Anda di halaman 1dari 6

P age |1

FALSAFAH SHALAT
Oleh; Fahrul Anam, S. Ag., M. Ag.

A. Hakikat Shalat

Dalam ilmu fikih shalat secara bahasa artinya, doa. Secara istilah shalat adalah
perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Takbir
untuk memulai shalat itu dinamakan takbiratul ihram, artinya yaitu, takbir yang
mengharamkan semua perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan shalat. Sejatinya,
ingatan (dzikir dan pikiran) kita saat shalat ini hanya ingat kapada Allah SWT. Allah
berfirman, aqimisshalat lidzikri, “dirikan shalat untuk ingat kepada-Ku”. Ingat
kepada Allah adalah hakikat dari shalat.
Secara fiqih, shalat yang tidak mengingat Allah tidak menyebabkannya batal.
Akan tetapi secara moral, shalat yang demikian adalah shalat yang kehilangan
subtansi. Subtansi shalat adalah sarana ingat kepada Allah. Bila kita ingin
menghitung, dzikir (ingat) kita kepada-Nya, mana yang lebih banyak atau lebih
sedikit, maka tengoklah shalat kita. Jika dalam shalat yang kita sadari sebagai
pristiwa menghadap Tuhan, tapi justru kita banyak melupakan-Nya, maka kita bisa
menebak, betapa seringnya kita lupa kepada Allah di luar shalat kita. Dampak dari
ingat kepada Allah pasti kebaikan, Sebalikanya, dampak dari lupa Allah mesti
keburukan. Contoh, jika seseorang dihadapkan dengan masalah yang dipandangnya
sebagai masalah besar, dia bisa stress karena dia hanya mengingat kemampuannya
yang tidak seberapa itu. Boleh jadi dia putus asa karena masalah yang dihadapi.
Namun sebaliknya, jika dia terlebih dahulu ingat kepada kemahakusaan dan
kasih sayang-Nya, maka dia tetap tenang menghadapi masalah tersebut. Betapa pun
besarnya masalah yang dihadapi, ketenangan akan menyelimuti jiwanya, karena dia
sadar, dia punya Tuhan ynag maha bisa, maha pengasih, maha penyayang, maha
penolong, dan seterusnya. Jiwanya tenang karena dia sadar, bahwa masalah yang
P age |2

dihadapi tidak mengandalkan kekutan dirinya, tapi lebih mengndalkan kepada


kekutan Tuhan yang diingatnya sebagai maha selaganya itu. Jadi damapak moral dari
shalat sebagai mengingat Allah adalah ketenangan hidup. Apalagi yang paling
didambakan dalam hidup manusia kalau bukan ketengan. Apa artinya kaya kalau
diselimuti dengan rasa kekurangan dan takut jatuh miskin. Apa artinya kedudukan
dan jabatan yang tinggi tapi diringi dengan rasa takut digantikan orang lain.

B. Falsafah Takbiratul Ihram

Perlu kita renungkan juga makna takbir pertma dalam shalat, yakni takbiratul
ihram. Takbiratul ihram, sambil mengucapkan “Allahuakbar”, yang artinaya, “Allah
Maha Besar”, ini pun ada pesan moralnya. Yaitu, dalam hidup ini kita mesti
senantiasa ingat, bahwa tidak ada yang lebih besar dari Tuhan. Masalah kehidupan
seberat apa pun tetap dia itu kecil, Hanya Allah saja yang besar dalam hidup ini. Jika
Allah saja yang besar dalam hidup ini, maka dampak mental dari orang yang shalat
adalah, dia akan memandang persoalan apa pun yang mungkin dalam pandangan
banyak orang itu amat besar, tapi bagi yang bermental “Allahu akbar”, itu ringan-
ringan saja. Sampai disini, orang yang berjiwa “Allahu akbar”, mungkin ketika dia
dihadapkan dengan persoalan atau masalah yang besar sekalipun, dia merasa tenang
dan siap menghadapinya. Dalam doanya, dia tidak berkata, “Ya Allah tolong aku
yang sedang menghadapi masalah yang amat besar ini…..” Tapi justru ia berkata,
“Hai masalah, kamu itu kecil, aku punya Tuhan Yang Besar!”
Dengan demikian, dampak shalat itu sangat luar biasa terhadap jiwa
seseorang. Bukan saja membuat orang menjadi ringan dalam menghadapi masalah
hidupnya, melainkan juga akan membuat rendah hati dalam tata kehipuan sosialnya.
Bagaimna mungkin tidak demikian, padahal bukan hanya dalam takbirutul ihram, dia
mengucapkan “Allahu Akbar”. Hampir dalam setiap peralihan gerak (rukun), “Allahu
Akbar” diucapkannya. Jadi, orang yang menghayati dengan benar atas shalatnya,
mesti akan membekas dalam kehidupan sosialnya; tidak sombong, tidak angkuh,
tidak merasa diri paling benar dan memandang orang lain pasti salah.
P age |3

Jika kita dapati orang yang tidak pernah meninggal shalat, tapi dalam
kehidupannya dia sombong angkuh, merasa diri paling benar, dan akhlak-akhlak
buruk lainnya, mesti ada yang salah dalam ibadah shalatnya. Dengan kata lain, ibadah
shalatnya tidak membekas dalam jiwanya. Al-Quran mengatakan, bahwa salah satu
ciri umat Nabi Muhammad SAW adalah min atsarissujud, “bekas dari sujud”. Bekas
dari sujud itu tentu bukan dalam arti fisik, jidatnya menjadi hitam. Bisa saja orang
yang rajin shalat itu jidanya jadi hitam. Akan tetapi yang dimaksud oleh Al-Quran,
min atsarissujud bukanlah demikian. Bekas dari sujd itu adalah moral, yakni akhlak
yang baik.
Karena itu, sangat ironi kalau ada seseorang atau sekolompok orang yang
berteriak-teriak “Allahuakbar”, namun pada saat yang sama ia mencaci, memaki,
merendahkan, memfitnah sesama umat manusia. Sungguhpun shalat secara ritual
tidak pernah mereka tinggalkan, tetapi jika moralitas tidak berkwalitas, maka tidak
ada jaminan dapat menjadi sebab keselamtan bagi kehidupannya kelak. Kenapa
menjadi demikian gawat?
Jawabannya, karena shalat yang sejati bukan sekedar memenuhi syarat-syarat
fiqih. Shalat yang sejati adalah shalat yang dapat mendatangkan keberuntungan dan
kebahagiaan. Dan itu hanya ada pada mereka yang khusyu’ didalam shalatnya, dan
berimbas pada kebaiakan moral. Harap diperhatikan, khusyu’ itu sendiri bukan
berkaitan dengan fiqih, tetapi berkaitan dengan moral, akhlak (hati).
Hal demikian, sebenarnya telah diisyaratkan dalam Al-Quran. Perhatikan Al-
Quraan Surat Al-Mukminun Ayat 1; “Sunguh talah bahagia, beruntung orang-orang
yang beriman, yang khusyu’ didalam shalatnya……..” Perhatiakan juga firman-Nya
yang lain, menegaskan bahwa, “sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan
keji dan munkar…..”
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa seseorang datang kepada Nabi
SAW, dia menceritakan tetangganya yang rajin shalat malam, rajin puasa sunnah,
namun suka menyakiti hati tetangganya. Mendengarkan pengaduan ini Nabi SAW.
menjawab singkat, “tempat orang seperti itu di neraka!”
P age |4

Ayat dan riwayat hadis di atas, secara tidak langsung menjelaskan, bahwa
shalat yang tidak diringi dengan moralitas social yang baik, maka sama sekali tidak
ada guna bagi pelakunya. Jika demikian, ksalihan ritual saja (shalat, puasa, haji dan
yang lainnya) tidak cukup bagi pengamalnya, jika tidak diimbangi dengan kesalihan
social.
Benar, bahwa didalam Al-Quran dijelaskan, ada orang yang diancam dengan
api neraka Tuhan disebabkan dengan sengaja meninggalkan shalat. Tetapi dari Al-
Quran juga, ada penjelasan orang yang dinacam api neraka-Nya karena shalat yang
dikerjakan tidak menjadi pengantar bagi kebaikan moralitasnya. Contohnya Surat Al-
Ma’un. Surat ini kurang-lebih menjelaskan, “jika kamu ingin tahu siapa orang yang
beragama, tapi tidak sejati (palsu). Maka itulah orang-orang yang lupa terhadap
pesan-pesan moral shalat itu sendiri”. Dalam ayat ini bahkan terdapat Ayat yang
secara spesifik menyebut, fawaylul lil mushallin, “celaka buat orang-orang yang
shalat. Mereka shalat tapi moralnya tetap buruk; shalat tapi tidak ada kepudulian
terhadap anak yatim dan fakir-miskin, shalat tapi hanya untuk pamer kesalihan, shalat
tapi tapi pelit berderma di jalan Tuhan.”
Lebih lanjut, dalam takbiratul ihram, biasanya sambil mengucapkan takbir
diikuti dengan mengangkat kedua tangan. Sebagian ada yang mengangkat tangannya
sejajar dengan kedua bahunya, sebagian yang lain mengangkatnya sejajar dengan
kedua telinganganya, atau kedua ibu jarinya mengenai daun telinganya. Model apa
pun gerakan mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram itu, yang pasti ia
mengandung makna, Salah satu maknanya adalah, mengangkat kedua tangan
merupakan simbol “menyerah” atau lebih tepatnya “pasrah”, yakni pasrah kepada
Allah Yang Maha Besar. Dalam bahasa yang lebih islami, menyerah, pasrah itu
identik dengan “tawakal”. Dengan demikian shalat juga mengajarkan sikap mental
yang senantiasa menyerahkan atau memasrahkan (tawakal) segala urusan hanya
kepada Allah.
P age |5

Tawakal diajarkan dalam Islam dimulai dengan ikhtiyar (berusaha dan kerja
keras), bukan dimulai dengan tanpa ikhtiyar, tanpa berbuat apa-apa. Perhatikan Sabda
Nabi SAW berikut ini:
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan
memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung
yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “
(HR.Tirmidzi).

Sabda di atas secara tidak langsung menegaskan, bahwa sebenarnya tawakal


dimulai dengan semangat ikhtiyar. Tentu saja hasil dari semangat ikhtiyar tersebut
kita serahkan kepada Allah SWT. Tanpa ikhtiyar, langsung menyerahkan kepada
Allah SWT adalah bentuk dari kegagalan pemahaman tentang tawakal. Dalam sebuah
riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah,
apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah ataukah saya lepas saja sambil
bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah SAW :

‫ِإ ْع ِق ْل َها َوتَ َو َّك ْل‬


“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi).
hasan).

Pada akhirnya, takbiratul ihram dalam shalat pada intinya mengingatkan,


bahwa kita harus senantiasa melakukan hubungan yang baik dengan Allah SWT.
Hubungan yang baik dengan-Nya yang paling puncak adalah bertasbih kepada-Nya.
Karena itu ucapan tasbih diajarkan pada saat orang ruku’ dan sujud didalam
shalatnya. Jadi, ajaran shalat tidak saja menegaskan pentingnya hubungan baik
dengan sesama manusia, tapi juga mengingatkan kita untuk berakhlak kepada Allah
SWT. Ini artinya harus ada kesimbangan moral dalam hidup manusia. Tanpa
keseimngan moral; baik dengan Allah, dan baik dengan manusia. Al-Quran
menjelaskan, bahwa akan terus ditimpa kehinaan hidup manusia, jika ia tidak
berpegang teguh berkomitmen dengan Allah, dan berkomitmen dengan sesama
manusia (habuluminallah wahabluminanas).
P age |6

C. Falsafah Salam

Penegasan bahwa shalat itu mengajarkan komitmen dengan sesama manusia


(baca: komitmen kemanusiaan ), secara implisit terkandung dari rukun shalat yang
paling terakhir, yakni mengucapkan salam. Salam dilakukan dua kali. Pertama, salam
dengan cara mengucapkan, “assalamu’alaikum” sambil diikuti dengan menolehkan
kepala kesebelah kanan. Dan kedua salam juga mengucapkan “asslamulaikaum”
sambil diikuti menolehkan kepala kesebelah kiri. Gerakan shalat semacam ini bukan
tanpa makna. Maknanya adalah, salam pertama dengan menoleh ke kanan yaitu, “
kesediaan menebarkan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan kepada yang
kanan. Yang kanan itu, yang sama agamanya, yang sama etnisna, yang sama
organisasinya, dan seterusnya. Salam juga dengan menolehkan kepala ke kiri. Itu juga
mengandung pesan, “tebarkan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan kepada
yang kiri. Yang kiri itu, yang berbeda agama, yang berbeda etinis, yang berbeda
organisasi, dan seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai