Anda di halaman 1dari 11

Sistem Politik Ekspansi ke Selatan oleh Jepang di Indonesia Pada Tahun 1930

Sistem Politik Ekspansi ke Selatan oleh Jepang di Indonesia Pada Tahun


1930
Abstract: Pemerintahan Jepang setelah Restorasi meiji mencanangkan diri untuk menjadikan
negaranya lebih kuat. Atas dasar Nasionalisme mereka melakukan banyak sekali inovasi dari
segala bidang. Salah satunya melakukan ekspansi ke Selatan. Meskipun melakukan banyak
sekali inovasi namun Jepang sangat membutuhkan minyak dan berusaha untuk mendapatkan.
Meskipun begitu ternyata Jepang belum mampu menahan diri untuk tidak melakukan
tindakan Imperialisme seperti bangsa Eropa.
Kata-Kata Kunci: Ekspansi, Jepang, Militer, Sumber Daya Alam

Pendahuluan
Contoh dari keunikan hubungan dari dua Negara ini pada masa sekarang adalah proyek mobil
nasional dari Indonesia. Sepertinya Jepang tidak senang dengan adanya proyek ini, karena
menurut pandangan jepang proyek ini bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi dan
pasar bebas. Ketidaksenangan jepang ini bahkan sampai merambah ke dunia internasional.
Jepang mengancam akan melaporkan Indonesia dan membawa persoalan proyek mobil
nasional itu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Walaupun kedua belah pihak masih
berusaha untuk menemukan jalan keluar dari masalah ini tanpa menimbulkan konflik dari
kedua belah pihak. Kasus tersebut menjadi contoh tentang betepa sensitifnya hubungan antara
Indonesia dengan Jepang di bidang perdagangan. Dengan mempertimbangkan contoh itu,
dapat diramalkan bahwa akan terjadi kasus yang lebih banyak dan lebih besar.
Hal itu adalah fakta yang terjadi pada abad ke-21 yang mengedepankan factor ekonomi
sebagai factor utama. Jika kita melihat ke belakang yaitu pada masa abad ke-20, maka
kondisinya akan berbeda. Pada abad ke-20, persaingan di utamakan pada bidang politik dan
militer. Kondisi tersebut didorong keinginan dari Negara-negara di dunia untuk meluaskan
kekuasaannya. Di masa ini terjadi politik Tripolar, yaitu politik yag melibatkan 3 jenis
Negara. Jenis Negara yang pertama adalah Negara-negara Imperialis Barat (Amerika Serikat,
Inggris, dan Belanda), Negara Imperialis Timur (Jepang), dan Negara-negara terjajah (Korea,
Indo-Cina, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Negara-negara kecil di Pasifik). Maka abad ke-
21 diwarnai dengan persaingan di bidang ekonomi dan perdagangan yang semakin sengit.
Persaingan ini lebih bersifat multi polar atau multi dimensi. Jenis Negara yang terlibat adalah
Negara-negara industry maju, Negara-negara industry baru, dan Negara-negara berkembang.
Sebelum terjadinya pendudukan Jepang ternyata jauh sebelum itu mereka telah memiliki
rancana untuk melakukan ekspansi ke Selatan. Ekspansi yang bertujuan untuk mendapatkan
wilayah dan sumber daya alam.
Pembahasan
Masuk dan berkembangnya para warga Jepang di Indonesia  
Perkembangan Negara Jepang pada abad ke-21 ini dapat dikatakan sangat pesat.
Jepang tumbuh menjadi Negara yang maju dan menjadi Negara superior di kawasan benua
Asia. Keberhasilan Jepang dalam memperoleh kemajuan yang sangat pesat ini tidak terlepas
dari perjalan sejarah Negara Jepang sendiri. Sejarah Negara Jepang dapat dikatakan berliku,
yaitu pada masa lalu Jepang juga pernah mengalami masa dimana kehidupan rakyat Jepang
sengsara. Tetapi, factor yang dominan dari berhasilnya Jepang mengatasi masalah dalam
negerinya adalah rasa nasionalisme yang tinggi dari rakyat jepang.
Ada banyak pendapat tentang kelahiran rasa Nasionalisme dari Bangsa Jepang. Ada
sebuah pendapat yang menytakan bahwa rasa nasionalisme Jepang muncul pada masa isolasi
Tokugawa (1693-1853). Pendapat ini beranggapan bahwa isolasi inilah yang melatarbelakagi
munculnya rasa Nasionalisme. Pendapat lain beranggapan bahwa rasa Nasionalisme jepang
muncul pada zaman Bakumatsu (akhir masa Tokugawa). Pendapat ini didasarkan munculnya
gerakan anti orang asing pada masa itu. Dari pendapat kedua ini, gerakan anti orang asinglah
yang menjadi awal munculnya rasa asionalisme. Isolasi yang terjadi pada masa Tokugawa
ternyata telah membentuk kepribadian dari bangsa jepang (Goto, 1998: 17). Namun, yang
terbentuk adalah masyarakat yang feodal.  System feodal ini tercermin dengan adanya
pelapisan social atau Shinokoso. Pelapisan ini layaknya sebuah system kasta. Shinokoso ini
bersifat kuat dan sulit terjadi mobilisasi social.
Pembagian kelas secara ketat dan penutupan negeri pada masa isolasi memang
menumbuhkan feodalisme dan bukan nasionalisme. Sebab, dalam kenyataannya, secara garis
besar masyarakat Tokugawa terbagi atas dua bagian, yaitu kelas bushi (samurai) dan nokosho
(rakyat biasa). Kelas bushi hanya terdiri dari enam persen dari jumlah penduduk jepang
keseluruhan. Sedangkan kelas nokosho terdiri dari sekitar Sembilan puluh pesen rakyat
Jepang. Kedatangan kapal-kapal Rusia telah memaksa Jepang untuk meninggalkan system
isolasinya. Kapal-kapal Rusia ini memaksa agar Bakufu (pemerintah Tokugawa) mau
berdagang dengan mereka.
Setelah kejadian itu mulai munculnya benih-benih nasionalisme. Salah satu contohnya
adalah muncul dan berkembangnya Koku gaku (studi nasional) yang dipelopori oleh Motoori
Norinaga. Nasionalisme pada awalnya nasionalisme yang muncul berbentuk Tennoisme
(memuliakan kaisar). Tetapi ideology inilah yang nantinya akan menumbuhkan rasa
Nasionalisme pada rakyat Jepang. Rasa Nasionalisme ini pada akhirnya menjadi salah satu
factor terjadinya Restorasi Meiji.
Pada masa Restorasi Meiji inilah Nasionalisme berkembang pesat. Pada masa ini
Jepang mulai membuka diri dengan kebudayaan dan ilmu-ilmu yang berasal dari Negara
asing. Factor-faktor yang mendorong berkembang pesatnya Nasionalisme pada masa ini
diantaranya adalah sentralisasi dan standardisasi administrasi Negara. Hal itu terbukti dengan
dibubarkannya Han yang disusul dengan pembentukan daerah provinsi pada tahun 1871.
Didikuti juga dengan dibentuknya UU Wajib Militer (1872), peranan media massa,
kominikasi, industrialisasi, dan pembentukan Negara konstitusi. Pada bidang militer, Jepang
belajar kepada angkatan darat dari Jerman dan angkatan laut dari Inggris. Walaupun pada
masa ini terjadi konflik antara golongan reformis dengan golongan tradisional, tetapi hal itu
berhasil diatasi dan tidak terlalu menghambat perkembangan dari Negara Jepang.

Terbukanya Jepang bagi bangsa asing yang disusul dengan runtuhnya kekuasan
Shogun dan tampilnya Kaisar Meiji (Meiji Tenno), menandai bangkitnya nasionalisme
Jepang. Pada tanggal 6 April 1868, Meiji Tenno memproklamasikan Charter Outh (Sumpah
Setia) menuju Jepang baru yang terdiri atas lima pasal, seperti berikut; (1) Akan dibentuk
parlemen; (2) Seluruh bangsa harus bersatu untuk mencapai kesejahateraan; (3) Adat istiadat
yang kolot dan yang menghalangi kemajuan Jepang harus dihapuskan; (4) Semua jabatan
terbuka untuk siapa saja; (5) Mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk
pembangunan
bangsa dan negara. Untuk mencapai cita-cita tersebut maka Meiji Tenno
melaksanakan pembaharuan (restorasi). Itulah sebabnya Kaisar Meiji kemudian dikenal
dengan Meiji Restorasi. Restorasi yang dilakukan meliputi segala bidang, yakni politik,
ekonomi, pendidikan dan militer. Pada bidang politik yang langkah pertama yang diambil
oleh Meiji Tenno ialah memindahkan ibu kota dari Kyoto ke Yedo yang kemudian diganti
menjadi Tokyo (yang berarti ibu kota timur). Selanjutnya, diciptakan bendera kebangsaan
Jepang Hinomoru dan dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Shintoisme dikukuhkan
sebagai agama nasional. Jabatan shogun dan daimyo dihapuskan (1868) dan samurai
dibubarkan. Para daimyo kemudian diangkat menjadi pegawai negeri, sedangkan para
samurai dijadikan tentara nasional. Di bawah pimpinan Ito Hirobumi (kemudian dikenal
Bapak Konstitusi Jepang) pada tahun 1889 berhasil disusun konstitusi Jepang.
Pembangunan di bidang ekonomi, meliputi bidang pertanian, perindustrian, dan
perdagangan, namun yang paling berhasil di bidang perindustrian dan perdagangan.
Perdagangan Jepang maju pesat berkat dumping policy. Di bidang industri muncul golongan
baru yang disebut Zaibatsu yang terdiri atas keluarga Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan
Jassuda. Setelah itu dilakukan juga perubahan di bidang pendidikan. Sistem pendidikan di
Jepang meniru sistem pendidikan Barat. Dasar moral yang diajarkan di semua sekolah ialah
Shintoisme dan Budhisme. Pada tahun 1871, dibentuklah Departemen Pendidikan.
Selanjutnya pada tahun 1872 dikeluarkan Undang-Undang Pendidikan yang mewajibkan
belajar untuk anak-anak umur 6–14 dan bebas uang sekolah (Goto, 1998: 43). Sistem
pendidikannya semimiliter. Namun hal yang paling nampak juga ialah perubahan di bidang
militer, karena setelah itu perubahan akan membawa keberhasilan seperti saat perang
melawan Rusia. Dalam pembaharuan angkatan perang yang mempunyai peranan besar ialah
keluarga Choshu dan Satsuma. Keluarga Choshu menangani pembaharuan Angkatan Darat
dengan mencontoh Prusia (Jerman), sedangan keluarga Satsuma menangani pembaharaun
Angkatan Laut dengan mencontoh Inggris. Bersamaan dengan modernisasi angkatan perang
ini dihidupkan kembali ajaran bushido sebagai jiwa kemiliteran.
Mulanya kegiatan warga Jepang di Indonesia hanya untuk melakukan kegiatan
perdagangan. Mereka datang semenjak restorasi Meiji. Warga Jepang membawa misi
Nasionalisme Jepang di manapun mereka berada, namun hal itu ternyata mengalami
perubahan. Indonesia atau wilayah Hindia-Belanda merupakan wilayah yang kondusif untuk
melakukan aktivitas dan kegiatan perekonomian warga Jepang tersebut. Pihak Belanda
menjamin secara hukum keslamatan warga Jepang di Indonesia hal tersbut membuat nyaman
dan betah untuk menetap di Indonesia. Namun seiring niatan Jepang untuk melakukan
ekspansi ke wilayah Selatan maka pihak Belanda mulain mencurigai segala tindakan dan
aktivitas mereka meskipun mereka tidak terlibat dalam kegiatan politik. Mereka hanya
bertujan untuk melakukan aktivitas perdagangan bukan untuk berpolitik.
Setelah dimulainya perang antara Jepang dan Tiongkok maka mulailah babak baru
kehidupan warga Jepang di Indonesia. Pemerintah Belanda mulai mengawasi secara tidak
langsung seluruh kegiatan warga Jepang. Para warga memilih untuk diam dan memikirkan
kembali rencana untuk menetap di Indonesia. Selain itu pemerintah Jepang juga mempunyai
rencana untuk melakukan ekspansi ke Selatan, yang membuat pihak Belanda semakin curiga.
Hingga muncullah sikap anti-Jepang yang dikeluarkan oleh Belanda. Para wanita dan anak-
anak akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jepang. Menyisakan para pria yang
beranggapan hubungan yang dapat kembali membaik. 
Faktor pendorong ekspansi warga jepang ke Indonesia
Restorasi telah berhasil mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara Jepang.
Jepang menjadi negara maju, modern, dan sejajar dengan negara-negara Barat. Hal ini
kemudian menimbulkan ambisi untuk melakukan imperialisme seperi negara-negara Barat.
Faktor-faktor Jepang melakukan tindakan imperialisme ke Selatan antara lain; (1) Adanya
pertambahan penduduk yang cepat;(2) Adanya perkembangan industri yang begitu pesat,
butuh daerah pasaran dan bahan mentah; (3) Adanya pembatasan migran Jepang yang
dilakukan oleh negara-negara Barat;(4) Pengaruh ajaran Shinto tentang Hakko I Chi-u (dunia
sebagai keluarga), di mana Jepang terpanggil untuk memimpin bangsa-bangsa di dunia (Asia-
Pasifik) (Sagimoen, 1985:43).
Pada awal abad ke-20, Jepang mengalami "demokrasi Taisho" yang dibayang-bayangi
bangkitnya ekspansionisme dan militerisme Jepang. Semasa Perang Dunia I, Jepang berada
di pihak Sekutu yang menang, sehingga Jepang dapat memperluas pengaruh dan wilayah
kekuasaan. Jepang terus menjalankan politik ekspansionis dengan menduduki Manchuria
pada tahun 1931. Dua tahun kemudian, Jepang keluar dari Liga Bangsa-Bangsa setelah
mendapat kecaman internasional atas pendudukan Manchuria. Pada tahun 1936, Jepang
menandatangani Pakta Anti-Komintern dengan Jerman Nazi, dan bergabung bergabung
bersama Jerman dan Italia membentuk Blok Poros pada tahun 1941.
Sifat-sifat yang menonjol pada zaman Taisho (1912-1925) adalah naiknya pretasi
Jepang di dunia, khususnya setelah perang Rusia-Jepang dan setalah perang dunia I.
Kapitalisme Jepang juga terbentuk pada pertengahan zaman Taisho, yang ditandai dengan
pembentukan monopoli modal oleh negara dan swasta. Pada masa inilah terjadi pertentangan-
pertentangan ideologi yang amat tajam di dalam masyarakat Jepang, yang muncul sebagai
gerakan-gerakan radikal kiri maupun kanan, sosialis, komunis, sindikalis, yang menginginkan
revolusi sosial. Kelompok ultranasionalis fasis menginginkan agar Jepang kembali ke jalan
konservatif. Artinya Jepang tetap berada di bawah sistem kaisar dengan ideologi kaisarisme.
Sampai akhir Perang Dunia I (1919), nasionalisme Jepang tetap mempunyai sifat-sifat
cauvinistik patriot-patriot Meiji tersebut. Selain itu mereka menginginkan perubahan-
perubahan radikal. Antara lain: Kaum ekstremis Jepang pada zaman Taisho dapat dibagi atas
tiga jenis ekstremis, yaitu ekstremis kiri, kanan dan tengah. Sayap kanan posisi moderat
diduduki oleh teoritis-teoritis partai politik yang mewakili kelas menengah di kota-kota dan
desa-desa.
            Posisi tengah ekstrem diduduki oleh orang-orang frustasi dalam menghadapi masalah
urbanisasi yang semakin pelik dan kondisi naik turunnya secara drastis harga hasil panen
petani. Menurut mereka, penderitaan kaum tani merupakan akibat dari pengaruh kemajuan
ekonomi kapitalis dan modernisasi. Pemikiran ini membuat pemberontakan petani (1930)
dalam bentuk kudeta perwira menengah militer yang mendapat dukungan gigih dari kaum
tani di desa-desa. Posisi sayap kanan dipelopori oleh kelompok pengikut konservatif Meiji
yang tetap mempertahankan ideologi Kokutairon (struktur negara di bawah sistem kaisar).
(Goto, 1998: 93) Mereka sangat anti kelompok liberal yang melanda Jepang setelah Perang
Dunia I dan mereka juga mendukung gigih Asianisme. Mereka bertujuan memurnikan tradisi-
tradisi Jepang dengan melawan westernisasi dalam kehidupan orang Jepang. Selain itu juga
mengorganisir kelompok-kelompok pekerja ke dalam bentuk gerakan nasional konservatif.
            Posisi kiri moderat diduduki orang-orang sosialis demokrat dan serikat buruh industri
kecil sebagai bisnis sosial mereka. Sedangkan posisi kiri ekstrem diduduki kelompok Marxiz
komunis. Gerakan-gerakan mereka berorientasi gerakan pergolakan kelas, anarki, dan
sindikalis. Kelompok nasionalis anti-Marxis yang ingin menghapus kelas-kelas sosial,
memandang masyarakat organik. Artinya, masyarakat harus harmonis berdasarkan dua
elemen, yakni elemen pemerintah dan rakyat. Pandangan mereka ini ditentang keras oleh
kelompok sindikalis dan komunis. Jepang adalah salah satu korban imperialisme Barat-
terutama sejak meletusnya pergolakan sosial tahun 1918 yaitu pemberontakan beras. Mereka
merencanakan revolusi dari atas dengan dukungan orang-orang berpengaruh dalam
pemerintahan dan militar. Sasaran mereka adalah mengusahakan perebutan kekuasaan dari
atas atau kudeta. Untuk melaksanakan tujuan ini, Yuzonsha bertindak keras, termasuk
melakukan pembunuhan politik, seperti menyerang rumah putra negarawan Meiji, Saionji
Mimmochi pada tahun 1921 dan merencanakan pembunuhan negarawan senior Meiji,
Yamagata Aritomo. Pada masa merajalelanya fasisme militer Jepang sejak tahun 1930-an
sampai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, pemikiran ultranasionalis
telah mendorong kelompok militer fasis untuk mempertahankan ekspansinya di Asia Timur,
termasuk negara-negara Asia Tenggara. Sumber ideologi mereka adalah sistem kaisar
(Tenno-sei). Mereka adalah pendukung gigih gerakan Pan-Asianisme (Sagimoen, 1985:43).
Dari berbagai faktor yang dijelaskan di atas, ternyata pihak Jepang sangat mengincar
Minyak dari wilayah Selatan. Minyak yang juga merupakan sumber dari segala sumber itu
tentu saja memiliki makna yang sangat besar bagi jepang pada zaman Showa, baik dari segi
politik maupun dari segi ekonomi. Tidaklah hal yang berlebihan bila “Perang Asia Timur
Raya” itu dimulai dengan minyak dan diakhiri juga dengan minyak. Menurut Togo setelah
Perang Dunia kedua ternyata cadangan minyak Jepang sangatlah sedikit. Cadangan minyak
tersebut hanya mampu untuk bertahan selama dua tahun setelah itu. Maka hal tersebut juga
merupakan bukti bahwa Jepang sangat membutuhkan minyak yang kala itu mendapatkan
embargo dari Amerika. Dengan begitu hal tersebut memaksa Jepang untuk mendapatkan
sumber alam dari pihak lain.
Selain karena mengincar minyak ternyata pihak Jepang memiliki faktor lain sebagai
penyebab untuk invasi ke Selatan. Hal tersebut yaitu ketika berakhirnya perang Jepang-
Tiongkok mereka mendapatkan wilayah Taiwan dari Tiongkok. Pihak Angkatan Darat tidak
lagi mampu melakukan ekspansi ke wilayah Utara karena berhubungan langsung dengan
wilayah Rusia dan Tiongkok. Maka hal tersebut diambil alih oleh Angkatan Laut untuk
mencari wilayah lain. Mereka beranggapan bahwa wilayah Selatan merupakan tanah yang
sangat menjanjikan dan terutama Hindia Belanda yang mereka rasa sangat menjanjikan.
Mereka memandang Belanda yang sangat menggantungkan terhadap pulau Jawa saja mampu
mendapatkan keuntungan yang begitu besar. Pihak Jepang beranggapan bahwa wilayah
Borneo dan Papua tidak mendapat perhatian besar oleh pihak Belanda(Ricklefs, 1991:240). 
Bagaimana kondisi warga Jepang sebelum meletusnya Perang Dunia II
Sebagian besar orang Jepang yang datang ke wilayah Hindia-Belanda dengan tujuan
untuk melakukan ativitas perdagangan pada masa sebelum perang memiliki loyalitas secara
alamiah terhadap tanah air Jepang.  Namun mereka tidak diharuskan untuk mengungkapkan
perasaan tersebut di wilayah tersebut. Kemudian dibawah pemerintahan kolonial Belanda
mereka diakui secara hukum kedudukan  yang sama dengan bangsa eropa lain di Hindia-
Belanda dan membentuk masyarakat Jepang tersendiri yang diperkuat oleh “kesadaran
sebagai bangsa kelas satu” (Goto, 1998: 233). Mereka juga mengerti cukup baik bahwa basis
kehidupan yang mereka peroleh dengan susah payah hanya terjamin atas dasar hubungan
persahabatan antara pemerintah Jepang dan kolonial Belanda. Karena itu kecenderungan
gerakan bangsa Indonesia di bawah penjajahan kolonialisme, yaitu peningkatan gerakan
kebangsaan yang menentang “Pax Neerlandica” yang telah berlaku, hanya menarik perhatian
yang relatif kecil dari mereka. Dengan ungkapan yang agag rumit, dapat dikatakan bahwa
orang yang mereka hadapi bukanlah “Bangsa Indonesia” tetapi “ Inlander di Hindia-Belanda.
Perang total Jepang Tiongkok, yang dimulai pada bulan juli 1937 telah memberi
dampak besar kepada negara-negara adikuasa yang memiliki kolonni kawasan Asia Tenggara
dalam sudut pandang terhadap Jepang terutama pemerintah Hindia-Belanda yang lemah
kekuatan militernya. Pemerintah Hindia-Belanda yang telah mewaspadai kebijaksanaan luar
negeri jepang, mulai meningkatkan kewaspadaannya setelah setelah sejak pertengahan
dekade tahun 1930-an Jepang secara terang-terangan menyatakan keinginannya untuk
melakukan ekspansinya ke belahan selatan bumi, dan hal itu mencapai klimaks tatkala perang
di dunia eropa pecah dan wawasan pendapat jepang untuk ekspansi ke belahan bumi bagian
selatan semakin banyak pendukungnya di dalam masyarakat.  Dalam situasi perubahan
perubahan sudut pandang  terhadap jepang seperti itu pada kenyataannya pemerintah Hindia-
Belanda tidak bisa tinggal diam dan tidak bisa acuh tak acuh terhadap arah gerak masyarakat
Jepang di Hindia-Belanda yang saat itu berjumlah sekitar 7000 orang, dan memperlakukan
pengawasan yang ketat baik secara terang-terangan maupun secara samar-samar, walaupun
kala itu pemerintah Hindia-Belanda secara resmi belum mengambil suatu tindakan.
Seperti diketahui umum, ciri utama masyarakat jepang di Indonesia pada masa
sebelum Perang Dunia II adalah keberadaan pedangang yang mulai datang ke Indonesia sejak
akhir zaman Meiji dan mereka dengan susah payah akhirnya memiliki toko kelontong di
berbagai tempat di Indonesia. Pusat kegiatan perdagangan mereka, oarang-orang Jepang yang
terbesar saat itu adalah di kota Surabaya di Jawa Timur dan kota itu pula untuk pertama
kalinya didirikan Sekolah Jepang atas Inisiatif Asosiasi Orang Jepang pada tahun 1925
sebelum didirikan sekolah yang sama di kota-kota lainnya (seperti Batavia pada tahun 1928,
di Semarang pada tahun 1929, dan di Bandung pada tahun 1933). Pada akhir tahun 1920-an
konsul Jepang di Surabaya waktu itu, Aneha Junpei, mengutarakan pendapatnya bahwa, awal
hidup dan tinggal di Indonesia membutuhkan kesabaran dan ketabahan, namun mereka juga
berterima kasih kepada pemerintah Hindia-Belanda atas ijin yang diberikan kepda mereka
untuk bisa tinggal di sana. Mereka menganggap bahwa tempat tersebut merupakan tempat
yang begitu indah. Meskipun pada waktu itu, keadaan Jepang sedang mengalami konflik
dengan wilayah Cina namun hal tersebut belum berimbas di Hindia-Belanda karena pihak
kolonial dapat dengan cepat memahami tindakan tersebut dan segera mengeluarkan kebijakan
agar konflik tersebut tidak menular dan mengganggu perpolitikan di Hindia-Belanda.
Pada pertengahan akhir dekade 1930-an hubungan antara pihak Kolonial dan Jepang
mengalami perubahan ke arah yang buruk. Tahun 1936 pihak Jepang melepaskan diri dari
dua perjanjian yang telah disepakati dengan pihak Inggris dan Amerika yang menyepakati
pengurangan pengadaan persenjataan laut pada saat berakhirnya perang dunia I. Pertemuan
lima menteri Jepang yang menyepakati kebijakan akan ekspansi ke wilayah selatan dan pada
akhirnya hal tersebut menjadi kebijakan luar negeri Jepang. Hal tersebut semakin memanas
ketika Perang Jepang dan Cina pada Juli 1937. Perang tersebut membawa dampak kepada
masyarakat kedua negara hingga ke wilayah kolonial Hindia-Belanda. Pihak pemerintah
Belanda pada mulanya masih menunjukkan ketenangan dalam menyikapi hal tersebut, namun
surat kabar Toindo Nippo mengabarkan hal yang sebaliknya(Goto, 1998: 413). Sebenarnya
pada mulanya kebijakan pihak Jepang tidak bersifat konfrontatif, karena sejak awal kebijakan
Belanda atas Jepang di Indonesia dinilai cocok atas dasar ekonomi. Hingga tahun 1939-an
pihak Jepang masih terbelah karena menganggap hubungan antara Jepang dan Hindia-
Belanda tidak boleh dirusak karena telah terjalin secara baik ditengah tujuan pemerintah
Jepang untuk melakukan ekspansi ke Selatan. Dilain pihak, pemerintah Belanda sangat
menanggapi rencana Invasi tersebut secara serius hingga muncul opini di masyarakat Belanda
di Hindia-Belanda atas rasa anti-Jepang.
Pada saat yang sama pihak Jepang juga menyoalkan tentang kehidupan mereka di
Hindia-Belanda yang telah menyimpang dari cita-cita suci dan mulai dipupuk kembali rasa
nasionalis para warga Jepang yang tinggal di Hindia-Belanda. Ada beberapa faktor yang
memperkuat kembali rasa Nasionalis, Empati, dan kesadaran atas cita-cita suci yang telah
mereka canangkan sebelumnya. Hal tersebut yaitu, (1) Berita situasional yang ditulis oleh
Yoshizumi Tomegoro; (2) Pembentukan Surabaya Nihon-jin Seinen-Kai; (3) Perang Jepang-
Tiongkok dan Sekolah Dasar Jepang; (4) Toindo Nippo dalam peran pembentukan opini
umum(Goto, 1998: 415). Berbagai faktor tersebut seakan membangkitkan kembali semangat
yang dahulunya telah meredup. Sehingga semakin kuatnya pengaruh akan ajakan perang
invasi ke wilayah Selatan. Meskipun tindakan tersebut juga mendapatkan lawan dari pihak
moderat namun pengaruhnya lebih kecil. Sehingga pihak Jepang semakin dekat dengan
rencana invasi tersebut.
Sejak pecah perang di Eropa dan posisi tentara Jerman tampak lebih unggul pada
tahun 1940, sikap siaga dan kekhawatiran pihak pemerintah Hindia-Belanda kian meningkat.
Terutama setelah tanggal 10 Mei, yang memaksa pemerintah Hindia-Belanda sendiri
melakukan pemerintahan suaka di London, pemerintah Hindia-Belanda menjadi semakin
lebih peka dan waspada tehadap opini umum di Jepang yang menjadi dominan saat itu, yaitu
teori ekspansi ke Selatan secara atif dicanangkan oleh pihak militer Jepang seperti terlihar
pada slogan “ Majulah Jepang ke Selatan,” dan “wujudkan Sistem Kebijakan Baru, Hayatilah
loyalitas kita.” Dalam situasi demikian keadaan warga Jepang di Hindia-Belanda semakin
bertambah rumit dan Ruwet. Orang Jepang yang tinggal di Luar negeri pada umumnya
merasa terisolasi bila pemerintah dan duniaswasta di tamah airnya bersikap dingin atau tidak
memberikan perhatian terhadap mereka yang mempunyai keluguan loyalitas terhadap
negara.  Sebaliknya, mereka juga mereka juga merasa bingung bila pemerintah dan dunia
swasta memberi perhatian terlalu besar dan melibatkan mereka dalam arus politik dan budaya
tanah airnya.
Pada mulanya pihak Angkatan Darat Jepang yang tidak terlalu memperhatikan
rencana ekspansi ke Selatan tersebut ternyata berubah arah dan kebijakan. Mereka
meneriakkan teori ekspansi ke Selatan. Salah seorang di antaranya yang menonjol adalah
Jenderal Angkatan Darat Koiso Kuniaki (Menteri Eksploitasi) yang menekankan perlunya
ekpansi ke Selatan secara aktif untuk melaksanakan dua kebijakan utama negara, yaitu
eksploitasi sumber daya alam dan pengembangan pasar baru. Melalui proses pematangan
akhirnya terbentuklah opini umum bahwa obet mujarab untuk menanggulangi keadaan
“darurat” adalah perlunya penyelesaian “masalah wilayah Selatan” dan terutama “masalah
Indonesia”. Selain itu Perundingan Perdagangan II antara Jepang-Belanda oleh masyarakat
Jepang di Indonesia dipandang sebagai alat terakhiruntuk memperbaiki hubungan tersebut.
Namun sesudah dibukanya perundingan tersebut mereka segera menyadari bahwa harapan
tersebut hanyalah impian belaka. Sikap anti Jepang yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah
Hindia Belanda ternyata memperburuk perundingan tersebut(Jong, 1991:89).
Dengan memburuknya hubungan diplomatik antara kedua negara serta semakin
tegangnya situasi internasional, di kalangan masyarakat Jepang di Indonesia pun kesadaran
akan situasi krisis ini semakin mendalam dan meluas. Sejak diberlakukan undang0undang
perang oleh pemerintah Hindia-Belanda sesudah pemerintah Belanda mengungsi ke luar
negeri, di antara masyarakat jepang mulai terlihat orang yang memutuskan untuk pulang dan
melepaskan basis kehidupan yang mereka peroleh dari usaha jerih payah yang lama.
Meskipun demikikan, sebagian masyarakat Jepang kecuali wanita dan anak-anak masih tetap
melihat adanya prospek baik untuk masa depan dan lebih suka memilih tinggal di tempat
sambil melihat perkembangan selanjutnya. Bahkan para tokohnya menghimbau agar tidak
tergesa-gesa untuk pulang. Selain karena terputusnya perundingan perdangan ada hal lain
yang menjadi titik balik yaitu, pembekuan aset yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-
Belanda. Hal tersebut menjadi pukulan bagi kaum moderat yang dahulunya masih bersikap
kalem.
Selain sikap menerima secara “pasif” dan himbauan untuk meningkatkan kesabaran,
di lain pihak terlihat pula reaksi secara aktif diantara segenap masyarakat Jepang. Walaupun
reaksi itu bersifat “aktif”, hal itu bukan merupakan suatu tuntutan untuk melakukan tindakan
konfrontatif terhadap pemerintah Hindia-Belanda, melainkan himbauan secara spiritualis,
yaitu himbauan agar masyarakat Jepang di Indonesia mengintropeksi diri dalam segi
kehidupan sehari-hari sesuai dengan keadaan darurat tanah airnya. Walaupun perundingan
perdagangan Jepang-Belanda tidak berhasil mencapai titik temu, karena pertimbangan
terhadap dunia luar maka pihak diplomatik pemerintah Jepang dengan hati-hati tidak
menggunakan kata “perpecahan” melainkan menggunakan kata “perhentian”. Namun hal itu
tidak berlaku bagi kelompok yang berhaluan keras. Dengan begitu sebenarnya pemerintah
Jepang masih berusaha memperbaikai hubungan tersebut. Hal tersebut di kemudian hari
memberikan pengaruh yang besar terhadap opini yang berkembang akan masalah Indonesia.
Mengenai gejala penarikan orang Jepang ke ke tanah airnya yang muncul sejak
musim semi tahun 1940 di kalangan masyarakat Jepang setempat telah dijelaskan. Gejala
tersebut mulai menunjukkan masalah serius ketika  terjadinya pemutusan perundingan
perdagangan pada bulan Juni tahun berikutnya. Hal tersebut sangat berkaitan dengan
perubahan situasi dunia terhadap Jepang. Terutama ekspansi militer Jepang ke Indo-Cina
Selatan memberi dampak besar terhadap kebijaksanaan Amerika, Inggris, dan Belanda
terhadap Jepang(Goto, 1998: 419). Sebelumnya Amerika bersikap hati-hati untuk
memberikan sanksi ekonomi terhadap Jepang meskipun ada desakan kersa dari Inggris yang
akhirnya memutuskan untuk memberlakukan tindakan paling ketat, embargo minyak mentah
terhadap Jepang. Pihak pemerintah Belanda juga menyesuaikan langkahnya dengan kedua
negara, Amerika dan Inggris, dengan mengumumkan pembekuan aset finansial pada tanggal
28 Juli. Dalam situasi nyata yang melarang orang Jepang melakukan aktivitas ekonomi,
masyarakat Jepang di Indonesia menghadapi pilihan serius, yaitu memilih pulang ke Jepang
atau tetap tinggal.

Anda mungkin juga menyukai