Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

OTONOMI DAERAH

Dosen Pengampu:
Dadang, SH., MH
Suharyanto, SH., M.Si

Disusun Oleh:
Shafira Prastania Putri (41205425120069)
Fahrul Mochamad Reyhandita (41205425120070)
Reza Tidar Ramadhan (41205425120075)

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2021
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Otonomi Daerah dengan tepat
waktu. Shalawat dan salam senantiasa penyusun curahkan kepada Rosululloh yakni Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Makalah ini disusun berdasarkan literasi yang
bersumber dari internet. Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas
Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Nusa Bangsa 2020/2021.
Penyusun sampaikan terimakasih kepada Bapak Dadang dan Bapak Suharyanto
Siswoyo, selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Nusa Bangsa
yang telah memberikan arahan pembahasan mengenai Mata Kuliah tersebut. Dosen, asisten,
laboran dan staf Universitas Nusa Bangsa, yang telah memberikan fasilitas terbaiknya dalam
pembelajaran. Serta kedua orang tua, yang senantiasa memanjatkan doa bagi penyusun serta
memberikan dukungan semangat kepada penyusun.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit kesalahan dan
banyak kekurangan dalam segi isi dan penulisan. Penyusun dengan terbuka menerima kritik
dan saran dari pembaca apabila terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam penyusunan
makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan sebagai bahan
referensi dan informasi bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2021

Penyusun
ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Tujuan 2
II. PEMBAHASAN 3
2.1. Pengertian otonomi daerah 3
2.2. Sejarah Otonomi Daerah 3
2.3. Dasar hukum dan Azas Otonomi Daerah 5
2.3.1. Asas Desentralisasi 6
2.3.2. Asas Dekonsentrasi 6
2.3.3. Asas Medebewind / Tugas pembantuan 6
2.4. Peran dalam Otonomi Daerah 6
2.5. Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah 7
2.5.1. Dampak positif 7
2.5.2. Dampak negatif 7
2.6. Pelaksanaan Otonomi Daerah 8
2.7. Tujuan Otonomi Daerah 10
2.8. Prinsip Otonomi Daerah 10
2.8.1. Prinsip tanggung jawab 11
2.8.2. Prinsip otonomi nyata 11
2.8.3. Prinsip kesatuan 11
2.8.4. Prinsip demokrasi 11
2.8.5. Prinsip dinamis 11
2.8.6. Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya 11
2.8.7. Prinsip penyebaran 12
2.8.8. Prinsip pemberdayaan 12
2.8.9. Prinsip keserasian 12
2.9. Hakekat Otonomi Daerah 12
2.10. Problematika Otonomi Daearh 12
2.10.1. Desentralisasi dalam Pelaksanaan Daerah 12
2.10.2. Problematika yang Muncul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah 15
2.10.3. Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi 20
2.11. Indikator Otonomi Daerah 22
2.11.1. Indeks Pembangunan 22
2.11.2. Keuangan 22
2.11.3. Peralatan 22
2.11.4. Organisasi dan Manajerial 22
III. KESIMPULAN 23
DAFTAR PUSTAKA 24
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Letak negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan sangat
mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya bentuk negara
kepulauan ini menimbulkan adanya kesulitan untuk mengkoordinasikan pemerintahan yang
ada di daerah. Agar dapat memudahkan pengaturan serta penataan pemerintahan maka
diperlukan adanya berbagai sistem pemerintahan yang efisien dan mandiri. Letak negara
Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan sangat mempengaruhi mekanisme
pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya bentuk negara kepulauan ini menimbulkan adanya
kesulitan untuk mengkoordinasikan pemerintahan yang ada di daerah. Agar dapat
memudahkan pengaturan serta penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai
sistem pemerintahan yang efisien dan mandiri. Hal tersebut sangat diperlukan agar tidak
memunculkan ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya lebih cepat
daripada daerah lain. Dengan hal ini pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan
pemerintahan di tingkat daerah yang disebut dengan otonomi daerah untuk mengelola potensi-
potensi dan sekaligus mengembangkannya.
Otonomi daerah yang disingkat dengan Otda, lahir di tengah gejolak sosial yang sangat
massif pada tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda
Indonesia di sekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia di sekitar tahun
1997 kemudian melahirkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya
pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
Sebagai respons dari krisis pada tahun 1997, pada masa reformasi dicanangkan suatu
kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan
otonomidaerah dan pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah, paradigma lama
dalam manajemen pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi
kebijakan otonomi daerah yang tidak dapat dilepaskan dari upaya politik pemerintah pusat
untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau Negara federal dari beberapa wilayah
yang memiliki sumber daya alam melimpah, namun tidak mendapatkan haknya secara
proporsional pada masa pemerintahan orde baru.
Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerintah pembangunan sosial
ekonomi, penyelenggaraan pemerintah dan membangun kehidupan berpolitik yang efektif,
sebab dapat menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Beberapa
alasan mengapa kebutuhan terhadap otonomi daerah di Indonesia yaitut Kehidupan berbangsa
dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta centris). Pembagian kekayaan
dirasakan tidak adil dan tidak merata, daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam
melimpah berupa minyak, hasil tambang dan hasil hutan. Kesenjangan sosial (dalam makna
seluas-luasnya) antara satu daerah satu dengan daerah lain sangat terasa. Oleh karena itu,
penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai Otonomi daerah di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan permasalahan dalam makalah yang berjudul “Otonomi Daerah”
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?
2. Apa dasar hukum/azas pembentukan Otonomi Daerah?
3. Peran apa saja yang diberikan oleh Otonomi Daerah terhadap Negara?
4. Dampak apakah yang timbul dari pembentukan sistem Otonomi Daerah?
2

5. Bagaimana Indonesia mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah di negaranya?


6. Apa saja tujuan, prinsip, dan hakekat dari Otonomi Daerah?
7. Problematika apa saja yang muncul dalam pelaksanaan Otonomi Daerah?
8. Apa Indikator dari Otonomi Daerah?
1.3. Tujuan
Yang menjadi tujuan dalam pembentukan makalah yang berjudul “Otonomi Daerah”
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah,
2. Mengetahui dan mengerti dasar-dasar hukum/azas pembentukan Otonomi Daerah,
3. Mengetahui peran apa saja yang diberikan oleh Otonomi Daerah terhadap Negara,
4. Mengetahui dan mengerti dampak yang timbul dari pembentukan sistem Otonomi
Daerah,
5. Mengetahui dan mengerti bagaimana Indonesia mengatur dan melaksanakan Otonomi
Daerah di negaranya,
6. Mengetahui dan mengerti tujuan, prinsip, dan hakekat dari Otonomi Daerah,
7. Mengetahui dan mengerti problematika apa saja yang muncul dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah,
Mengetahui dan mengerti indikator dari Otonomi Daerah..
3

II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian otonomi daerah
Otonomi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos” berarti “sendiri” dan “nomos” berarti
“aturan”, sehingga otonomi diartikan pengaturan, mengatur atau memerintah sendiri. Undang-
Undang No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan pengertian otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata desentralisasi, karena praktik
keduanya hampir sama. Desentralisasi menyerahkan pembagian kewenangan kepada organ-
organ penyelenggara negara, sedang otonomi daerah menyangkut hak yang mengikuti.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan desentralisasi adalah wewenang dari pemerintah
pusat yang berada di ibu kota, melalui cara dekonsentrasi antara lain pendelegasian kepada
pejabat di bawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah, sedang
otonomi daerah yang merupakan salah satu wujud desentralisasi.
Otonomi daerah merupakan suatu bentuk respon dari pemerintah atas berbagai tuntutan
masyarakat terhadap tatanan penyelenggraan Negara dan Pemerintahan. Hal ini merupakan
suatu sinyal bahwa telah berkembangnya kehidupan berdemokrasi dalam suatu Negara, karena
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan responsif. Otonomi
Daerah dapat di definisikan sebagai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
daerah untuk mengurus urusan daerah masing-masing sesuai dengan potensi dan ciri khas
masing- masing daerah. Otonomi daerah merupakan proses desentralisasi kewenangan yang
semula berada di pusat, kemudian diberikan kepada daerah secara utuh, dengan tujuan agar
pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan lebih dekat kepada masyarakat, dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, serta meningkatkan kesejateraan masyarakat, dan
mempercepat proses demokratisasi (Dewirahmadanirwati 2018).
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam pembuatan
keputusan daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut pelaksanaannya sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Ubedilah 2000). Daerah
otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Widjaja
2002). Aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat
berpatisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, penggerakan dan pengawasan dalam
pengelolaan pemerintah daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan
pelayanan prima kepada publik.
2.2. Sejarah Otonomi Daerah
Otonomi daerah dimulai pada masa orde baru, otonomi daerah pada asas orde baru lahir
ditengah gejolak tuntutan daerah terhadap berbagai kewenangan. UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa menjadi dasar tegaknya sentralisasi kekuasaan orde baru. Stabilitas politik demi
kelangsungan pertumbuhan ekonomi menjadi dasar bagi masa orde baru untuk mematahkan
setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat sendri. Otonomi daerah menjadi bentuk
sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru, berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru
tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, ketergantungan
pemerintah daerah kepada pemerintahan pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada
kemandirian perencanaan pemerintah daerah pada saat itu.
4

Otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, kebebasan terbatas atau


kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Definisi otonomi mengandung dua unsur, yaitu pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan
yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya, dan pemberian
kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai
penyelesaian tugas itu. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan negara yang mendasari
penyelenggaraan organisasi dan manajemen pemerintahan daerah. Seluruh kebijakan dan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah dilaksanakan menurut arah kebijakan
Negara tersebut. Masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota
Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu Tahun 1999, ditetapkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengkoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang diangap
sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelengaraan pemerintah dan perkembangan keadaan.
Kedua undang-undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan tahun 2001.
Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat
dan daerah.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan
masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan
kewenangan yang sebelumnya tidak diberikan pada masa orde baru. Terdapat dua faktor dalam
lahirnya kebijakan otonomi daerah UU No.22 Tahun 1999. Pertama, faktor internal yang
didorong oleh berbagai protes atas kebijakan poitik sentralisme di masa lampau. Kedua, faktor
eksternal yang di pengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi
terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai
birokrasi yang panjang. Pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka
aturan baru dibentuk untuk menggantikan selama lima tahun pelaksanaan UU No.2 Tahun
1999, otnomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan
kehidupan demokrasi.
Departemen Dalam Negri dan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan revisi terhadap UU
No.2 Tahun 1999. Terdapat dua catatan yang dibawa oleh UU yang baru UU No 32 Tahun
2004 yakni, proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup di tengah-tengah rakyat sedang
melakukan pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan
menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. UU
tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana penyusunan revisi tersebut anggota DPR
sudah mau domisioer tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan
angota DPR priode 1999-2004. Sidang paripuna DPR menyetujui rancangan perubahan revisi
terhadap UU No.22 Tahun 1999 menjadi UU NO. 32 Tahun 2004, DPR pemilu 1999 sudah
kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan dan
pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah
daerah, akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan.
5

Peraturan pertama yang mengurusi tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi


kemerdekaan adalah UU Nomor 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan
hasil dari pertimbangan sejarah pemerintahan di masa-masa kerajaan serta pada masa
pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menetapkan 3 jenis daerah otonomi yaitu
Karisidenan, Kabupaten dan Kota, kurang lebih 3 Tahun UU ini di ganti dengan Undang-
Undang No.22 Tahun 1948. Undang Undang Nomer 22 Tahun 1948 berfokus pada susunan
pemerintahan daerah yang demokratis, yakni berupa ditetapkanya 2 jenis daerah otonom yaitu;
Otonomi biasa dan Otonomi Istimewa, serta 3 tingkatan daerah otonomi yakni Propinsi,
kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Masa berlaku Undang-Undang ini berakhir dengan
disahkannya Undang-Undang Nomer 1 tahun 1957. Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1957
adalah pengaturan tunggal yang berlaku secara seragam di seluruh Indonesia.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu
perundang-undangan yang menggantikan undang-undang sebelumnya. Pergantian UU No.5
Tahun 1974 menjadi UU No.22 Tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format
otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perkembangan otonomi tentang otonomi daerah
di Indoneisa selalu mengalami perubahan dalam rangka menerapkan otonomi daerah yang
secara formal sudah berlangsung sejak tanggal 18 agustus 1945. Pengaturan masa terjadi
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu pada Penjajahan Belanda dan Jepang yang
juga berpengaruh pada pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia.
Oleh karenanya perlu ada tinjauan sejarah otonomi daerah baik sebelum kemerdekaan maupun
sesudah merdeka pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum proklamasi
dikumandangkan telah berdiri sebuah lembaga di Indonesia setingkat lembaga kenegaraan
berupa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa (PPKI).
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa telah terbentuk sebagai Lembaga Kebangsaan
Indonesia pada Tanggal 9 Agustus 1945 oleh tokoh-tokoh Bangsa Indoneisa. Sejak Tanggal 15
Agustus 1945 lembaga ini di pimpin oleh Soekarno Hatta. Mengenai asas-asas yang ada di
dalam otonomi daerah antara lain sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas
pembantuan. Sentralisasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata Centre yang
artinya adalah pusat atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada
sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi.
Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi
daerah. Sentralisasi adalah seeluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat (Santoso 2013).
Sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang
berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan
pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah kebijakan dan
keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat
sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.

2.3. Dasar hukum dan Azas Otonomi Daerah

Terdapat beberapa dasar hukum otonomi daerah di Indonesia yang tercantum dalam
UUD 1945, ketetapan MPR RI atau melalui peraturan perundang-undangan lainnya.
1. UUD 1945 pasal 18 ayat 1-7
2. UUD 1945 pasal 18 A ayat 1 dan 2
3. UUD 1945 pasal 18 B ayat 1 dan 2
4. Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan,
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
5. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
6

6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat
dan Pemerintahan Daerah.
8. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004)
Selain adanya dasar hukum, terdapat juga asas otonomi daerah yang bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di wilayah otonomi tersebut,
sehingga dapat meningkatkan sumberdaya yang dimiliki daerah agar dapat bersaing dengan
daerah otonom lainnya. Berikut penjelasan mengenai asas otonomi daerah:
2.3.1. Asas Desentralisasi
Asas ini merupakan asas otonomi daerah yang pertama, asas ini merupakan penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya dalam sistem negara kesatuan.
Penggunaan asas ini penting untuk memperpendek jalur birokrasi yang rumit dari
pemerintah daerah ke pemerintah pusat, serta mengurangi beban pemerintah pusat dalam
mengurus urusan negara. Selain itu, akan tercipta harmonisasi antara pemerintah pusat dan
daerah
2.3.2. Asas Dekonsentrasi
Asas ini merupakan bentuk pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat pada
pemerintah daerah atau dari badan otonom untuk mengatur dan mengurus urusan sektor
administrasi dalam sistem negara kesatuan.
Pada asas ini, kontak langsung antara rakyat dan pemerintah menjadi lebih sering.
Selain itu, asas dekonsentrasi ini dapat menjadi alat yang efektif untuk menjaga persatuan
dan kesatuan, karrena adanya perangkat politik di wilayah daerah.
2.3.3. Asas Medebewind / Tugas pembantuan
Asas otonomi daerah yang terakhir ini adalah asas tugas pembantuan atau dikenal dengan
sebutan asas medewind. Asas ini merupakan bentuk penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
Asas ini merupakan suatu asas dasar hukum otonomi daerah yang memiliki sifat
membantu pemerintahan pusat atau pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya dalam
menyelenggarakan negara atau daerah melalui kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
atau badan otonom yang dimintai bantuannya tersebut.
2.4. Peran dalam Otonomi Daerah
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang
merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah.Kedudukan faktor
keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting,karena pemerintahan
daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang
cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang merupakan salah
satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di
dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada
pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus
menjadi bagian yang terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan
otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
7

Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut, anggaran publik merupakan suatu


dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi
informasi mengenai pendapatan belanja danaktifitas. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa
anggaran publik merupakan suaturencana finansial yang menyatakan:
1. Berapa biaya atas rencana yang di buat (pengeluaran/belanja)
2. Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut
(pendapatan).
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara disebutkan bahwa
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005tentang
Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana keuangan tahunan
Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,
dan ditetapkan dengan peraturan daerah ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi
kebutuhan lokal.
2.5. Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah
2.5.1. Dampak positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah
daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintahpusatmendapatkan respon
tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri.
Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi
dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong
pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
2.5.2. Dampak negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di
pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan negara dan rakyat
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah
yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar
daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh
pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah.
Hal tersebut dikarenakan dengan sistem otonomi daerah maka pemerintah pusat akan
lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan
system otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
2.5.2.1. Korupsi Pengadaan Barang
Modus Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. Kolusi
dengan kontraktor dalam proses tender.
2.5.2.2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus memboyong atau menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
2.5.2.3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat,
pengurusanpensiun dan sebagainya
Modus memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
8

2.5.2.4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti
asuhan dan jompo)
Modus Pemotongan dana bantuan sosial. Biasanya dilakukan secara bertingkat.
2.5.2.5. Bantuan fiktif
Membuat surat permohonan fiktif seolah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
2.6. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam pelakasanaan otonomi daerah, pemerintah pusat menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Asas
Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan
“Asas-asas umum pemerintahan yang layak”. Di negeri Belanda, asas-asas umum
pemerintahan yang layak ini sudah diterima oleh penyelenggara pemerintahan, terutama
Pejabat Tata Usaha Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam
praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas-asas ini sudah mulai diterima,
walaupun secara formal belum diakui sebagai suatu norma hukum tidak tertulis yang harus
ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun di daerah. Secara yuridis formal,
hal semacam ini baru diakui di negara kita, dengan diundangkan UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas. Kemudian dalam pasal 20 UU No. 32
Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Asas dimaksud disebut dengan “Asas Umum
Penyelenggaraan Negara”, yang dirinci antara lain: asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan
otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak daerah tersebut antara
lain: pertama, mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya; kedua, memilih
pemimpin daerah; ketiga, mengelola aparatur daerah; keempat, mengelola kekayaan daerah;
kelima, memungut pajak daerah dan retribusi daerah; keenam, mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnnya yang berada di daerah; ketujuh,
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan kedelapan, mendapatkan hak
lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Disamping hak-hak tersebut di atas,
daerah juga dibebani beberapa kewajiban, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup
9

12. Mengelola administrasi kependudukan;


13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangan; dan
15. Kewajiban lainnya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak
aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan UndangUndang tersebut. Otonomi Daerah
memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk
mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan
yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak
begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat
baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan
peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari
pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang
tidak menguntungkan tersebut. Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung
telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang
pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan. Aturan itu
ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada
masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSMLSM
setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil
mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat
mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat
membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat
adanya Otonomi Daerah di daerah terebut. Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah
otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena
adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah: Adanya kecenderungan
pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah,
Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol, Rusaknya Sumber Daya Alam disebabkan
karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah
(PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa
mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan
berkelanjutan, Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah, Pemerintahan kabupaten juga
tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan
perkebunaan bagi budget mereka.
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia: Lemahnya
pengawasan maupun check and balances, Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang keliru,
baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah
menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera,
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan
10

rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang
membebani rakyat, Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi
kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya
sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan
fungsi yang semestinya, Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya
Manusia (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan.
2.7. Tujuan Otonomi Daerah
Menurut Deddy S.B. & Dadang Solihin (2004:32), tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan
keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik
kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002:46) adalah
untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya
terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tujuan Otonomi Daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan Otonomi Daerah ialah menjalankan otonomi yang
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Berikut penjelasannya:
1. Meningkatkan pelayanan umum, Dengan adanya Otonomi Daerah diharapkan adanya
peningkatan pelayanan umum secara maksimal dari lembaga pemerintah masingmasing
daerah. Dengan pelayanan yang maksimal tersebut, diharapkan masyarakat dapat
merasakan secara langsung manfaat dari otonomi daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Setelah pelayanan maksimal dan memadai,
diharapkan kesejahteraan masyarakat Pendapatan Asli Daeraha suatu Daerah Otonom
bisa lebih baik dan meningkat. Tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut
menunjukkan bagaimana Daerah Otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya
secara tepat, bijak dan sesuai dengan yang diharapkan.
Meningkatkan daya saing daerah, Dengan menerapkan Otonomi Daerah diharapkan
dapat meningkatkan daya saing daerah dan harus memperhatikan bentuk keaneka ragaman
suatu daerah serta kekhususan atau keistimewaan daerah tertentu serta tetap mengacu
Pendapatan Asli Daerah semboyan Negara kita” Bhineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda
tapi tetap satu jua.
2.8. Prinsip Otonomi Daerah
Sebagai negara kesatuan yang mempunyai wilayah sangat luas, maka otonomi daerah
yaitu cara pandang yang efektif dalam penyelenggaraan pemerintah. Pembangunan dapat
menjangkau sampai ke wilayah atau daerah paling terpencil sekalipun, dengan tetap
memperhatikan aspirasi masyarakat dan sumberdaya yang dimiliki daerahnya. Hal tersebut
dikarenakan setiap wilayah yang termasuk negara kesatuan Indonesia tidak sama kondisinya
dan hanya pemerintah daerah yang menjadi pemerintahan paling dekat yang mengetahui serta
bisa membuat kebijakan khusus sesuai wilayahnya.
11

Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah
harus berpegang teguh pada UUD 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia dan UU yang
berlaku. Didalam kedua aturan tersebut ada beberapa prinsip yang harus dimiliki dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Berikut prinsip-prinsip tersebut:
2.8.1. Prinsip tanggung jawab
Adanya pemberian wewenang dan tugas dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah
harus dilaksanakan dengan sesuai tujuannya, maka dari itu prinsip tanggung jawab harus
ditegakkan oleh pemerintah daerah yang mengemban tugas dan juga kewajiban. Pemerintah
pusat juga harus benar-benar memastikan jika pemerintah sudah sesuai melaksanakan
wewenang, tugas dan kewajibannya. Pemerintah daerah berperan mengatur proses
pemerintahan dan pembangunan di daerah dan bertanggung jawab atas seluruh dinamik
yang terjadi.
2.8.2. Prinsip otonomi nyata
Prinsip otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan dipertukan serta tumbuh, hidup,
dan berkembang di daerah atau dimana situasi dan kondisi wilayah tersebut akan berbeda
dengan satu dan yang lainnya. Daerah tersebut diberikan kebebasan, kewenangan, dan
kewajiban yang dilaksanakan secara nyata sesuai dengan ke khasan daerah yang
dikuasainya.
2.8.3. Prinsip kesatuan
Prinsip kesatuan ini diperlukan agar pemerintahan daerah benar-benar berusaha
meingkatkan kesejahteraan warga atau masyarakat di daerahnya di segala bidang. Dengan
meningkatnya kesejahteraan, cara mengatasi kesenjangan sosial dengan wilayah lain bisa
diminimalisir. Akibatnya, persatuan dan kessatuan semakin terjaga. Selain itu, pemerintah
daerah harus mempertimbangkan segala dinamika yang terjadi di wilayahnya agar jika
terdapat hal yang tidak diinginkan, hal tersebut bisa terminimalisir.
2.8.4. Prinsip demokrasi
Prinsip dan ciri utama pemerintahan demokrasi ini harus tetap dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Demokrasi yang menyatakan, jika kedaulatan terdapat
di tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini, semua kegiatan atau urusan
pembangunan bisa melibatkan semua masyarakat untuk kesejahteraan nya, dan kebijakan
yang dibuat juga harus kebijakan yang pro dengan rakyat.
2.8.5. Prinsip dinamis
Didalam prinsip dinamis, diharapkan proses penyelenggaraan pemerintah pada daerah
terus bergerak maju mengikuti perkembangan dunia saat ini. Dengan prinsip dinamis,
penyelenggaraan pemerintah daerah harus memperhatikan hal itu dan mengambil segala
dampak positifnya serta melindungi dari dampak negatif nya untuk warga negara.
2.8.6. Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya
Prinsip ini artnya diluar dari urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah diberi
kewenangan seluas-luasnya. Daerah memiliki kewenangan untuk kebijakan daerah sendiri
sesuai dengan aturan yang berlaku. Kewenangan yang luas dilaksanakan harus sesuai
dengan aturan yang belaku dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat.
Kewenangan pemerintah daerah mencakup semua urusan pemerintahan, kecuali politik luar
negeri, agama, keamanan, keuangan, peradilan, dan fiskal nasional.
12

2.8.7. Prinsip penyebaran


Adanya prinsip penyebaran ini karena wilayah Indonesia yang sangat luas dan
membentang dari sabang sampai marauke. Jika pemerintah pusat melakukan segala
sesuatunya tanpa bantuan asas desentralisasi daerah, maka terdapat tempat-tempat yang jauh
dan terpencil yang mungkin tidak adanya pembangunan. Maka dari itu, penyelenggaraan
pemerintah daerah harus optimal menangkap aspirasi masyarakat, dan mengetahui
kebutuhan daerahnya agar kemudian membuka kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan
sumberdaya yang ada.
2.8.8. Prinsip pemberdayaan
Artinya, memberdayakan semua sumber daya yang ada seoptimal mungkin dengan tetap
memperhatikan keserasian dan keseimbangan. Prinsip pemberdayaan ini punya tujuan buat
kesejahteraan masyarakat setempat dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Sebagai
contoh: pemberdaayan tidak hanya dilakukan pada sumberdaya alam, tapi juga untuk
sumberdaya manusia.
2.8.9. Prinsip keserasian
Otonomi daerah diselenggarakan bukan ingin mengeksploitasi semua sumber daya
daerah tanpa memperhatikan akibatnya. Penggunaan sumber daya yang ada dengan sebesar-
besarnya buat kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keseimbangan.
Penggunaan sumber daya alam di daerah harus memperhatikan keseimbangan dan
keserasian dengan lingkungan. Artinya tidak merusak dan membahayakan lingkungan yang
akibatnya akan berbalik pada masyarakat sendiri.
2.9. Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai
dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah
tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan,
pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalampenyelenggaraan pemerintah dan
pelayanan masyarakat maka peranandata keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus
dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektifdan efisien. Data
keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi,
baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang
pentingt erutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerahuntuk meliahat
kemampuan / kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
2.10. Problematika Otonomi Daearh
2.10.1. Desentralisasi dalam Pelaksanaan Daerah
Globalisasi menghadapkan Indonesia pada tuntutan untuk melaksanakan pembangunan
di segala bidang secara merata. Antisipasi terhadap arus globalisasi ini diperlukan setiap
daerah, terutama berkaitan dengan peluang dan tantangan penanaman modal asing di daerah
dan persaingan global di daerah. Pemerintahan daerah yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah semacam keleluasaan
daerah dalam mewajudkan otonomi yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, prakarsa dan aspirasi masyarakat, atas dasar pemerataan dan keadilan,
serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman daerah.
13

Dalam kerangka negara kesatuan, eksistensi otonomi daerah dan pelaksanaannya


didukung dengan adanya pasal Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya dapat disimpulkan bahwa: Wilayah Indonesia dibagi atas dalam daerah-
daerah, baik yang bersifat otonom maupun bersifat administratif. Daerah-daerah itu
mempunyai pemerintahan, yang pembagian wilayah dan bentuk sususan pemerintahannya
ditetapkan dengan atau atas kuasa undang-undang. Pembentukan daerahdaerah itu, terutama
daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus dengan
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Akan
tetapi karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya menganut asas negara kesatuan
yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga
menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan
pengawasan.
Pasal 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan asas desentralisasi dalam
pelaksanaan otonomi adalah memberikan keleluasaan organ daerah otonom yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi. Dalam asas desentralisasi
terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintahan
daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa
sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun
pembiayaannya. Pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang
dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
Penjelasan asas desentralisasi sebagai pelaksanaan otonomi daerah di atas di dasarkan
pada pengertian yang ada di konstitusi, yaitu berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004
(Tentang Pemerintahan Daerah). Kemudian pada perkembangannya banyak definisi yang
bermunculan sehingga menimbulkan perbedaan karena ditinjau dari sudut keilmuan yang
berbeda yang kemudian berdampak pada perbedaan tujuan dari desentralisasi sebagai asas
pelaksana otonomi daerah. Dimana permasalahn perbedaan tujuan desentralisasi karena
adanya perbedaan dalam mengartikannya justru semakin memperjelas atau memperinci
tujuan dari desentralisasi tersebut. Diantaranya tujuan desentralisasi dari pengertian
desentralisasi dalam perspektif politik, administratif, dan pengertian satu lagi yang
dirumuskan oleh Syarif Hidayat dalam jurnal Ilmu Politik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2008
yaitu tujuan desentralisasi dalam perspektif State Society-Relation.
2.10.1.1. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi politik
Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang
hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan
kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta
mempertahankan integrasi nasional. Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985)
membedakan tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah pusat),
dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah.
2.10.1.1.1. Kepentingan Nasional
Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith (1985), sedikitnya
ada tiga tujuan utama desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan
politik)3, maksudnya adalah, melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat
belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik
yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota
legislatif yang tidak memiliki qualifikasi kemampuan politik; dan belajar mengkritisi
berbagai kebijakan pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah
14

(Maddick, 1963: 50- 106). Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan
pemerintah pusat adalah to provide training in political leadership (untuk latihan
kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dari asumsi dasar
bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi
para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai posisi penting di
tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan
melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional. Tujuan ketiga desentralisasi
dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk
menciptakan stabilitas politik).
2.10.1.1.2. Kepentingan Pemerintah Daerah
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah
untuk mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan
akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat
dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi
anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan
mengekspresikan kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Tujuan
kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local
accountability7. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta
peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak
komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol
pelaksanaan pemerintahan daerah. Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan
pemerintah daerah adalah local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan
desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih
mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan
desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus
meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
2.10.1.2. Tujuan Desentralisasi dalam Perspektif Desentralisasi Administrasi
Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di daerah sebagai
tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkanbahwa tujuan
utama yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah.
2.10.1.3. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi State Society-Relation.
Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif statesociety relation, akan
diketahui bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara
kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi
yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi
kebijakan (Vincent Ostrom, 1991). Kerangka berfikir perspektif state-society relation
mengartikulasi desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau
sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak dicapai
tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dengan
kerangka berfikir seperti ini sulit dipungkiri bahwa perspektif state-society relation
cenderung tidak memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi
dengan sistem politik dan/atau tipe rezim yang sedang berkuasa.
15

2.10.2. Problematika yang Muncul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah


Otonomi daerah yang sekarang berlangsung di Indonesia adalah otonomi daerah yang
seluas-luasnya, dengan berdasar kepada pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu juga otonomi daerah di Indonesia diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 Jo UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak kemerdekaan sebenarnya sudah ada
pelaksanaan otonomi daerah. Berawal pada saat masa Orde Baru yang diatur dalam UU No.
5 Tahun 1974, memalui UU tersebut pemerintah menjalankan otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab. Pada pelaksanaannya otonomi berjalan secara terbatas dan sentral.
Dimana pemerintah daerah hanya mengikuti pemerintah pusat saja.
Pada saat reformasi, dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dengan otonomi yang
seluas-luasnya. Dengan evoria politik sehingga mencari kebebasan yang seluas-luasnya
untuk otonomi daerah. Pada saat itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meminta
pertanggungjawaban kepada Gubernur, Bupati/Walikota, karena dipilh oleh DPRD.
Kemudian melihat gejolak politik antara DPRD dengan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bersumber karena Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD menyebabkan
Gubernur dan Bupati/Walikota seolah dalam bayang-bayang DPRD.
Melihat kenyataan tersebut, pada tahun 2004 keluarlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999. Pada UU tersebut otonomi
tetap dijalankan dengan prinsip seluas-luasnya. Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004
memberikan angin segar kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, karena tidak
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada DPRD. Gubernur dan Bupati/Walikota dalam
UU tersebut dipilih oleh rakyat sehingga kepada rakyatlah pertanggungjawaban Gubernur
dan Bupati/Walikota diberikan. Pada otonomi daerah tersebut memunculkan asas
desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pelaksanaan otonomi daearh. Dimana desentralisasi
dalam pelaksanaan otonomi daerah memunculkan daerah-daerah otonam, sedangkan
dekonsentrasi adanya wilayah administratif sealain itu juga meunculkan asas pembantuan.
Yang kesemuaanya itu juga diatur dalam konstitusi negara kita tepatnya pada Pasal 18.
Setelah adanya UU No. 32 Tahun 2004, DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang
sebagai usaha mengembalikan kepada Pemilihan Pemimpin Daerah dipilih oleh DPRD.
Sehinngga seolah mengulang yang dulu pernah terjadi. Saat ini RUU itu telah menjadi
Undang-Undang yang telah disetujui oleh para anggota Perwakilan Rakyat. Keluarlah UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga Gubernur dan Bupati/Walikota
dipilih oleh DPRD. Namun, berdasar dengan UU tersebut Presiden SBY yang menjabat
pada saat itu mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2014 sebagai pengganti UU
No. 23 Tahun 2014 yang tetap menginginkan tetap pada pemilu kepada rakyat. Namun, UU
tersebut masih menjadi kontrofersi hingga sekarang sehingga UU tersebut nampaknya
belum berlaku walaupun sudah disetujuai oleh anngota DPR yang menghadiri sidang
persetujuan RUU terasebut.
Berdasar dari beberapa peraturan yang telah muncul mengenai pemerintah daerah di
Indonesia, munculnya inkonsistensi mengenai peraturan yang mengatur tentang pemerintah
daerah. Dimana terjadi perubahan peraturan yang berulang-ulang. Mulai dari pemilihan
Kepada Daerah melalui DPRD kemudian langsung oleh rakyat dan kembali lagi dengan
pemilu DRPD namun dengan adanya Perpres yang tetap menginginkan pemilu langsung
oleh rakyat menyebabkan adanya nuansa inkonsistensi dalam peraturan yang mengatur
tentang otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan pemilihan kepala Daerah.
Selain munculnya inkonsistensi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, ada
beberapa masalah yang sering muncul dalam wujud pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa
masalah diantaranya adalah:
16

2.10.2.1. Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang


Belum Mantap
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang
menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan
otonomi daearah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu
dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan
mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
manfaat dari padanya. Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan
makro nasional yang bersifat strategis.
Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk
memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk
memberikan peluang kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik
dan pemerintahan. Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah. Untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pemahaman
terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap. Elemen utama dari
desentralisasi adalah:
1) Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung
jawab politik dan administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam
struktur yang terdesentralisasi.
2) Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah memberikan dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan
aturan baru tentang pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer
antarpemerintah

2.10.2.2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai

Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan


Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan
keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas
kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan
bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi
di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa
bergantung pada gubernur. Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh
untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan
kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang
memadai antara eksekutif dan legislatif.
Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru.
Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan
bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat.
Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang
17

baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku
setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang
mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi
setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal
bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah.
Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya
memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab
utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi
kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran
pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundangundangan lama yang tidak lagi
sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan
kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang
mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut
otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya
telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di
kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat
kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan
yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah
haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja
bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah.
Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan.
Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi
bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada
tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi
juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun
ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah
seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan
aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat
dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.
Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
2.10.2.3. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada
alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini
sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan
upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini
didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk
melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar
seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi
pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk
tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
18

Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional
dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan
retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena
kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak
applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi
sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak.
Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang
terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah
kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung
berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti,
jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa
setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-
sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa
menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah
produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame
berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa
membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi
sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut
diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan
atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Bila dikaji lebih, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif
semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang,
dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah
beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau
retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika
dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah
kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai
penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya
pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara
empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya
ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah
setempat
2.10.2.4. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal
yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai
akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa
tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama
dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten
/kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten /kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena
primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah,
rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman
disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan wewenang yang luas
kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman
19

penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan
daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan
antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu
wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-
masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era 18 otonomi darah tuntutan
pemekaran wilayah juga semakin kencang dimanamana. Pemekaran ini telah menjadikan
NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah
menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan
seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan
perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi,
bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan asing
semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi daerah, bantuan-
bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah tidak
otomatis menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya
memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi
karena pola hubungan antar etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar
pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai pemaknaan terhadap
karakteristik masingmasing etnis. Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang
mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat
mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain secara alamiah, bahkan
mekanisme pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara
Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas
etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini belum
menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya,
proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan
primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam
ruang kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan
persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan
nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga
mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap
masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki
hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas
nasional. Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah
yang bernuansa etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang
pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa adanya potensi
bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya
berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam
lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama
(Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi
di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-
organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola
interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk
mengenal etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini
mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan
bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
20

2.10.3. Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi Masyarakat

Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kesempatan seluas -


luasnya untuk menggali dan memanfaatkan potensi lokal yang dimiliki masyarakat di
daerahnya. Dengan mendayagunakan potensi lokal, diharapkan program pembangunan
yang dijalankan akan dapat berlangsung berkelanjutan karena mendapat dukungan penuh
dari masyarakat. Keterlibatan ini akan membuat masyarakat setempat berusaha untuk lebih
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasannya dalam memahami persoalan
yang dihadapi dan terbiasa untuk mengambil keputusan sendiri. Selain itu, karena memiliki
perasaan ikut memiliki pada program yang digagas daerahnya, masyarakat akan memiliki
rasa tanggung jawab untuk terus menjalankan dan mengembangkannya. Peningkatan peran
masyarakat melalui pemberdayaan ini timbul akibat pergeseran paradigma pembangunan
yang menjadi acuan pembangunan nasional yakni production centered development
menjadi people centered development yang berorientasi kemanusiaan dan bertujuan untuk
mengaktualisasikan nilai - nilai kemanusiaan seperti harga diri, identitas, otentitas,
kemandirian, dan sebagainya.
Partisipasi dan pemberdayaan merupakan salah satu metode yang efektif untuk
menstimulan otonomi, dengan keterlibatan masyarakat menyiapkan agenda pembangunan
yang diawali dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan secara partisipasi
dan pemberdayaan dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di masyarakat dan
dilakukan secara bersama-sama, yang tentunya dilakukan dengan musyawarah, swadaya
masyarakat, gotong royong masyarakat, dan pendampingan yang dalam hal ini menjalin
relasi sosial.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar
mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat
melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas
SDM melalui pendidikan formal dan nonformal perlu mendapat prioritas. Pemberdayaan
merupakan salah satu strategi untuk menjadikan masyarakat lebih mandiri, dalam hal ini
pemerintah dengan Permendagri No. 7 pasal 1 ayat 8 menjelaskan: “Pemberdayaan
masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai
upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara”.
Memberdayakan masyarakat tentunya dengan tujuan mendidik masyarakat agar mampu
mendidik diri mereka sendiri atau membantu masyarakat agar mampu membantu diri
mereka sendiri. Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah
masyarakat yang mandiri, berswadaya, dan mampu mengadopsi inovasi, dalam bentuk
penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga,
pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi, pendidikan keterampilan, pelatihan-pelatihan, dan
lain-lain.
Dalam pemberdayaan masyarakat yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, Margono Slamet (1998:1), mengemukakan tujuan pendidikan
sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah
meliputi: pertama, domain perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain
perilaku sikap (feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing
behavior). Dengan pemberdayaan tentunya yang patut diperhatikan adalah bahwa
pendidikan memegang peranan kunci dalam penyediaan SDM yang berkualitas, bahkan
sangat menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan, sehingga kita dapat mengikuti
suatu wacana yang menegaskan: Development stands or falls with the improvement of
human and institutional competence (Hill, 1982:4).
21

Sesungguhnya apa yang disampikan melalui konsep pemberdayaan lebi sempurna


dibandingkan dengan konsep pembangunan top-down. Konsep pemberdayaan
sesungguhnya merupakan visualisasi dari pendekatan bottom-up. Ambar Teguh Sulistiyani
(2004;39). Selanjutnya menurut Ambar Teguh Sulistiyani, pada hakikatnya pemberdayaan
merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Di samping itu pemberdayaan hendaknya jangan menjebak
masyarakat dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya harus
mengantarkan pada proses kemandirian (2004:79).
Tetapi tentunya dalam partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah,
desain atau pola apapun yang digunakan sebaiknya mampu memanfaatkan Sumber Daya
Alam (SDA) dan meningkatkan Sumber Daya Manusianya (SDM), serta dengan
berdasarkan pada kondisi rill masyarakat dengan potensi yang dimiliki. Untuk
melaksanakan pembangunan dengan pendekatan tersebut dibutuhkan tipologi masyarakat
yang lebih terbuka, inovatif, dan bersedia untuk kerja keras. Ciri masyarakat yang
demokratis dan terbuka sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan yang berkiblat
pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ;
pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,
setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya
menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam
berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam
rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan
derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal,
teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini
menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik,
maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh
masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan,
pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang
keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang
kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh
lapisan masyarakat ini.
Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan
kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula
pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan
pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah
peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri
dan masyarakatnya. Jadi esensi pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu
anggota masyarakat tetapi juga termasuk penguatan pranatapranatanya7. Ketiga,
memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus
dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam
menghadapi yang kuat.
22

Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau
menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan
adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi
merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
2.11. Indikator Otonomi Daerah
Indikator yang dapat menentukan keberhasilan Otonomi Daerah meliputi empat faktor,
antara lain:
2.11.1. Indeks Pembangunan
Manusia Indeks Pembangunan Manusia adalah pengukuran perbandingan, nilai Indeks
Pembanguunan Manusia diukur berdasarkan tiga indikator sebagai acuannya yaitu tingkat
harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh
dunia. Sumber daya manusia adalah seseorang yang siap, mau dan mampu member
sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
2.11.2. Keuangan
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dapat dinilai
dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek analisis yang
saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari:
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam
menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan
untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biayabiaya dari suatu
pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan
pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
2.11.3. Peralatan
Undang-undang nomor 38 tahun 2004 pasal 1 ayat 4 di katakan bahwa jalan adalah
prasarana transportasi darat yang meliputi bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang di peruntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah,
di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air di atas permukaan air, kecuali
jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas
kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan,
keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan serta
kebersamaan dan kemitraan.
2.11.4. Organisasi dan Manajerial
Organisasi dan Manajerial adalah suatu alat atau wadah bagi pemerintah untuk
mengambil keputusan dan membuat kebijakan atas tugas yang dilaksanakan.
23

III. KESIMPULAN
Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam
menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan
berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila orang atau badan yang
menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki
analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan
berdamapak kurang baik apabila orang atau badan yang menyusun program tersebut kurang
memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang
baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Konsep otonomi atau desentralisasi tidak hanya
sekedar penyerahan dan pelaksanaan urusan, tetapi lebih mendekati makna sesungguhnya ialah
pemberian kewenangan pemerintah. Otonomi daerah merupakan proses desentralisasi
kewenangan yang semula berada di pusat, kemudian diberikan ke daerah secara utuh dengan
tujuan supaya pelayanan lebih dekat kepada masyarakat, dapat mempercepat pertumbuhan
pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mempercepat proses
demokratisasi. Inti dari otonomi daerah adalah kebebasan masyarakat setempat untuk mengatur
dan mengurus kepentingan sendiri yang bersifat lokalitas untuk terselenggaranya
kesejahteraan. Sistem desentralisasi ini diharapkan dapat menuju pemerintahan yang baik
(good governance).
24

DAFTAR PUSTAKA
Agus S. 2013. Menyingkap Tabir Otonomi Daerah Di Inonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Dewirahmadanirwati. 2018. IMPLEMENTATION OF REGIONAL AUTONOMY IN
REALIZING GOOD GOVERNANCEIN THE WEST SUMATERA REGION. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Scholastic Vol. 2 No. 3: 43-50.
Ubedilah, dkk. 2000. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta. Center for Civic
Education.
Widjaja. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai