Anda di halaman 1dari 6

Iya, terima kasih atas kesempatannya. Disini saya akan menjelaskan mengenai koreksi fiskal.

Berbicara mengenai koreksi fiskal.... wajib pajak Badan atau perusahaan diwajibkan untuk
membayar kewajiban pajaknya ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan diharuskan
menyampaikan laporan keuangan tepat waktu sesuai Peraturan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) dan peraturan perpajakan yang disebut laporan fiskal.

Sedangkan tujuan koreksi fiskal adalah melakukan penyesuaian antara penghasilan Wajib Pajak
dan pajak yang harus dikeluarkannya supaya tidak terjadi kesalahan penghitungan. Akan tetapi,
jika ada data yang tidak sesuai, maka Wajin Pajak Badan harus melakukan koreksi fiskal dalam
laporannya. Nah, inilah yang dinamakan dengan koreksi fiskal.

(Baca slide koreksi fiskal sampai selesai)

Sebab dalam bisnis jika ada nominal angka yang salah bisa jadi akan merugikan perusahaan.
Untuk itu, ketelitian dalam melakukan rekonsiliasi fiskal ini dibutuhkan penyesuain data,
transaksi hingga penghasilan yang benar.

Penyusunan laporan keuangan suatu perusahaan tentu harus disesuaikan dengan peraturan fiskal
yang berlaku, apalagi ketika laporan keuangan tersebut dijadikan dasar untuk membuat SPT PPh
yang akan dilaporkan ke kantor pajak.

Laporan keuangan umumnya dibuat berdasarkan standar akuntansi keuangan yang belum tentu
sama dan sesuai dengan peraturan/ketentuan perpajakan. Oleh karena itu, dibutuhkan koreksi
fiskal atau yang biasa disebut dengan rekonsiliasi fiskal.

Rekonsiliasi fiskal dapat didefinisikan sebagai salah satu cara untuk mencocokkan perbedaan
yang terdapat dalam laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan sistem keuangan
akuntansi dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem fiskal.

Dokumen ini berbentuk lampiran SPT tahunan PPh badan berupa kertas kerja yang berisi
penyesuaian antara laba rugi komersial sebelum pajak dengan laba rugi berdasarkan ketentuan
perpajakan. Rekonsiliasi ini juga dilakukan kepada seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi
yang meliputi pengeluaran (beban) dan pendapatan.

Dengan memahami tujuan yang menjadi bagian penting dalam melakukan koreksi untuk fiskal
tersebut, maka perusahaan sama dengan memberikan kemudahan kepada petugas DJP
melakukan perhitungan pajak yang sesuai. Seperti yang telah dikatakan diawal tadi bahwa
koreksi fiskal adalah suatu kegiatan mengoreksi dan membaca kembali perbaikan dari draft
pajak. Sebab, beban pajak sebelum disetorkan itu akan terlebih dahulu dilakukan rekonsiliasi
fiskal. Dengan begitu, diharapkan nantinya tidak terjadi kesalahan dalam melakukan perhitungan
pajak.

Lanjut slide
Untuk lebih rincinya lagi, berikut ini saya akan menjelaskan apa saja sih yang menjadi tujuan
dari melakukan rekonsiliasi fiskal.

1. Pengecekan draft pajak


Koreksi fiskal ini penting dilakukan setelah laporan keuangan dibuat oleh perusahaan.
Atau dalam kata lain Pengecekan ulang draft tersebut ini dilakukan sebelum nantinya
akan diangsurkan ke DJP. Mengecek draft ini didasarkan pada data-data yang ada dengan
memperhatikan transaksi dan penyesuaian antara penghasilan oleh wajib pajak itu
sendiri.

2. Alat untuk memenuhi draft laporan


DJP Kementerian Keuangan RI telah mengeluarkan aturan dan regulasi untuk Wajib
Pajak. Dimana Supaya draft laporan bisa terpenuhi dengan baik, maka suatu perusahaan
harus melakukan rekonsiliasi fiskal sehingga bisa melihat ada atau tidaknya kekeliruan
pada laporan yang sudah dibuat. Sebab jika terjadi kesalahan, itu bisa menyebabkan
kesalahan hitung untuk nominal pajak itu sendiri.

3. Meminimalisir salah hitung pajak


Nah, inilah Pentingnya koreksi pada fiskal karna bertujuan untuk menghindari adanya
kesalahan dalam perhitungan pajak. Sebab dalam bisnis jika ada nominal angka yang
salah bisa jadi akan merugikan perusahaan. Untuk itu, ketelitian dalam melakukan
rekonsiliasi fiskal ini dibutuhkan penyesuain data, transaksi hingga penghasilan yang
benar.

Dengan memahami ketiga tujuan tersebut yang menjadi bagian penting dalam melakukan
koreksi untuk fiskal tersebut, maka perusahaan sama dengan memberikan kemudahan
juga kepada petugas DJP untuk melakukan perhitungan pajak yang sesuai karena wajib
pajak telah melakukan rekonsiliasi fiskal terlebih dahulu

Lanjut slide

Dalam sebuah rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Berikut
ini yang akan saya jelaskan pertama yaitu koreksi fiskal postif …..

(Baca slide penjelasan koreksi fiskal positif)

1. Biaya untuk keperluan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada
hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh wajib pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
2. Pada dasarnya, dana cadangan ini bukanlah biaya karena belum terealisasi. Namun,
menyesuaikan dengan kelaziman usaha di bidang keuangan yang memperbolehkan
adanya pembentukan dana cadangan, UU PPh juga mengatur pengecualian tersebut. Nah,
adapun Dana cadangan piutang tak tertagih yang diperbolehkan menjadi pengurang
penghasilan bruto menurut Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh adalah:
 cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
 cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
 cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
 cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
 cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
 cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri.

Ketentuan lebih teknis terkait hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh
Dikurangkan Sebagai Biaya, yang telah direvisi dengan PMK No. 219/PMK.011/2012.

3. Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan ketentuan
tersebut, penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dianggap bukan
merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Imbalan pekerjaan dalam bentuk natura di antaranya seperti upah bagi karyawan yang
dibayar dengan barang-barang sembako. Pemberian sembako ini bukan objek pajak
penghasilan bagi pegawai, dan bukan biaya bagi pemberi kerja.

walaupun demikian, terdapat tiga jenis pemberian natura yang boleh dibiayakan oleh
perusahaan namun tetap bukan objek pajak bagi pegawai yang menerimanya. Hal ini
diatur dalam PMK No. 167/PMK.03/2018. Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja tersebut adalah:
 pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;
 penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut;
 Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya.

4. Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang


diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai
dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi
kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan,
memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50 juta.
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya
dibayar sebesar Rp20 juta, maka jumlah sebesar Rp30 juta tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah
sebesar Rp30 juta dimaksud dianggap sebagai dividen.

5. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali
zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan/atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

6. Yang dimaksud dengan biaya PPh dalam Pasal 9 ayat (1) huruf h ini adalah PPh yang
terutang oleh wajib pajak yang bersangkutan. PPh merupakan hasil perkalian penghasilan
neto dengan tarif pajak, sehingga PPh merupakan proses terakhir dalam menghitung
besarnya PPh terutang. Untuk itu, biaya ini tidak dapat dikurangkan sebagai biaya fiskal.

7. Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.

8. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa sanksi yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan tidak boleh dibebankan. Dalam hal ini,
berlaku semua UU di bidang perpajakan, di antaranya meliputi PPh, pajak pertambahan
nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), bea materai, pajak bumi dan
bangunan (PBB), pajak daerah, dan lainnya.

Semua sanksi yang terkait dengan perpajakan tersebut tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Menurut UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), bentuk sanksi administrasi
perpajakan diterbitkan melalui surat tagihan pajak (STP). Dengan demikian, pembayaran
STP tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak boleh dibiayakan secara
fiskal.

9. Baca poinnya saja

10. DALAM menghitung atau menentukan penghasilan kena pajak, Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) beserta penjelasannya mengatur bahwa besarnya
penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT),
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan.

Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus


mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.

Ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh beserta penjelasannya tersebut diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah No. 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah No.45/2019.

11.. Terdapat biaya-biaya lain yang menimbulkan koreksi fiskal positif selain yang diatur dalam
PPh. Biasanya biaya-biaya ini diatur lebih terperinci dalam peraturan yang spesifik. Beberapa
jenis biaya yang seringkali muncul dalam proses rekonsiliasi fiskal adalah sebagai berikut:

 Biaya terkait penggunaan sedan dan telepon seluler termasuk pulsa dikoreksi sebesar
50%. Dasar hukumnya adalah KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakukan Pajak Penghasilan
atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan.

 Biaya entertainment yang tidak mencantumkan daftar nominatif akan dikoreksi positif


seluruhnya. Dasar hukumnya adalah SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya Entertainment dan
Sejenisnya.

 Kerugian piutang tidak tertagih yang tidak sesuai dengan PMK No.


207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 105/PMK.03/2009 tentang
Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto.

Intinya, tujuan dari koreksi positif adalah menambah laba komersial atau laba Penghasilan Kena
Pajak (PhKP).

Dengan begitu, koreksi positif akan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau
mengeluarkan biaya-biaya yang sekiranya harus diakui secara fiskal.

Lanjut slide
(Baca slide koreksi fiskal negatif samapi pph final)

Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final contohnya :

 Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi. 
 Penghasilan dari hadiah atau undian.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan. 
 Penghasilan dari WP Tertentu yang termasuk dalam kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013
(mulai 1 Juli 2018 telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018).

(Baca lanjutannya sampai selesai)

Anda mungkin juga menyukai