diberikan selama 3 minggu. Sebanyak 3 kali setiap
minggu dengan durasi 20-30 menit. Responden dalam penelitian ini tidak sedang dalam terapi
nyeri khusus dan tidak mempunyai penyakit penyerta yang mempengaruhi kondisi sendi dan
ekstremitas gerak lansia. Karateristik demografi responden ditunjukan dari tabel
diatas.Dimana sebagian besar (54%) dari responden berjenis kelamin perempuan dengan
retang usia 65-70 (41%). Jenjang pendidikan sebagian besar (41%) menengah keatas dengan
pekerjaan utama adalah swasta (57%). Hampir setengah (43%) dari responden janda /duda.

Data tersebut juga menunjukan bahwa sebagian besar (82%) dari responden sebelum
diberikan terapi mengalmi nyeri sendi pada katagori sedang. Namun setelah diberikan terapi
sebagian besar responden berada pada tahapan neri ringan sebesar 6%. Terdapat 5 %
responden yang mengalami perkembangan signifikan dimana setelah terapi mereka
merasakan nyeri sendi yang dialami menjadi hilang atau terkontrol, kondisi ini berada pada
katagori Nyeri pada tingkatan normal. Hasil uji analisa bivariat dengan bantuan komputerisasi
dengan tekhnik bivariat Wilcoxon didapatkan hasil sebagai berikut pada a : 0,05 diperoleh

174
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

nilai Pv sebesar 0,000 sehingga disimpulkan Ho ditolak dan H1 diterima diintepretasikan ada
pengaruh terapi terapi otot progresif pada klien dengan nyeri sendi dengan riwaat penyakit
dasr adalah rematik.

PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karateristik responden sebagian besar adalah wanita. kondisi ini memungkinkan bagi mereka
untuk bisa mengikuti latihan sampai dengan sesi terakhir keran sebagaiman diketahui wanita
bersifat lebih telaten mengikuti sesi sampai dengan selesai sehingga mendukug keberhasilan
sesi latihan (Dyah, 2020). Jenjang pendidikan responden yang sebagian besar sudah
menenagh keatas memberikan dukungan bagi mereka untuk menerima informasi dan edukasi
dari terapi . sehingga setia langkah dari sesi bisa diikuti dengan baik (Suliana, 2020).
Sebagian besar responden mempuenyai pekerjaan dagang yang dilakukan di rumah atau
sekitarnya. waktu yang luang dan tidak terikat membuat mereka bisa dengan mudah
mengikuti sesi terapi sesuia dengan yang sudah dijadwalkan. Waktu yang pas, dukungan
sosail, motivasi diri ikut mendukung terapi kesehatan yang diselenggarakan di komunitas
(Latifah, 2019).

Tingkat Nyeri Sebelum Dilakukan Terapi Relaksasi Otot Progresif


Hasil penelitian, dari 22 responden yang berusia 45-70 tahun. Hasil penelitian, menyatakan
bahwa tingkat nyeri pada lansia sebelum diberikan terapi relaksasi otot progresif sebanyak 18
responden mengalami (82%) nyeri sedang. Responden dalam penelitian ini tidak
menggunakan terapi obat-obatan tertentu tidak dalam kondisi masa rawat inap di RS atau
mempunai komplikasi pemberta penyakit yang lain. Kondisi ini menunjukan tingginya angka
kejadia nyeri yang dialami lansia di lokasi riset. Dalam wawancara yang dilakukan dengan
kader Posyandu diketahui belum banyak kegiatan di daerahnya yang bersifat pencegahan dan
pemberian latihan atau terapi komplementer untuk perawatan lansia dengan nyeri sendi
rematik. Lansia yang sebagian besar sudah berumur 65 tahun ketas akan menambah faktor
resiko dan memperberat neri yang dialami. Apabila nyeri tidak ditangani dengan tepat, maka
dapat mengakibatkan lansia mengalami penurunan ganguan tidur, sosial, ketidakmampuan
dalam melakukan Activity Daily Living, merasa bersalah dan tidak berguna, sehingga aktivitas
sehari-hari terganggu (Kaplan et al., 2010).

Tingkat Nyeri pada Lansia Sesudah Diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 22 responden didapatkan hasil adanya perubahan
tingkatan nyeri. Responden mengalami perubahan tingkat nyeri dari skala sedang menjadi
ringan. Terdapat penurunan signifikan pada tingkat nyeri responden. Adanya 5 % dari
responden yang mengalami penurunan nyeri secara drastis dari skala ringan dan sedang
menjadi normal. Kondisi normal dalam nyeri di natakan sebagai nyeri yang dirasakan
responden hilang menetap atau nyeri yang masih ada namun ang terasa hampir tidak ada. Ada
juga penggolongan neri normal sebagai neri ang terasa dalam batas toleransi (Ayu, 2020).
Dalam melakukan terapi semua responden mengikuti sesi terapi dengan lancar dan disiplin.
Tidak ada kejadian dropout. Karateristik sebagian besar responden yang sudah tidak bekerja
membuat mereka meluangkan waktu untuk bisa mengikuti sesi dengan baik.

Hasil observasi diketahui tiap responden yang memang mayorias perempuan mengikuti sesi
terapi dengan telaten. Dalam menjalankan sesi terapi responden mendapat dukungan dari
keluarga utamanya anak dan cucu. Dimana sebagian besar karateristik dari responden yang
memang sudah janda dan duda tinggal bersama anak dan keluarga besarnya. Dukungan
keluarga dengan waktu yang cukup atau lebih banak dirumah memberikan waktu luang dan

175
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

motivasi yang pastinya mendukung pelaksanaan terapi ini. Responden dan keluarga terlihat
antusia dalam mengikuti terapi sampai dengan selesai (Towsend, 2011). Penelitian ini dapat
memberikan perubahan setelah sesi terapi juga karena sebagian besar dari responden
mempunyai pendidikan yang cukup bagus. Mayoritas pendidikan terakhir menengah atas.
Meskipun mereka sudah dalam katagori lansia yang pastinya sedikit banyak ada hambatan
saat penyampaian materi disesi terapi, namun dengan psindidikan yang cukup dan motivasi
yang bagus membuat terapi berjalan lancar. Dan seluruh responden bisa menyerap
pelaksanaan terapi sesuai dengan prosedur.

Analisis Pengaruh Pemberian Terapi Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Nyeri
pada Lansia
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu terapi komplementer yang diberikan sebagai
terapi pelengkap saat klien tidak dalam penanganna medis. Terapi ini diberikan sebagai
penangan pada klien dengan keluhan nyeri. Terutama Nyeri sendi pada lansia. Lansia
merupakan sekelompok orang ang mengalami proses degeratif. Perubahan fisik dan psikologi
pada mereka membuatnya rentan mengalami penyakit.peruahan sistem pada osteuimun salah
satunya adalah rematik akan membaut lansia rentan mengalami nyeri sendi. Keluhan nyeri
pada lansia yang tidak ditangani dengan baik akn menyebakan menurunya kualitas hidup.
Untuk itu diberikan terapi komplemneter yang mampu mengurangi atau mengelolan nyeri
tersebut agar bisa berkurang dan lansia bisa hidup di masa tuanya dengan lebih naman dan
berkualitas (Nurhidayati, 2020).

Salah satu terapi komplemneter adalah dengan memberikan terapi komplementer pada 22
lansia yang mengalami nyeri sendi dengar iwaat penyakit dasar rematik. Hasil penelitian yang
telah dilakukan selama sekitar 3 minggu. Lansia diberikan terapi secara personal dalam
beberapa sesi. Dimana tiap sesi berlangsung 20-30 menit. Dalam seminggu lansia mendapat
terapi sebanyak 3 kali pertemuan. Dengan waktu sesuai kesepakatan dari responden.
Didapatkan hasil adanya pengaruh terapi otot progresif mampu menurunkan nyeri pada
Respponden. Dari yang sebagian besar nyeri sedang setelah diberikan terapi berubah menjadi
nyeri ringan. Bahkan ada 5% dari responden yang nyeri hilang.

Penurunan nyeri pada responden menunjukan bahwa terapi latihan otot progresif ini mampu
secara efektif menurunkan nyeri. Latihan otot progresif bisa menurunkan stimulus mediator
nyeri sehingga nyeri yang dirasakan klien bisa berkurang baik kuantitas maupun kualitas
(Susanto, 2018). Hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan
nyeri bisa berkurang banyak setelah mengikuti terapi. Lansia dan keluarga dalam penelitian
ini mengatakan terapi ini mudah untuk diingat dan dilakukan tiap hari. Dengan mempraktekan
terapi otot progresif secara rutin bisa menurunkan bahkan meghilangkan nyeri sendi pada
lansia. Terapi komplemneter bisa memberikan dmapak ang signifikasn bila dilakuakn secara
rutin dan sesuai ketentuan. Sebagai sebuah terapi komplemneter, terapi otot progresif
dipercaya mampu menurunkan nyeri terutama nyeri sendiri dalam katagori ringan dan sedang.
Pada klien dengan skala nyeri berat pastinya membutuhkan terapi medikasi medis (Susanto,
2018).

Terapi latihan otot ptogresif merupakan salah satu terapi komplementer yang mampu
megurangi nyeri. Karenan memang dalam terapi ini klien diatih untuk bisa konsetrasi,
mengatur pernafsan dan menjaga agar bisa dalam kondisi relaksasi (Ayu, 2020). Pengaturan
pernafasan akan membuat tubuh klien mampu menasup oksigen sebanak mungkin dan
mengeluarkan CO2. Dalam kondisi ini tubuh klien akan mengalamu perfusi yang adekuat.
Bisa mengantrakan suplai darah ang cukup ke dalam sel. Sehingga dapat memberikan kalori

176
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

dan oksigen yang pada akhirnya sumber tenaga akan cukup. Dalam kondisi ini klien bisa
mengobati nyerinya sendiri dan memperbaiki sel yang rusak (eno, 2020).

Terapi otot progresif harus dilakukan saat klien merasa santai atau rilaks. Dengan kondisi
relaksasi maka semua otot klien akan berkurang keteganganya. Sehinggan bisa menurnkan
saraf simpatis dan lebih mengaktifkan parasimpatis. Saat inilah sekresi ketokolamin dan
kortisol akan berkurang dan lebih banyak mensekresi endorfin. Releasenya endorfin didalam
tubuh akan membuat nyeri hilang, memberikan perasaan bahagia dan semua sel bisa
memperbaaiki kerusakannya (Susanto, 2018). Dalam penelitian ini terjadi perubahan yang
signifikan. Nyeri yang dialami responden berkurang dari sebagian sebar sedang berubah
menjadi sebagian besar ringan. Perubahan ini merupakan kondisi dari penuruna nyeri yang
dialami responden setelah mengikuti terapi. Sebanyak 5% dari responden yang bahkan
mengalami nyeri sendi yang normal. Klien tidak lagi mengalami nyeri atau nyeri yang dialami
dalam batas toleransi, masih ada nyeri namun terasa hampir tidak ada.

Hasil wawancara pada 5% responden tersebut diketahui bahwa mereka yang nyeri hilang
karena awalnya nyeri mereka pada tahap ringan. Hanya ada 1 orang yang berada pada nyeri
sedang. Repsonden pada katagori ini mengikuti sesi terapi dengan sungguh-sungguh dan
telaten sampai degan sesi terakir. Terapi otot progresif mampu menurnkan nyeri sendi pada
lansia dengan riayat rematik dDesa Pojok Kediri, bila responden menjalan terapi sesuai
dengan sesi dan telatin. Dilakukan dengan rutin. Didasari dengan motivasi yang tinggi untuk
mengurangi nyeri.

SIMPULAN
Sebelum diberikan terapi relaksasi otot progresif sebagian besar responden mengalami nyeri
sedang. Setelah diberikan terapi relaksasi otot progresif hampir seluruhnya dari responden
menjadi nyeri ringan. Ada pengaruh pemberian terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat
nyeri pada lansia dengan riwayat rematik usia 45-70.

DAFTAR PUSTAKA
Adellia, 2011. Permasalahan Penyakit Rematik Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan (Bone
and Join Decade). Proceeding Book RheumatologyUpdate 2010. 11 Desember 2014

American College of Rheumatology. “Western Ontario and McMaster Universities


Osteoarthritis Index (WOMAC)”. ACR. Retrieved 6 June 2012.

Asmadi, (2012).. Pemberian Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kecemasan Pada Asuhan
Keperawtan Tn.T Dengan Asma Bronchial di Instalasi Gawat Darurat Rsud Sukoharjo.
Karya Tulis Ilmiah. STIKes Kusuma Husada Surakarta

Annisa, N. (2016) pengaru teknik relaksasi progresif terhadap perubahan tekanan darah pada
pra lansia penderita rematik. Skripsi Yogyakarta: Universitas As’ Aisyiyah.

Ayu, Dyah. 2020. Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Dalam Menurunkan Nyeri Sendi
Pada Lansia Di Posyandu Lansia

DOI: https://doi.org/10.32660/jpk.v6i1.448

Efendi, (2009). Pengaruh Penyuluhan Dan Pelatihan Senam lansia Terhadap Penurunan
Nyeri Pada lansia

177
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 1, Hal 163 - 170, Maret 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Eno, Wijaya. 2020. Penerapan Terapi Relaksasi Otot Progresif Dalam Menurunkan Skala
Nyeri Sendi Lansia

DOI: https://doi.org/10.26714/nm.v1i2.5643

Haryati, (2009). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik, Jakarta: Salemba
Medika.

Hutapea. 2010. Asuhan Keperawatan Lansia, Jakarta: Trans Info Medika.

Hamarno, R. (2010). Pengaruh latihan relaksasi otot progresif terhadap penurunan tekanan
darah klien hipertensi primer di kota Malang. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia.

Judha, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan. Yogyakarta: Nuha Medika

Kozier & E rb, (2009). Buku Ajar GeriatriIlmu Keseatan Lanjut usia Edisi 3,Jakarta, Bala
Penerbit FKUI

Latifa. (2019). pengaruh latihan relaksasi otot progresif terhadap kualitas tidur pada lanjut
usia: malang

Nurhidayati, (2020). Penerapan Terapi Relaksasi Otot Progresif Dalam Menurunkan Skala
Nyeri Sendi Lansia. e-ISSN: 2723-8067 DOI: 10.26714/nm.v1i2.564

Nugroho, (2010). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia. Maj kedokt,
volum: 59. Nomor: 12, Desember 2009.

Soesanto, E., Istiarti, T., Pietojo, H., Semarang, U. M., Kesehatan, F., Universitas, M.,
Semarang, D., Magister,), Kesehatan, P., Diponegoro, U., & Abstrak, S. (2018). Praktik
Lansia Hipertensi dalam Mengendalikan Kesehatan Diri di Wilayah Puskesmas
Mranggen Demak. Praktik Lansia Hipertensi Dalam Mengendalikan Kesehatan Diri Di
Wilayah Puskesmas Mranggen Demak, 5(2), 127–139.
https://doi.org/10.14710/jpki.7.3.127-139

Suliana. (2020). pengaruh teknik relaksasi latihan otot progresif terhadap intensitas nyeri
arthritis reumatoid pada lansia Jurnal stikes ICME

Townsend (2011), Efektifitas Penggunaan Teknik Relaksasi OtotProgresif Untuk


Menurunkan Tingkat Nyeri Pasien Gastritis. JurnalPromotif. 6(1) 1-8

178

Anda mungkin juga menyukai