Anda di halaman 1dari 15

Tanah Gambut

Dosen Pengampu :

Whendy Trissan ST., M.Sc

Nama :

Siti Ramlah

NIM : ACF 118 005

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN PROGRAM


STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN

2020
2
KATA PENGANTAR

Dengan memanjat puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi
Rahmat dan ridha-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Tanah
Gambut” dengan baik.

Dalam penyusun makalah ini, penyusun telah mendapatkan bimbingan dan bantuan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih
kepada bapak Whendy Trissan ST., M.Sc yang telah memberikan tugas ini.

Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Irigasi
dan Pengelolaan Tanah Gambut , demi tercapainya standar kelulusan bagi mata kuliah ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca dan dosen pembimbing sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah
ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan pelajaran dan pendidikan,
khususnya bagi penyusun dan juga pembaca.

Palangka Raya, 24 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….… i

DAFTAR ISI…………………………….………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUA.………………………………………….………… 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………….... 1

1.2 Rumusan Masalah.……………………………..………………….... 4

1.3 Tujuan Penulisan.………………………………………………….... 4

BAB II PEMBAHASAN.......……...........…………..………………………. 6

2.1 Sejarah Rawa Gambut di Indonesia........….…….….....…….….…... 6

2.2 Pengelolaan Lahan Gambut….....…….….................…………...….. 8

BAB III PENUTUP…………..………..…….........……………………........ 11

3.1 Simpulan.............................……...……………………………….... 11

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara megabiodiversitas, karena sumber daya alam yang
dimiliki sangat melimpah. Sumber daya alam tersebut meliputi keanekaragaman fauna dan
flora bahkan keanekaragaman jenis tanah.

Tanah gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik yang
terbentuk secara alami dalam jangka waktu yang lama. Bahan organik tersebut berasal dari
pelapukan vegetasi yang tumbuh di sekitarnya dan lahan gambut berasal dari endapan bahan
organik yang terbentuk karena pengaruh hujan yang tinggi dan genangan air. Proses
dekomposisi tanah gambut belum terjadi secara sempurna karena keadaan gambut yang
selalu jenuh air dan menyebabkan tanah gambut memiliki kesuburan serta pH yang rendah.
Ketebalan tanah gambut di Indonesia diperkirakan rata-rata 3-5 cm di Indonesia bagian
barat, sementara Indonesia bagian timur mencapai 1-2 meter. Tanah gambut juga memegang
peranan penting dalam hal penyimpanan karbon, di mana kemampuan menyerap maupun
menyimpan lebih tinggi dibandingkan tanah mineral (Alwi, 2006).

Tanah gambut umumnya memiliki kadar pH yang rendah, memiliki kapasitas tukar
kation yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah, memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P
yang rendah dan memiliki kandungan unsur mikro (seperti Cu, Zn, Mn serta B) yang rendah.
Kadar abu pada tanah gambut tergolong rendah, namun tergantung dari ketebalan
gambutnya dan kadar abu sangat dipengaruhi oleh limpasan pasang air sungai yang
membawa bahan mineral dengan demikian kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran
kesuburan tanah gambut. Senyawa utama pada tanah gambut adalah hemiselulosa, selulosa,
dan lignin, hasil biodegradasi lignin dapat menghasilkan asam-asam fenolat, sedangkan
selulose atau hemiselulosa menghasilkan asam karboksilat. Asam- asam fenolat merupakan
senyawa organik yang dapat bersifat racun bagi tanaman. Untuk itu perlu adanya
penambahan bahan amelioran untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah gambut dan
tujuannya meningkatkan hasil budidaya seperti penambahan limbah kelapa sawit dalam
bentuk abu dan limbah padat yang kemungkinan dapat meningkatkan unsur hara tanah
gambut (Sasli, 2011).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas primadona karena


mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kelapa sawit menghasilkan dua produk komersial yaitu

3
minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) 2 yang banyak menghasilkan devisa
bagi Negara. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan
yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan
dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya,
seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan produksi
per hektar yang lebih tinggi (Fauzi et al., 2005).

Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit mentah akan dihasilkan
limbah padat dan limbah cair. Semula banyak kalangan yang tidak mengentahui bahwa limbah
tersebut dapat menyuburkan tanaman dan kesuburan tanah, sehingga hanya dianggap sebagai by
product dan dibuang begitu saja. Namun setelah diketahui mengandung unsur penting yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan produksi tanaman seperti N, P, K dan Mg, mulai ada yang
memanfaatkan sebagai pupuk dan meningkatkan kesuburan pada tanah gambut (Maryadi, 2006).

Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman budidaya dilahan
gambut telah dilakukan dengan pemberian abu boiler, abu janjang kelapa sawit dan sludge kelapa
sawit dan hasil analisis laboratorium menunjukan abu janjang mengandung hara kalium (K) dan
natrium (Na) yang cukup tinggi yaitu : 30% K2O dan 26 % Na2O, kandungan unsur hara abu
boiler adalah N 0,72%, P2O5 0,84%, K2O 2,07% dan Mg 0,62% (Prasetyo, 2009). Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pemberian abu janjang, abu boiler (pembakaran cangkang dan
serat kelapa sawit) dan sludge (lumpur) kelapa sawit dapat meningkatkan pH tanah yang
berpengaruh nyata terhadap kenaikan kadar kalium dapat dipertukarkan dan dapat meningkatkan
kapasitas tukar kation tanah, terutama setelah mengalami inkubasi selama satu bulan (Panjaitan
et al. 2003).

Hasil penelitian Hakimuddin Siregar (2007), sludge adalah benda padat yang tenggelam
di dasar bak pengendapan dalam sarana pengelolaan limbah dan harus dibuang atau dikelola
untuk pecemaran lingkungan. Tetapi sludge yang dihasilkan dari pengolahan minyak sawit
(PMS) mengandung unsur hara nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, dan kalsium yang cukup
tinggi sehingga dapat 3 digunakan sebagai pupuk.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pengembangan rawa gambut di Indinesia ?
2. Bagaimana tahapan pengembangan rawa gambut ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Supaya dapat menjelaskan sejarsah pengembangan rawa gambut di Indonesia.
2. Supaya dapat menjelaskan tahapan pengembangan rawa gambut.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Rawa Gambut di Indonesia

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang
terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat dan
lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog,
moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa
daerah Banjar.

Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume
gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar
kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi
energi kira-kira 8 miliar terajoule

Rawa gambut adalah sebuah tanah basah yang berisi gambut, sisa material tanaman
mati, sering kali lumut, dan dalam sebagian besar kasus, lumut sfagnum. Ini adalah salah
satu dari empat jenis utama tanah basah.

Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai
potensi cukup baik untuk pengembangan budidaya pertanian. Namun pengelolaannya harus
dilakukan secara bijak agar kelestarian sumber daya alam ini dapat dipertahankan. Dengan
mengenal tipe lahan rawa gambut maka akan dapat dibuat perencanaan yang lebih baik
dalam mengelola lahan secara bijaksana.

Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di
Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua). Luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha,

6
yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha.
Pengembangan lahan rawa harus melalui perencanaan yang matang dan dengan
penerapan teknologi yang tepat, terutama dalam pengelolaan tanah dan air. Pembukaan
lahan rawa pasang surut bertujuan untuk peningkatan kebutuhan pangan terutama
beras, karena terjadinya kerusakan lahan dan berkurangnya lahan subur di Jawa, sehingga
perlu pemanfaatan lahan marginal di luar Jawa secara optimal, khususnya pada lahan rawa,
karena lahan pertanian yang subur di Jawa setiap tahunnya berkurang luasannya Luas
kawasan PLG adalah 1.133.607 ha, yang terdiri atas luas blok A 268.273 ha, blok B 156.409
ha, blok D 138475 ha, dan blok C570.000 ha. Blok A, B, C, dan D bagian utara termasuk
dalam lahan pasang surut air tawar, sedangkan bagian selatan blok D, dan C termasuk lahan
pasang surut air laut/payau. Berdasarkan data tersebut di atas maka strategi dalam
perencanaan dan pengembangan kawasan PLG ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan yaitu : 1) perlu adanya tata ruang kawasan pengembangan, 2) gambut
dengan ketebalan > 3 m dimanfaatkankan untuk kawasan lindung atau konservasi, 3)
lahan gambut yang ketebalan < 3 m untuk kawasan budidaya seperti pertanian,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan (HTI), dan 4) wilayah yang dilindungi untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati. Bila kebijakan pemanfaatan lahan ini
dilakukan maka akan memudahkan dalam melaksanakan rehabilitasi dan revitalisasi
kawasan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang laksanakan oleh Badan Litbang Pertanian di


kawasan PLG tahun 1997 s/d 2000 menunjukan bahwa hasil tanaman padi di lahan sawah
dan sayuran, serta buah-buah di pekarangan cukup baik. Kendala utama adalah hama
tikus, dan banjir di saat puncak musim hujan. Bila jaringan tata air makro bisa
berfungsi dengan baik, hama penyakit dan bajir dapat dikendalikan maka lahan di
kawasan ini sangat potensial untuk usaha pertanian, tanaman pangan dan palawija,
sayuran, buah-buahan, dan perkebunan.

Kartawinata (2013) menyebutkan bahwa di Indonesia, hutan gambut terkonsentrasi


di tiga pulau utama yaitu Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sedikit di Sulawesi. Di Papua
tipe vegetasi ini menempati lokasi yang menerus, mulai dari rawa gambut yang dalam
sampai dengan yang dangkal.

Rawa gambut yang dalam didominasi jenis vegetasi mengambang seperti teki-tekian
Cyperus cephalotes, C. Imbricatus, C. Platystylis, dan Eleocharis dulcis. Jenis ini

7
bercampur dengan paku-pakuan seperti Ampelopteris prolifera, Ceratopteris thalictroides,
dan Cyclosorus interruptus.

Jenis pohon yang mendominasi hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan
diantaranya Alstonia scholaris, Combretocarpus rotundatus, Dactylocladus stenostachys,
Ganua pierrei, Gonystylus bancanus, Palaquium cochlearifolium. Jenis pohon
Dipterocarpaceae diantaranya Anisoptera marginata, Dipterocarpus coriacea,
Dryobalanops rappa, Shorea balangeran (Ashton 1982 dalam Kartawinata 2013). Pohon-
pohon ini dapat tumbuh mencapai ketinggian 30 m. Hutan rawa gambut umumnya tidak
memiliki banyak stratifikasi.

Fungsi penting hutan gambut seperti spons. Saat musim hujan, hutan gambut
menampung, menyerap, dan menyimpan air. Sementara pada musim kemarau, hutan
gambut mengeluarkan air untuk keseimbangan ekosistem.

Hutan rawa gambut sangat penting sebagai pengatur hidrologi untuk wilayah di
sekitarnya. Hutan gambut menjadi tipe hutan yang paling kaya dalam kandungan karbon.
Melestarikan hutan rawa gambut artinya mencegah keluarnya karbondioksida ke dalam
atmosfer untuk menngurangi dan mencegah perubahan iklim.

Lahan Gambut dan BergambutTanah gambut secara alami terdapat pada lapisan
paling atas. Di bawahnya terdapat lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi.
Lahan dengan ketebalan tanah gambut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau tanah
bergambut. Disebut sebagai lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm.
Dengan demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50
cm.

Perdasarkan kedalamnya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu:

1. Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm


2. Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm
3. Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200-300 cm
4. Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300
cm.

8
2.2 Pengelolan Lahan Gambut
Pesisir timur Sumatera memiliki karakteristik dataran datar rendah dengan hutan
rawa gambut di wilayah tepi sungai dan pantai. Lingkungan ini sulit untuk ditempati dan
dikembangkan dan hingga belum lama ini sebagian besar wilayahnya dibiarkan tidak dihuni.
Dalam dua dekade terakhir, sejumlah tantangan pembangunan ini telah diatasi dan Provinsi
Riau kini memiliki ekonomi yang berkembang yang hampir seluruhnya didasarkan pada
agronomi (pertanian) dan kehutanan, di mana populasi yang semakin berkembang
menimbulkan tekanan pada sumber daya alam dengan hampir semua lahan yang
mengandung mineral telah dikembangkan.
Pengolahan tanah adalah proses di mana tanah digemburkan dan dilembekkan
dengan menggunakan bajak ataupun garu yang ditarik dengan berbagai sumber tenaga,
seperti tenaga manusia, tenaga hewan, dan mesin pertanian (traktor). Melalui proses ini,
kerak tanah teraduk, sehingga udara dan cahaya matahari menyentuh tanah lebih dalam dan
meningkatkan kesuburannya. Sekalipun demikian, tanah yang sering digarap sering
menyebabkan kesuburannya berkurang.
Pengolahan tanah mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh struktur tanah yang dibutuhkan bagi pertumbuhan benih atau
akar.
2. Untuk mengendali gulma atau untuk menghilangkan tanaman yang berlebih
3. Untuk menata sisa tanaman.
4. Untuk mengurangi erosi tanah dengan mengikuti cara semacam pengolahan menurut
garis tinggi, pembumbunan dan penempatan sampahan secara tepat. Didaerah yang
mempunyai lereng dengan sudut kemiringan yang tinggi harus dibuat sengkedan atau
terassering.
5. Untuk membenamkan dan mencampur pupuk, pestisida atau bahan tambahan ke
dalam tanah.

Sistem pengolahan tanah

Sistem pengolahan tanah terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan seberapa banyak
residu tanaman yang diangkat dari lahan pertanian. Di Amerika Serikat sejak tahun 1997,
sistem pengolahan tanah konservasi semakin banyak digunakan karena menghemat
banyak waktu, energi, tenaga kerja, dan biaya. Selain itu, pengolahan tanah konservasi
berarti semakin sedikit mesin pertanian yang bergerak di atas lahan pertanian sehingga

9
mencegah pemadatan tanah. Namun semakin sedikit tanah yang dibalikkan, semakin
sedikit pula cahaya matahari dan udara yang menyentuh tanah bagian dalam, sehingga
menghambat penanaman di awal musim semi karena tanah masih dingin setelah tanah
membeku di musim dingin.

Manfaat keberadaan residu tanaman di lahan pertanian adalah mencegah erosi


karena memperlambat aliran air permukaan, dan mampu menjadi kompos alami karena
terdekomposisi selama masa penanaman.

1. Pengolahan tanah tereduksi


Pengolahan tanah tereduksi meninggalkan antara 15 hingga 30% residu
tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian.
2. Pengolahan tanah intensif
Pengolahan tanah intensif meninggalkan kurang dari 15% residu tanaman
untuk tetap berada di lahan pertanian. Pengolahan tanah intensif mendayagunakan
banyak implemen (bajak singkal, bajak piring, dan/atau bajak pahat, ditambah
garu dan kultivator) dan jam kerja traktor.
3. Pengolahan tanah konservasi
Pengolahan tanah konservasi meninggalkan setidaknya 30% residu
tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian.
4. Pengolahan tanah berlajur
Pengolahan tanah berlajur (strip-tillage) hanya membajak lajur yang akan
ditanam. Bagian di antara lajur dibiarkan.
5. Pengolahan tanah rotasi
Pengolahan tanah rotasi hanya mengolah tanah secara periodik, yaitu
setiap dua tahun sekali atau tiga tahun sekali.
6. Tanpa pengolahan tanah
Tanpa pengolahan tanah berarti sama sekali tidak menggunakan bajak.
Residu tanaman yang ditanam pada periode sebeumnya dibiarkan mengering.
Pada lahan yang luas, sistem ini membutuhkan mesin penanam yang tidak biasa,
yang mampu menanam di sela-sela residu tanaman yang masih tegak berdiri.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Rawa gambut adalah sebuah tanah basah yang berisi gambut, sisa material tanaman
mati, sering kali lumut, dan dalam sebagian besar kasus, lumut sfagnum. Ini adalah salah
satu dari empat jenis utama tanah basah.
Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai
potensi cukup baik untuk pengembangan budidaya pertanian. Namun pengelolaannya harus
dilakukan secara bijak agar kelestarian sumber daya alam ini dapat dipertahankan. Dengan
mengenal tipe lahan rawa gambut maka akan dapat dibuat perencanaan yang lebih baik
dalam mengelola lahan secara bijaksana.
Pengolahan tanah mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh struktur tanah yang dibutuhkan bagi pertumbuhan benih atau akar.
2. Untuk mengendali gulma atau untuk menghilangkan tanaman yang berlebih
3. Untuk menata sisa tanaman.
4. Untuk mengurangi erosi tanah dengan mengikuti cara semacam pengolahan menurut
garis tinggi, pembumbunan dan penempatan sampahan secara tepat. Didaerah yang
mempunyai lereng dengan sudut kemiringan yang tinggi harus dibuat sengkedan atau
terassering.
5. Untuk membenamkan dan mencampur pupuk, pestisida atau bahan tambahan ke dalam
tanah.

11
Daftar Pustaka

• https://www.mongabay.co.id/hutan-rawa-gambut/
• https://pantaugambut.id/pelajari/apa-itu-gambut/sejarah-terbentuknya-gambut
• https://id.wikipedia.org/wiki/Rawa_gambut
• https://www.slideshare.net/EthelbertPhanias/pengelolaan-gambut-secara-berkelanjutan
• http://wetlands.or.id/PDF/Flyers/Agri05.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai