LAPORAN PENDAHULUAN
a. Teori Biologik
Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa
proses menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi tubuh selama masa hidup (Zairt, 1980 dalam Sunaryo dkk, 2016).
Menurut Sunaryo dkk (2016) Teori boilogis dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu teori stokastik/stochastic theories dan teori
nonstokastik/nonstokastik theories.
1). Teori Stokastik/Stochastik Theories
Teori ini mengatakan bahwa penuaan merupakan suatu kejadian
yang terjadi secara acak atau random dan akumulasi setiap waktu.
Termasuk teori menua dalam lingkup proses menua biologis dan
bagian dari teori stokastik adalah teori kesalahan, Teori keterbatasan
hayflik, Teori pakai dan usan, Teori imunitas, Teori radikal bebas dan
teori ikatan silang.
a). Teori Kesalahan
Teori Kesalahan didasarkan pada gagasan manakala kesalahan
dapat terjadi dalam rekaman sintesis DNA (Goldteris dan
Brocklehurt, 1989 dalam Sunaryo dkk, 2016). Jika proses
transkripsi dari DNA terganggu, maka akan mempengaruhi suatu
sel dan akan terjadi penuaan yang berakibat pada kematian.
Sejalan dengan perkembangan umur sel tubuh, maka terjadi
beberapa perubahan alami pada sel DNA dan RNA, yang
merupakan substansi pembangun/pembentuk sel baru. Peningkatan
usia mempengaruhi perubahan sel dimana sel – sel nucleus
menjadi lebih besar tetapi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah
substansi DNA.
b). Teori Keterbatasan Hayflick
Teori ini menekankan bahwa perubahan kondisi fisik pada
masusia dipengaruhi oleh adanya kemampuan reproduksi dan
fungsional sel organ yang menurun sejalan dengan bertambahnya
usia tubuh setelah usia tertentu (Haiflick, 1987 dalam Suryano
dkk, 2016).
c). Teori Pakai dan Usang
Proses menua merupakan proses terprogram, yaitu proses yang
terjadi akibat akumulasi stress dan injuri dari trauma. Menua
dianggap sebagai proses fisiologis yang ditentukan oleh sejumlah
penggunaan dan keusangan dari organ seseorang yang terpapar
dengan lingkungan (Mc. Connell, 1988 dalam Sunaryo dkk, 2016).
d). Teori Imunitas
Dalam teori ini, penuan dianggap disebabkan oleh adanya
penuruanan fungsi sistem imun.
e). Teori Lipofusin dan Radikal Bebas
Teori ini kemukakan oleh Cristiasen dan Grzybowsky (1993)
yang menyatakan bahwa penuaan disebabkan oleh akumulasi
kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidan.
f). Teori Ikatan Silang
Teori ini menekankan pada postulat bahwa proses menua
terjadi sebagai akibat adanya ikatan–ikatan dalam kimiawi tubuh.
Teori ini menyebutkan bahwa secara normal, struktur melekul
dari sel berikatan secara bersama–sama membentuk reaksi
kimia.Termasuk di dalamnya adalah kolagen yang merupakan
rantai molekul yang relative panjang dan dihasilkan oleh
fibrolast. Dengan terbentuknya jaringan baru, maka jaringan
tersebut akan bersinggungan dengan jaringan yang lama dan
membentuk ikatan silang kimiawi. Hasil akhir dari proses ikatan
silang ini adalah peningkatan densitas kolagen dan penurunan
kapasitas untuk transport nutrient serta untuk membuang
produk–produk sisa metabolisme dari sel (J. Bjorksten, 1942
dalam Sunaryo
dkk, 2016).
b. Teori Genetika
Teori Genetika dikemukakan oleh Hayflick (1965).Dalam teori ini,
proses penuaan kelihatannya mempunyai komponen genetik. Hal ini dapat
dilihat dari pengamatan bahwa anggota keluarga yang sama cenderung
hidup pada umur yang sama dan mereka mempunyai umur yang rata-rata
sama, tanpa mengikutsertakan meninggal akibat kecelakaan dan penyakit.
Mekanisme penuaan yang jelas secara genetic belumlah jelas, tetapi hal
penting yang harus menjadi catatan bahwa lamanya hidup kelihatannya
diturunkan mellaui garis wanita dan seluruh mitokondria mamalia berasal
dari telur dan tidak ada satupun dipindahkan melaui spermatozoa.
Pengalaman kultur sel sugestif bahwa beberapa gen yang memengaruhi
penuaan terdapat pada kromosom 1, tetapi bagaimana cara mereka
mempengaruhi penuaan masih belum jelas.
Di samping itu, terdapat juga “eksperimen alami” yang baik di mana
beberapa manusia dengan kondisi genetic yang jarang (progerias), seperti
sindroma Werner, menunjukkan penuaan yang premature dan meninggal
akibat penyakit usai lanjut, seperti atheroma derajat berat pada usianya
yang masih belasan tahun atau permulaan remaja. Serupa dengan itu, pada
penderita Sindroma Down pada umumnya proses penuaan lebih cepat
dibandingkan dengan populasi lain. Di samping itu, fibroblasnya mampu
membelah dalam jumlah lebih sedikit dalam kultur dibandingkan dengan
kontrol pada kebanyakan orang dengan umur sama. Akan tetapi, hal ini
masih sangat jauh dari bukti akhir bahwa penuaan merupakan kondisi
genetik.Hal ini hanya menunjukkan kepada kita bahwa beberapa bentuk
dipengaruhi oleh mekanisme genetik.
c. Teori Psikologis
Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang merespon pada tugas
perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan seseorang akan terus
berjalan meskipun orang tersebut telah menua (Birren dan Jenner, 1977
dalam Sunaryo, 2016).
d. Teori Aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung pada
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas
serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan
kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Dari pihak lansia sendiri terdapat
anggapan bahwa proses penuaan merupakan suatu perjuangan untuk tetap
muda dan berusaha untuk mempertahankan perilaku mereka semasa muda
(Dewi, 2012).
e. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas menyatakan bahwa setiap orang pasti berubah
menjadi tua namun kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak
akan mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat menjadi lansia (Dewi, 2012).
f. Teori Subkultur
Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub kultur.
Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan standar budaya
sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi prilaku, keyakinan, dan
harapan yang membedakan lansia dari kelompok lainnya (Dewi, 2012).
4. Perubahan – Perubahan yang Terjadi Akibat Proses Menua
Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik,
yang meliputi sel, sistem pernafasan, sistem persyarafan, sistem pendengaran,
penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem urinaria, sistem endokrin dan
metabolic, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal, sistem kulit dan
jaringan ikat, sistem reproduksi dan kegiatan seksual, dan sistem pengaturan
tubuh, serta perubahan mental, dan perubahan psikososial (Bandiyah, 2009).
a. Perubahan pada Semua Sistem dan Implikasi Klinik
1). Sel
Jumlah pada sel lansia lebih sedikit, ukurannya lebih besar, jumlah
cairan intraseluler berkurang, proporsi proteindi otak, otot,ginjal,
darah, dan hati menurun. Di samping itu jumlah sel di otak juga
menurun, otak menjadi trofis beratnya berkurang 5-10% (Bandyah,
2009).
2). Perubahan Pada Sistem Sensori
Sensori mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhubungan
dengan orang lain dan untuk memelihara atau untuk membentuk
hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan menginterprestasikan
masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari – hari. Lansia yang
mengalami penurunan persepsi sensori.Akan merasakan enggan
bersosialisasi karena kemunduran fungsi–fungsi sensoris yang di
miliki (Sunaryo dkk, 2016).
3). Sistem Pendengaran
Hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama
terhadap bunyi atau suara–suara atau nada–nada tinggi, suara yang
tidak jelas, sulit mengerti kata–kata 50% terjadi pada usia di atas umur
65 tahun (Bandyah, 2009).
4). Sistem Pengelihatan
Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap
sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola), lensa lebih suram
(kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan
penglihatan, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat,
menurunnya lapangan pandang, menurunnya daya membedakan warna
biru atau hijau (Bandyah, 2009).
5). Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan
menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan elastisitas
pembuluh darah, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh
meningkatnya resistensi dan pembuluh darah perifer (Bandyah, 2009).
6). Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu
thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering terjadi antar lain:
a). Temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik 35°C
ini akibat metabolism yang menurun.
b). Keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas
yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot (Bandyah,
2009).
7). Sistem Pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, paru-
paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas
lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman
bernafas menurun, alveoli ukurannya melebar dari biasa dan
jumlahnya berkurang, O2 pada arteri menurun menjadi 75mmHg, CO2
pada arteri tidak berganti, kemampuan dinding dada dan kekuatan otot
pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia (Bandyah,
2009).
8). Sistem Gastrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dialami lansia. Terjadi
perubahan morfologik degenerative mulai dari gigi sampai anus,
antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar, dan otot
pencernaan (Bandyah, 2009).
9). Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan
lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses
keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis,
kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara
berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya
dan fungsinya, kuku men jadi pudar dan kurang bercahaya (Bandyah,
2009).
10). Sistem Muskuluskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat kurangnya aktifitas, tendon
mengerut dan mengalami sklerosis, persendian membesar dan menjadi
kaku (Bandyah, 2009).
11). Sistem Endokrin
Menurunnya aktifitas tiroid, menurunya BMR, menurunya daya
pertukaran zat, menurunya produksi aldosteron, menurunya sekresi
hormone kelamin, misalnya progesterone, estrogen, testeron dan
pertumbuhan hormone dada tetapi lebih rendah dan hanya di dalam
pembuluh darah, berkurangnya produksi ACTH, TSH FSh dan LH
(Bandyah, 2009).
12). Sistem Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal,
bladder, uretra, dan sistem nervus yang berdampak pada proses
fisiologi terkait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu
kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat
mengakibatkan inkontinensia urine (Bandyah, 2009).
13). Sistem Reproduksi dan Kegiatan Seksual
Perubahan sistem reproduksi pada lansia yaitu selaput lendir
vagina menurun/kering, menciutnya ovarium dan uterus, atropi
payudara, testis masih dapat memproduksi meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur, dan dorongan seks menetap
sampai usia di atas 70 tahun pada kondisi kesehatan baik (Sunaryo
dkk, 2016).
b. Perubahan Mental
Dari segi mental perubahannya yang terjadi antara lain sering muncul
perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, ada
kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit,
perubahan kepribadian yang drastis (Bandyah, 2009).
c. Perubahan Psikososial
Masalah-masalah serta reaksi individu terhadapnya akan sangat
beragam, tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Saat
ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak
diharapkan dapat menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun.Bila cukup
beruntung dengan bijaksana, orang telah mempersiapkan diri untuk
pensiun, dengan menciptakan bagi dirinya berbagai bidang untuk
memanfaatkan sisa hidupnya (Bandyah, 2009).
2. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut WHO ( Worl Health Organization ) dan
ISH ( International Society of Hypertension ) mengelompokkan hipertensi
sebagai berikut :
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang dilakukan yaitu :
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
1) Darah rutin (Hematokrit/Hemoglobin): untuk mengkaji
hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan
dapat mengindikasikan factor resiko seperti:
hipokoagulabilitas, anemia.
2) Blood Unit Nitrogen/kreatinin: memberikan informasi tentang
perfusi / fungsi ginjal.
3) Glukosa: Hiperglikemi (Diabetes Melitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran Kadar
ketokolamin (meningkatkan hipertensi).
4) Kalium serum: Hipokalemia dapat megindikasikan adanya
aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping
terapi diuretik.
5) Kalsium serum : Peningkatan kadar kalsium serum dapat
menyebabkan hipertensi
6) Kolesterol dan trigliserid serum : Peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/ adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
7) Pemeriksaan tiroid : Hipertiroidisme dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi
8) Kadar aldosteron urin/serum : untuk mengkaji aldosteronisme
primer (penyebab)
9) Urinalisa: Darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi
ginjal dan ada DM.
10) Asam urat : Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor
resiko hipertensi
11) Steroid urin : Kenaiakn dapat mengindikasikan
hiperadrenalisme
12) EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya
hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner dengan
menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung
hipertensi.
13) Foto dada: apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana) untuk menunjukan destruksi
kalsifikasi pada area katup, pembesaran jantung.
14) IVP :Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti
penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
15) CT Scan: Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
16) Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi:
Spinal tab, CAT scan.
17) (USG) untuk melihat struktur gunjal dilaksanakan sesuai
kondisi klinis pasien
7. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
Obat-obatan antihipertensi dapat dipakai sebagai obat tunggal atau
dicampur dengan obat lain, obat-obatan ini diklasifikasikan menjadi
lima kategori, yaitu ;
1) Diuretik;
2) Menekan simpatetik (simpatolitik);
3) Vasodilatator arteriol yang bekerja langsung;
4) Antagonis angiotensin (ACE inhibitor);
5) Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis).
8. Cara Pencegahan
a. Penurunan berat badan
b. Mengurangi tingkat stress
c. Olahraga
d. Mengontrolkan diri rutin jika mempunyai riwayat hipertensi keturunan
( Huda Nurarif & Kusuma H, 2015 ).
7) Nyeri/ketidaknyamanan
8) Pernapasan
postural
10) Pembelajaran/Penyuluhan
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul yaitu :
a. Nyeri akut
b. Resiko jatuh
c. Gangguan pola tidur
3. Perencanaan Keperawatan
a. Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut
2. Resiko jatuh
3. Gangguan Pola Tidur
b. Rencana asuhan Keperawatan
1) Diagnosa Keperawatan Nyeri Akut
a) Rencana Tujuan
Tekanan vaskuler serebral tidak meningkat
b) Kriteria Hasil
Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala dan tampak
nyaman
c) Rencana Tindakan
1. Pemantauan Tanda Vital
R/ Mengetahui kondisi pasien sehingga dapat menentukan
Rencana selanjutnya seperti peningkatan nadi, tekanan
darah dimana menunjukan adanya peningkatan atau
penurunan akibat rasa nyeri sehingga merupakan indikator
atau derajat nyeri secara tidak langsung.
2. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, dan beratnya (skala 0
- 10). R/ Berguna dalam pengawasan keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik
nyeri menunjukan perubahan dimana memerlukan evaluasi
dan intervensi.
3. Ajarkan teknik relaksasi dan nafas dalam.
R/ Relaksasi mengurangi ketegangan, membuat perasaan
lebih nyaman, dan meningkatkan mekanisme koping. Nafas
dalamberguna meningkatkan suplai O2 di dalam tubuh
dimana saat relaksasi dapat menurunkan hipoksia yang
berhubungan dengan konstriksi atau spasme pembuluh
darah. Teknik nafas dalam dapat dilakukan dengan cara
menghirup udara perlahan – lahan melalui hidung tahan
selama 3 detik lalu hembuskan melalui mulut dimana mulut
setengah dibuka dan tindakan ini dilakukan sebanyak 3
kali.
4. Beri HE mengenai manajemen nyeri
R/ Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat timbulnya nyeri sehingga pasien
tidak mengalami kecemasan dan pasien mampu mandiri
untuk menangani jika nyeri itu timbul.
5. Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
R/ Analgetik berguna mengurangi nyeri sehingga pasien
menjadi lebih nyaman dimana obat golongan analgesik
akan merubah persepsi dan interprestasi nyeri sistem saraf
pusat pada thalamus dan korteks serebri. Analgesik akan
lebih efektif diberikan sebelum pasien merasakan nyeri
yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri
2) Diagnosa Keperawatan Resiko Jatuh
a) Rencana Tujuan
Pasien tidak mengalami jatuh
b) Kriteria Hasil
1. Mampu mengidentifikasi bahaya lingkungan yang dapat
meningkatkan cidera.
2. Mampu mempraktekan gerakan latihan keseimbangan
c) Rencana Tindakan
1. Berikan penyuluhan tentang apa saja bahaya lingkungan
yang ada di sekitar rumah yamng dapat menyebabkan
resiko jatuh
R/
2. Ajarkan gerakan latihan keseimbangan
R/
3) Diagnosa Gangguan Pola Tidur
a) Rencana Tujuan
Pasien dapat istirahat tidur dengan optimal
b) Kriteria Hasil
1. Pasien dapat tidur 6-8 jam setiap malam
2. Secara verbal mangatakan dapat lebih rileks dan lebih segar.
c) Rencana Tindakan
1. Lakukan kajian masalah gangguan tidur pasien karakteristik
dan penyebab kurang tidur.
R/ Memberikan informasi dasar dalam menentukan rencana
Keperawatan
2. Lakukan persiapan untuk tidur malam seperti pada jam 9
malam sesuai dengan pola tidur pasien
R/ Mengatur pola tidur
3. Lakukan massage pada daerah belakang,tutup jendela/pintu
jika perlu.
R/ Mengurangi gangguan tidur
4. Pengtahuan kesehatan jadwal tidur,mengurangi stres,cemas
dan latihan relaksasi.
R/ Meningkatkan pola tidur
5. Berikan pengobatan seperti analgesik dan sedatif
R/ Mengurangi gangguan tidur
4. Pelaksanaan Keperawatan
5. Evaluasi Keperawatan
a. Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala dan tampak
nyaman
b. Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan darah, Nadi, respirasi)
c. Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan
d. Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
e. Tidak ada penurunan kesadaran
f. Pasien dapat tidur 6-8 jam setiap malam
g. Secara verbal mangatakan dapat lebih rileks dan lebih segar.
h. KU baik
i. Tidak ada kekakuan otot
dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit
kepala, pusing
WOC
Obesitas
Elastisitas menurun Arteriosklerosis
Hipertensi
Perubahan struktur
Vasokontriksi
Gangguan sirkulasi
Otak Ginjal
Pembuluh Darah
Nyeri
Blood flow Afterload
Gangguan
pola tidur Nyeri dada
k
men
ingkat
Gangguan
Renspon RAA
rasa nyaman
Penurunan
Gangguan
Fatigue Curah
perfusi
Jantung
jaringan
Ransang aldosteron
Intoleransi
Aktivitas
Retensi Na
Edema
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta, EGC,
Hamzah, : Ensiklopedia Artikel Indonesia, Surabaya
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC,
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Adib,M. 2009. Cara mudah memahami dan menghindari hipertensi. Jantung dan stroke.
Edisi I. Yogyakarta: CV. Dianloka