Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

“PEMBERDAYAAN MASYARAKAT”

OLEH :

KELOMPOK 5

KELAS B12-B

1. Ni Made Dwi Cahyani 193223143


2. Ni Nyoman Sri Novirantini 193223144
3. Ni Putu Diah Kusumasari 193223145
4. Ni Putu Ema Selpiyanti 193223146
5. Ni Putu Erna Susanti 193223147
6. Ni Putu Mia Devihapsari 193223148
7. Ni Putu Nopindrawati 193223149
8. Ni Putu Prastiwi Fatma Sari 193223150
9. Ni Wayan Novia Kristina 193223151

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

TAHUN AJARAN 2020


KATA PENGANTAR

Om swastiastu

Segala puji dan syukur tak lupa kami panjatkan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Karena hikmat yang diberikan, terutama hikmat sehat jasmani dan
rohani. Karena hikmatnya kami bisa menyelesaikan tugas Keperawatan Bencana
yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat” tepat pada waktunya dengan baik dan
benar serta sesuai prosedur. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas
kelompok yang diberikan kepada kami sebagai materi kuliah Keperawatan
Bencana.

Kami menyadari segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik


secara materi maupun dalam penggunaan kata bahasanya. Oleh sebab itu demi
kesempurnaan dan perbaikan dalam penyusunan makalah ini, kami menerima
kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat dalam proses
belajar dan mengajar.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Denpasar, 11 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….…... 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………….….. 2
1.3 Tujuan …………………………………………………………………….… 2
1.4 Manfaat ……………………………………………………………………... 2
1.5 Metode Penulisan ………………………………………………………….... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ................................................................ 3
2.2 Peranan Teori Pemberdayaan Masyarakat...................................................... 9
2.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat.................................................................. 16
2.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat............................................ 17
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana...................................... 15
2.6 Manfaat program pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana........... 16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………… 17
3.2 Saran ……………………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam sering terjadi di Indonesia, Kementerian Sosial membuat


kebijakan program kampung siaga bencana dan BPBD (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana) membuat kebijakan program Desa/kelurahan tangguh
bencana. Keduanya, merupakan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan
bencana berbasis komunitas. Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian
kejadian yang mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda kerusakan
lingkungan, sarana dan prasarana serta korban nyawa. Secara umum terdapat tiga
factor penyebab terjadinya bencana yakni (1) faktor alam (natural disaster), (2)
factor non-alam (non-natural disaster) yaitu bukan akibat perbuatan manusia, dan
(3) faktor sosial/manusia (man-made disaster) yang murni akibat perbuatan
manusia (Nurjanah dkk., 2011). Salah satu bencana faktor alam yang kerap terjadi
di Indonesia adalah gempa bumi, karena letak Indonesia yang berada diantara
lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Samudra Pasifik yang terdapat banyak
aktivitas pergerakan lempeng bumi dan aktivitas gunung berapi yang masih aktif
atau runtuhan batuan.

Bencana gempa bumi tidak akan memilih-milih korbannya Semua akan


terkena bencana tersebut, jika korban berada pada posisi dimana bencana itu
terjadi. Kondisi seperti ini yang mendorong manusia untuk meningkatkan
kemampuan dirinya dalam menghadapi suatu bencana. Agar dampak yang di
timbulkan becana bisa berkurang, maka perlu adanya pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat adalah transfer kekuasaan melalui penguatan modal
sosial kelompok untuk menjadikan kelompok produktif untuk mencapai
kesejahteraan sosial.

Menurut Anwar (2013) pemberdayaan mengandung makna proses


pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, atau masyarakat sehingga
mampu berdaya, memiliki daya saing dan mampu hidup mandiri. Masyarakat
merupakan kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara
tertentu. Pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan
dalam kegiatan pembangunan serta kebutuhan masyarakat melalui upaya
peningkatan taraf hidup masyarakat dalam hal kesiapsiagaan menghadapi
bencana.

Berdasarkan uraian diatas, pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam


penanggulangan bencana sehingga kelompok tertarik lebih lanjut membahas
mengenai “pemberdayaan masyarakat”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan
Bencana?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan
Bencana
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan yang penulis dapatkan dalam pembuatan makalah ini yaitu
sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat wajib mengetahui dan mampu
memahami Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, metode yang penulis gunakan yaitu tinjauan
pustaka dan media internet. Penulis mencari sumber dari berbagai media
tersebut sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang

dipahami. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang

dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Secara konseptual, pemberdayaan atau

pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power yang berarti kekuasaan

atau keberdayaan. Konsep pemberdayaan berawal dari penguatan modal sosial di

masyarakat (kelompok) yang meliputi penguatan penguatan modal sosial. Apabila

kita sudah memiliki modal sosial yang kuat maka kita akan mudah mengarahkan

dan mengatur (direct) masyarakat serta mudah mentransfer pengetahuan kepada

masyarakat. Dengan memiliki modal sosial yang kuat maka kita akan dapat

menguatkan knowledge, modal (money), dan people. Konsep ini mengandung arti

bahwa konsep pemberdayaan masyarakat adalah transfer kekuasaan melalui

penguatan modal sosial kelompok untuk menjadikan kelompok produktif untuk

mencapai kesejahteraan sosial. Modal sosial yang kuat akan

menjamin suistainable dalam membangun rasa kepercayaan di dalam masyarakat

khususnya anggota kelompok (how to build the trust).

Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep

mengenai modal soaial dan kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dan

dihubungkan dengan kemampuan individu untuk membuat individu melakukan

apa yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Pada  dasarnya, 

pemberdayaan  diletakkan  pada  kekuatan  tingkat  individu  dan

5
sosial(Sipahelut,2010). Pemberdayaan  merujuk  pada  kemampuan  orang, 

khususnya  kelompok  rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan  atau

kemampuan dalam

1. memenuhi  kebutuhan  dasarnya  sehingga  mereka  memiliki 

kebebasan  (freedom),  dalam  arti  bukan  saja  bebas  dalam 

mengemukakan  pendapat,  melainkan  bebas  dari  kelaparan,  bebas  dari 

kebodohan,  bebas  dari  kesakita.

2. menjangkau sumber  produktif  yang  memungkinkan  mereka  dapat 

meningkatkan  pendapatannya  dan  memperoleh  barang-barang  dan 

jasa-jasa  yang  mereka perlukan.

3. berpartisipasi  dalam  proses pembangunan dan keputusan keputusan yang

mempengaruhi mereka (Suharto 2005)

Jimmu, (2008) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya

sebatas  teori tentang bagaimana mengembangkan daerah pedesaan tetapi

memiliki arti yang  memungkinkan terjadinya perkembangan di tingkat

masyarakat. Pembangunan masyarakat seharusnya mencerminkan tindakan

masyarakat dan kesadaran atas identitas diri. Oleh karena itu, komitmen untuk

pengembangan masyarakat harus mengenali keterkaitan antara individu dan

masyarakat dimana mereka berada. Masyarakat adalah sebuah fenomena

struktural dan bahwa sifat struktural dari kelompok atau masyarakat memiliki efek

pada cara orang bertindak, merasa dan berpikir. Tapi  ketika kita melihat struktur

tersebut, mereka jelas tidak seperti kualitas fisik dari dunia luar. Mereka

bergantung pada keteraturan  reproduksi sosial, masyarakat yang hanya memiliki

efek pada orang-orang sejauh struktur diproduksi dan direproduksi dalam apa

6
yang orang lakukan. Oleh karena itu pengembangan masyarakat memiliki

epistemologis logis dan yang  dasar dalam kewajiban sosial yang individu miliki

terhadap masyarakat yang  mengembangkan bakat mereka.

Adedokun et all., (2010) menunjukkan bahwa komunikasi yang

efektif akan menimbulkan partisipasi aktif dari anggota masyarakat  dalam

pengembangan masyarakat. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika kelompok

masyarakat yang terlibat dalam strategi komunikasi, membantu mereka

mengambil kepemilikan inisiatif pembangunan masyarakat daripada melihat diri

mereka sebagai penerima manfaat pembangunan. Berdasarkan temuan tersebut,

direkomendasikan bahwa para pemimpin masyarakat serta agen pengembangan

masyarakat harus terlibat dalam komunikasi yang jelas sehingga dapat meminta

partisipasi anggota masyarakat dalam isu-isu pembangunannya.

Apabila kita cermati dari serangkaian literatur tentang konsep-konsep

Pemberdayaan Masyarakat maka konsep pemberdayaan adalah suatu proses yang

diupayakan untuk melakukan perubahan. Pemberdayaan masyarakat memiliki

makna memberi kekuatan/daya kepada kumpulan masyarakat yang berada pada

kondisi ketidakberdayaan  agar menjadi berdaya dan mandiri serta memiliki

kekuatan melalui proses dan tahapan yang sinergis.

2.2 Peranan Teori Pemberdayaan Masyarakat

Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi

kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi

organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori

di dalam pemberdayaan masyarakat mengandung hubungan sebab dan pengaruh

yang harus dapat di uji secara empiris. Hubungan sebab dan akibat/outcome yang

7
terjadi karena kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis intervensi

yang dapat digunakan oleh pekerja sosial dalam memproduksi outcome. Dalam

kerja sosial, kita dapat menggunakan teori untuk menentukan jenis aksi/kegiatan

atau intervensi yang dapat digunakan untuk

memproduksi outcome/hasil. Pada umumnya beberapa teori digabung untuk

memproduksi model outcome.

1. Teori Ketergantungan Kekuasaan (Power-Dependency)\

Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses

pemberdayaan. Tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok

berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan juga untuk 

memperoleh persetujuan pasif kelompok ini untuk situasi ini. Power

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan

adalah fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu

menjadi bagian dari  hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan

pada tingkat interaksi mikro (Sadan, 1997).

2. Teori Sistem (The Social System)

Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang

perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan

perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada

mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya

proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun

dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun

berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika

masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan

8
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan

hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang

memandang optimis sebuah proses perubahan.

Parsons (1991) menyampaikan tiga fungsi yang harus dimiliki oleh

sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu: (a) Adaptasi, sebuah sistem

hatus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. (b) Pencapaian, sebuah

sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. (c) Integrasi,

sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi

komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga

fungsi penting lainnya.

3. Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)

Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam

kehidupan kita, karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia

tidaklah sendirian, melainkan sebagai manifestasi makhluk sosial, kita

hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Struktur

organisasi merupakan kerangka antar hubungan satuan-satuan organisasi

yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-

masing mempunyai peranan tertentu. Struktur organisasi akan tampak

lebih tegas apabila dituangkan dalam  bentuk bagan organisasi.

Menurut  Lubis  dan  Husaini  (1987)  bahwa  teori  organisasi 

adalah  seku pulan ilmu pengetahuan  yang membicaraan mekanisme

kerjasama dua  orang  atau  lebih  secara  sistematis  untuk  mencapai 

tujuan  yang  telah ditentukan.  Teori  organisasi  merupakan  sebuah 

9
teori  untuk  mempelajari  kerjasama  pada  setiap  individu.  Hakekat 

kelompok  dalam  individu  untuk  mencapai tujuan beserta cara-cara yang

ditempuh dengan menggunakan teori yang dapat menerangkan tingkah 

laku, terutama motivasi, individu dalam proses kerjasama. Pada teori

ekologi, membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan

masyarakat dengan tujuan yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat.

Orientasi organisasi mengacu pada sekumpulan orang/massa yang harus

dimiliki kelompok untuk dapat memiliki power/daya. Kelompok yang

memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan maka kelompok ini

dikatakan berdaya.

4. Teori Konflik

Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan

dalam semua level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak

bersinggungan dan sering malahirkan konflik. Dalam konteks demikian,

konflik didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik tetapi

merupakan sesuatu yang given dalam interaksi sosial. Malah konflik

menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika dalam

masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan

konflik sebagai kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan

dalam dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa munculnya konflik

dikarenakan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang

menciptakan kelangkaan. Sementara di sisi lain, individu bersifat

individualis, mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplus yang

ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluang terjadinya

10
perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama di

antara para pelaku (Chalid, 2005).

Pada proses pemberdayaan yang dilakukan di suatu lingkungan

sosial (masyarakat) akan sangat sering menemui konflik. Konflik yang

terjadi berkaitan erat dengan ketidakpercayaan dan adanya perubahan

kepada mereka. Perubahan terhadap kebiasaan, adat istiadat dan berbagai

norma sosial yang sudah tertanam sejak lama di dalam masyarakat. Hal ini

sesuai pendapat Stewart, 2005 dalam Chalid (2005) Terdapat tiga model

penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam

kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan

ekonomi, ketiga penjelasan politik. Perspektif budaya menjelaskan bahwa

konflik dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan

suku. Dalam sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan

perbedaan budaya yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing

kelompok budaya melihat sebagai anggota atau bagian dari budaya yang

sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan otonomi budaya.

Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordial terhadap realitas

konflik. Sebagian antropolog ada yang menerima dan sebagian

menolak. Argumentasi kalangan yang menolak beralasan bahwa terdapat

masalah serius bila hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek

budaya semata. Pendekatan budaya tidak memasukkan faktor-faktor

penting dari aspek sosial dan ekonomi.

5. Teori Mobilisasi Sumberdaya

11
Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-

individu dan  interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan 

pilihan rasional menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka

memperhitungkan individu sebagai abstrak untuk menjadi realistis.

Pragmatisme, feminisme, dan yang  terkait dengan berbagai tradisi yang

mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual

action) dan aksi-aksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an,

yakni  penelitian tentang perlawanan (social resistence), gerakan

sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective

behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut.

Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme,

terutama sosiologi makro versi Amerika yang  menekankan teori

mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan interaksi

dengan negara.

Rusmanto, (2013) menyimpulkan bahwa untuk mengetahui

keinginan seseorang akan sangat terkait dengan tujuan di akhir orang

tersebut. Seseorang dari pertanyaan tersebut  mengarah kepada sebuah

tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan adalah pusat pendekatan yang strategis

sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum, telah keliru

memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat

sementara mencerminkan budaya dan  emosi. Pada konteks pemberdayaan

masyarakat maka teori mobilisasi menjadi salah satu dasar yang kuat,

karena untuk menjadi seorang atau kelompok masyarakat yang

berdaya/memiliki power selain uang, knowledge maka people juga

12
mempunyai peranan yang penting. Kumpulan orang akan memberikan

kekuatan, kekuatan itu akan memberikan power pada orang atau

masyarakat itu.

6. Teori Kontstruktivis (Constructivist)

Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan  yang

didasarkan  pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan,

menginterpretasikan, dan  mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan

individual (Windschitl, dalam  Abbeduto,  2004).

Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang

bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang

dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar

sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon,

sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan

manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi

makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Teori

konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih

menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan

dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam

belajar juga dinilai penting.

Pada proses pemberdayaan masyarakat pendekatan teori belajar secara

konstruktivis perlu ditanamkan dan diupayakan agar masyarakat mampu

menkonstruksi pemahaman untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat

hendaknya tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah melekat di

masyarakat selama nilai tersebut baik dan benar. Nilai-nilai kebersamaan,

13
keikhlasan, gotong-royong, kejujuran, kerja keras harus dibangun dan

dikonstruksikan sendiri oleh masyarakat untuk menciptakan perubahan

agar lebih berdaya. Keterkaitan dengan konsep pemberdayaan maka aspek

ilmu (knowledge) yang ada di dalam masyarakat perlu dibangun dengan

kuat dan di kontruksikan di dalam masyarakat itu sendiri.

2.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat

Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan

mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang

menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,

kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih

berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan

primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau

kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau

memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sumardjo

(1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:  

1. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan

(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan).

2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri.

3. Memiliki kekuatan untuk berunding.

4. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama

yang saling menguntungkan, dan 

5. Bertanggungjawab atas tindakannya.

14
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud

dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu,

mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi,

mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan,

berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu

bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan

masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara

berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara

bertanggungjawab.

2.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat

Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab

utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah

masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan

yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan,

kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan

prinsip-prinsip pemberdayaan.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan

bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk

membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut

meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka

lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh

masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan

serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan

masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

15
Daya/kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,

psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.

Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi

oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas

permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku

masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap

nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan

yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai

keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan

kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung

masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.

Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat dapat diuraikan sebagai

berikut: Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat

menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan

masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya

dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik

pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah. Bantuan technical

assistance jelas mereka perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu

membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru

mematikan prakarsa. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak

masyarakat yaitu Right of Self - Determination dan Right for Equal Opportunity.

Hak untuk menentukan sendiri untuk memilih apa yang terbaik bagi masyarakat,

serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai

dengan potensi-potensi yang mereka miliki.

16
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan, dalam

perspektif pembangunan ini, didasari betapa penting kapasitas manusia dalam

upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi

dan non material. Terdapat seuah lembaga milik pemerintah yang memiliki

eenang dalam hal kebencanaan yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) yang berada di pusat pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) yang berada di daerah-daerah. Adapun tahapan-tahapan

pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana yang dilakukan oleh Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) antara lain :

2.4.1 Penyadaran

Penyadaran yaitu kegiatan-kegiatan yang menyadarkan masyarakat

tetnag keberadaannya, baik keberadaannya sebagai individu dan

anggota masyarakat maupun kondisi lingkungan . melalui sosialisasi

akan membantu meningkatkan pemahaman masyarakat yang telah

direncanakan. Proses sosialisasi ini sangat menentukan minat atau

ketertarikan untuk berpartisipasi.

2.4.2 Penguatan

Memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat

dalam memecahkan masalah. Pemberdayaan harus mampu

menumbuhkan kembangkan segenap kemmapuan dan kepercayaan diri

masyarakat serta menunjang kemandirian mereka.

17
2.4.3 Pendayaan

Proses pemberian daya atau kekuatan, kekuasaan, otoritas atau peluang

yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki sehingga mampu

membawa perubahan yang lebih baik.

2.6 Manfaat program pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana

Adapun manfaat dari program pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi

bencana antara lain :

2.5.1 Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak –

dampak merugikan bencana.

2.5.2 Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan,

dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana.

2.5.3 Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam

pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan local.

2.5.4 Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan

sumber daya dan teknis.

2.5.5 Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan

(pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga

sadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat).

18
BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Konsep pemberdayaan adalah sebuah proses berkelanjutan yang

mengupayakan transfer kekuasaan yang didasari oleh penguatan sosial,

kepercayaan (trust), patuh aturan (role), dan jaringan networking), disambut

partisipasi dan komunikasi aktif dengan metode bottom-up yang dilandasi sikap

saling percaya dari masyarakat untuk mengubah dan menentukan nasibnya untuk

pencapaian suatu tujuan tertentu (kesejahteraan ekonomi). Dalam konteks

pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk apa yang kita lihat,

bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah

ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan

serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan intervensi atas

masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita

pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita ketahui.

Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa

yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program

dalam memecahkan masalah sosial.

3.2 Saran

Untuk mahasiswa diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat

mengenai kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam hal kebencanaan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adedokun, O.M. C.W, Adeyamo, and E.O. Olorunsula. 2010. The Impact


of Communication on Community Development. J Communication, 1(2): 101-105.

Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan


Konflik. Penebar Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.

                Chambers, R. 1985. Rural Development : Putting The Last First. New


York.

Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work. London: Grower


Publishing Company.

                Friedman, John. 1992. Empowerment The Politics of Alternative


Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.

                Glasserfield, E. (1987). A Constructivist Approach to Teaching. In L.


Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism In Education. Hillsdale, NJ, Lawrence
Erlbaum. (pp. 3-16).

                Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community


Alternatives-vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman.

Jasper, James M. 2010. Social  Movement  Theory  Today:  Toward  a 


Theory  of  Action? Graduate Center of the City University of New York.

Jimmu, M.I. 2008. Community Development:  A Cross-Examination of


Theory and Practice Using Experiences in Rural Malawi. Africa
Development, Vol. XXXIII, No. 2, 2008, pp. 23–3.

Koentjaraningrat. 2009: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.


Djambangan. Jakarta. Longman.

Lubis, Hari & Huseini, Martani.1987. Teori Organisasi; Suatu


Pendekatan Makro. Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.

                Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari


Proses Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di
Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan.Tesis.Program Studi Magister Teknik
Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.

                Pearsons, Talcot. 1991. The Social System. Routledge is an imprint of


Taylor & Francis, an informa company.
                Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan:
Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and
International  Studies (CSIS).

20
                Rusmanto, Joni. 2013. Gerakan Sosial Sejarah Perkembangan Teori
Kekuatan dan Kelemahannya. Zifatama Publishing. Sidoarjo.

                Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community Planning:


Theory and Practice of People-Focused Social Solutions. Tel Aviv: Hakibbutz
Hameuchad Publishers.in Hebrew.

                Shucksmith, Mark. 2013. Future Direction in Rural Development.


Carnegie UK Trust. England.

                Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat,


Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Suharto  E.  2005.  Membangun  Masyarakat Memberdayakan  Rakyat. 


Kajian  Strategi  Pembangunan  Kesejahteraan  Sosial  dan  Pekerjaan  Sosial. 
Bandung: PT Refika Aditama

21
MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

“PENDIDIKAN DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA”

OLEH :

KELOMPOK 5

KELAS B12-B

10. Ni Made Dwi Cahyani 193223143


11. Ni Nyoman Sri Novirantini 193223144
12. Ni Putu Diah Kusumasari 193223145
13. Ni Putu Ema Selpiyanti 193223146
14. Ni Putu Erna Susanti 193223147
15. Ni Putu Mia Devihapsari 193223148
16. Ni Putu Nopindrawati 193223149
17. Ni Putu Prastiwi Fatma Sari 193223150
18. Ni Wayan Novia Kristina 193223151

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

TAHUN AJARAN 2020

22
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat beliaulah penulis bisa membuat dan
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pendidikan dan Kesiapsiagaan
Bencana”.

Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat untuk
meningkatkan penguasaan kompetensi mahasiswa sesuai dengan standar
kompetensi yang diharapkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah ini dimasa mendatang dan
diakhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Denpasar, 11 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………………….….……. 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………..………….


…... 2
1.3 Tujuan …………………………………………………………………….… 2
1.4 Manfaat
……………………………………………………………………... 2
1.5 Metode Penulisan ………………………………………………….…….....
2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan dan Kesiapsiagaan Bencana …….……………………...….…..... 3

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………… 14

3.2 Saran ……………………………………………………………………….. 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana alam sering terjadi di Indonesia, Kementerian Sosial membuat
kebijakan program kampung siaga bencana dan BPBD (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana) membuat kebijakan program Desa/kelurahan tangguh
bencana. Keduanya, merupakan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan
bencana berbasis komunitas. Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian kejadian
yang mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda kerusakan lingkungan, sarana
dan prasarana serta korban nyawa. Secara umum terdapat tiga factor penyebab
terjadinya bencana yakni (1) faktor alam (natural disaster), (2) factor non-alam (non-
natural disaster) yaitu bukan akibat perbuatan manusia, dan (3) faktor sosial/manusia
(man-made disaster) yang murni akibat perbuatan manusia (Nurjanah dkk., 2011: 21).
Salah satu bencana faktor alam yang kerap terjadi di Indonesia adalah gempa bumi,
karena letak Indonesia yang berada diantara lempeng Eurasia, Indo-Australia dan
Samudra Pasifik yang terdapat banyak aktivitas pergerakan lempeng bumi dan
aktivitas gunung berapi yang masih aktif atau runtuhan batuan.
Bencana gempa bumi tidak akan memilih-milih korbannya Semua akan
terkena bencana tersebut, jika korban berada pada posisi dimana bencana itu
terjadi. Kondisi seperti ini yang mendorong manusia untuk meningkatkan
kemampuan dirinya dalam menghadapi suatu bencana. Pengurangan risiko
bencana gempa bumi hendaknya diterapkan sejak dini yakni mulai dari bangku
sekolah. Hal ini dilakukan agar peserta didik sebagai bagian dari masa depan
bangsa dapat mengurangi risiko bencana yang sewaktu-waktu mengancam
mereka dan orang-orang di sekitar mereka, maka dari itu perlu dilakukan langkah
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana gempa bumi yang bertujuan
meningkatkan keselamatan baik harta maupun nyawa saat terjadi bencana gempa
bumi. Langkah kesiapsiagaan tersebut berupa peningkatan pengetahuan tentang
kesiapsiagaan bencana gempa bumi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian

1
dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep pengelolaan bencana yang
berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen
penting dari kegiatan pengurangan resiko yang bersifat pro-aktif, sebelum
terjadinya bencana (Jan Sopaheluwakan, 2006:6). Agar dampak yang di
timbulkan bencana gempa bumi bisa berkurang baik di sekolah maupun di luar
sekolah, maka perlu adanya pengetahuan kesiapsiagaan bencana gempa bumi baik
pada siswa maupun masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimanakah Pendidikan dan Kesiapsiagaan Bencana?

1.3 Tujuan

1.Untuk mengetahui Pendidikan dan Kesiapsiagaan Bencana

1.4 Manfaat
Manfaat penulisan yang penulis dapatkan dalam pembuatan makalah ini yaitu
sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat wajib mengetahui dan mampu
memahami Pendidikan dan Kesiapsiagaan Bencana.

1.5 Metode Penulisan


Dalam penyusunan makalah ini, metode yang penulis gunakan yaitu tinjauan
pustaka dan media internet. Penulis mencari sumber dari berbagai media tersebut
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan dan Kesiapsiagaan Bencana


Kesiapsiagaan adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa,
kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat di kemudian
hari. Kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi masyarakat yang
baik secara individu maupun kelompok yang memiliki kemampuan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana di kemudian hari (Gregg et al.,
2004; Perry dan Lindell, 2008; Sutton dan Tierney, 2006).
Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang digunakan untuk mengantisipasi
bencana. Faktor utama yang menjadi kunci kesiapsiagaan adalah pengetahuan.
Dengan kemampuan yang dimiliki dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian
untuk siap siaga dalam mengantisipasi bencana. Kesiapsiagaan merupakan salah
satu proses manajemen bencana, pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu
elemen penting dari kegiatan pencegahan pengurangan risiko bencana (Sinsiana,
2015)
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kesiapsigaan
merupakan salah satu faktor penting bagi masyarakat dalam menghadapi bencana.
Kesiapsiagaan adalah upaya menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu, Hal ini bertujuan agar
warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana. Contoh
tindakan kesiapsiagaan :
1. Pembuatan system peringatan dini
2. Membuat system pemantauan ancaman
3. Pembuatan rencana evakuasi
4. Membuat tempat dan sarana evakuasi
5. Penyusun rencana darurat, rencana siaga
6. Pelatihan, gladi, simulasi atau uji coba

3
7. Memasang rambu evakuasi dan peringatan dini
Pendidikan kesiapsiagaan bencana adalah salah satu pendekatan untuk
meningkatkan kesiapan tenaga kesehatan dan sektor public. Studi berikut
bertujuan untuk menggambarkan satu pendekatan meningkatkan kesiapsiagaan
bencana bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya melalui studi akademik di
dalam maupun luar negeri.
Pendidikan siaga bencana adalah sarana mendidik masyarakat siap, tanggap,
dan cekatan saat bencana datang. Pendidikan dan pelatihan kebencanaan
merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan
bencana. (Renstra BNPB 2010-2014).

A. Peran Perawat Dalam Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana


Perawat sebagai lini depan pada suatu pelayanan kesehatan mempunyai
tanggung jawab dan peran yang besar dalam penanganan pasien gawat darurat
sehari-hari maupun saat terjadi bencana. Kompetensi perawat dalam fase
kesiapsiagaan adalah pendidikan dalam keperawatan bencana, pelatihan untuk
pencegahan bencana, mengamati pelayanan ditinjau dari peralatan dan sumber
daya, serta melakukan konfirmasi dan membuat jejaring yang mendukung
keperawatan (Ohara, 2007 cit, Hidayati, 2008).
Peran perawat dalam upaya kesiapsiagaan bencana yaitu :
1. Membuat, memperbaharui dan mengimplementasikan disaster plan
2. Melakukan pengkajian risiko pada komunitas seperti membuat peta bahaya
dan analisis kerentanan
3. Melakukan tindakan pencegahan bencana seperti menumbuhkan
kewaspadaan bencana
B. Pelatihan Yang Diperlukan Berkaitan Dengan Penanggulangan Bencana
1. Pelatihan mengenai manajemen resiko bencana, diharapkan petugas
memiliki wawasan mengenai manajemen bencana termasuk perundang-
undangannya sehingga mampu mengembangkannya dilingkungan masing-
masing, mampu menyusun dan menilai suatu analisa resiko bencana.

4
2. Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya, misalnya
bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana industri, atau
bencana sosial.
3. Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya.
4. Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.
5. Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi
mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan
rekonstruksi.
6. Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.
7. Pelatihan manajemen logistik bencana.
8. Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan pengungsi.
C. Prinsip-Prinsip Dalam Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana
1. Cepat dan tepat.
Dalam penanggulangan harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntunan keadaan.
2. Prioritas.
Apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan manusia.
3. Koordinasikan dan keterpaduan
Penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan
saling mendukung. Sedangkan keterpaduan adalah penanggulangan
bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan
pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. Berdaya guna dan berhasil guna.
Yang dimaksud dengan berdaya guna adalah dalam mengatasi kesulitan
masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya
yang berlebihan. Sedangkan berhasil guna adalah kegiatan
penanggulangan bencana harus berhasil guna dalam mengatasi kesulitan
masyarakat.
5. Transparansi dan akuntabilitas.

5
Yang dimaksud dengan transparansi pada penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan
akuntabilitas berarti dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan
hukum.
6. Kemandiriaan.
Bahwa penanggulangan bencana utamanya harus dilakukan oleh
masyarakat didaerah rawan bencana secara swadaya.
7. Nondiskriminasi.
Bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras dan
aliran politik apapun.
8. Nonproletisi.
Dalam penanggulangan bencana dilarang menyebarkan agama atau
kenyakinan terutama pada saat pemberian bantuan dan pelayanan
darurat bencana.
D. Metode dalam Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana
1. Metode role playing/ bermain peran
Metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan
untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadiankejadian
yang mungkin muncul pada masa mendatang yang pada dasarnya
mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah
sosial.
2. Metode Mendongeng dengan Media Pop up BOOK
Suatu media komunikasi yang ampuh dalam mentransfer ide dan
gagasan kepada anak dalam sebuah kemasan yang menarik. Selain itu,
dapat pula membuat anak lebih peka dan dapat mengasah daya ingat
siswaPenyampaian materi melalui dongeng dan pop up book, membuat
siswa lebih tertarik untuk memberikan feedback positif berupa,
memperhatikan, teratur, dan aktif berinteraksi dengan guru dan siswa
dalam membahasan materi.

6
3. Metode play therapy atau terapi permainan
Penggunaan media permainan (alat dan cara bermain) dalam
pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus yang bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan atau
penyimpangan-penyimpangan. Seperti gangguan dan penyimpanga pada
fisik, mental, sosial, sensorik, dan komunikasi .
Adapun permainannya seperti:
a) Media permainan pusijump berupa langkah-langkah mitigasi
bencana gempa bumi dan tsunami.
b) Permainan puzzle berisi langkah mitigasi sebelum terjadi bencana
gempa bumi dan tsunami, permainan musik berisi langkah mitigasi
saat terjadi bencana gempa dan tsunami.
c) Permainan magic jump berisi langkah mitigasi setelah terjadi
bencana gempa bumi dan tsunami.
E. Jenis-Jenis Latihan Kesiapsiagaan
Latihan kesiapsiagaan diartikan sebagai bentuk latihan koordinasi,
komunikasi dan evakuasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan
(pemerintah dan masyarakat umum). Seluruh pihak yang terlibat
mensimulasikan situasi bencana sesungguhnya menggunakan skenario bencana
yang dibuat mendekati atau sesuai kondisi nyata. Dengan mengacu pada
definisi tersebut diatas, maka pedoman ini disusun untuk penyelenggaraan
latihan yang melibatkan multipihak serta digunakan untuk membangun dan
menyempurnakan system kesiapsiagaan sekaligus meningkatkan keterampilan
dalam koordinasi serta pelaksanaan operasi penanggulangan bencana. Latihan
merupakan elemen yang sangat berperan penting dalam meningkatkan upaya
kesiapsiagaan secara sistematis. Ada tiga tahapan latihan, yakni tahap pelatihan,
tahap simulasi, dan tahap uji sistem. Ketiganya memilik alur, yakni:
1. Pengertian bertahap dalam latihan kesiapsiagaan dilaksanakan mulai dari
tahap awal analisis kebutuhan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan,
serta monitoring dan evaluasi.

7
2. Berjenjang, berarti bahwa latihan dilakukan mulai dari tingkat
kompleksitas paling dasar, yakni sosialisasi, hingga kompleksitas paling
tinggi, yakni latihan terpadu/gladi lapang. Semua jenis latihan
kesiapsiagaan dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pemangku
kepentingan, mulai dari peningkatkan pengetahuan, hingga sikap dan
keterampilan dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawab saat situasi
darurat.
3. Berkelanjutan, dalam arti latihan kesiapsiagaan dilakukan secara terus
menerus dan rutin. Pada tahap latihan kesiapsiagaan, salah satu jenis
latihan adalah evakuasi mandiri. Evakuasi mandiri adalah kemampuan
dan tindakan individu/masyarakat secara mandiri, cepat, tepat, dan terarah
berdasarkan langkah-langkah kerja dalam melakukan penyelamatan diri
dari bencana. Latihan evakuasi mandiri adalah latihan untuk dilaksanakan
oleh organisasi atau perusahaan, hotel, sekolah, desa, dan sebagainya
dalam rangka merespon sistem peringatan dini bencana. Latihan
kesiapsiagaan biasanya dilakukan pada tingkat komunitas, seperti
organisasi perusahaan, hotel, sekolah, desa, dan lain sebagainya.
F. Manajemen Kesiapsiagaan Bencana
Secara umum, kegiatan latihan kesiapsiagaan dibagi menjadi 5 (lima)
tahapan utama, yakni tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta
monitoring dan evaluasi. Dalam bab ini, dijelaskan merencanakan (i) latihan
Aktivasi Sirine Peringatan Dini, (ii) Latihan Evakuasi Mandiri di
Sekolah/Madrasah, Rumah Sakit Siaga Bencana, Gedung, pemukiman, (iii) Uji
Terap Tempat Pengungsian Sementara/ Akhir (Shelter) se Indonesia,
1. Tahap Perencanaan
Membentuk Tim Perencana:
a. Bentuk organisasi latihan kesiapsiagaan agar pelaksaaan evakuasi
berjalan dengan baik dan teratur.

8
b. Tim Perencana terdiri dari pengarah, penanggung jawab, bidang
perencanaan yang ketika pelaksanaan tim perencana berperan sebagai
tim pengendali. Fungsi masing-masing, yakni:
1) Pengarah, bertanggung jawab memberi masukan yang bersifat
kebijakan untuk penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan, dan dapat
memberikan masukan yang bersifat teknis dan operasional,
mengadakan koordinasi, serta menunjuk penanggung jawab
organisasi latihan kesiapsiagaan.
2) Penanggung Jawab, membantu pengarah dengan memberikan
masukan-masukan yang bersifat kebijakan, teknis, dan operasional
dalam penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan.
3) Bidang Perencanaan/Pengendali, merencanakan latihan
kesiapsiagaan secara menyeluruh, sekaligus menjadi pengendali
ketika latihan dilaksanakan.
4) Bidang Opersional Latihan menjalankan perannya saat latihan.
Yang terdiri dari Peringatan Dini, Pertolongan Pertama, Evakuasi
dan Penyelamatan, Logistik serta Keamanan turut diuji dalam setiap
latihan.
5) Bidang Evaluasi, mengevaluasi latihan kesiapsiagaan yang
digunakan untuk perbaikan latihan ke depannya.
c. Jumlah anggota tergantung tingkat kompleksitas latihan yang dirancang.
d. Anggota organisasi bertanggung jawab pada perencanaan,
pelaksanaan, hingga akhir latihan.
e. Tugas dari tim perencana ini meliputi :
1) Menentukan risiko/ancaman yang akan disimulasikan.
2) Menentukan skenario bencana yang akan disimulasikan.
3) Merumuskan strategi pelaksanaan latihan kesiapsiagaan.
4) Menyiapkan kerangka kegiatan simulasi kesiapsiagaan (tipe
simulasi, maksud, tujuan dan ruang lingkup latihan).

9
5) Mengintegrasikan kegiatan simulasi kesiapsiagaan menjadi kegiatan
rutin dalam jangka panjang.
6) Menetapkan jadwal kegiatan latihan kesiapsiagaan.
7) Mendukung persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi latihan.
8) Menyiapkan Rencana Tindak Lanjut setelah pelaksanaan kegiatan
latihan kesiapsiagaan.
2. Menyusun Rencana Latihan Kesiapsiagaan
Menyusun rencana latihan kesiapsiagaan (aktivasi sirine dan evakuasi
mandiri) yang melibatkan populasi di lingkungan tempat tinggal, kantor,
sekolah, area publik, dan lain-lain. Rencana latihan tersebut berisi:
a. Tujuan, sasaran, dan waktu pelaksanaan latihan kesiapsiagaan.
b. Jenis ancaman yang dipilih atau disepakati untuk latihan kesiapsiagaan.
Sebaiknya, latihan disesuaikan dengan ancaman di wilayah masing-
masing.
c. Membuat skenario latihan kesiapsiagaan. Skenario adalah acuan jalan
cerita kejadian yang dipakai untuk keperluan latihan. Skenario dibuat
berdasarkan kejadian yang paling mungkin terjadi di desa. Skenario
perlu dipahami oleh pelaksana dan peserta yang terlibat dalam latihan
(contoh terlampir).
d. Menyiapkan atau mengkaji ulang SOP/Protap yang sudah ada yaitu
memastikan kembali. Memastikan beberapa area/tempat alternatif yang
akan dijadikan sebagai pusat evakuasi, tempat pengungsian maupun
tempat perlindungan sementara. Tempat tersebut bisa memanfaatkan
bangunan, seperti kantor, sekolah, tempat ibadah, gedung, dan area
terbuka lainnya berdasarkan keamanan, aksesibilitas, juga lingkungan
lokasi.
e. Menentukan tempat pengungsian yang dipilih setelah
mempertimbangkan kapasitas ketersediaan logistik (seperti makanan
atau minuman, pakaian, obat-obatan dan peralatan medis, keperluan

10
tidur, peralatan kebersihan, bahan bakar, dan lain-lain), serta
ketersediaan fasilitas umum.
f. Menetapkan dan menyiapkan jalur evakuasi, dengan memperhatikan
beberapa hal penting sebagai berikut:
1) Jalur evakuasi yang merupakan rute tercepat dan teraman bagi
pengungsi menunju tempat pengungsian.
2) Rute alternatif selain rute utama.
3) Kesesuaian waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat
pengungsian.
4) Kelengkapan sumber daya termasuk ketersediaan kendaraan
yang dapat digunakan dalam proses evakuasi. Penting juga
mempertimbangkan posisi kendaraan dan jumlah minimum
muatan jika dibutuhkan.
5) Peta evakuasi berdasarkan hasil survei dan desain yang
menginformasikan jalur evakuasi, tempat pengungsian dan
waktu untuk mencapainya, jalur alternatif, lokasi-lokasi aman
bencana, serta posisi posko siaga tim evakuasi.
g. Orientasi sebelum Latihan
1) Sosialisasi untuk mendapat pembelajaran terbaik, seluruh peserta
latih dan pelaksana yang terlibat perlu memahami tujuan dari
latihan. Tidak dianjurkan membuat latihan tanpa kesiapan yang
baik dari peserta latih maupun pelaksana.
2) Perkenalkan kembali pemahaman risiko bencana di lingkungan,
sebelum dan sesudah latihan dilakukan
3) Sampaikan tujuan latihan, waktu pelaksanaan dan hal-hal yang
perlu dipersiapkan
4) Himbau pentingnya keterlibatan aktif dan keseriusan semua
pihak dalam mengikuti latihan

11
5) Sampaikan tanda bunyi yang akan digunakan dalam latihan
tanda latihan dimulai, tanda evakuasi, tanda latihan berakhir).
Pastikan seluruh peserta latih memahami tanda ini.
h. Dalam melaksanakan latihan, yang akan melakukan simulasi juga dapat
mengundang pengamat atau observer untuk membantu memberikan
masukan dan umpan balik proses latihan, untuk perbaikan kedepan
i. Perencanaan Dokumentasi
Bagian penting lainnya dari kegiatan latihan kesiapsiagaan adalah
dokumentasi.Oleh karena itu,diperlukan berbagai macam dokumentasi
sebagai salah satu alat untuk pelaporan maupun monitoring dan
evaluasi. Kegiatan pendokumentasian ini dilakukan pada keseluruhan
tahap kegiatan penyelenggaraan, mulai dari perencanaan, persiapan dan
pelaksanaan hingga selesainya pelaksanaan simulasi bencana.
Dokumentasi kegiatan tidak hanya berupa foto dan video saja, tetapi
juga mencakup laporan, dokumen-dokumen output termasuk peta- peta,
surat edaran, manual latihan/SOP, dokumen skenario dan SOP simulasi,
formulir evaluasi (atau panduannya jika ada), kumpulan catatan
masukan, rencana perbaikan dan tindak lanjut, ringkasan laporan dan
rekomendasi.
3. Tahap Persiapan
Persiapan dilakukan beberapa hari sebelum pelaksanaan kegiatan latihan
kesiapsiagaan. Dalam persiapan ini yang terutama dilakukan adalah:
a. Briefing-briefing untuk mematangkan perencanaan latihan. Pihak-pihak
yang perlu melakukan briefing antara lain tim perencana, peserta
simulasi, dan tim evaluator/observer. Informasi penting yang harus
disampaikan selama kegiatan ini, yakni:
1) Waktu: alur waktu dan durasi waktu simulasi yang ditentukan
sesuai PROTAP/ SOP simulasi.

12
2) Batasan Simulasi: batasan-batasan yang ditentukan selama
simulasi, berupa apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
selama simulasi.
3) Lokasi: tempat di mana simulasi akan dilakukan.
4) Keamanan: hal-hal yang harus dilakukan untuk keamanan
simulasi dan prosedur darurat selama simulasi.
b. Memberikan poster, leaflet, atau surat edaran kepada siapa saja yang
terlibat latihan kesiapsiagaan.
c. Menyiapkan gedung dan beberapa peralatan pendukung, khususnya
yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat. Misalnya, gedung dan
fasilitas medis, persediaan barang-barang untuk kondisi darurat, dan
lain-lain.
d. Memasang peta lokasi dan jalur evakuasi di tempat umum yang mudah
dilihat semua orang.
4. Tahap Pelaksanaan
Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan saat latihan kesiapsiagaan
berlangsung:
a. Tanda Peringatan
Tentukan tiga tanda peringatan berikut:
1) Tanda latihan dimulai (tanda gempa)
2) Tanda Evakuasi
3) Tanda Latihan Berakhir
Tanda bunyi yang menandakan dimulainya latihan, tanda evakuasi, dan
tanda latihan berakhir. Tanda mulainya latihan dapat menggunakan
tiupan peluit, atau tanda bunyi lainnya. Tanda ini harus berbeda dengan
tanda peringatan dini untuk evakuasi seperti pukulan
lonceng/sirine/megaphone/bel panjang menerus dan cepat, atau yang
telah disepakati. Tanda latihan berakhir dapat kembali menggunakan
peluit panjang.
b. Reaksi Terhadap Peringatan

13
Latihan ini ditujukan untuk menguji reaksi peserta latih dan prosedur
yang ditetapkan. Pastikan semua peserta latih, memahami bagaimana
harus bereaksi terhadap tanda-tanda peringatan di atas. Seluruh
komponen latihan, harus bahu membahu menjalankan tugasnya dengan
baik.
c. Dokumentasi
Rekamlah proses latihan dengan kamera foto. Jika memungkinkan,
rekam juga dengan video. Seluruh peserta latih, pelaksanan maupun
yang bertugas, dapat bersama-sama melihat hal-hal yang baik atau
masih perlu diperbaiki, secara lebih baik dengan rekaman dokumentasi
5. Tahap Evaluasi dan Rencana Perbaikan
Evaluasi adalah salah satu komponen yang paling penting dalam latihan.
Tanpa evaluasi, tujuan dari latihan tidak dapat diketahui, apakah tercapai
atau tidak.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesiapsiagaan adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya
korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat di
kemudian hari. Perawat sebagai lini depan pada suatu pelayanan kesehatan
mempunyai tanggung jawab dan peran yang besar dalam penanganan pasien
gawat darurat sehari-hari maupun saat terjadi bencana. Latihan kesiapsiagaan
diartikan sebagai bentuk latihan koordinasi, komunikasi dan evakuasi dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan (pemerintah dan masyarakat umum).
Secara umum, kegiatan latihan kesiapsiagaan dibagi menjadi 5 (lima) tahapan
utama, yakni tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta monitoring dan
evaluasi.

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan ada kritik dan saran yang dapat
membangun sehingga kami dapat menyempurnakan makalah kami.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aminudin (2013) Mitigasi dan Kesiapsiagaan Bencana Alam. Bandung: Angkasa


Anonim. 2011. Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi.
Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Eni Supartini, Novi, Kumalasari, 2017. Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan
Bencana. BNPB. Jakarta
Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Rencana Strategis BNPB
2010-2014. Jakarta : BNPB
Sinsiana. 2015. Kesiapsiagaan Bencana. Naskah Publikasi UNISA.
http://digilib.unisayogya.ac.id/18/1/NASKAHPUBLIKASI.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai