Anda di halaman 1dari 32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Synop

a. Kejadian 14 Agustus 2017

Berdasarkan data synop pada 15 Agustus 2017 pukul 00.00 UTC menunjukkan
bahwa telah terjadi hujan dengan intensitas 74,5 mm selama 24 jam yang lalu.
Hujan dengan intensitas 74.5 mm selama 24 jam ini masuk dalam kategori hujan
lebat. Pada 14 Agustus 2017 hujan terjadi mulai pukul 14.00 UTC hingga pukul
19.00 UTC.

b. Kejadian 3 September 2017

Berdasarkan data synop pada 4 September 2017 pukul 00.00 UTC menunjukkan
bahwa telah terjadi hujan dengan intensitas 50,5 mm selama 24 jam yang lalu.
Hujan dengan intensitas 50.5 mm selama 24 jam ini masuk dalam kategori hujan
lebat. Pada 3 September 2017 hujan terjadi mulai pukul 14.00 UTC hingga pukul
19.00 UTC.

c. Kejadian 14 September 2017

Berdasarkan data synop pada 15 September 2017 pukul 00.00 UTC menunjukkan
bahwa telah terjadi hujan dengan intensitas 59 mm selama 24 jam yang lalu.
Hujan dengan intensitas 59 mm selama 24 jam ini masuk dalam kategori hujan
lebat. Pada 14 September 2017 hujan terjadi mulai pukul 12.00 LT hingga pukul
14.00 LT.
d. Kejadian 27 September 2017

Berdasarkan data synop pada 28 September 2017 pukul 00.00 UTC menunjukkan
bahwa telah terjadi hujan dengan intensitas 72 mm selama 24 jam yang lalu.
Hujan dengan intensitas 72 mm selama 24 jam ini masuk dalam kategori hujan
lebat. Pada 27 September 2017 hujan terjadi mulai pukul 13.00 LT hingga pukul
16.00 LT

e. Kejadian 25 Oktober 2017

Berdasarkan data synop pada 26 Oktober 2017 pukul 00.00 UTC menunjukkan
bahwa telah terjadi hujan dengan intensitas 54,0 mm selama 24 jam yang lalu.
Hujan dengan intensitas 54,0 mm selama 24 jam ini masuk dalam kategori hujan
lebat. Pada 25 Oktober 2017 hujan terjadi mulai pukul 18.00 LT hingga pukul
21.00 LT.

4.2 Analisis Citra Satelit

4.2.1 Identifikasi Awan Cumolonimbus dan Suhu Puncak awan

Gambar 4.1 Identifikasi awan cumulonimbus dan time series suhu puncak awan
pada tanggal 14 Agustus 2017
Gambar 4.2 Identifikasi awan cumulonimbus dan time series suhu puncak awan
pada tanggal 03 September 2017

Gambar 4.3 Identifikasi awan cumulonimbus dan time series suhu puncak awan
pada tanggal 14 September 2017
Gambar 4.4 Identifikasi awan cumulonimbus dan time series suhu puncak awan
pada tanggal 27 September 2017

Gambar 4.5 Identifikasi awan cumulonimbus dan time series suhu puncak awan
pada tanggal 25 Oktober 2017
Berdasarkan algoritma penentuan awan cumulonimbus dengan kanal IR1, IR2 dan
IR3 (Tokuno, 2008) pada citra satelit diatas dapat dibuktikan bahwa awan tersebut
adalah awan Cumulonimbus dengan suhu puncak awan yang rendah seperti yang
ditampilkan pada tabel 4.1. Pada penelitian ini, secara keseluruhan dari 5 kasus
yang diteliti memiliki nilai suhu puncak awan yang berkisar antara -65,9 0C hingga
-70,10C yang termasuk dalam kategori rendah. Pada satelit awan-awan dengan
nilai suhu puncak awan rendah terlihat memiliki warna terang (bright) pada
infrared image. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Bessho., dkk
(2016), dalam diagram pembagian jenis awan menggunakan citra VIS dan IR
menyatakan bahwa awan yang terlihat berwarna terang (bright) termasuk dalam
kategori awan cumulonimbus.

Tabel 4.1 Suhu puncak awan Cumulonimbus

Tanggal Kejadian Suhu puncak awan


Tumbuh Matang Luruh
14 Agustus 2017 -21,5 -68,1 -57,6
03 September 2017 -17,5 -70,1 -59,6
14 September 2017 -22,5 -65,9 -63,6
27 September 2017 -27,3 -68,5 -52,3
25 Oktober 2017 -12,3 -66,7 -55,3
4.3 Analisis Citra Radar

4.3.1 Analisis Produk CMAX dan VVP

a. Kejadian 14 Agustus 2017

Gambar 4.6 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase inisiasi
(12.23 WIB).

Gambar 4.7 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase matang
(13.33 WIB).
Gambar 4.8 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase evolusi
(14.26 WIB).
Pada studi kasus tanggal 14 Agustus 2017, inisiasi konvektif teramati pada jam
12.23 WIB (Gambar 4.6 (a)). Nilai Z radar maksimum pada tahap inisiasi yaitu 37
dBZ. Pada Gambar 4.6 (b) Vertical velocity pada fase ini didominasi oleh updraft
(+) hingga ketinggian 6 km dengan kecepatan maksimum 11,37 m/s. Fase matang
terjadi 1 jam 10 menit kemudian pada jam 13.33 WIB, waktu ini dipilih sebagai
fase matang karena merupakan awal dari sistem awan menjadi konstan dari
bentuk maupun ukuran dengan Z radar maksimum mencapai 60,5 dBZ (Gambar
4.7 (a)). Vertical velocity pada fase matang dominan downdraft (-) hingga
ketinggian 10 km dengan kecepatan maksimum -8,92 m/s seperti terlihat pada
gambar 4.7 (b). Pada gambar 4.8 (a) fase peluruhan mulai terjadi 53 menit
kemudian pada jam 14.26 WIB. Pada fase ini terlihat di citra radar merupakan
waktu dimana awal dari tersebarnya sistem konvektif pada fase matang dengan Z
radar maksimum 36 dBZ. Vertical velocity pada fase peluruhan didominasi oleh
downdraft hingga ketinggian 4,2 km dengan kecepatan maksimum -12,05 m/s dan
terdapat updraft pada ketinggian 4,3 km dengan kecepatan maksimum 1,5 m/s
(Gambar 4.8 (b)). Peluruhan awan terus berlanjut hingga 14.46 WIB(20 menit),
jadi total waktu hidup awan cumulonimbus pada tanggal 14 Agustus 2017 adalah
180 menit (3 jam).

b. Kejadian 03 September 2017


Gambar 4.9 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase inisiasi
(13.06 WIB).

Gambar 4.10 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase matang
(14.26 WIB).

Gambar 4.11 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase evolusi
(15.23 WIB).
Berdasarkan hasil produk CMAX dan VVP (Gambar 4.9 (a)) Inisiasi
konvektif teramati pada jam 13.06 WIB dengan nilai Z radar maksimum mencapai
31 dBZ. Pada Gambar 4.9 (b) Vertical velocity pada fase inisiasi didominasi oleh
updraft (+) hingga ketinggian 4,1 km dengan kecepatan maksimum 11,85 m/s.
Fase matang terjadi 1 jam 20 menit kemudian pada jam 14.26 WIB, waktu ini
dipilih sebagai fase matang karena merupakan awal dari sistem awan menjadi
konstan dari bentuk maupun ukuran dengan Z radar maksimum mencapai 52,5
dBZ (Gambar 4.10 (a)). Vertical velocity pada fase matang terdiri dari downdraft
(-) hingga ketinggian 6 km dengan kecepatan maksimum -15,13 m/s , kemudian
updraft ada pada ketinggian 7 – 9,5 km dengan kecepatan maksimum 7,56 m/s
(Gambar 4.10 (b)). Fase peluruhan pada Gambar 4.11 (a) terjadi 57 menit
kemudian pada jam 15.23 WIB dengan nilai Z radar maksimum 37 dBZ. Vertical
velocity pada fase ini didominasi oleh downdraft sampai ketinggian 1 km dan 2,3
-3,4 km , terdapat updraft pada ketinggian 1- 2 km Gambar 4.10 (b). Peluruhan
awan terus berlanjut hingga 14.36 WIB (13 menit), jadi total waktu hidup awan
cumulonimbus pada tanggal 3 September 2017 adalah 150 menit (2,5 jam).
c. Kejadian 14 September 2017

Gambar 4.12 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase inisiasi
(15.06 WIB).

Gambar 4.13 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase matang
(15.46 WIB).
Gambar 4.14 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase evolusi
(16.26 WIB).

Awan cumulonimbus terindikasi mulai memasuki tahap tumbuh pada pukul 15.06
WIB dengan nilai Z maksimum mencapai 37,5 dBZ, seperti yang terlihat pada
Gambar 4.12 (a). Vertical velocity pada fase ini didominasi oleh updraft hingga
ketinggain 2,8 km (Gambar 4.12 (b)). Selanjutnya, Gambar 4.13 (a) menunjukkan
bahwa awan konvektif mulai memasuki tahap matang 40 menit kemudian pada
pukul 15.46 WIB dengan sistem awan yang meluas dan nilai Z maksimum
semakin bertambah menjadi 57 dBZ. Saat awan mulai memasuki tahap matang,
aktivitas pada Vertical velocity didominasi downdraft (-) hingga ketinggian 9,8
km dengan kecepatan maksimum -10,3 m/s dan terdapat updraft (+) pada
ketinggian 4,3 - 5,0 km dengan kecepatan maksimum +2,57 m/s dan, seperti yang
terlihat pada Gambar 4.13 (b). Pada Gambar 4.14 (a) awan cumulonimbus
penyebab hujan lebat terindikasi mulai memasuki tahap awal peluruhan 40 menit
kemudian pada pukul 16.26 WIB. Sistem awan konvektif tersebut semakin
meluas, namun terjadi penurunan nilai Z maksimum 34,5 dbZ. Vertical velocity
saat awan mulai luruh didominasi oleh aktivitas downdraft (-) hingga ketinggian 2
km dan 5,7 – 6,7 km dengan nilai kecepatan maksimum -8,42 m/s dan terdapat
updraft (+) pada ketinggian 8,6 km (Gambar 4.14 (b)). Peluruhan awan terus
berlanjut hingga 16.43 WIB (17 menit), jadi total waktu hidup awan
cumulonimbus pada tanggal 14 September 2017 adalah 97 menit (1,5 jam).
d. Kejadian 27 September 2017

Gambar 4.15 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase inisiasi
(14.36 WIB).

Gambar 4.16 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase matang
(15.13 WIB).
Gambar 4.17 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase evolusi
(15.43 WIB).

Gambar 4.15 (a) merupakan tampilan produk CMAX yang menunjukkan


awan konvektif penyebab hujan lebat pada tanggal 27 September 2017. Awan
cumulonimbus penyebab hujan lebat tersebut mulai tumbuh pada pukul 14.36
WIB dengan nilai Z maksimum mencapai 31,5 dBZ. Sementara itu, Gambar 4.16
(b) merupakan tampilan produk VVP yang menunjukan Vertical velocity. Awan
konvektif pada fase tumbuh Vertical velocity di dominasi oleh updraft (+) hingga
ketinggian 2,4 km pada dengan kecepatan maksimum +9,87 m/s. Gambar 4.16 (a)
menunjukkan awan konvektif penyebab hujan lebat mulai memasuki tahap
matang 37 menit kemudian pada pukul 15.13 WIB dengan nilai Z maksimum
teramati 53 dBZ. Adanya aktivitas yang didominasi oleh downdraft (-) hingga
ketinggian 1,8 km, 3 - 4,5 km dan 5,8 -9 km dengan kecepatan maksimum – 34,0
m/s dan terdapat updraft (+) pada ketinggian 1,8 – 2,7 km dan 4,5 – 5,4 km
dengan kecepatan maksimum 8,5 m/s. Keduanya mengindikasikan bahwa awan
berada pada tahap matang, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.16 (b).
Fase peluruhan terjadi 30 menit kemudian pada jam 15.43 WIB (Gambar 4.17
(a)) dengan nilai Z radar maksimum 34 dBZ. Vertical velocity pada fase ini
didominasi oleh downdraft (-) hingga ketinggian 5 km dengan nilai maksimum
-7,99 m/s, terdapat updraft (+) pada ketinggian sekitar 5,2 – 6,6 km dengan nilai
maksimum 2 m/s (Gambar 4.17 (b)). Peluruhan awan terus berlanjut hingga 15.56
WIB (13 menit), jadi total waktu hidup awan cumulonimbus pada tanggal 27
September 2017 adalah 80 menit (1,3 jam).

e. Kejadian 25 Oktober 2017

Gambar 4.18 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase inisiasi
(16.26 WIB).
Gambar 4.19 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase matang
(17.33 WIB).

Gambar 4.20 Tampilan produk (a) CMAX dan (b) VVP pada fase inisiasi
(19.03 WIB).
Pada kasus ini awan konvektif penyebab hujan lebat mulai memasuki tahap
tumbuh pada pukul 16.26 WIB yang ditunjukkan dengan adanya nilai Z
maksimum mencapai 37 dBZ (Gambar 4.18 (a)). Vertical velocity yang terdiri
dari updraft (+) hingga ketinggian 6 km dengan kecepatan maksimum 20,58 m/s
juga menunjukkan bahwa awan konvektif tersebut telah memasuki awal tahap
tumbuh (Gambar 4.18 (b)). 1 jam 7 menit kemudian pada pukul 17.33 WIB awan
konvektif tersebut mulai memasuki awal tahap matang dengan adanya
peningkatan nilai Z maksimum mencapai 57 dBZ (Gambar 4.19 (a)). Vertical
velocity didominasi oleh downdraft (-) pada ketinggian 1,2 – 6,3 km dengan
kecepatan maksimum -10,36 m/s dan terdapat updraft (+) pada ketinggian 10 -
12,5 km dengan kecepatan maksimum 7,7 m/s, seperti yang ditunjukkan Gambar
4.19 (b).

Awan cumulonimbus tersebut memasuki awal tahap peluruhan 100 menit


setelahnya yakni pada pukul 16.20 WIB. Pada kasus ini awan konvektif tersebut
dapat dikatakan relatif lama untuk mencapai tahap peluruhan yaitu 1 jam 30
menit. Gambar 4.20 (a) menunjukkan sistem awan pada tahap ini terjadi
pengurangan nilai Z maksimum pada radar hingga 37 dBZ. Vertical velocity yang
terdiri dari dominan downdraft (-) hingga ketinggian 4 km dengan kecepatan
maksimum -8,5 m/s mengindikasikan bahwa awan konvektif tersebut mulai
memasuki tahap peluruhan dan terdapat updraft (+) pada ketinggian 4,5 – 6,0 km
dengan kecepatan maksimum 2,3 m/s (Gambar 4.20 (b)). Peluruhan awan terus
berlanjut hingga 19.16 WIB (13 menit), jadi total waktu hidup awan
cumulonimbus pada tanggal 25 Oktober 2017 adalah 180 menit (3 jam).
4.3.2 Analisis Produk VIL

a. Kejadian 14 Agustus 2017

Gambar 4.21Tampilan Produk VIL (a) Tumbuh, (b) Matang, (c) Mulai
Luruh (d) Luruh tanggal 14 Agustus 2017

Berdasarkan hasil produk VIL yang pada gambar 4.21 (a) terlihat bahwa terdapat
kandungan uap air di awan cumulonimbus pada tahap tumbuh cukup tinggi
dimulai pada pukul 05.33 sebesar 4.0 kg/m2 . Pertumbuhan tersebut terus
berlanjut hingga pada tahap matang pada pukul 06.36 yang ditandai adanya
kandungan uap air pada inti sel awan cumulonimbus hingga 10.0 kg/m2 (Gambar
4.21 (b)) dan pada gambar 4.21 (c) yaitu tahap luruh, kandungan uap air dalam
awan mengalami penurunan hingga 0,89.
b. Kejadian 03 September 2017

Gambar 4.22 Tampilan Produk VIL (a) Tumbuh, (b) Matang, (c) Mulai
Luruh (d) Luruh tanggal 3 September 2017

Berdasarkan hasil produk VIL (Gambar 4.22 (a)) pada tahap tumbuh kandungan
uap air didalam awan mencapai 2,2 kg/m 2 dan terus bertumbuh hingga mencapai
9,89 kg/m2 pada jam 14.26 WIB(Gambar 4.22 (b)). Selanjutnya, pada tahap luruh
nilai VIL mengalami penurunan menjadi 0,89 kg/m2 (Gambar 4.22 (c)).
c. Kejadian 14 September 2017

Gambar 4.23 Tampilan Produk VIL (a) Tumbuh, (b) Matang, (c) Mulai
Luruh (d) Luruh tanggal 14 September 2017

Gambar 4.23 (a) merupakan tampilan produk VIL pada tahap tumbuh, nilai VIL
pada tahap ini 3,81 kg/m2 dan terus mengalami pertumbuhan hingga pada tahap
matang (Gambar 4.23 (b)), nilai VIL mencapai 11,72 kg/m2. Pada tahap peluruhan
yang terlihat pada gambar 4.23 (c) awan nilai VIL berkurang menjadi 1,81 kg/m2.
d. Kejadian 27 September 2017

Gambar 4.24 Tampilan Produk VIL (a) Tumbuh, (b) Matang, (c) Mulai
Luruh (d) Luruh tanggal 27 September 2017

Berdasarkan hasil produk VIL pada gambar 4.24(a) terlihat bahwa pada tahap
tumbuh terdapat kandungan uap air di awan cumulonimbus tersebut dimulai pada
pukul 14.36 sebesar 5.0 kg/m2 . Pertumbuhan tersebut terus berlanjut hingga pada
tahap matang pada pukul 15.13 yang ditandai adanya kandungan uap air pada inti
sel awan cumulonimbus hingga 8.21 kg/m2. Selanjutnya kandungan uap air mulai
menurun yang menandakan awan mulai memasuki tahap peluruhan dengan nilai
VIL 0,75 kg/m2.
e. Kejadian 25 Oktober 2017

Gambar 4.25 Tampilan Produk VIL (a) Tumbuh, (b) Matang, (c) Mulai
Luruh (d) Luruh tanggal 25 Oktober 2017

Berdasarkan hasil produk VIL pada tanggal 25 Oktober 2017 terlihat bahwa pada
tahap tumbuh awan terdapat kandungan uap air yang cukup tinggi dimulai pada
pukul 16.33 WIB sebesar 5.0 kg/m2 . Pertumbuhan tersebut terus berlanjut hingga
pada tahap matang pada pukul 17.33 WIB yang ditandai adanya kandungan uap
air pada inti sel awan cumulonimbus hingga 16.0 kg/m2. Selanjutnya pada tahap
peluruhan pada pukul 19.03 WIB awan kandungan uap air dalam awan menurun
menjadi 2,87 kg/m2.
4.3.3 Analisis Produk EHT

Gambar 4.22 Tampilan Produk EHT (a) 14 Agustus 2017, (b) 3 September
2017, (c) 14 September 2017, (d) 27 September 2017 dan (e) 25 Oktober 2017
Pada produk EHT menunjukan fluktuasi nilai tinggi dasar dan tinggi puncak
awan selama masa hidup awan pada semua kasus hujan lebat . Ketinggian puncak
awan, menunjukan pola yang cenderung naik dari inisiasi menuju fase matang,
kemudian turun menuju fase peluruhan. Tinggi Puncak awan tertinggi terjadi pada
nilai reflectivity maksimum. Ketinggian dasar awan pada tanggal 14 Agustus 2017
dan 3 September 2017 berkisar antara 0,3 – 0,8 km. Sedangkan 3 kasus lainnya
yaitu 14 September 2017, 27 September 2017 dan 25 Oktober 2017 memiliki tingi
dasar awan 1 – 3 km dan hasil tersebut bukan merupakan nilai sebenarnya karena
adanya clutter di sebelah timur laut Radar Padang yang menghalangi beam radar
sehingga keseluruhan dasar awan tidak dapat teramati.

4.3.4 Analisis SSA

Tabel 4.2 Hasil Produk SSA setiap tanggal kejadian pada tahap inisiasi,
matang dan luruh.

Volum
Tanggal Size e Massa Min Max Max Z
Kejadian Fase (km2) (km3) (ton) Height(km) Height(km) (dBZ)
Inisiasi 108 149 10539 0,5 4,8 37
14 Agustus Matan
402 1253 464328 0,4 9,3 60,5
2017 g
Luruh 470 1491 91299 0,4 6,7 36
Inisiasi 46 94 20611 1,4 5,9 35,5
3 September Matan
143 634 274499 0,8 11,2 54
2017 g
Luruh 181 408 120231 1,1 8,3 37
Inisiasi 75 262 9572 3,1 4,3 37,6
14 September Matan
226 949 241748 2,7 11,5 57
2017 g
Luruh 248 549 25191 3,4 4,4 34,5
Inisiasi 105 280 7968 3,0 4,6 31,5
27 September Matan
2017 g 152 437 161426 2,4 10,4 53
Luruh 167 404 33723 2,1 6,5 34
Inisiasi 126 194 8762 2,7 3,2 37
25 Oktober Matan
2017 g 278 1260 526598 2,7 12,2 57
Luruh 386 1374 144673 4,1 9,2 37
Struktur sel badai secara otomatis dapat dianalisis menggunakan produk ini.
Tabel 4.2 menunjukkan ukuran (km2 ), volume (km3 ), massa (ton), ketinggian
minimum (km), ketinggian maksimum (km), dan nilai reflectivity maksimum
(dBZ) pada tahap inisiasi, matang dan luruh setiap tanggal kejadin hujan lebat.
Secara umum, ukuran awan pada dari fase inisasi hinggga fase luruh menjadi
semakin luas. Dari luasan ini dapat digunakan untuk memperkirakan cakupan
wilayah yang berpotensi mengalami hujan lebat.

Dari 5 Kasus hujan lebat diatas nilai ketinggian maksimum (tinggi puncak
awan) pada saat matang rata-rata adalah 10,92 km. Untuk tinggi dasar awan
bervariasi dari 0,4 – 2,7 km. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya clutter yang
menghalangi beam radar sehingga tinggi dasar awan sebenarnya tidak dapat
terjangkau. Untuk nilai reflectivity maximum yang ditunjukkan hasil produk SSA
sesuai dengan hasil produk CMAX.
4.3 Analisis Kondisi Stabilitas Atmosfer

Untuk mengkaji stabiltas atmosfer pada saat inisiasi konvektif, dilakukan analisis
tambahan indeks stabilitas pada jam yang berdekatan dengan fase inisiasi untuk
melihat kondisi lingkungan disekitar sistem konvektif sebelum terjadi inisiasi.
Data yang digunakan yaitu data sounding stasiun meteorologi Minangkabau pada
jam pengamatan yang berdekatan dengan inisiasi konvektif terjadi. Berdasarkan
pengolahan data sounding tersebut didapatkan nilai indeks stabilitas sebagai
berikut :

Tabel 4.2 Nilai Indeks Stabilitas dari Data Sounding Stasiun Meteorologi
Minangkabau

Tanggal Kejadian/Jam (WIB) CAPE KI LI SI 12


14 Agustus 2017/ 07.00 674.33 36.1 0.79 -0.80 -0.80
3 September 2017/ 07.00 1471.17 36.7 -2.16 -0.99 -0.99
14 September 2017/ 07.00 868.48 34.5 -2.12 -0.17 -0.17
27 September 2017/ 07.00 702.92 31.9 -2.17 1.87 1.87
25 Oktober 2017/ 19.00 1200.97 33.7 -2.42 -2.63 4.63

Berdasarkan data sounding pada tabel 4.3 diatas sejumlah 80 % dari nilai CAPE
mengindikasi adanya potensi terjadinya konveksi lemah yaitu pada tanggal 14
agustus 2017, 3 September 2017, 14 September 2017 dan 27 September 2017.
Sedangkan pada tanggal 25 Oktober 2017 nilai CAPE mengindikasikan adanya
potensi konveksi sedang. Sejumlah 100% dari nilai KI dan SI mengindikasi
adanya potensi terjadinya thunderstorm sebesar 60-80% dan keseluruhan nilai LI
mengindikasi adanya potensi terjadinya hujan badai guntur sedang hingga kuat.

4.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis berbagai produk dari citra radar, citra satelit dan
radiosonde, dihasilkan karakteristik inisiasi dan evolusi konvektif pada area radar
cuaca Padang. Fase inisiasi ditandai dengan mulai adanya sel konvektif yang
terdeteksi pada radar cuaca. Ketinggian dasar awan pada fase ini adalah sekitar
0.5 - 3 km dengan ketinggian puncak awan adalah sekitar 3.2 - 5.9 km. Nilai Z
radar maksimum berkisar antara 37 - 43 dBZ dan nilai rata-rata suhu puncak
awan mencapai -20.2°C. Nilai VIL dengan range 2,2 – 5,0 kg/m2
menggambarkan bahwa potensi cuaca buruk cukup signifikan. Terbukti teori
evolusi awan konvektif pada produk VVP, pada fase ini vertical velocity yang
didominasi oleh updraft hingga ketinggian sekitar 4 km. Hasil analisis data
sounding Stasiun Meteorologi Padang pada jam pengamatan sebelum inisiasi
konvektif terjadi, menunjukan bahwa beberapa indeks labilitas dapat memberikan
gambaran adanya potensi terjadinya konveksi sedang hingga kuat. Pada studi
kasus yang telah dilakukan, indeks labilitas SI, LI, KI dan CAPE menunjukan
nilai yang sesuai dengan adanya sistem konvektif yang terjadi setelah data
sounding tersebut didapatkan.

Pada fase matang, sistem konvektif terlihat konstan dari bentuk maupun
ukuran. Waktu rata-rata awal terjadinya fase matang adalah 58 menit setelah
inisiasi. Ketinggian dasar awan pada fase ini adalah 0.3 - 2.7 km dengan
ketinggian puncak awan adalah sekitar 9,3 – 12,2 km. Nilai Z radar maksimum
berkisar antara 52,5 – 60.5 dBZ dan nilai rata-rata suhu puncak awan mencapai
-67.8°C. Nilai VIL berkisar antara 9.89 – 16 kg/m2 menggambarkan bahwa cuaca
buruk terjadi pada fase ini, potensi hujan lebat tetapi tidak sampai menghasilkan
hujan es. Sel badai pada fase ini umumnya sel yang tumbuh pada fase inisiasi
dengan nilai ketinggian puncak sel, Z radar, indeks konvektif, dan VIL yang naik
dari fase sebelumnya. Terbukti teori evolusi awan konvektif pada produk VVP,
sel badai pada fase ini mempunyai vertical velocity yang terdiri dari updraft dan
downdraft dengan ketinggian yang lebih tinggi dari fase inisiasi.

Pada fase peluruhan nilai Z radar melemah, menandakan sel–sel konvektif


yang meluruh. Waktu rata-rata awal terjadinya fase peluruhan adalah 54 menit
setelah fase matang. Nilai Z radar maksimum berkisar antara 33 – 37 dBZ,
sedangkan nilai indeks konvektif rata-rata 26.8 dan nilai rata-rata suhu puncak
awan pada fase ini mencapai -57.6°C Ketinggian dasar awan pada fase ini adalah
0.4 – 4.1 km dengan ketinggian puncak awan adalah sekitar 4,1 – 9 km. Nilai VIL
berkisar antara 0.75 – 1.81 kg/m2 yang menggambarkan potensi cuaca buruk
sudah menurun. Sel badai pada fase ini umumnya sel yang meluruh dengan nilai
ketinggian puncak sel, Z radar, indeks konvektif, dan VIL yang menurun dari fase
sebelumnya. Terbukti teori evolusi awan konvektif pada produk VVP, sel badai
pada fase peluruhan ini mempunyai vertical velocity yang didominasi oleh
downdraft.

Jadi di pembahasan ini usahakan kaitan hasil penelitianmu dengan penelitian


sebelumnya atau yang kamu gunakan sebagai acuan di tinjauan pustaka

Jadinya kelihatan perbedaan penelitianmu dengan penelitian sebelumnya


seperti apa? Apakah sama ataukah ada beberapa unsur yang berbeda

Jadi did pembahasan sudah ndak membicarakan hasil lagi.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data dan analisis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Dari pengolahan dan analisis citra satelit dapat digunakan untuk
mengetahui jenis awan yang diamati, khususnya pada penelitian ini yaitu
mengidentifikasi awan cumulonimbus.
2. Karakteristik evolusi konvektif pada radar dan satelit ditunjukan oleh pola
kenaikan dari inisiasi menuju fase matang dan pola penurunan dari fase
matang menuju fase peluruhan dari beberapa parameter yang digunakan
yaitu suhu puncak awan, reflectivity maksimum, nilai kandungan uap air,
tinggi dasar dan tinggi puncak awan.
3. Produk VVP pada radar menunjukan pola yang sesuai dengan teori yaitu
pada fase inisiasi, kecepatan vertikal didominasi oleh updraft (+), fase
matang terdiri dari updraft (+) dan downdraft (-), sedangkan fase
peluruhan didominasi oleh downdraft (-).
4. Durasi rata-rata terjadinya inisiasi konvektif yaitu 58 menit, sedangkan
durasi rata-rata fase matang yaitu 54 menit sebelum fase peluruhan mulai
berlangsung.
5. Nilai parameter stabilitas atmosfer dapat mengindikasikan adanya kondisi
atmosfer labil yang dapat menyebabkan pertumbuhan awan konvektif
khusunya awan cumulonimbus.

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ahrens, D., 2000, Essentials of Meteorology : an Invitation to the Atmosphere,


Pergamon Press, San Diego.

Air Weather Service., 1990, The Use of the Skew-T, Log-P Diagram in Analysis
and Forecasting, Scott Air Based Illinois, AWS/TR-79/006.

Ardiyanto, Riris., 2010, Dasar-Dasar Pemanfaatan dan Interpretasi Citra Satelit


Cuaca, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG.
Bessho, K., Date, K., Hayashi, M., Ikeda, A., Imai, T., Inoue, H., Kumagai, Y.,
Miyakawa, T., Murata, H., Ohno, T., Okuyama, A., Oyama, R., Sasaki, Y.,
Shimazu, Y., Shimoji, K., Sumida, Y., Suzuki, M., Taniguchi, H.,
Tsuchiyama, H., Uesawa, D., Yokota, H., dan Yoshida, R., 2016, An
Introduction to Himawari-8/9 - Japan’s New-Generation Geostationary
Meteorological Satellites, Journal of the Meteorological Society of Japan
Ser. II, Vol.94 ,no.2 pp151-183.
Brown, R.A., dan Wood,, V.T., 2007, A Guide for Interpreting Doppler Velocity
Patterns : Northern Hemisphere Edition, NOAA, Oklahoma.
Cempaka, A. P., 2017, Penentuan Inisiasi dan Evolusi Konvektif Berbasis data
Pengamatan Udara Atas dan Penginderaan Jarak Jauh di Wilayah Jawa
Bagian Barat, Skripsi. Program Sarjana Terapan Meteorologi. Jakarta:
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika.
Fabry, F., 2015, Radar Meteorology, Cambridge University Press, Cambridge.
Fritz, B.K., 2003, Measurement and Analysis of Atmospheric Stability in Two
Texas Regions, ASEA/NAAA Technical Session 37th Annual Agricultural
Aviation Association Convention.
Goudenhoofdt, E., Delobbe, L. 2013, Statistical characteristics of convective
storms in Belgium derived from volumetric weather radar observations,
Journal of Applied Meteorology and Climatology, no.52 pp 918–934.
Han, H., Lee, S., Im, J., Kim, M., Lee, M., Ahn, M., dan Chung, S., 2015,
Detection of Convective Initiation Using Meteorological Imager Onboard
Communication, Ocean, and Meteorological Satellite Based on Machine
Learning Approaches, Remote Sensing, Vol. 7, no. 7 pp 9184–9204.
Hidayah, Q.A., Bimaprawira, A.K., Yulitamora, N.R., Nugraheni, I.R.,
Deranadyan, G., 2019, Identifikasi Karakteristik Awan Penyebab Hujan
Lebat Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Jambi, Prosiding
Seminar Nasional Geotik, pp 185–195.
Larasati, A. A., 2017, Identifikasi Karakteristik Awan cumulonimbus
Menggunakan Radar EEC, Radiosonde, dan Lightning Detector di
Wilayah Tarakan (Studi Kasus Juli 2016 dan Januari 2017), Skripsi.
Program Sarjana Terapan Meteorologi. Jakarta: Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika.
Leonardo., 2018, Software Manual Rainbow 5 Product dan Algorithms,
LEONARDO GmbH, Germany.
Panjaitan, Andersen., 2012, Pemanfaatan Citra Satelit untuk Informasi
Meteorologi Penerbangan. Jakarta: Materi Diklat Penerbangan.
Prawirowardoyo., 1996, Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung.
Sakurai, N., Murata, F., Yamanaka, M.D., Mori, S., Hamada, J., Hashiguchi, H.,
Tauhid, Y.I., Sribimawati, T., dan Suhardi, B., 2005, Diurnal Cycle of
Cloud System Migration over Sumatra Island, Journal of the
Meteorological Society of Japan, Vol. 83, no.5, pp.835-850.
Shelton, M. L., 2008, Hydroclimatology, Cambridge University Press, Cambridge
Sireci, O., Hazer, A., Temir, I., Macit, A., dan Gecer, C., 2006, Training Material
on Weather Radar System, WMO, Jenewa.
Sucahyono, D., dan Ribudiyanto, K., 2013, Cuaca dan Iklim Ekstrim di Indonesia,
Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, Jakarta.
Sutanto. 2013. Metode Penelitian Penginderaan Jauh, Penerbit Ombak
,Yogyakarta.
Tjasyono, B.H.K, 2008, Meteorologi Terapan, Penerbit Institut Teknologi
Bandung (ITB), Bandung.
Tjasyono, B.H.K., dan Harijono, S.W.B., 2006. Meteorologi Indonesia 2 Awan
dan Hujan, BMKG, Jakarta.
Tokuno, M. 2008. Objective Cloud Data Analysis. BMG’s Training Course on
Radar Application and Satellite Data Analysis for Early Warning. Jakarta.
Trier, S B., 2003, Convective Stroms - Convective Initiation, Encyclopedia of
Atmospheric Sciences, Elsevier Science Ltd, National Center for
Atmospheric Research, Boulder, CO, USA.
Utsav, B., Deshpande, S.M., Das, S.K., Pandithurai, G., 2017. Statistical
Characteristics of Convective Clouds over the Western Ghats Derived
from Weather Radar Observations. Journal Geophysical Research :
Atmospheres no.122 pp10,050-10,076.
Wirjohamidjojo, S., 2006, Meteorologi Praktik, Badan Meteorologi dan
Geofisika, Jakarta.
Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M.K., 2010, Perspektif Operasional
Cuaca Tropis. BMKG, Jakarta.
Daftar Pustaka Dari Situs Internet

BMKG, 2010, Citra Radar, https://www.bmkg.go.id/cuaca/citra-radar.bmkg


diakses pada tanggal 10 Januari 2020.
BNPB,2019 ,Data Informasi Bencana Indonesia, http://dibi.bnpb.go.id/
DesInventar /results.jsp diakses pada tanggal 30 Oktober 2019.
CIMO, 2017, WMO Guide to Meteorological Instruments and Methods of
Observation [online],
https://www.wmo.int/pages/prog/www/IMOP/CIMO -Guide.html, diakses
pada 21 Desember 2019.
COMET, 2012, Weather Radar Fundamentals,
https://www.meted.ucar.edu/radar /basic_wxradar/navmenu.php?
tab=1&page=2-0-0&type=flash diakses tanggal 2 November 2019.
COMET, 2016, Introduction to Tropical Meteorology 2nd Edition Chapter 2 :
Tropical Remote Sensing Applications,
https://www.meted.ucar.edu/training_module.php?
id=866&tab=04#.Wn7GtOhua02 diakses tanggal 30 Oktober 2019.
NCCO, 2019, Thunderstorm, http://climate.ncsu.edu/ Thunderstorm diakses pada
tanggal 2 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai