Anda di halaman 1dari 26

ASKEP GADAR PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

STEVENs JOHNSON

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang
mengenai kulit, selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi
dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat
menyebabkan kematian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan
penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme.
Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya
EktodermaEerosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe
Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum danEeritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian
yang umum digunakan ialah Sindroma stevens-Johnson.
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, bahkan dikatakan
Multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap obat.
Sebagaimana kita ketahui hampir semua obat dapat dibeli bebas diluar apotik dan adanya
kecenderungan para pasien mengobati dirinya sendiri lebih dahulu sebelum berobat ke dokter
karena faktor biaya. Oleh karena itu penyakit ini makin sering ditemukan.
Penyakit ini perlu diketahui oleh para dokter karena dapat menyebabkan kematian,
tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat,umumnya penderita dapat diselamatkan.

1.2  Tujuan
1.2.1        Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep dasar dan asuhan keperawatan gawat darurat pada sistem
integumen dengan gangguan Sindrom Stevens Johson
1.2.2        Tujuan khusus
1.      Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang konsep medik Sindrom Steven
Jonson, terdiri dari definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, komplikasi, WOC Sindrom Stevens Johson
2.      Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang konsep asuhan keperawatan
gawat darurat terdiri dari pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi, evaluasi pada
Sindrom Stevens Johson
1.3  Manfaat
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami konsep dasar dan asuhan
keperawatan gawat darurat pada sistem integumen dengan gangguan Sindrom Stevens
Johson.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1  Konsep dasar Sindrom Stevens Johson
2.1.1        Anatomi dan fisiologi
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagiantubuh,
membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Luas kulit pada manusia rata-
rata + 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbangdengan lemaknya atau 4 kg jika
tanpa lemak atau beratnya sekitar 16 % dari berat badan seseorang.Kulit memiliki fungsi
melindungi bagian tubuh dari berbagai macamgangguan dan rangsangan luar. Fungsi
perlindungan ini terjadi melalui sejumlahmekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan
tanduk secara terus menerus(keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati),
respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan
pigmenmelanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari.Kulit
merupakan suatu kelenjar holokrin yang cukup besar dan seperti jaringan tubuh lainnya, kulit
juga bernafas (respirasi), menyerap oksigen danmengeluarkan karbondioksida. Kulit
menyerap oksigen yang diambil lebih banyak dari aliran darah, begitu pula dalam
pengeluaran karbondioksida yanglebih banyak dikeluarkan melalui aliran darah. Kecepatan
penyerapan oksigenke dalam kulit dan pengeluaran karbondioksida dari kulit tergantung
pada banyak faktor di dalam maupun di luar kulit, seperti temperatur udara atau
suhu,komposisi gas di sekitar kulit, kelembaban udara, kecepatan aliran darah kekulit,
tekanan gas di dalam darah kulit, penyakit-penyakit kulit, usia, keadaanvitamin dan hormon
di kulit, perubahan dalam metabolisme sel kulit dan pemakaian bahan kimia pada kulit.Sifat-
sifat anatomis dan fisiologis kulit di berbagai daerah tubuh sangat berbeda. Sifat-sifat
anatomis yang khas, berhubungan erat dengan tuntutan-tuntutan faali yang berbeda di
masing-masing daerah tubuh, seperti halnya kulitdi telapak tangan, telapak kaki, kelopak
mata, ketiak dan bagian lainnyamerupakan pencerminan penyesuaiannya kepada fungsinya
masing - masing.
Kulit di daerah ± daerah tersebut berbeda ketebalannya, keeratan
hubungannyadengan lapisan bagian dalam, dan berbeda pula dalam jenis serta banyaknya
andeksa yang ada di dalam lapisan kulitnya.Pada permukaan kulit terlihat adanya alur-alur
atau garis-garis halus yangmembentuk pola yang berbeda di berbagai daerah tubuh serta
bersifat khas bagisetiap orang, seperti yang ada pada jari-jari tangan, telapak tangan dan
telapak kaki atau dikenal dengan pola sidik jari ( dermatoglifi).
1.      Struktur kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu: kulit ari (epidermis). Sebagai lapisan
yang paling luar, kulit jangat dan jaringan penyambung di bawah kulit. Kulit ari (epidermis),
epidermis merupakkkan bagian paling luar yang menarik untukdiperhatikan dalam perawatan
ulit, arena kosmetik dipakai pada bagian epidermis. Ketebalan epidermis berbeda-beda pada
berbegai bagian tubuh , yang paling tebal berukuran 1 mm pada telapak tanggan, kaki, dan
yang paling tipis berukuran 0,1 mm pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut. Sel-sel
epidermis disebut keratinosit epidermis melakat erat pada dermis karena secara fungsional
epidermis memperoleh zat-zat makanan dan cairan dari plasma yang mermbes melaliui
dinding kapiler dermis ke dalam dermis. Pada epidermis dibedakan lima lapisan kulit yakni:
a.       Lapisan tanduk (stratum corneum)
Merupakan lapisan epidermis yang paling atas dan menutupi semua lapisan epidermis
lebih ke dalam . lapisan sel tanduk terdiri ats beberapa sel pipih ,yidak berinti, tidak
mengalami proses metabolism, yidak berwarna dan sedikit mngandung air. Pada telapak kaki
dan tanggan banyak terdapat keratinosit. Lapisan tanduk ini saebagian besar terdiri dari
keratin yaitu sejenis protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-
bahan kimia . lapisan ini lebih dikenal dengan horny , terdiri dari miliaran sel pipih yang
mudah terlepas dan digantikkan oeleh sel yang baru setiap 4 minggu, karena setiap selnya
berumur 28 hari.pada saat terlepas ,kondisi kulit akan tersa kasar sampai muncul lapisan baru.
Proses pembeharuan lapisan tanduk sepanjang hidup, menjadi kulit ari memiliki self repairing
capacity atau emampuan memperbaiki diri, namun dengan bertambahnya usia proses
keratinasi berjalan lebih lambat , saat usia ini melamin tidak merata serta tidak lagi dengan
cepat di gantinkkan dengan sel tanduk baru, daya elasitaspun sangat kecil, dan lapisan ini
sangat efektif untuk mencegah penguapan air dari apisan kulit lebih lama dan mampu
memelihara tonus dan tugor kulit, dan memiliki daya air yang cukup besar
b.      Lapisan bening ( stratum lucium) disebut juga lapisan barier , tepat terletak di bawah lapisan
sel tanduk. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih yang kecil-keil, tipis dan
bersifat traslusen sehingga dapat di lewati oleh sinar. Proses kretinisasi bermula dari lapisan
ini
c.       Stratum granolosum
Tersusun dari sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang mengandung butir-butir dalam
protoplasmanya, butir kasa dan berinti mengkerut.
d.      Stratum spinosum
Disebut juga lapisan Malpighi terdiri dari sel-sel yang saling berhubungan dengan perantara
jembatan-jembatan protoplasma berbentuk kubus, jika sel alpisan saling berlepasan , maka
sel-selnya bertaju. Setiap sel berisi filament-filamen keil yang terdiri atas serabut protein.
Betuk sel berkisar antara bulat ke bersudut banyak, makin kea rah permukaan kulit makin
besar ukurannya. Diantara sel-sel atju terdapat celah antar sel ahlus yang berguna untuk
peredaran cairan jaringan ektraseluler dan pengantar butir-butir melanin. Sel-sel bagian laju
lapisan yang lebih dalam, banyak yang berada dalam salah satu tahap mitosis. Inti inti sel
dalam bagian basal lapis taju mengandung kolesterol, sam amono, dan gutation.
e.       Stratum germinativum dan basal
Merupakan lapisan bawah epidermis , yang dibentuk oleh satu baris sel torak dengan
kedudukan tegak lurus terhadap dermis. Alsa sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu dengan
lamina basalis di bawahnya. Lamina basal yaitu struktur halus yang membatasi epidermis
dengan dermis. Lamina basalis memmemiliki pengaruh besar terhadap
metabolismedemoepidermal dan fungsi-funsi vital kulit. Didalam sel ini del-sel epidermis
bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel bergeser ke lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya
menajdai sel tandauk. Didalam lapisan benih terdapat pulasel bening pembuat pigmen
damelanin kulit
Gambar 2.1 Lapisan epidermis
2.      Dermis
Dermis menjadi tempat ujung saraf persa, tempat keberadaan kandung rambut,
kelenjar keringat, kelenjar minyak, pembuluh darah, dan getah bening. Sel-sel rambut yang
berada dalam kandung rambut , terus menerus membelah dalam membentuk batang rambut.
Kelanjar palit yang menempel di saluran kandung kereambut. Ketebalan kuepdermis 1-2mm.
keberadaan ujung-ujung saraf perasa dalam kulit jangat, memungkinkkan membedakan
berbagai rangsangan dari luar . masing-masing saraf perasa memiliki atau memungkinkkan
segera bereaksi terhadap hal-hal yang angat merugikkan kita.

Gambar 2.2 Anatomi Kulit


2.1.2        Definisi
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) akut yang
mengenai kulit,selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi
dari ringan sampai berat. Penyakit ini sering dianggap sebagai bentuk dari Eritema
Multiforme yang berat (Mutaqin, 2011).
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih
ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).
Sindrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel /
bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium dan
dengan keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2008).
Menurut Sharma and Sethuraman (1996), Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk
penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari ringan sampai berat berupa
lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang
tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 %
dari area permukaan tubuh, serta melibatkan lebih dari satu membran mukosa. Kasus dengan
pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan 30% disebut dengan overlap Stevens-
Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN), sedangkan kasus dengan
pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Bastuji-
Garin, et al., 1993).
2.1.3        Etiologi
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,
terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling
umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006;
Siregar, 2004).
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,
kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).
Tabel 2.1 Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
No Etiologi Keterangan Referensi
1. Idiopatik Banyak kasus Sindrom Stevens-Johnson yang Cawson, 1994; Laskaris, 2000;
tidak diketahui secara pasti etiologinya, diduga Parillo, et al., 2005.
sebesar 50% etiologi Sindrom Stevens-Johnson
adalah idiopatik.
2. Erupsi alergi obat secara Kebanyakan pasien memiliki riwayat Mansjoer, dkk., 2000.
sistemik menggunakan obat-obatan sebelum timbulnya
gejala-gejala Sindrom Stevens-Johnson. Erupsi
alergi obat secara sistemik adalah reaksi pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat.
a.  Antibiotik Golongan penisilin dan semisintetiknya, Roujeau, 1995; Noel, et al.,
tetrasiklin, sulfonamid, sefalosporin, eritromisin, 2000; Rose, 2005.
vankomisin.
b.  Antikonvulsan Barbiturat, fenitoin, hidantoin, karbamazepin, Roujeau, 1995; Lagayan, 2005.
fenobarbital
c.     Antiinflamasi Oksikam, parasetamol, derivat salisilat, pirazolon Villar, et al., 2001; Rose, 2005.
d.    Antirematik Alopurinol Ghislain and Roujeau, 2005
e.     Antituberkulosis Rifampisin Fritsch and Sidoroff, 2000.
f. Antiretroviral Nevirapin Fagot, et al., 2001.
g. Antihiperglikemi Sulfonilurea Roujeau, et al., 1995.
h. Kortikosteroid Glukokortikoid Roujeau, et al., 1995.
i. Antihelmintik Mebendazol Tong Chen, et al., 2003.
j. Amebisid Metronidazol Tong Chen, et al., 2003.
k. Antiepilepsi Lamotrigin Shuen Lam, et al., 2004
l. Antimalaria Kinin, meflokuin, klorokuin Mansjoer, dkk., 2000
3. Bahan-bahan kimia perak nitrit, trikloretilen, nikel, air raksa, arsenik, Smelik, 2005; Lagayan, 2005.
9-bromofluoren, trinitrotuen dan formaldehid
4. Infeksi
a.  Infeksi virus Herpes Simpleks, HIV, Coxsakie, Villar, et al., 2001; Dunant,
orthomyxovirus, paramyxovirus, hepatitis B, 2002; Shuen Lam, et al., 2004;
Lymphogranuloma venereum (LGV), Rickettsia Lagayan, 2005; Parillo et al.,
sp, variola, Epstein-bar dan enterovirus 2005.
b.  Infeksi bakteri Mycoplasma pneumonia, Streptokokus beta Grup Lagayan, 2005; Parillo, et al.,
A, tularemia yang disebabkan oleh Francisella 2005.
tularensis dan demam typhoid yang disebabkan
oleh Salmonella sp
c.  Infeksi jamur Coccidioidomycosis oleh Coccidioides immitis, Lagayan, 2005; Parillo, et al.,
histoplasmosis oleh Histoplasma capsulatum, 2005.
dermathophytosis oleh Trichophyton sp,
Epidermophyton sp dan Microsporin sp.
d.  Infeksi protozoa Trichomonas Parillo, et al., 2005
5. Neoplasma Keganasan yang sering dihubungkan dengan Smelik, 2002; Lagayan, 2005;
Sindrom Stevens-Johnson adalah beberapa varian Parillo, et al., 2005).
karsinoma dan limfangioma
6. Reaksi pascavaksinasi pemberian vaksin dipteri, tiphoid, Bacillus Chopra, et al., 2004; Smelik,
Calmette Guerin (BCG), Oral Polio Vaccine 2005; Rose, 2005; Parillo,
(OPV), smallpox, antraks, tetanus dan campak 2005.
7. Penyakit kolagen lupus eritematosus sistemik Ghislain and Roujeau, 2005.
8. Faktor lain sinar X, sinar matahari, cuaca, keadaan Mansjoer, dkk., 2000.
kehamilan, kontaktan, terapi radiasi dan alergi
makanan
2.1.4        Klasifikasi
Dalam konsep ini, SJS terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1.      Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2.      Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3.      Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Angka spesifik kesakitan TEN yaitu SCORTEN, dengan meningkatnya kesakitan
dan luasnya pengelupasan epidermal berhubungan dengan meningkatnya mortalitas Sindrom
Stevens-Johnson sampai Toksik Epidermal Nekrolisis dimana Sindrom Stevens-Johnson <
10% (1-5% mortalitas), overlap SJS-TEN 10-30% dan TEN > 30% (25-35% mortalitas). 7
faktor risiko pada Sindrom Stevens-Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis yaitu (Bastuji-
Garin, 2000) :
1)      Usia > 40 tahun
2)      Keganasan
3)      Takikardia >120/menit
4)      Permukaan pengelupasan epidermal pada permulaan >10%
5)      Urea > 28 mg/dl
6)      Glukosa > 252 mg/dL
7)      Bikarbonat < 20 mmol/L
Setiap parameter diberikan 1 poin bila positif sehingga jumlah SCORTEN
tingkatannya 0-7. Mortalitas berdasarkan nilai SCORTEN (Parillo, 2009) yaitu :
1)      SCORTEN 0-1, mortalitas >3.2%
2)      SCORTEN 2, mortalitas >12.1%
3)      SCORTEN 3, mortalitas >35.3%
4)      SCORTEN 4, mortalitas >58.3%
5)      SCORTEN 5 atau lebih, mortalitas >90%
2.1.5        Patofisiologi
Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
1.      Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro
presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran
( target- organ ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau
kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
2.      Reaksi hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi
radang.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil
limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan
waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya (Mutaqin, 2011).
2.1.6        Manifestasi Klinik
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat
dan kombinasi gejala tersebut.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini
terlihat adanya trias kelainan berupa:
1.    Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Lesi kulit pada Sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat
juga terjadi sesudah gejala klinis di bagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat
asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi
yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini
menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari,
bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada
permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki sedangkan pada kasus yang berat lesi
menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh tubuh (Gambar 2.1).
Gambar 2.3 Eritema yang tersebar luas pada wajah (Dunne, 2000).
Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi
erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening.
Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat
perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai
kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain
itu, adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar
2.    Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan
yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3.    Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat
kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis (Djuanda, 2008). Manifestasi pada mata terjadi
pada 70% pasien Sindrom Stevens-Johnson. Kelainan yang sering terjadi adalah
konjungtivitis (Gambar 2.2).
Gambar 2.4 Konjungtivitis (Cohen, 2000).
Selain konjungtivitis, kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang
merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Stevens-
Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis
purulen, photophobia, panophtalmintis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior,
iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat
juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan
kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan (Manjoer, dkk., 2008).

2.1.7        Pemeriksaan fisik


Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson
Inspeksi
1.      Adanya eritema, area kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang
teroksigenasi pada vaskularisasi dermal
2.      Adanya area yang melepuh dan perkembangannya ditubuh
3.      Pengeluaran cairan pada bulla (lepuhan) baik jumlah, warna dan bau
4.      Pada area mulut adakah terdapatnya bula atau lepuhan dan lesi arosive serta adanya rasa
gatal, rasa terbakar dan kekeringan dimata.
5.      Kemampuan klien dalam menelan dan minum serta berbicara secara nornal juga ditentukan
6.      Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jalan napas, klien tampak sesak,
terdengar stridor saat ekspirasi/inspirasi, retraksi dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan, frekuensi pernafasan > 20 x/menit, reflek bentuk ada, pernapasan cepat dan
dangkal, klien batuk
Palpasi
1.      Nadi melemah akiabat terjadinya dehidrasi
2.      Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan
Auskustalsi
1.      Sekret dalam rongga pernafasan ditandai dengan suara whezing
2.      Peristaltik usus meningkat atau menurun
2.1.8        Pemeriksaan Diagnostik
1        Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya
infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2        Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel
di epidermis.
3        Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
(Adithan, 2006).
2.1.9        Penatalaksanaan
1.      Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
preanisone 30 – 40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi menyeluruh
harus diobati secara tepat dan cepat. Kartikosteroid merupakan tindakan file-saving dan
digunakan deksamate dan intravena dengan dosis permulaan 4 – 6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien stevens-johnson berat
harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah masa kritisteratasi,
kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason intravena diganti dengan table kortikosteroid, misalnya prenidesone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi
menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit ( K,
Na dan CI ) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan
KCL 3 x 500 mg / hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi
efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein / anabolik seperti nandroklok
dekanoat dan nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa ( dosis untuk anak
tergantung berat badan ).
3.      Antibiotik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrom
luas dan bersifat sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
4.      Infus dan Transfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak
memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah banyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena
sehari dan hemostatik.
4.      Tropikal
Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak
2.1.10    Komplikasi
Menurut mansjoer, A (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan
Sindrom Steven Johnson yaitu bronkopneumonia, sepsis, kehilangan cairan atau darah,
gangguan keseimbangan atau elektrolit, syok, dan kebutaan karena gangguan lakrimasi.

2.1.11    WOC
 

 
Sumber Mutaqin, arif (2011)

2.2  Asuhan keperawatan gawat darurat pada sistem integumen dengan gangguan Sindrom
Stevens Johson
2.2.1        Pengkajian gawat darurat
1.      Umum : Keadaan umumnya bervariasi dari sedang sampai berat. Pada kondisi yang berat.
Tergantung derajat mortilitas steven jonson. Bila derajat 1 biasanya keadaan umum pasien
ringan, derajat 2 dan 3 berat.
a.       Keadaan berat bila terjadinya erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan,
pseudomembran klien mengalami kesulitan bernafas, dan bula antara 10-30% dan telah
terjadi infeksi pada kulit, Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh, mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta
berwarna merah.
b.      Keadaan umum sedang biasa bila menunjukkan gejala awal, ruam, gatal, demam, nausea.
2.      Pengkajian kesadaran
Pasien dengan steven jonson pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma.
a.       Pain : Pada psien derajat 2 lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% . Klien biasanya
meringis saat di perintahkan dengan perintah sederhana karena adanya kerusakan saraf
perifer
b.      Unresponsive : pada pasien dengan derajat 3 lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%.
Pasien dengan overload SJS dan TEM dalam keadaan koma

3.      Pengkajian primer


a)      Airway
Jalan napas, adakah sumbatan jalan napas berupa sputum, lendir atau pun darah yang
ditandai oleh kesulitan bernapas atau suara napas yang berbunyi (stridor, hoarness).
Intervensi :
1.      Monitor frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
2.      Auskultasi paru, perhatikan stridor, mengi
3.      Ajarkan batuk efektif
4.      Lakukan penghisapan (suction) bila klien tidak bisa mengeluarkan lendir
5.      Tempatkan pasien pada resusitasi
6.      Beri oksigen 4-6 L/menit dengan kanul sankup
7.      Lakukkan tindakan kedaruratan jalan nafas agresif
b)      Breathing
1.   Klien sesak, batuk, mengi, tidak mampu menelan
2.   Bunyi napas : gemerik (edema paru), stridor (edema laryngeal) ronkhi (sekret jalan napas
dalam)
3.   Pernapasan menggunakan otot-otot pernapasan
4.   Pernapasan cepat lebih dari 20 x/menit
5.   Irama pernapasan regular/ ireguler
6.   Refleks batuk ada
Intervensi :
1.      Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus
dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi
perlu dipertimbangkan.
2.      Pertahankan jalan napas melalui pemberian posisi yang tepat (tinggikan kepala tempat tidur
15 – 30 derajat)
c)      Circulation
7.      Tekanan darah hipotensi
8.      Takikardia
9.      Disritmia, detak jantung tidak beraturan
10.  Edema jaringan
11.  Kulit dingin, pucat
12.  Akral dingin
Intervensi :
Mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat
menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran
penderita yang menurun. Infus yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
4.      Penggolaongan Triage
Dalam pengolongan triage sindrom steven jonson termasuk P2 dan P1. P1 jika memiliki
mortalitas .> 50% dengan mengunakan SCORTEN dan bula terbar >10—30 %

5.      Pengkajian sekunder


a.       Riwayat kesehatan pasien
1)      Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang dengan keadaan terdapat trias SJS yaitu terdapat bula, eritema, dan vesikel pada
mata, mukosa bibir, dan kulit
2)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah terkena atau sedang menjalani pengobatan penyakit Infeksi virus herpes
simplex, dan Mycoplasma pneumonia, Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV,
Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma
venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr
virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
3)      Riwayat Penyakit Keluarga
Bila terdapat keluarga alergi obat dan berasal dari ras krustesea
b.      Tanda-tanda vital
Pengkajian terhadap adanya demam tinggi, dan adanya takikardi
c.       Pengkajian fisik
Head toe toes:
1)      Wajah
Eritema, vesikel dan bula

2)      Mata
Kelopak mata        : Edema dan sulit dibuka
Konjungtiva           : Konjungtivitis kataralis dan purulen
Kornea                   : Ulkus kornea
Reaksi cahaya        : Positif
Lapang penglihatan : Penyempitan lapangan penglihatan
Kelaianan mata      : Simbleferon, iritis, iridosiklitis
3)      Mulut dan leher
Mukosa bibir     : Bengkak, kering, warna mukosa merah
Selaput lendir     : Stomatitis, afte (vesikel, bula), erosi, perdarahan
Sakit saat menelan            : Ada
Lidah                     : Terdapat lesi
Tonsil/pharix         : Meradang
Ketidakmampuan menelan
4)      Paru-paru
a)      Inspeksi
Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jalan napas, klien tampak sesak,
terdengar stridor saat ekspirasi/inspirasi, retraksi dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan, frekuensi pernafasan > 20 x/menit, reflek bentuk ada, pernapasan cepat dan
dangkal, klien batuk
b)      Auskultasi
Bunyi napas vesikuler, wheezing (+), Ronkhi (+)
5)      Kardio vaskuler
a)      Inspeksi
edema jaringan
b)     Palpasi     
frekuensi HR > 100 x/menit, irama regular/ireguler, akral dingin, kapilar repil > 3 detik
c)     Auskultasi 
Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan
6)      Abdomen
a)      Inspeksi : mual muntah
b)      Auskultasi : peristaltik usus bisa menurun atau meningkat
7)      Genetalia
a)      Vagina : warna secret
b)      Anus    : pelebaran vena ani/tidak
c)      Mukosa : vesikel, bula, erosi, perdarahan, krusta berwarna merah
8)      Ektermitas
Edema, tremor, rom terbatas, akral dingin
d.      Pengkajian diagnostik
1)          Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
2)          Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.

3)          Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.

2.2.2        Analisa data


No Symptom Etiologi Problem
1 DS : Kerusakan jaringan kulit Kekurangan volume cairan
        Klien atau keluarga kelian Adanya bula vesikel dan eritema
tubuh
mengatakan telah terjadi ↓
lepuhan pada kulit seperti Membuat rusaknya lapisan epidermis
luka bakar dan dermis
DO: ↓
        Adanya eritema, vesikel perpindahan cairan dari intravaskuler
dan bula ke dalam rongga interstisial,
        Di bibir kelainan krusta rusaknya jaringan kulit akibat luka.
berwarna hitam yang tebal.
        Stomatitis
        Pseudomembran
        Hipotensi
        Akral dingin
        Takikardi

2 Data Subyektif Hipersensivitas III dan IV terhadap Kerusakan integritas kulit


       Klien mengeluh demam obat dll
tinggi, lemah letih, nyeri ↓
kepala, batuk, pilek, dan  Terjadinya trias yaitu adanya eritema
nyeri tenggorokan / sulit di mata,orifisial, dan mulut
menelan. ↓
Data Obyektif Terdapatnya bula 10-30%

       Kulit eritema, papul, Kerusakan integritas kulit.
vesikel, bula yang mudah
pecah sehingga terjadi erosi
yang luas, sering didapatkan
purpura.
       Krusta hitam dan tebal
pada bibir atau selaput
lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
       Kongjungtivitis purulen,
perdarahan, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.
       Nefritis dan onikolisis.
       Laboratorium : leukositosis
atau esosinefilia
       Histopatologi : infiltrat sel
mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan
basalis, nekrosis sel
epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
       Imunologi : deposis IgM
dan C3 serta terdapat
komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.

3 DS: Keadaan berat penderita SJS dapat Ketidakseimbangan nutrisi


       Keluarga klien mengatakan mengakibatkan kurang dari kebutuhan tubuh
pasien susah untuk ↓
berbicara karena pecahnya Terjadinyastomatitis, mual, muntah,
mukosa bibir demam
       Keluarga klien mengatakan ↓
pasien susah untuk Tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi
membuka mulut dan nyeri
saat menelan makanan
DO:
       Stomatis menyebabkan
sukar untuk menelan
       Adanya bula 10-30%
       Adanya krusta pada
mokosa mulut

4 Data Subyektif Vesikel dan bula dapat pecah Resiko tinggi infeksi
       Klien mengeluh demam sehingga terjadi erosi yang luas
tinggi, lemah letih, nyeri ↓
kepala, batuk, pilek, dan  Penanganan yang tidak efektif akan
nyeri tenggorokan / sulit mengakibatkan sepsis yang meluas
menelan. ↓
Data Obyektif Resiko tinggi infeksi
       Kulit eritema, papul,
vesikel, bula yang mudah
pecah sehingga terjadi erosi
yang luas, sering didapatkan
purpura.
       Krusta hitam dan tebal
pada bibir atau selaput
lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
       Kongjungtivitis purulen,
perdarahan, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.
       Nefritis dan onikolisis.
       Laboratorium : leukositosis
atau esosinefilia
       Histopatologi : infiltrat sel
mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan
basalis, nekrosis sel
epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
       Imunologi : deposis IgM
dan C3 serta terdapat
komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.

5 DS: Kerusakan trias pada SJS Nyeri


Klien Nampak gelisah mengakibatkan

Respon lokal eritema, bula,vesikel
DO:

       Kulit eritema, papul, Kerusakan saraf perifer terlebih jika
vesikel, bula yang mudah epidermis terlepas dia tas 10%
pecah sehingga terjadi erosi ↓
yang luas, sering didapatkan Terdapat respon nyeri
purpura.
       Demam >39 derajat selsius
       Batuk, adanya
pseudomembran
       Krusta hitam dan tebal
pada bibir atau selaput
lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
       Kongjungtivitis purulen,
perdarahan, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.
       Nefritis dan onikolisis.
       Laboratorium : leukositosis
atau esosinefilia
2.2.3        Diagnosa Keperawatan
1.      Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler
ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan kulit akibat
luka.
2.      Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal
3.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat respon
sekunder dari kerusakan krusta pada mokosa mulut
4.      Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, dan hilangnya pertahanan barier , dan adanya
pord de entere pada lesi
5.      Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak , erosi jaringan

2.2.4        Intervensi keperawatan


No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
Keperawatam hasil
1 Kekurangan Dalam waktu 1 X        Identifikasi penyebab SJS, dan         Parameter penentu kedaruratan.
volume cairan 24 jam tidak terjadi derajat SJS dan faktor mortalitas Kehilangan cairan dengan derajat II yaitu
tubuh berhubungan kekurangan volume berdasarkan scorten terdapat bula 10-30 %
dengan cairan        Observasi tanda vital         Dengan memeriksa TTD mengetahui
perpindahan cairan Kriteria hasil :        Manitor dan catat cairan yang perkembangan keadaan pasien
dari intravaskuler -        Haluaran masuk dan keluar         Cairan yang diberiakan dilakukkan
ke dalam rongga urine individu        Kolaborasi skor dehidrasi menurut program medis volume cairan
interstisial, adekuat (0,5-1,0 juga harus sebanding dengan volume
hilangnya cairan mg/kg BB/jam) aoutput
secara evaporasi, -        Urin jernih         Menentukan derajat dehidrasi dan
rusaknya jaringan dan berwarna jumalah cairan yang akan di berikan
kulit akibat luka. kuning         Terlebih karena pasien sukar atau tidak
-        Membran dapat menelan akibat lesi di mulut dan di
mukosa lembab tenggorokan dan kesadaran dapat
-        TD normal menurun. Untuk itu dapat diberikan
(100-139/60-96 infuse, misalnya dekstrosa 5%, NaCl 9%
mmHg)         Terapi cairan dan elektrolit, serta dan ringer laktat berbanding 1:1:1
-        Denyut nadi kalori dan protein secara
(60-100 x/menit) parenteral.
-        Kadar
elektrolit serum
dalam batas normal
2 Gangguan integritas Dalam5 X 24 jam         Kaji kerusakan jaringan kulit         Menjadai data dasar untuk melakukkan
kulit b.d. inflamasi integritas kulit yang terjadi pada klien intervensi
dermal dan membaik secara         Manitor dan catat cairan yang         Menentukan garis dasar dimana
epidermal optimal masuk dan keluar perubahan pada status dapat
Kriteria hasil : dibandingkan dan melakukan intervensi
Pertumbuhan jaringan yang tepat
membaik         Menurunkan iritasi garis jahitan dan
tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan resiko
infeksi
        Untuk mencegah infeksi
        Untuk mencegah infeksi lebih lanjut
        Tindakan asepsis seperti mencuci
tanggan, agar tidak terjadinya sepsis yang
meyebar
        Kortikosteroid merupakan tindakan file-
saving dan digunakan deksametason
intravena
        Lakukkan intervensi untuk
        Antibiotic di berikan untuk pasien yang
mencegah komplikasi
infeksi

        Kolaborasi pemberian


kortikosteroid
        Pemeberian antibiotik
3 Gangguan nutrisi Dalam waktu 5 x 24         Kaji status nutrisi pasien, berat         Lesi oral merupakan indikasi pemberian
kurang dari jam asupan nutrisi badan, mukoasa oral, kemampuan nutrisi secara sonde atau parental
kebutuhan tubuh b.d. terpenuhi menelan, dan riwayat mual dan
kesulitan menelan Kriteria hasil: muntah
        Pasien dapat         Evaluasi adanya alergi makanan         SJS merupakan sindrom yang dapat di
mempertahankan status dan kontra indikasi makanan sebabkan juga oleh alergi makanan
nutrisi yang adekuat         Timbang BB klien         Memberikan pasien/orang terdekat rasa
        Memenuhi kebutuhan kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
nutrisinya perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan
        Membantu mencegah distensi
gaster/ketidaknyamanan
        Meningkatkan nafsu makan

        Kalori protein dan vitamin untuk


memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi jaringan.
4 Resiko Infeksi Tujuan : tidak terjadi         Monitor tanda-tanda vital         Perubahan tanda vital secara drastis
berhubungan infeksi local atau merupakan komplikasi lanjut untuk
dengan hilangnya sistemik terjadinya infeksi
barier/perlindungan Kriteria hasil :         Keadaan luka dapat di kriteriakan
kulit -          Tidak ada         Observasi keadaan luka sebagai derajat mortalitas
tanda-tanda infeksi Dengan penentuan derajat SJS
(merah, bengkak,         Jaga agar luka tetap bersih atau
panas, nyeri, fungsio         Mencegah terjadinya infeksi silang
steril
lesi)         Berikan perawatan pada mata
-          Leukosit (5000         Mata dapat membengkak oleh drainase
- 10000/mm3) luka
-          Kultur luka
memperlihatkan         Pantau hitung leukosit, hasil
jumlah bakteri yang         Peningkatan leukosit menunjukkan
kultur dan tes sensitivitas
minimal infeksi, pemeriksaan kultur dan
-          Suhu tubuh sensitivitas menunjukkan
dalam batas normal mikroorganisme yang ada dan antibiotic
(36,5 - 37,4  C) yang tepat diberikan
-          RR : 16 – 20
x/menit         Mengurangi jumlah bakteri
-          TD : 100-         Berikan antibiotic
139/60-96 mmHh
-          Pols : 60 – 100
x/menit
5 Gangguan rasa Dalam waktu 1 X 24         Kaji nyeri dengan PQRST         Manajemen untuk mengetahui intervensi
nyaman, nyeri b.d. jam yang akan di berikan
inflamasi pada kulit         Melaporkan nyeri         Dengan posisi fisiologis akan
        Atur posisis fisiologis
berkurang meningkatkan asupan oksigen kejaringan
        Menunjukkan yang mengalami peradangan
ekspresi wajah/postur         Indikator penurunan nyeri
tubuh rileks         Nyeri hampir selalu ada pada beberapa
Kriteria evaluasi : derajat beratnya keterlibatan jaringan
        Pasien tidak gelisah         Kaji TTV         Meningkatkan relaksasi, menurunkan
        Sklanyeri menurun         Berikan penggantian cairan IV tegangan otot dan kelelahan umum
        Adanya perbaikan yang dihitung, elektrolit, plasma,
jaringan albumin
        Suhu tubuh normal         Metode IV sering digunakan pada awal
        Kolaborasi dengan dokter
36,5-37,5 derajat untuk memaksimalkan efek obat
pemberian analgetik
celsius         Menghilangkan rasa nyeri

2.2.5        Implementasi
No Diagnosa Implementasi Respon hasil TTd
Keperawatan
Dx keperawatan 1        Mengidentifikasi penyebab SJS, dan         klien menyatakan memiliki riwayat Petugas
derajat SJS dan faktor mortalitas alergi obat seperti penisilin
berdasarkan scorten         tanda tanda vital dalam batas normal
       mengobservasi tanda vital         klien mengatakan tidak dehidrasi
       memonitor dan catat cairan yang         dehidrasi teratasi
masuk dan keluar
       berkolabolaborasi skor dehidrasi

DX Kepeawatan 2         mengkaji kerusakan jaringan kulit         kerusakan tergantung dari derajat
yang terjadi pada klien mortalitas pasien
        memanitor dan catat cairan yang         klien dapat mengkonsumsi atau
masuk dan keluar meminum cairan
        melakukan lakukkan intervensi         tidak terjadi sepsis yang meluas
untuk mencegah komplikasi         pemeberian kortikosteroid mencegah
        berkolaborasi pemberian pecahnya bula, tidak terjadi
kortikosteroid penyebaran bula,
        memberian antibiotik         tidak terjadinya infeksi berlajut
akibat penyakit tertentu
DX keperawatan 3         Kaji status nutrisi pasien, berat         Klien mengatakan mampu menelan,
badan, mukoasa oral, kemampuan tidak mual dan muntah
menelan, dan riwayat mual dan         Klien dapat mengatakan penyebab
muntah alergi
        Evaluasi adanya alergi makanan dan         Pemenuhan nutrisi sesuai dengan
kontra indikasi makanan kebutuhan yaitu dengan pemberian
        Timbang BB klien diet rendah garam
DX keperawatan 4         memonitor tanda-tanda vital         Tanda-tanda vital dalam batas
        mengobservasi keadaan luka normal
        menentukan derajat SJS         Terjadinya pertumbuhan jaringan
        Jaga agar luka tetap bersih atau pada luka
steril         Bula berkurang
        Berikan perawatan pada mata         Luka tetap bersih
        Pantau hitung leukosit, hasil kultur         Tidak terjadi konjungtivis
dan tes sensitivitas         Hasil pemerikasaan batas normal
        Berikan antibiotic         Infeksi sekunder tidak terjadi lagi
Dx Keperatan 5         mengkaaji nyeri dengan PQRST         P=prekuensi nyeri berkurang
        mengatur posisis fisiologis         Q=kualitas nyeri tidak tajam
        mengkaji TTV         R=tidak nyeri di area yang terdapat
        memberi cairan IV yang dihitung, bula
elektrolit, plasma, albumin         S=skala nyeri 0-1
        berkolaborasi dengan dokter         T= nyeri tidak terjadi
pemberian analgetik         Klien tidak merasa nyeri
        Tidak terjadi dehidrasi
        Tidak mengunakan obat anlagesik

2.2.6        Evaluasi
1.      Tidak terjadi kekurangan volume cairan
2.      Integritas kulit membaik secara optimal
3.      Asupan nutrisi terpenuhi
4.      Tidak terjadi infeksi local atau sistemik
5.      Melaporkan nyeri berkurang dan menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa
konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2
yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter
disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi
cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan
umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan
uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga
yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

3.2  Saran
Semoga makalah ini dapat dijadikkan panduan untuk referensi mengenai sindrom
seteven johson, dan mahasiswa mampu memahami isi makalah ini.dengan sebaik-baiknya
mengenai konsep dasar dan asuhan keperawatan gawat darurat sindrom seteven johson.
Mahasiswa mampu membedakan derajat sindrom steven johson dan menentukan pririoritas
triage. Mahasiswa mampu membuat rencana mengenai intervensi dari airway, breathing,
circulation. Mahasiswa mampu menidenifiksai diagnose kemungkinan yang muncul melalui
perjalanan penyait sindrom steven johnson tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of

Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:

www.jipmer.edu

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Mutaqin, Arif. 201.Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: Salemba
Medika
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC
Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai