OTONOMI DAERAH
Dosen Pengampu:
Dadang, SH., MH
Suharyanto, SH., M.Si
Disusun Oleh:
Shafira Prastania Putri (41205425120069)
Fahrul Mochamad Reyhandita (41205425120070)
Reza Tidar Ramadhan (41205425120075)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Otonomi Daerah dengan tepat
waktu. Shalawat dan salam senantiasa penyusun curahkan kepada Rosululloh yakni Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Makalah ini disusun berdasarkan literasi yang
bersumber dari internet. Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas
Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Nusa Bangsa 2020/2021.
Penyusun sampaikan terimakasih kepada Bapak Dadang dan Bapak Suharyanto
Siswoyo, selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Nusa Bangsa
yang telah memberikan arahan pembahasan mengenai Mata Kuliah tersebut. Dosen, asisten,
laboran dan staf Universitas Nusa Bangsa, yang telah memberikan fasilitas terbaiknya dalam
pembelajaran. Serta kedua orang tua, yang senantiasa memanjatkan doa bagi penyusun serta
memberikan dukungan semangat kepada penyusun.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit kesalahan dan
banyak kekurangan dalam segi isi dan penulisan. Penyusun dengan terbuka menerima kritik
dan saran dari pembaca apabila terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam penyusunan
makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan sebagai bahan
referensi dan informasi bagi semua pihak.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Tujuan 2
II. PEMBAHASAN 3
2.1. Pengertian otonomi daerah 3
2.2. Sejarah Otonomi Daerah 3
2.3. Dasar hukum dan Azas Otonomi Daerah 5
2.3.1. Asas Desentralisasi 6
2.3.2. Asas Dekonsentrasi 6
2.3.3. Asas Medebewind / Tugas pembantuan 6
2.4. Peran dalam Otonomi Daerah 6
2.5. Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah 7
2.5.1. Dampak positif 7
2.5.2. Dampak negatif 7
2.6. Pelaksanaan Otonomi Daerah 8
2.7. Tujuan Otonomi Daerah 10
2.8. Prinsip Otonomi Daerah 10
2.8.1. Prinsip tanggung jawab 11
2.8.2. Prinsip otonomi nyata 11
2.8.3. Prinsip kesatuan 11
2.8.4. Prinsip demokrasi 11
2.8.5. Prinsip dinamis 11
2.8.6. Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya 11
2.8.7. Prinsip penyebaran 12
2.8.8. Prinsip pemberdayaan 12
2.8.9. Prinsip keserasian 12
2.9. Hakekat Otonomi Daerah 12
2.10. Problematika Otonomi Daearh 12
2.10.1. Desentralisasi dalam Pelaksanaan Daerah 12
2.10.2. Problematika yang Muncul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah 15
2.10.3. Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi 20
2.11. Indikator Otonomi Daerah 22
2.11.1. Indeks Pembangunan 22
2.11.2. Keuangan 22
2.11.3. Peralatan 22
2.11.4. Organisasi dan Manajerial 22
III. KESIMPULAN 23
DAFTAR PUSTAKA 24
1
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian otonomi daerah
Otonomi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos” berarti “sendiri” dan “nomos” berarti
“aturan”, sehingga otonomi diartikan pengaturan, mengatur atau memerintah sendiri. Undang-
Undang No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan pengertian otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata desentralisasi, karena praktik
keduanya hampir sama. Desentralisasi menyerahkan pembagian kewenangan kepada organ-
organ penyelenggara negara, sedang otonomi daerah menyangkut hak yang mengikuti.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan desentralisasi adalah wewenang dari pemerintah
pusat yang berada di ibu kota, melalui cara dekonsentrasi antara lain pendelegasian kepada
pejabat di bawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah, sedang
otonomi daerah yang merupakan salah satu wujud desentralisasi.
Otonomi daerah merupakan suatu bentuk respon dari pemerintah atas berbagai tuntutan
masyarakat terhadap tatanan penyelenggraan Negara dan Pemerintahan. Hal ini merupakan
suatu sinyal bahwa telah berkembangnya kehidupan berdemokrasi dalam suatu Negara, karena
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan responsif. Otonomi
Daerah dapat di definisikan sebagai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
daerah untuk mengurus urusan daerah masing-masing sesuai dengan potensi dan ciri khas
masing- masing daerah. Otonomi daerah merupakan proses desentralisasi kewenangan yang
semula berada di pusat, kemudian diberikan kepada daerah secara utuh, dengan tujuan agar
pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan lebih dekat kepada masyarakat, dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, serta meningkatkan kesejateraan masyarakat, dan
mempercepat proses demokratisasi (Dewirahmadanirwati 2018).
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam pembuatan
keputusan daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut pelaksanaannya sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Ubedilah 2000). Daerah
otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Widjaja
2002). Aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat
berpatisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, penggerakan dan pengawasan dalam
pengelolaan pemerintah daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan
pelayanan prima kepada publik.
2.2. Sejarah Otonomi Daerah
Otonomi daerah dimulai pada masa orde baru, otonomi daerah pada asas orde baru lahir
ditengah gejolak tuntutan daerah terhadap berbagai kewenangan. UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa menjadi dasar tegaknya sentralisasi kekuasaan orde baru. Stabilitas politik demi
kelangsungan pertumbuhan ekonomi menjadi dasar bagi masa orde baru untuk mematahkan
setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat sendri. Otonomi daerah menjadi bentuk
sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru, berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru
tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, ketergantungan
pemerintah daerah kepada pemerintahan pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada
kemandirian perencanaan pemerintah daerah pada saat itu.
4
Terdapat beberapa dasar hukum otonomi daerah di Indonesia yang tercantum dalam
UUD 1945, ketetapan MPR RI atau melalui peraturan perundang-undangan lainnya.
1. UUD 1945 pasal 18 ayat 1-7
2. UUD 1945 pasal 18 A ayat 1 dan 2
3. UUD 1945 pasal 18 B ayat 1 dan 2
4. Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan,
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
5. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
6
2.5.2.4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti
asuhan dan jompo)
Modus Pemotongan dana bantuan sosial. Biasanya dilakukan secara bertingkat.
2.5.2.5. Bantuan fiktif
Membuat surat permohonan fiktif seolah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
2.6. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam pelakasanaan otonomi daerah, pemerintah pusat menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Asas
Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan
“Asas-asas umum pemerintahan yang layak”. Di negeri Belanda, asas-asas umum
pemerintahan yang layak ini sudah diterima oleh penyelenggara pemerintahan, terutama
Pejabat Tata Usaha Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam
praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas-asas ini sudah mulai diterima,
walaupun secara formal belum diakui sebagai suatu norma hukum tidak tertulis yang harus
ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun di daerah. Secara yuridis formal,
hal semacam ini baru diakui di negara kita, dengan diundangkan UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas. Kemudian dalam pasal 20 UU No. 32
Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Asas dimaksud disebut dengan “Asas Umum
Penyelenggaraan Negara”, yang dirinci antara lain: asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan
otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak daerah tersebut antara
lain: pertama, mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya; kedua, memilih
pemimpin daerah; ketiga, mengelola aparatur daerah; keempat, mengelola kekayaan daerah;
kelima, memungut pajak daerah dan retribusi daerah; keenam, mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnnya yang berada di daerah; ketujuh,
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan kedelapan, mendapatkan hak
lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Disamping hak-hak tersebut di atas,
daerah juga dibebani beberapa kewajiban, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup
9
rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang
membebani rakyat, Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi
kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya
sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan
fungsi yang semestinya, Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya
Manusia (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan.
2.7. Tujuan Otonomi Daerah
Menurut Deddy S.B. & Dadang Solihin (2004:32), tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan
keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik
kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002:46) adalah
untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya
terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tujuan Otonomi Daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan Otonomi Daerah ialah menjalankan otonomi yang
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Berikut penjelasannya:
1. Meningkatkan pelayanan umum, Dengan adanya Otonomi Daerah diharapkan adanya
peningkatan pelayanan umum secara maksimal dari lembaga pemerintah masingmasing
daerah. Dengan pelayanan yang maksimal tersebut, diharapkan masyarakat dapat
merasakan secara langsung manfaat dari otonomi daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Setelah pelayanan maksimal dan memadai,
diharapkan kesejahteraan masyarakat Pendapatan Asli Daeraha suatu Daerah Otonom
bisa lebih baik dan meningkat. Tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut
menunjukkan bagaimana Daerah Otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya
secara tepat, bijak dan sesuai dengan yang diharapkan.
Meningkatkan daya saing daerah, Dengan menerapkan Otonomi Daerah diharapkan
dapat meningkatkan daya saing daerah dan harus memperhatikan bentuk keaneka ragaman
suatu daerah serta kekhususan atau keistimewaan daerah tertentu serta tetap mengacu
Pendapatan Asli Daerah semboyan Negara kita” Bhineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda
tapi tetap satu jua.
2.8. Prinsip Otonomi Daerah
Sebagai negara kesatuan yang mempunyai wilayah sangat luas, maka otonomi daerah
yaitu cara pandang yang efektif dalam penyelenggaraan pemerintah. Pembangunan dapat
menjangkau sampai ke wilayah atau daerah paling terpencil sekalipun, dengan tetap
memperhatikan aspirasi masyarakat dan sumberdaya yang dimiliki daerahnya. Hal tersebut
dikarenakan setiap wilayah yang termasuk negara kesatuan Indonesia tidak sama kondisinya
dan hanya pemerintah daerah yang menjadi pemerintahan paling dekat yang mengetahui serta
bisa membuat kebijakan khusus sesuai wilayahnya.
11
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah
harus berpegang teguh pada UUD 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia dan UU yang
berlaku. Didalam kedua aturan tersebut ada beberapa prinsip yang harus dimiliki dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Berikut prinsip-prinsip tersebut:
2.8.1. Prinsip tanggung jawab
Adanya pemberian wewenang dan tugas dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah
harus dilaksanakan dengan sesuai tujuannya, maka dari itu prinsip tanggung jawab harus
ditegakkan oleh pemerintah daerah yang mengemban tugas dan juga kewajiban. Pemerintah
pusat juga harus benar-benar memastikan jika pemerintah sudah sesuai melaksanakan
wewenang, tugas dan kewajibannya. Pemerintah daerah berperan mengatur proses
pemerintahan dan pembangunan di daerah dan bertanggung jawab atas seluruh dinamik
yang terjadi.
2.8.2. Prinsip otonomi nyata
Prinsip otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan dipertukan serta tumbuh, hidup,
dan berkembang di daerah atau dimana situasi dan kondisi wilayah tersebut akan berbeda
dengan satu dan yang lainnya. Daerah tersebut diberikan kebebasan, kewenangan, dan
kewajiban yang dilaksanakan secara nyata sesuai dengan ke khasan daerah yang
dikuasainya.
2.8.3. Prinsip kesatuan
Prinsip kesatuan ini diperlukan agar pemerintahan daerah benar-benar berusaha
meingkatkan kesejahteraan warga atau masyarakat di daerahnya di segala bidang. Dengan
meningkatnya kesejahteraan, cara mengatasi kesenjangan sosial dengan wilayah lain bisa
diminimalisir. Akibatnya, persatuan dan kessatuan semakin terjaga. Selain itu, pemerintah
daerah harus mempertimbangkan segala dinamika yang terjadi di wilayahnya agar jika
terdapat hal yang tidak diinginkan, hal tersebut bisa terminimalisir.
2.8.4. Prinsip demokrasi
Prinsip dan ciri utama pemerintahan demokrasi ini harus tetap dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Demokrasi yang menyatakan, jika kedaulatan terdapat
di tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini, semua kegiatan atau urusan
pembangunan bisa melibatkan semua masyarakat untuk kesejahteraan nya, dan kebijakan
yang dibuat juga harus kebijakan yang pro dengan rakyat.
2.8.5. Prinsip dinamis
Didalam prinsip dinamis, diharapkan proses penyelenggaraan pemerintah pada daerah
terus bergerak maju mengikuti perkembangan dunia saat ini. Dengan prinsip dinamis,
penyelenggaraan pemerintah daerah harus memperhatikan hal itu dan mengambil segala
dampak positifnya serta melindungi dari dampak negatif nya untuk warga negara.
2.8.6. Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya
Prinsip ini artnya diluar dari urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah diberi
kewenangan seluas-luasnya. Daerah memiliki kewenangan untuk kebijakan daerah sendiri
sesuai dengan aturan yang berlaku. Kewenangan yang luas dilaksanakan harus sesuai
dengan aturan yang belaku dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat.
Kewenangan pemerintah daerah mencakup semua urusan pemerintahan, kecuali politik luar
negeri, agama, keamanan, keuangan, peradilan, dan fiskal nasional.
12
(Maddick, 1963: 50- 106). Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan
pemerintah pusat adalah to provide training in political leadership (untuk latihan
kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dari asumsi dasar
bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi
para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai posisi penting di
tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan
melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional. Tujuan ketiga desentralisasi
dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk
menciptakan stabilitas politik).
2.10.1.1.2. Kepentingan Pemerintah Daerah
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah
untuk mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan
akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat
dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi
anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan
mengekspresikan kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Tujuan
kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local
accountability7. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta
peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak
komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol
pelaksanaan pemerintahan daerah. Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan
pemerintah daerah adalah local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan
desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih
mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan
desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus
meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
2.10.1.2. Tujuan Desentralisasi dalam Perspektif Desentralisasi Administrasi
Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di daerah sebagai
tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkanbahwa tujuan
utama yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah.
2.10.1.3. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi State Society-Relation.
Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif statesociety relation, akan
diketahui bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara
kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi
yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi
kebijakan (Vincent Ostrom, 1991). Kerangka berfikir perspektif state-society relation
mengartikulasi desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau
sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak dicapai
tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dengan
kerangka berfikir seperti ini sulit dipungkiri bahwa perspektif state-society relation
cenderung tidak memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi
dengan sistem politik dan/atau tipe rezim yang sedang berkuasa.
15
baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku
setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang
mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi
setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal
bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah.
Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya
memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab
utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi
kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran
pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundangundangan lama yang tidak lagi
sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan
kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang
mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut
otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya
telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di
kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat
kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan
yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah
haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja
bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah.
Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan.
Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi
bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada
tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi
juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun
ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah
seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan
aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat
dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.
Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
2.10.2.3. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada
alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini
sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan
upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini
didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk
melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar
seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi
pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk
tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
18
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional
dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan
retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena
kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak
applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi
sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak.
Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang
terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah
kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung
berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti,
jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa
setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-
sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa
menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah
produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame
berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa
membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi
sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut
diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan
atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Bila dikaji lebih, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif
semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang,
dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah
beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau
retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika
dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah
kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai
penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya
pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara
empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya
ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah
setempat
2.10.2.4. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal
yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai
akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa
tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama
dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten
/kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten /kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena
primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah,
rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman
disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan wewenang yang luas
kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman
19
penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan
daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan
antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu
wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-
masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era 18 otonomi darah tuntutan
pemekaran wilayah juga semakin kencang dimanamana. Pemekaran ini telah menjadikan
NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah
menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan
seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan
perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi,
bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan asing
semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi daerah, bantuan-
bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah tidak
otomatis menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya
memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi
karena pola hubungan antar etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar
pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai pemaknaan terhadap
karakteristik masingmasing etnis. Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang
mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat
mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain secara alamiah, bahkan
mekanisme pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara
Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas
etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini belum
menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya,
proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan
primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam
ruang kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan
persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan
nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga
mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap
masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki
hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas
nasional. Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah
yang bernuansa etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang
pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa adanya potensi
bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya
berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam
lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama
(Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi
di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-
organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola
interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk
mengenal etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini
mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan
bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
20
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau
menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan
adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi
merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
2.11. Indikator Otonomi Daerah
Indikator yang dapat menentukan keberhasilan Otonomi Daerah meliputi empat faktor,
antara lain:
2.11.1. Indeks Pembangunan
Manusia Indeks Pembangunan Manusia adalah pengukuran perbandingan, nilai Indeks
Pembanguunan Manusia diukur berdasarkan tiga indikator sebagai acuannya yaitu tingkat
harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh
dunia. Sumber daya manusia adalah seseorang yang siap, mau dan mampu member
sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
2.11.2. Keuangan
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dapat dinilai
dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek analisis yang
saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari:
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam
menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan
untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biayabiaya dari suatu
pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan
pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
2.11.3. Peralatan
Undang-undang nomor 38 tahun 2004 pasal 1 ayat 4 di katakan bahwa jalan adalah
prasarana transportasi darat yang meliputi bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang di peruntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah,
di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air di atas permukaan air, kecuali
jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas
kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan,
keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan serta
kebersamaan dan kemitraan.
2.11.4. Organisasi dan Manajerial
Organisasi dan Manajerial adalah suatu alat atau wadah bagi pemerintah untuk
mengambil keputusan dan membuat kebijakan atas tugas yang dilaksanakan.
23
III. KESIMPULAN
Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam
menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan
berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila orang atau badan yang
menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki
analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan
berdamapak kurang baik apabila orang atau badan yang menyusun program tersebut kurang
memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang
baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Konsep otonomi atau desentralisasi tidak hanya
sekedar penyerahan dan pelaksanaan urusan, tetapi lebih mendekati makna sesungguhnya ialah
pemberian kewenangan pemerintah. Otonomi daerah merupakan proses desentralisasi
kewenangan yang semula berada di pusat, kemudian diberikan ke daerah secara utuh dengan
tujuan supaya pelayanan lebih dekat kepada masyarakat, dapat mempercepat pertumbuhan
pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mempercepat proses
demokratisasi. Inti dari otonomi daerah adalah kebebasan masyarakat setempat untuk mengatur
dan mengurus kepentingan sendiri yang bersifat lokalitas untuk terselenggaranya
kesejahteraan. Sistem desentralisasi ini diharapkan dapat menuju pemerintahan yang baik
(good governance).
24
DAFTAR PUSTAKA
Agus S. 2013. Menyingkap Tabir Otonomi Daerah Di Inonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Dewirahmadanirwati. 2018. IMPLEMENTATION OF REGIONAL AUTONOMY IN
REALIZING GOOD GOVERNANCEIN THE WEST SUMATERA REGION. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Scholastic Vol. 2 No. 3: 43-50.
Ubedilah, dkk. 2000. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta. Center for Civic
Education.
Widjaja. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.