Anda di halaman 1dari 81

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Hambatan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Hemoragik

2.1.1. Pengertian mobilisasi

Mobilitas merupakan kemampuan seseorang untuk bebas,

mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehat. Kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan

ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan

(Ambarwati, 2014). Menurut Hidayat, (2010) Mobilisasi atau

mobilitas merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara

bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.

2.1.2. Jenis mobilisasi

Menurut Hidayat (2009), ada 2 jenis Mobilitas yaitu:

2.1.2.1. Mobilitas penuh

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan

interaksi social dan menjalankan peran sehari – hari.

Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motoric

volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh

area tubuh seseorang.

2.1.2.2. Mobilitas sebagian


Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan Batasan jelas dan tidak mampu bergerak bebas

karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan

sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada

kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi.

Pasien para plegi dapat mengalami mobilitas sebagian

pada ekstremitas bawah karena kehilangan control motorik

dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua

jenis yaitu:

a. Mobilitas sebagian temporer

Merupakan kemampuan individu untuk bergerak

dengan Batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut

dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem

muskuloskletal, contohnya adalah adanya sendi dan

tulang.

b. Mobilitas sebagian permanen

Merupakan kemampuan individu untuk bergerak

dengan Batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut

disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversible,

contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke,

paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis

karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik.

2.1.3. Tujuan mobilisasi


Menurut Ambarwati, 2014 mobilisasi diperlukan untuk

meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan,

memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degenerative,

dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh).

2.1.4. Factor yang mempengaruhi mobilitas

Menurut hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, diantaranya:

2.1.4.1. Gaya hidup

Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi

kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup

berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari. Hal

ini terjadi karena adanya perubahan gaya hidup terutama

orang perkotaan modern, seperti mengkonsumsi makanan

siap saji (fast food) yang mengandung kadar lemak tinggi,

kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja

berlebihan, kurang berolahraga dan stress (junaidi, 2011).

2.1.4.2. Proses penyakit/ cedera

Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan

mobilitas karena dapat mempengaruhi fungsi sistem

tubuh.

2.1.4.3. Kebudayaan

Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga

dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang


memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki

kemampuan mobilitas yang kuat, sebaiknya ada orang

yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat

dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas

2.1.4.4. Tingkat energi

Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas.

Agar seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik,

dibutuhkan energi yang cukup

2.1.4.5. Usia dan status perkembangan

Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada

tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarnakan kemampuan

atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan

perkembangan usia. Sedangkan menurut vaunghans, 2011,

faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas yaitu:

1) Tahap pertumbuhan

2) Jenis pekerjaan

3) Lingkungan rumah

4) Status kesehatan secara keseluruhan (gizi, olahraga,

status mental)

5) Intervensi trapeutik

6) Luka traumatis

7) Penyakit/ cacat (muskuloskletal, neurologis,

kardiovaskuler, pernapasan)
2.1.5. Pengertian gangguan mobilitas fisik

Hambatan mobilitas fisik adalah keadaan dimana seseorang

tidak dapat bergerak secara bebas karna kondisi yang menggangu

pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang

belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan

faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas (Heriana,

2014).

Menurut Nanda, 2011 hambatan mobilitas fisik merupakan

keterbatasan pada pergerakkan fisik tubuh ekstremitas secara

mandiri dan terarah.

2.1.6. Penyebab hambatan mobilitas fisik

Keletihan atau kelemahan menjadi penyebab paling umum

yang sering terjadi dan menjadi keluhan bagi lanjut usia. Sekitar

43% lanjut usia telah diidentifikasi memiliki gaya hidup yang

kurang gerak turut berperan Intoleransi aktivitas fisik dan penyakit,

sekitar 50% penurunan fungsional pada lanjut usia dikaitkan

dengan kejadian penyakit sehingga mengakibatkan mereka menjadi

ketergantungan kepada orang lain (Stanley, 2007). Berdasarkan

nursing outcome classification and nursing intervension

classification (NOC & NIC) 2015 adalah pasien mengalami

kesulitan dalam membolak-balik posisi, keterbatasan dalam


kemampuan melakukan keterampilan motorik dan keterbatasan

rentang pergerakan sendi.

2.1.7. Factor-faktor berpengaruh pada mobilitas fisik

Berbagai penyebab dari mobilitas fisik dapat dihubungkan dengan

lingkungan internal dan eksternal (Stanley, 2007)

2.1.7.1. Faktor internal

Faktor internal yang dapat menyebabkan mobilitas fisik

atau gangguan aktivitas adalah:

a. Penurunan fungsi musculoskeletal: otot (adanya atrofi,

distrofi, atau cedera), tulang (adanya artritis dan tumor)

b. Perubahan fungsi neurologis: misalnya adanya infeksi

atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-obatan, penyakit

vaskuler seperti stroke, penyakit demielinasi seperti

sclerosis multiple, penyakit degeneratif, gangguan

metabolik atau gangguan nutrisi

c. Nyeri: dengan penyebab yang multiple dan bervariasi

seperti kronis dan trauma

d. Defisit perseptual: berkurangnya kemampuan kognitif

e. Jatuh

f. Perubahan fungsi social

g. Aspek psikologis
2.1.7.2.Faktor eksternal

Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada

lansia. Faktor tersebut adalah:

a. Program terapeutik: program penanganan medis

memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas

pergerakan pasien. Misalnya pada program pembatasa

yang meliputi faktor-faktor mekanis dan farmakologis,

tirah baring, dan restrain.

b. Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan

tubuh atau bagian tubuh dengan penggunaan peralatan

eksternal (misalnya gips dan traksi) atau alat-alat

(misalnya yang dihubungkan dengan pemberian cairan

intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan

pemberian oksigen).

c. Agens farmakologi seperti sedatif, analgesic,

transquilizer, dan anastesi yang digunakan untuk

mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi

pergerakan atau menghilangkannya secara keseluruhan

d. Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat

dari penanganan penyakit cedera. Sebagai intervensi

yang dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan

metabolik, kebutuhan oksigen, dan beban kerja jantung.

Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada


sistem muskuloskletal untuk relaksasi menghilangkan

nyeri, mencegah isritasi yang berlebihan dari jaringan

cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah baring

ini dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor

fisiologis atau psikologis.

e. Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya

digunakan pada lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-

alat ini berperan secara langsung terhadap imobilitas

dengan membatasi pergerakan ditempat tidur dan tidak

secara langsung terhadap peningkatan resiko cedera

ketika seseorang berusaha untuk memproleh kebebasan

dan mobilitasnya.

f. Karakteristik tempat tinggal: tingkat mobilitas dan pola

perilaku dari kelompok teman sebaya klien dapat

mempergaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam

suatu studi tentang status mobilitas pada penghuni panti

jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk

menggunakan kursi roda karena anggapan para staf

untuk penghuni yang pasif.

g. Karakteristik staf: karakteristik dari staf keperawatan

yang mempergaruhi pola mobilitas adalah pengetahuan,

komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman

tentang konsekuensi fisiologis dari imobilitas dan


tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan

pengaruh imobilitas penting untuk

mengimplementasikan perawatan untuk

memaksimalkan mobilitas. Jumlah anggota staf yang

adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong lansia

mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk

mencegah komplikasi imobilitas.

h. Sistem pemberian asuhan keperawatan: jenis sistem

pemberian asuhan keperawatan yang digunakan dalam

institusi dapat mempergaruhi status mobilitas

penghuninya. Alokasi praktik fungsional atau tugas

telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan

dan komplikasi dari imobilitas.

i. Hambatan-hambatan: Hambatan fisik dan arsitektur

dapat menganggu mobilitas. Hambatan fisik termaksud

kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas,

pengetahuan dalam menggunakan alat bantu mobilitas

tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya

sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan arsitektur

rumah sakit atau panti jompo tidak memfasilitasi atau

memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.

j. Kebijakan-kebijakan institusional: faktor lingkungan

lain yang penting lansia adalah kebijakan-kebijakan dan


prosedur-prosedur institusi. Praktik pengaturan yang

formal dan informal ini mengendalikan keseimbangan

antara institusional dan kebebasan individu. Semakin

ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas

(Menurut NANDA, 2015) kriteria hasil yang

diharapkan setelah melakukan tindakan keperawatan

untuk diagnosa mobilitas fisik berhubungan dengan

penurunan kekuatan otot adalah klien meningkatkan

dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan

mobilisasi, memverbalisasikan perasaan dalam

meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah,

memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi

(walker).

2.1.8. Jenis mobilitas

Menurut Hidayat (2009), ada beberapa jenis imobilitas diantaranya

yaitu:

2.1.8.1.Imobilitas fisik

Pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan

mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,

seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu

mempertahankan tekanan didaerah paralisis sehingga tidak

dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi

tekanan.
2.1.8.2.Imobilitas intelektual

Keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan

daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan

otak akibat suatu penyakit.

2.1.8.3.Imobilitas emosional

Keadaan seseorang mengalami pembatasan secara

emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam

menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stress berat

dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang

mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau

kehilangan sesuatu yang paling dicintai

2.1.8.4.Imobilitas social

Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam

melakukan interaksi social karena adanya penyakit sehingga

dapat mempergaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

2.1.9. Perubahan system tubuh akibat mobilisasi

Dampak dari imobilisasi dalam tubuh dapat memengaruhi

sistem tubuh, seperti perubahan pada metebolisme, ketidak

seimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan

nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem

pernapasan, perubahan kardiovaskuler, perubahan sistem


muskuloskletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (bak dan

bab), perubahan perilaku (Hidayat, 2009)

2.1.9.1. Perubahan metabolisme

Secara umum imobilitas dapat menganggu

metabolisme secara normal, mengingat imobilitas dapat

menyebabkan turunnya kecepatan metabolism dalam tubuh.

Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal

metabolisme rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya

energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat

memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Keadaan ini dapat

beresiko meningkatkan gangguan metabolism. Proses

imobilisasi dapat juga menyebabkan peburunan eksresi

urine dan peningkatan nitrogen

2.1.9.2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

sebagai dampak dari imobilisasi akan mengakibatkan

persendian protein menurun dan konsentrasi protein serum

berkurang sehingga dapat menganggu kebutuhan cairan

tubuh. Disamping itu, berkurangnya perpindahan cairan

dari intravaskuler ke interstisial dapat menyebabkan edema

sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang

akibat menurunnya aktivitas otot, sedangkan meningkatnya


demineralisasi tulang dapat mengakibatkan reabsorbsi

kalium.

2.1.9.3. Gangguan perubahan zat gizi

Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh

menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat

mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat

sel menurun, dimana sel tidak lagi menerima glukosa, asam

amino, lemak, dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk

melaksanakan aktivitas metabolism.

2.1.9.4. Gangguan fungsi gastrointestinal

Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi

gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena imobilitas dapat

menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga

penurunan jumlah masukan yang cukup dapat

menyebabkan gangguan proses eliminasi.

2.1.9.5. Perubahan sistem pernafasan

Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem

pernapasan. Akibat imobilitas, kadar haemoglobin

menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot

yang dapat menyebabkan proses metabolism terganggu.

Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat

menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke

jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan


ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat

oleh permukaan paru.

2.1.9.6. Perubahan kardiovaskular

Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas

antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya

kerja jantung, dan terjadinya pembekuan thrombus.

Terjadinya hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh

menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang

tetap dan lama, reflex neurovascular akan menurun dan

menyebabkan vasokonstriksi, kemuadian darah terkumpul

pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem

sirkulasi pusat terhambat.

2.1.9.7. Perubahan sistem muskuloskletal

Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskletal

sebagai dampak dari imobilitas adalah sebagai berikut:

a. Gangguan muscular

Menurunnya massa otot sebagai dampak

imobilitas dapat menyebabkan turunya kekuatan otot

secara langsung. Menurunnya fungsi kapasitas otot

ditandai dengan menurunya stabilitas. Kondisi

berkurangnya massa otot betis seseorang yang telah

dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih

kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.


b. Gangguan skeletal

Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan

gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadi

kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur

merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria

adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan

memendeknya otot.

2.1.9.8. Perubahan sistem integument

Perubahan integument yang terjadi berupa penurunan

elastisitas kulit karena menurunya sirkulasi darah akibat

imobilitas dan terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan

superfisial dengan adanya luka decubitus sebagai akibat

tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke

jaringan. Menurut Asmadi (2008), imobilisasi yang lama

dapat menyebabkan kerusakan integritas kulit.

2.1.9.9. Perubahan eliminasi

Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan

jumlah urine yang mungkin disebakan oleh kurangnya

asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah

renal dan urine berkurang.

2.1.9.10. Perubahan perilaku


Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara

lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional

tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan menurunya

koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut

merupakan dampak imobilitas karena selama proses

imobilitas seseorang akan mengalami perubahan peran,

konsep diri, kecemasan. Menurut Tarwoto (2011) pasien

dengan gangguan mobilisasi akan mengalami deficit

perawatan diri yang di tandai dengan gangguan

neuromuscular, menurunnya kekuatan otot, menurunya

kontrol otot dan koordinasi serta gangguan fisik.

2.1.10. Penatalaksanaan gangguan mobilisasi secara umum

Menurut Saputra (2013), ada beberapa penatalaksanaan gangguan

mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu:

2.1.10.1. Pengaturan posisi tubuh sesuai kebutuhan pasien

Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan

mobilitas dapat disesuaikan dengan tingkat gangguan,

seperti posisi fowler, posisi sim, posisi Trendelenburg,

dorsal recumbent, posisi litotomi.

a. Posisi Fowler

Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau

duduk, dimana bagian kepala tempat tidur lebih

tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk


mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi

fungsi pernapasan pasien.

b. Posisi Sim

Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri.

Posisi ini dilakukan untuk memberi kenyamanan dan

memberikan obat per anus (supositoria)

c. Posisi Trendelenburg

Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur

dengan bagian kepala lebih rendah dari pada bagian

kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan

peredaran darah ke otak.

d. Posisi Dorsal Recumbent

Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan

kedua lutut fleksi (ditarik atau di renggangkan) di

atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat

dan memeriksa genitalia serta pada proses persalinan.

e. Posisi Litotomi

Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan

mengangkat kedua kaki dan menariknya ke atas

bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa

genitalia pada proses persalinan, dan memasang alat

kontrasepsi.

2.1.10.2. Latihan ROM Pasif dan Aktif


Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena

penyakit, diabilitas, atau trauma memerlukan latihan sendi

untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi

(2011) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya

telah stabil baru diperboleh dilakukan mobilisasi. Latihan

berikut dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan

kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian.

a. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan.

Cara:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2) Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi

tubuh dan siku menekuk dengan lengan

3) Pegang tangan pasien dengan satu tangan dan

tangan yang lain memegang pergelangan tangan

pasien

4) Tekuk tangan pasien ke depan sejauh mungkin

5) Catat perubahan yang terjadi

b. Fleksi dan Ekstensi Siku.

Cara:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan


2) Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi

tubuh dengan telapak mengarah ke tubuhnya

3) Letakkan tangan diatas siku pasien dan pegang

tangannya dengan tangan lainnya

4) Tekuk siku pasien sehingga tangannya mendekat

bahu

5) Catat perubahan yang terjadi

c. Pronasi dan Supinasi Lengan Bawah.

Cara:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2) Atur posisi lengan bawah menjauhi tubh pasien

dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya

3) Putar lengan bawah pasien sehingga telapaknya

menjauhinya

4) Kembalikan ke posisi semula

5) Putar lengan bawah pasien sehingga telapak

tangannya

6) Kembalikan ke posisi semula

7) Catat perubahan yang terjadi

d. Pronasi Fleksi Bahu

Cara:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2) Atur posisi tangan pasien di sisi tubuhnya


3) Letakkan satu tangan perawat di atas siku pasien

dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya

4) Angkat lengan pasien pada posisi semula

5) Catat perubahan yang terjadi

e. Abduksi dan Adduksi

Cara:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2) Atur posisi lengan pasien disamping badanya

3) Letakkan satu tangan perawat di atas siku pasien

dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya

4) Gerakan lengan pasien menjauh dari tubuhnya ke

arah perawat

5) Kembalikan ke posisi semula

6) Catat perubahan yang terjadi

f. Rotasi bahu

Cara:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2) Atur posisi lengan pasien menjauhi tubuh dengan

siku menekuk

3) Letakkan satu tangan perawat di lengan atas pasien

dekat siku dan pegang dengan tangan yang lain


4) Gerakkan lengan bawah ke bawah sampai

menyentuh tempat tidur, telapak tangan

menghadap ke bawah

5) Kembalikan ke posisi semula

2.1.10.3. Latihan Ambulasi

a. Duduk diatas tempat tidur

Prosedur kerja:

1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan

dilakukan kepada pasien

2) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan di

samping badannya dengan telapak tangan

menghadap kebawah

3) Berdirilah di samping tempat tidur dan letakkan

tangan pada bahu pasien

4) Bantu pasien untuk duduk dan beri penompang

atau bantal

b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di

kursi roda.

Prosedur kerja:

1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan

dilakukan kepada pasien

2) Pasang kunci kursi roda


3) Berdirilah menghadap pasien dengan kedua kaki

merenggang

4) Tekuk sedikit lutut dan pinggang perawat

5) Anjurkan pasien untuk meletakkan kedua

tangannya dibahu perawat

6) Lettakan kedua tangan perawat disamping kanan

dan kiri pinggang pasien

7) Ketika kaki pasien menapak dilantai, tahan lutut

perawat pada lutut pasien

8) Bantu pasien duduk dikursi roda dan atur posisi

pasien agar nyaman

c. Membantu berjalan

Prosedur kerja:

1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan

dilakukan kepada pasien

2) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan di

samping badan atau memegang telapak tangan

perawat

3) Berdiri disamping pasien dan pegang telapak

tangan dan lengan bahu pasien

4) Bantu pasien berjalan

2.2. Konsep dasar asuhan keperawatan gawat darurat

2.2.1. Pengertian
Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian

kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan secara langsung

kepada klien atau pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan.

Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai

suatu profesi yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat

humanistik, dan berdasarkan pada kebutuhan objektif klien untuk

mengatasi masalah yang dihadapi klien (Chaniago, 2012).

2.2.2. Tujuan penanggulangan gawat darurat

Keperawatan gawat darurat (emergency nursing) merupakan

pelayanan keperawatan yang komprhensif diberikan kepada pasien

dengan injury akut atau sakit yang mengancam kehidupan.kegiatan

pelayanan keperawatan menunjukkan keahlian dalam pengkajian

pasien, setting prioritas, intervensi krisis, dan pendidikan

kesehatanmasyarakat, Sebagai seorang spesialis, perawat gawat

darurat menghubungkan pengetahuan dan keterampilan untuk

menangan respon pasien pada resusitasi, syok, trauma,

ketidakstabilan multisystem, keracunan, dan kegawat yang

mengancam jiwa lainnya (Paula Dkk, 2009).

Dalam dunia medis, suatu keadaan disebut gawat apabila

sifatnya mengancam nyawa namun tidak memerlukan penanganan

yang segera contoh untuk keadaan ini adalah pasien yang

menderita penyakit penyakit kanker. Penyakit kanker adalah

penyakit yang bias mengancam nyawa seseorang, namun tidak


terlalu memerlukan tindakan sesegera mungkin (immediate

treatment). Biasanya keadaan gawat dapat dijumpai pada penyakit-

penyakit yang sifatnya kronis, contohnya pada kanker serviks

(Wijaya, 2010).

Suatu keadaan disebut darurat apabila sifat nya memerlukan

penanganan yang segera. Contoh untuk keadaan ini adalahbaru saja

digigit ular berbisa,sedang mengalami pendarahan hebat, tengah

menderita patah tulang akibat kecelakaan, kehilangan cairan karena

diare hebat, dan sebagainya. Meskipun keadaan darurat tidak selalu

mengancam nyawa, namun penanganan yang lambat dapat

menyebabkan sesuatu atau bisa saja berdampak pada terancam nya

nyawa seseorang. Biasanya keadaan darurat dapat dijumpai pada

penyakit-penyakit yang sifatnya akut, contohnya pada infark

miokard. (Wijaya, 2010).

Keadaan gawat dan darurat dapat juga terjadi bersamaan

dalam hal ini, nyawa pasien benar-benar dalam keadaan yang

mengkhawatirkan dan diperlukan penanganan segera terhadapnya.

contoh untuk kasus ini adalah seseorang yang telah menderita

penyakit jantung dalam waktu yang lama dan tiba-tiba saja

mendapatkan serangan jantung (heart attack) (Wijaya, 2010).

Tahapan awal ketika ingin menolong korban gawat darurat

adalah konsep DR-ABC-DEFHG yang termasuk dalam prosedur

penanganan klien trauma pada primery survey. Sebelum kita


mengetahui konsep tersebut ada baiknya kita mengenal initial

assement (penilaian awal) terlebih dahulu sebelum kita menolong

korban kegawat daruratan. initial assement adalah bagian

terpenting dari semua proses penilaian korban atau pasien dimana

kita harus mengenali dan melakukan penanganan terhadap semua

keadaan yang mengancam nyawa korban yang dimulai dari

penilaian lokasi kejadian, primery survey (penilaian terhadap

airway, breathing, circulation, disability, expose, folley cateter,

gastric tube, dan heart monitor), setelah itu penilaian terhadap

secondery survey (pemeriksaan fisik/ head to toe, pemeriksaan

tanda-tanda vital, pemeriksaan riwayat pasien, dan hand-off

reports) (Gusti, 2016)

a . Danger

Sebelum menolong korban sebaiknya kita harus perhatikan

diri kita sendiri/penolong, lingkungan dan pasien (3A, aman diri,

aman lingkungan, lokasi kejadian dan aman pasien/ korban)

b. Respons

Mengecek status kesadaran korban dengan menggunakan

konsep

AVP:
A: Alert /sadar (klien/korban dapat dikatakan sadar apabila

dapat berorientasi terhadap tempat, waktu dan orang).

V: Verbal/respon terhadap suara (korban/klien dalam keadaan

disorientasi namun masih diajak bicara).

P: Pain/respon terhadap nyeri (korban/klien hanya berespon

terhadap nyeri).

U: Unresponsive/tidak sadar (tentukan kesadaran korban

apakah berada dalam keadaan alert, verbal, pain,

unresponsive).

c. Airway+control cervical

Airway harus diperiksa secara cepat untuk memastikan bebas

dan patennya atau tidak ada obstuksi/hambatan jalan napas, jika

terjadi gangguan lakukan head tilt chin lift atau jaw thurs, namun

bila memiliki peralatan yang lengkap gunakan oral airway, nasal

airway, atau intubasi endotracheal tube atau cricotoroi dotomi

perlu diwaspadai adanya fraktur servikal karena pada trauma atau

cedera berat harus dicurigai adanya cidera korda spinalis. gerakan

berlebihan dapat menyebabkan kerusakan neulogic akibat

kompresi yang terjadi pada fraktur tulang belakang jadi ketika

menolong korban sebaiknya memastikan leher tetap dalam posisi

nertal (bagi penderita) selama pembebasan jalan nafas dan

pemberian ventilasi yang dibutuhkan atau menggunakan neck

collar atau penyangga leher (di indikasikan untuk tanda-tanda


trauma kapitis, trauma tumpul cranial dari clavikula, setiap kasus

multi trauma proses kejadian yang mendukung/ biomekanik

trauma)

d. Breathing

Hipoksia dapat terjadi akibat ventilasi yang tidak adekuat

dan kurangnya oksigen dijaringan. setelah dibebaskan airway

kualitas dan kuantitas ventilasi harus di evaluasi dengan cara

dilihat, didengar, dan rasakan. jika tidak bernafas maka segera

diberikan ventilasi buatan. jika penderita bernafas perkirakan

kecukupan bagi penderita. Perhatikan gerakan nafas dada dan

dengarkan suara nafas penderita jika tidak sadar, frekuensi nafas

atau respiratory rate (dewasa) dapat dibagi menjadi:

1) RR < 12 x/menit: sangat lambat

2) RR 12-20x /menit: normal

3) RR 20-30 x/menit: sedang cepat

4) RR > 30 x/menit: abnormal (menandakan hipoksia, asidosis,

atau hipoperfusi) Untuk lebih akurat kondisi breathing sebaiknya

pasang pulseoksimetri untuk mengetahui jumlah saturasi oksigen,

normalnya > 95%.

e Circulation

Kegagalan sistem sirkulasi merupakan ancaman kematian

yang sama dengan kegagalan sistem pernafasan, oksigen sel darah

merah tanpa adanya distribusi ke jaringan tidak ada bermanfaat


bagi penderita. Perkiraan status kecukupan output jantung dan

kardiovaskuler dapat di peroleh hanya dengan memeriksa denyut

nadi, masa pengisian kapiler, warna kulit dan suhu kulit.

f. Disabililty

Setelah dilakukan airway, breathing, dan circulation

selanjutnya dilakukan adalah memeriksa status neurologi harus

dilakukan yang meliputi:

a. Tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasglow Coma

Scale (GCS). GCS adalah skala yang penting untuk evaluasi

pengelolaan jangka pendek dan panjang penderita trauma,

pengukuran GCS dilakukan pada secondery survey, hal ini

dapat dilakukan jika petugas memadai.

1) Penilaian tanda lateralisasi:

pupil (ukuran, simetris dan reaksi terhadap cahaya,

kekuatan tonus otot (motorik), pemeriksaan pupil berperan

dalam evaluasi fungsi cerebral, pupil yang normal dapat

digambarkan dengan PEARL (Pupils, Equal, Round

Reactive To Light) atau pupil harus simetris, bundar dan

bereaksi normal terhadap cahaya.

g. Exposure

Buka pakaian penderita untuk memeriksa cedera agar

tidak melewatkan memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih

yang tidak terlihat secara spintas. Jika seluruh tubuh telah


diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah hilangnya

panas tubuh. Walaupun penting untuk membuka pakaian

penderita trauma untuk melakukan penilaian yang efektif,

namun hipoteria tidak boleh dilupakan dalam pengelolaan

penderita trauma.

h. Foley Cateter

Pemasangan foley cateter adalah untuk evaluasi cairan

yang masuk, input cairan harus dievaluasi dari hasil output

cairan urin. Namun pemasangan cateter tidak dapat dipasang

pada penderita dengan adanya heatoma skrotum, perdarahan

di OUE (orifisium uretra external), dan pada rektal touch

(RT) posisi prostat melayang/ tidak teraba.

i. Gastrik tube

Pemasangan kateter lambung dimaksudkan untuk

mengurangi distensi lambung dan mencegah aspirasi jika

terjadi muntah sekaligus mempermudah dalam pemberian obat

atau makanan. Kontraindikasi pemasangan NGT adalah untuk

penderita yang mengalami fraktur basis crania atau diduga

parah, jadi pemasangan kateter lambung melalui mulut atau

OGT.

j. Hearth monitor/ECG monitor

Dapat dipasang untuk klien yang memiliki riwayat jantung

atau pun pada kejadian klien tersengat arus listrik.


2.2.2.1. Tujuan penanggulangan gawat darurat

Greenberg (2008) menjelaskan bahwa penanggulangan gawat

darurat sebagai berikut:

a. Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat,

hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam

masyarakat.

b. Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk

memperoleh penanganan yang lebih memadai.

c. Penanggulangan korban bencana.

2.2.2.2. Untuk dapat mencegah kematian petugas harus tau penyebab

kematian yaitu:

a. Mati dalam waktu singkat (4-6 menit)

1) Kegagalan sistem otak

2) Kegagalan sistem pernafasan

3) Kegagalan sistem kardiovaskuler

b. Mati dalam waktu lebih lama (perlahan-lahan)

1) Kegagalan sistem hati

2) Kegagalan sistem ginjal (perkemihan)

3) Kegagalan sistem pancreas (endokrin)

2.2.3. Tujuan asuhan keperawatan

Proses keperawatan merupakan suatu upaya pemecahan

masalah yang tujuan utamanya adalah membantu perawat menangani


klien secara komprhensif dengan dilandasi alasan ilmiah,

keterampilan teknis,dan keterampilan interpersonal, penerapan

proses keperawatan ini tidak hanya ditujukan untuk kepentingan

klien semata, tetapi juga profesi keperawatan itu sendiri (Asmadi,

2013)

2.2.3.1. Tujuan penerapan proses keperawatan bagi klien, antara

lain:

a. Mempertahankan kesehatan klien

b. Mencegah sakit yang lebih parah/penyebaran penyakit/

komplikasi akibat penyakit

c. Mengembalikan fungsi maksimal tubuh

d. Membantu klien terminal untuk meninggal dengan

tenang

2.2.3.2. Tujuan penerapan proses keperawatan bagi profisionalitas

keperawatan, antara lain:

a. Mempraktikkan metode pemecahan masalah dalam

praktik keperawatan

b. Menggunakan standar praktik keperawatan

c. Memperoleh metode yang buku, rasional, dan sistematis

d. Memperoleh hasil asuhan keperawatan dengan efektifitas

yang tinggi

2.2.4. Manfaat asuhan keperawatan


Proses keperawatan sangat relevan dengan upaya dan arah

perkembangan profesionalisme keperawatan saat ini (Asmadi,

2013). penerapan proses keperawatan dalam memberi asuhan

keperawatan kepada klien memberi beberapa manfaat.

2.2.4.1. Meningkatkan mutu layanan keperawatan

roses keperawatan merupakan metode sistematis yang

menjadi panduan bagi perawat dalam memberi asuhan

keperawatan.

2.2.4.2. Meningkatkan citra profisi keperawatan

melalui penerapan proses keperawatan, mutu layanan

keperawatan dapat ditingkatkan, hal ini merupakan salah

satu upaya promosi yang paling efektif, tepat, dang

langsung mengubah persepsi masyarakat dan profesi lain

tentang profesi keperawatan.

2.2.4.3. Menggambarkan otonomi dan tanggung jawab perawat

proses keperawatan memberi arah bagi perawat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan, mulai dari pengkajian

sampai evaluasi.

2.2.4.4. Mengembangkan keterampilan teknis dan intelektu

perawat Dalam memberikan asuhan keperawatan

kepada klien, perawat sebaiknya tidak terjebak pada


kegiatan yang sifatnya rutinitas dikhawatirkan, ini akan

menghambat perkembangan. kemampuan intelektual dan

teknis perawat bekerja ibarat robot

2.2.4.5. Meningkat rasa solidaritas dan rasa kesatuan perawat

2.2.4.6. Proses keperawatan dilakukan komprhensif, proses

keperawatan dapat berfungsi sebagai media komunikasi

antar perawat sehingga akan tercipta rasa kebersamaan.

2.2.4.7. Menghasilkan praktik keperawatan yang professional

Penerapan proses keperawatan didasarkan pada

metode ilmiah, bukan pada intitusi semata. Penerapan

proses keperawatan menunjukkan ciri-ciri

profesionalisme, diantaranya mengutamakan kepentingan

klien (klien oriented), menggunakan pengetahuan ilmiah,

serta menunjukkan tanggung jawab dan tanggung gugat

dalam melaksanakan praktik keperawatan.

2.3. Konsep dasar stroke Hemoragik

2.3.1. Definisi

Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang

menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia

atau hemoragi sirkulasi saraf otak (Sudoyo Aru). Istilah stroke

biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark

serebrum. (Batticaca, 2008)


Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO)

merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus

ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi

otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya

gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan

kapan saja (Mutaqqin, 2011).

Stroke hemoragik terjadi akibat dari pembuluh yang melemah

yang pecah dan berdarah ke otak sekitarnya. Darah menumpuk dan

menekan jaringan otak di sekitarnya. Dua jenis stroke hemoragik

adalah perdarahan intraserebral (dalam otak) atau perdarahan

subarachnoid (Gonzales, 2013)

2.3.2. Etiologi

Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi adalah sebagai

berikut:

2.3.2.1. Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital

2.3.2.2. Aneurisma Fusiformis dari atherosklerosis. Atherosklero

adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya

kelenturan dinding pembuluh darah. Dinding arteri

menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian

robek dan menimbulkan perdarahan.

2.3.2.3. Aneurisma myocotik dari vasculitis nekrose dan emboli

setis
2.3.2.4. Malformasi arteriovenous, yaitu pembuluh darah yang

mempunyai bentuk abnormal. Terjadi persambungan

pembuluh darah arteri sehingga darah arteri langsung masuk

vena, dan menyebabkan mudah pecah serta menimbulkan

perdarahan otak.

2.3.3. Rupture arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan pene

balan dan degenerasi pembuluh darah.

a. Faktor risiko stroke antara lain:

1) Hipertensi

2) Penyakit kardiovaskuler, seperti arteria koronaria, gagal

jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif

3) Kolesterol

4) Obesitas

5) Peningkatan hematokrit (risiko infark serebral)

6) Diabetes melitus (berkaitan dengan akselerasi aterogenesis)

7) Kontrasepasi oral khususnya dengan disertai hipertensi,

merokok, dan kader estrogen tinggi)

8) Penyalahgunaan obat (narkoba), rokok dan alcohol


2.3.4. Anatomi dan fisiologi

2.3.4.1.Otak

Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting

karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian

dari saraf sentral yang terletak didalam rongga tengkorak

(kranium) yang di bungkus oleh selaput otak yang kuat pada

otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:

a. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak

didepan sulkus sentralis.

b. Lobus parietalis,terdapat didepan sulkus sentralis dan

dibelakangi olek karaco oksipitalis.

c. Lobus temporalis, terdapat dibawah lateral dan fisura

serebralis dan didepan lobus oksipitalis.

d. Oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari serebrum.

Disamping pembagian dalam lobus dapat juga dibagi

menurut fungsi dan banyaknya area, secara umum korteks

serebri dibagi menjadi 4 bagian:


1) Koretks frontalis. Merupakan area motorik yang

bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan volunter.

2) Korteks parietalis. Mempunyai peranan utama pada

kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik

yang lebih tinggi tingkatnya.

3) Lobus temporalis, merupakan area sensorik reseptif untuk

impuls pendengaran. Korteks pendengaran primer

berfungsi sebagai penerima suara. Korteks asosiasi

pendengaran penting untuk memahami bahasa ucap, dan

lesi daerah ini (terutama pada sisi dominan) dapat

mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami

serta mengerti suatu bahasa serta sulit mengulang kata-

kata.

4) Lobus oksuipitalis mengandung korteks penglihatan

primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari

sensasi warna. Salah satu ciri khas otak mengendalikan

sensorik dan motorik yaitu bahwa setiap hemisfer otak

terutama mengurus sisi tubuh kontra lateral (anderson,

2011).

2.3.4.2. Sirkulasi Peredaran Darah Otak

Otak memperoleh darah dari dua pembuluh darah

besar: karotis atau sirkulasi anterior dan veterbra atau

sirkulasi posterior. Masing-masing sistem terlepas dari


arkus aorta sebagai pasangan pembuluh: karotis komunis

kanan dan kiri dan vetebra kanan dan kiri. Masing-masing

karotis membentuk bifurkasi untuk membentuk arteri

karotis interna dan eksterna. Arteri vetebra berawal dari

arteri subklavia.

Vetebra bergabung membentuk arteri basiler, dan

selanutnya memecah untuk membentuk kedua arteri

serebral posterior yang mensuplasi permukaan otak

inferior dan mediana juga bagian lateral lobus oksipital.

Sirkulasi willisi adalah area dimana percabangan arteri

basilar dan karotis interna bersatu. Sirkulasi terdiri atas

dua arteri serebral, arteri komunikans arterior, kedua arteri

serebral posterior, dan kedua arteri komunikans arterior.

Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersikulasi

dari satu hemisfer ke hemisfer laib dan dari bagian

anterior ke posterior otak. Ini merupakan sistem yang

memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh

mengalami penyumbatan namun bukanlah hal yang tidak

lazim untuk sebagian pembuluh di dalam sirkulasi willisi

mengalami atropi atau bahkan abses. Hal ini bertanggung

jawab terhadap perbedaan klinis diantara pasien dengan

lesi yang sama. Misalnya suatu sumbatan pada arteri

karotis pada individu dengan srikulasi willisi pasien


sempurna mungkin benar-benar asimptomatik, tetapi pada

mereka dengan sirkulasi willisi inkoplit dapat

menunjukkan infark serebral masif. (Gallo, 2006)

2.3.4.3. Fisiologi Otak

Sistem karotis terutama melayani hemisfer otak dan

sistem vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi

otak, serebrum dan bagian posterior hemisfer. Aliran

darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama oleh tiga

faktor. Dua yang paling penting adalah tekanan untuk

memompa darah dari sitem arteri kapiler ke sistem vena

dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga

adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas dan

koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).

Dari faktor pertama, yang penting adalah tekanan

darah sistemik (faktor jantung, darah, pembuluh darah)

dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak

(arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik

naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun

daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya

otoregulasi pembuluh darah otak yang berfungsi normal

bila tekanan sistolik antara 50- 150 mmHg. Faktor darah,

selain viskositas darah dan daya membekunya, juga

diantaranya seperti kadar/tekanan parsial CO2 danO2


berpengaruh terhadap diameter arteriol. Kadar/tekanan

parsial CO2 yang nai, PO2 yang turun, serta suasana

jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan

vasodilatasi, sebaiknya bila tekanan parsial CO2 turun,

PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi

vasokontriksi. vasokontriksi/ kekentalan darah yang tinggi

mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar

juga memudahkan terjadinya trombosis dan aliran darah

lambat, akibat ADO yang menurun (Harsono, 1996)

2.3.5. Patofisiologi

Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah kearea tertentu

diotak. Luasnya infark bergantung pada factor-faktor seperti lokasi

dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral

terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat.

Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada

gangguan local (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme

vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hipoksia karena

gangguan paru dan jantung).

Atherosklerotik sering atau cenderung sebagai factor penting

terhadap otak, thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau

darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan

lambat atau terjadi turbulensi. Thrombus dapat pecah dari dinding


pembuluh darah terbawah sebagai emboli dalam aliran darah.

Thrombus mengakibatkan:

2.3.5.1. Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah

yang bersangkutan.

2.3.5.2. Edema dan kongesti disekitar area.

Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih

besar dari pada area infark itu sendiri. Edema dapat

berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang

sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya adema

pasien mulai menunjukkan perbaikan, CVA. Karena

thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi

perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral

oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti

thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan meluas pada

dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau

esefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh

darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma

pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan

cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur. Perdarahan

pada otak lebih disebabkan oleh rupture arteriosklerotik

dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral

yang sangat luas akan menyebabkan kematian

dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler.


Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang

anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia

serebral dapat reversible untuk jangka waktu 4-6 menit.

Perubahan irreversible bila anoksia lebih dari 10 menit.

Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang

bervariasi salah satunya cardiac arrest. Ada dua bentuk

patofisiologi stroke hemoragik:

a. Perdarahan intra cerebral

Pecahnya pdmbuluh darah otak terutama karena

hipertensi mengakibatkan darah masuk kedalam

jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang

menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema

disekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi dengan

cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak

karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering

dijumpai didaerah putamen, thalamus, sub kortikal,

nucleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi

kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding

pembuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis

fibrinoid.

b. Perdarahan sub arachnoid

Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau

AVM. Aneurisma paling sering didapat pada


percabangan pembuluh darah besar disirkulasi willisi.

AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan

pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam

ventrikel otak dan ruang subarachnoid. Pecahnya arteri

dan keluarnya darah keruang subarachnoid

mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang

mendadak, merengangnya struktur peka nyeri,

sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula

dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan

selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak

juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina

dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid

dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah

serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari

setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya

hari ke 5-9, dan dapat menghilangkan setelah minggu

ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi

antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan

dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan

pembuluh arteri diruang subarachnoid. Vasispasme ini

dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri

kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal


(hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-

lain)

2.3.6. Patway
Menjadi
kapur/
mengandung
Penimbunan lemak/ kolesterol Lemak yang sudah
Factor pencentus/ etiologi kolesterol
nekrotik dan
dan infiltrasi
Yang meningkat dalam darah berdegenerasi
limfosit
(thrombus)

ateriosklerosis Pembuluh darah Penyempitan


menjadi kaku dan pembuluh darah
Thrombus/ emboli di pecah (oklusi vaskuler)
cerebral
Aliran darah
Stroke Kompresi jaringan
Stroke non terhambat
hemoragik otak
hemoragik

Eritroeit
heriasi
Suplai darah dan bergumpal,
Proses metabolism
O2 keotak endotel rusak
dalam otak terganggu

Cairan plasma
Resiko
hilang
ketidakefektifan
perfusi jaringan otak Peningkstsn TIK Edema cerebral

Arteri carotis Arteri vertebra Arteri cerebri Gangguan rasa


interna basilaris media nyaman nyeri

Kerusakan
Disfungsi N.ll neurocerebrospinal
(optikus) Kerusakan N.I N.VII (facialis), N.IX
(olfaktorius), N.XII (Glossofaringgeus)
(hipoglosus)
Disfungsi N.XI
(assesoris)
Pe aliran darah
kerena Control otot facial/ Pe fungsi motoric
Perubahan ketajaman
oral menjadi lemah verbal dan
Penurunan fungsi N.X(vagus),
sensori, penghindu, Kerusakan komunikasi
Pe kemampuan retina penglihtan, muskuluskeletal
N.IX (Glosovaringeus)
dan pengecap
untuk menangkap retina Ketidak mampuan
untuk menangkap objek/ Ketidak mampuan bicara Kelemahan pada satu/
Proses menelan tidak
bayangan Hambatan mobilitas fisik keempat anggota
Tirah baring lama
menghindu, melihat ,
efektif
Kerusakan articular, tidak gerak
mengecap
kebutaan dapat berbicara (disatria)
Kerusakan integritas Hemiparase/plegi
refluks Luka dekubitus
Gangguan perubahan kanan & kiri
Resiko jatuh kulit
persepsi sensori
disfagia

anoreksia Gangguan menelan

Ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh
(Sumber: Nurarif A, Kusuma H. 2015. Aplikasi

Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis

dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta: Mediactio

2.3.7. Klasifikasi

2.3.7.1. Patologi serangan stroke.

a. Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal

yang akut dan disebabkan oleh perdarahan primer

subtansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh

karena truma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya


pembuluh arteri, vena, dan kapiler. Perdarahan otak di

bagi dua, yaitu:

1) Perdarahan intra serebral

Pecahnya pembuluh darah terutama karena

hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam

jaringan otak, membentuk massa yang menekan

jaringan otak dan menimbulkan edema otak.

2) Perdarahan subaraknoid

Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma

berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal

dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-

cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak.

2.3.8. Faktor resiko

Menurut Rendi, 2012:

2.3.8.1.Faktor resiko yang dapat dimodifikasi dirubah adalah:

a. Tekanan darah tinggi

b. Diabetes melitus

c. Merokok

d. Penyakit arteri carotis dan perifer

e. Atrial fibrillation

f. Penyakit jantung (gagal jantung, kelainan jantung

congenital, jantung coroner, kardiomegali,

kardiomyopathy)
g. Transient iskemik attack (TIA)

h. Hiperkolesterolemia

i. Sickle cell disease

j. Obesitas dan kurang aktivitas

k. Penggunaan alcohol

l. Penggunaan obat-obatan terlarang

2.3.8.2.Faktor resiko yang tidak dapat dirubah adalah:

1) Usia: Semakin bertambah usia, semakin meningkat

resiko stroke

2) Jenis kelamin: Laki-laki mempunyai resiko lebih

besar untuk menderita stroke dibandingkan wanita

3) Riwayat keluarga

4) Pernanh mengalami stroke

2.3.9. Manifestasi klinik

Gejala dan tanda stroke pada penderita dengan stroke akut adalah

(Iskandar, 2010):

2.3.9.1. Adanya serangan deficit neurologis/kelumpuhan fokal,

seperti hemiparesis, lumpuh sebelah badan yang kanan atau

kiri saja

2.3.9.2. Baal atau mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, terasa

seperti terkena cabai, rasa terbakar

2.3.9.3. Mulut, lidah mencong bila diluruskan


2.3.9.4. Gangguan menelan, seperti sulit menelan, bila minum suka

tersedak.

2.3.9.5. Sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai keinginan

atau gangguan bicara berupa pelo, rero, sengau, ngaco dan

kata-katanya tidak dapat dimengerti atau tidak dipahami

(afasia), bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata

yang terucap.

2.3.9.6. Tidak memahami pembicaraan orang lain.

2.3.9.7. Tidak mampu membaca dan menulis dan tidak memahami

tulisan.

2.3.9.8. Kesadaran menurun.

2.3.9.9. gangguan fungsi otak

2.3.10. Pemeriksaan Dianogstik

Mutaqqin, (2011) menyatakan pemeriksaan penunjang pada

stroke yang dapat dilakukan adalah: laboratorium: mengarah pada

pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolestrol, dan bila perlu

analisa gas darah, gula darah.

2.3.10.1. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya

perdarahan atau infark

2.3.10.2. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom

dan bergesernya struktur otak.

2.3.10.3. Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran

yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu.


2.3.10.4. Fungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan

biasanya ada trombosis, emboli serebral dan TIA,

sedangkan tekanan meningkat dan cairan yang

mengandung darah menunjukkan adanya hemoragi

suaraknoid intrakranial. Kadar protein meningkat pada

kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses

inflamasi.

2.3.10.5. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang

otak dan mungkin adanya daerah lesi yang spesifik.

2.3.10.6. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal

daerah yang berlawanan dari masa yang meluas;

klasifikasi karptis interna terdapat pada trombosis

serebral.

2.3.10.7. Ultrasonografi doppler: mengidentifikasi penyakit

arteriovenal (masalah system arteri karotis), aliran darah/

muncul plak (arteriosklerotik).

2.3.11. Komplikasi

Muttaqin (2011), menyatakan bahwa setelah mengalami

stroke pasien mungkin akan mengalami komplikasi, kompilkasi

ini dapat dikelompokkan berdasarkan:

a. Berhubungan dengan immobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri

pada daerah tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.


b. Berhubungan dengan paralisis: nyeri daerah panggul, dislokasi

sendi, deformitas dan terjatuh.

c. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsi dan sakit kepala

d. Hidrocephalus.

2.3.12. Penatalaksanaan Stroke

(Mutaqqin, 2011) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang di

lakukan pada penderita stroke adalah sebagai berikut:

2.3.12.1. Penatalaksanaan medis

Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral

(ADS) secara percobaan, tetapi maknanya pada tubuh

manusia belum dapat dibuktikan. Dapat diberikan

histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin,

intraarterial. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin

digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan

agregasi thrombosis yang terjadi sesudah uleserasi

ateroma. Anti koagulan dapat diresepkan untuk

mencegah terjadinya/ memberatnya trombosis atau

emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler.

2.3.12.2. Penatalaksaan Keperawatan


a. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi

miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi

betahap jika hemodinamika stabil

b. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang

adekuat, bila perlu diberikan oksigen sesuai

kebutuhan.

c. Tanda-tanda vital diusahakan stabil

d. Bed rest

e. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia

f. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu

dilakukan kateterisasi.

h. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau

koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau

cairan hipotonik.

i. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau

suction, berlebih, yang dapat meningkatkan TIK.

j. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan

baik, jika kesadaran menurun atau ada gangguan

menelan sebaiknya dipasang NGT.

k. Penatalaksanaan spesifiknya yaitu dengan

pemberian obat neuroprotektor, antikoagulan,


trombosis intraven, diuretic, anti hipertensi, dan

tindakan pemedahan, mensurunkan TIK yang tinggi.

2.4. Asuhan keperawatan stroke hemoragik dengan hambatan mobilitas

fisik

2.4.1. Pengkajian

Menurut Mutaqqin, (2011) anamnesa pada stroke meliputi

identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat

penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian

psikososial.

Dan menurut Hidayat, 2009, tentang asuhan keperawatan

stroke hemoragik dengan gangguan mobilitas fisik adalah sebagai

berikut:

2.4.1.1. Identitas Klien:

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia

tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,

suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,

diagnosa medis.

2.4.1.2. Keluhan Utama:

Biasanya didapatkan tidak sadarkan diri, kelemahan

anggota gerak sebelah badan yang timbul secara

mendadak, bicara pelo, sakit kepala dan tidak dapat

berkomunikasi (Barah, 2013)


2.4.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang:

Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung

sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan

aktifitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah

bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala

kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak

yang lain.

2.4.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu:

Adanya kebiasaan pola hidup yang tidak sehat,

seperti gaya hidup yang suka merokok, memakan-

makanan yang mengandung garam, makanan yang

bersantan, makananberminyak, dan adanya riwayat

hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,

riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,

penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator,

obat-obat adiktif, kegemukan (Widagdo, 2008)

2.4.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga:

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita

hipertensi ataupun diabetes melitus, atau adanya riwayat

stroke dari generasi terdahulu. Sesuai dengan etiologic

yang dikemukakan dalam Padila (2012), yaitu salah satu

faktor pencentus timbulnya penyakit stroke adalah faktor


genetic atau keturunan. Faktor pencentus tersebut

merupakan faktor yang tidak dapat diubah oleh pasien.

2.4.1.6. Riwayat Psikososial-spiritual:

Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa

dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh

persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan

perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang

digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi

klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan

peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons

atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik

dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

2.4.2. Pola-pola fungsi kesehatan:

2.4.2.1.Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat:

Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol,

penggunaan obat kotrasepsi oral.

2.4.2.2.Pola nutrisi dan metobolisme:

adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

mual muntah pada fase akut dan kehilangan sensasi pada

lidah
2.4.2.3.Pola eliminasi:

biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik

usus.

2.4.2.4.Pola aktivitas dan latihan:

Biasanya tidak akan mampu melakukan aktivitas dan

perawatan diri secara mandiri karena kelemahan anggota

gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami gangguan

koordinasi, gangguan keseimbangan mudah Lelah.

Aktivitas fisik yang berkurang dapat mempengaruhi

frekuensi denyut jantung menjadi lebih tinggi sehingga otot

jantung harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.

Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering

memompa, maka makin besar tekanan darah meningkat dan

pola tidur biasanya klien mengalami kesukaran untuk

istirahat karena kejang otot/nyeri otot. (Potter, 2012)

2.4.2.5.Pola hubungan dan peran:

adanya perubahan hubungan dan peran karena klien

mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat

gangguan bicara.

2.4.2.6.Pola persepsi dan konsep diri:

klien merasa tidak perdaya, tidak ada harapan, mudah

marah, tidak kooperatif.


2.4.2.7.Pola sensori dan kognitif:

Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/

kekaburan pandangan, perabaan/ sentuhan menurun pada

muka dan ekstermitas yang sakit. Pada pola kognitif

biasanya terjadi penurunan memori dan proses berfikir.

2.4.2.8.Pola resproduksi seksual:

biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari

beberapa pengobatyan stroke, seperti obat anti kejang, anti

hipertensi, antagonis histamin

2.4.2.9.Pola penanggulangan stress:

klien, biasanya mengalami kesulitan untuk memcahkan

masalah karena gangguan proses berfikir dan kesulitan

berkomunikasi.

2.4.2.10. Pola tata nilai dan kepercayaan:

Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah

laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah

satu sisi tubuh.

2.4.3. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan

keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung


data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya

dilakukan secara per sistem (B1- B6) dengan fokus pemeriksaan

fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan

dengan keluhan- keluhan dari klien

1. B1 (Breathing)

Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi

sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan

peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas

tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan

produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang

sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat

kesadaran koma.Pada klien dengan tingkat kesadaran

composmetis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada

kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang

kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas

tambahan

2. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan

(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke.

Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi

hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).

3. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung

pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran

area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral

(sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat

membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan

pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian

pada sistem lainnya.

4. B4 (Bladder)

Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine

sementara karena konfusi, ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk

mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol

motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal

hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi

intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang

berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

5. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah

disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga

menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.


Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan

kerusakan neurologis luas.

6. B6 (Bone)

Stroke adalah enyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan

kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron

motor atas menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada

salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron

motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi

motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah

satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.

Hemiparesis atau kelemahan salahsatu sisi tubuh, adalah tanda

yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan

tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan

buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus

terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke

mengalami masalah mobilitas fisik.Adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/

hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat.

7. Pengkajian Tingkat Kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling

mendasar dan parameter yang paling penting yang

membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan


respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif

untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan

untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan

keterjagaan.Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke

biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan

semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka

penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran

klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

8. Pengkajian Fungsi Serebral

Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,

kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.

9. Status Mental

Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi

wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut

biasanya status mental klien mengalami perubahan.

10. Fungsi Intelektual

Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka

pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan

berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami

brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan

perbedaan yang tidak begitu nyata.


11. Kemampuan Bahasa

Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang

memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer

yang dominan pada bagian posterior dari girus temporalis

superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien

tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.

Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior

(area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat

mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan

bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),

ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang

disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk

menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk

melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat

ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir

rambutnya.

a Pengkajian Saraf Kranial

Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi

pemeriksaan saraf kranial I-X11.

1) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan

pada fungsi penciuman.


2) Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras

sensori primer di antara mata dan korteks visual.

Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan

hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering

terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien

mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan

karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke

bagian tubuh.Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke

mengakibatkan paralisis, pada Satu sisi otot-otot okularis

didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat

unilateral di sisi yang sakit.

3) Saraf V: Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan

paralisis saraf trigenimus, penurunan kemampuan

koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang

bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot

pterigoideus internus dan eksternus.

4) Saraf VII: Persepsi pengecapan dalam batas normal,

wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi

yang sehat.

5) Saraf VIII: Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan

tuli persepsi.

6) Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik dan

kesulitan membuka mulut.


7) Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus

dan trapezius.

8) Saraf XII: Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi

dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.

a. Pengkajian Sistem Motorik Stroke

Adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan

mengakibatkan kehilangan control volunter terhadap

gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan

kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat

menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari

otak.

1) inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada

salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang

berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi

tubuh adalah tanda yang lain.

2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.

3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.

2.4.4. Diagnosa Keperawatan

Menurut (Arif muttaqin 2011) Nanda Nic-Noc 2015

2.4.4.1. Gangguan menelan berhubungan dengan penurunan fungsi

nerfus vagus atau hilangnya refluks muntah.


2.4.4.2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna

makanan, penurunan fungsi nerfus hipoglosus.

2.4.4.3. Nyeri akut berhubungan dengan hemiplegia dan disase

2.4.4.4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi,

spastisitas dan cedera otak.

2.4.4.5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa

stroke.

2.4.4.6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

hemiparesis/ hemiplegia, penurunan mobilitas.

2.4.4.7. Resiko jatuh berhubungan dengan ketajaman penglihatan

2.4.4.8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan

penurunan fungsi otot facial/oral

2.4.4.9. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan

dengan penurunan aliran darah ke otak (oterosklerosis,

embolisme)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN STUDI KASUS


2.5. Pendekatan/ Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriftif dengan pendekatan studi

kasus bertujuan untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada

klien stroke hemoragik di ruangan Intensive Care Unit Rumah Sakit

Embung fatimah tahun 2021. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dan dokumentasi.

2.6. Subyek Studi Kasus

Untuk studi kasus tidak dikena populasi dan sampel, namun lebih

mengarah kepada istilah subyek studi kasus oleh karena yang menjadi

subyek studi kasus sekurang-kurangnya dua klien (individu, keluarga,

atau masyarakat kelompok khusus) dengan masalah keperawatan yang

sama yang diamati secara mendalam. Subyek studi kasus perlu

dirumuskan kriteria inklusi dan eksklusi.

2.6.1.Kriteria inklusi

2.6.1.1. Klien yang dirawat di ruangan intensive care unit (ICU)

Rumah Sakit Daerah Embung Fatimah

2.6.1.2. Klien stroke hemoragik dengan hambatan mobilitas fisik,

dengan karakteristik berikut: Gerakan lambat, kelemahan

anggota tubuh bagian kiri, instabilitas postur tubuh,

gerakkan tidak terkoordinasi, kesulitan dalam membolak

balik tubuh, penurunan kemampuan melakukan metorik


halus, penurunan waktu reaksi, penurunan kemampuan

melakukan metorik halus

2.6.1.3. Klien Stroke Hemoragik dengan penurunan kesadaran

2.6.2.Kriteria eksklusi

2.6.2.1. Klien dan keluarga tidak kooperatif dan tidak bersedia

menjadi responden.

2.6.2.2. Klien dengan stroke hemoragik dengan hambatan mobilitas

fisik

2.6.2.3. Klien yang dirawat disertai dengan penyakit lainnya.

(hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan kolestrol

tinggi), klien mempunyai riwayat hipertensi 5 tahun yang

lalu

2.6.2.4. Keluarga klien yang tidak berada ditempat pada saat

penelitian.

2.7. Fokus Studi

Fokus studi adalah kajian utama dari msasalah yang akan dijadikan

titik acuan studi kasus. Fokus studi kasus adalah Asuhan Keperawatan

gawat darurat pada klien mengalami stroke hemoragik dengan hambatan

mobilitas fisik

2.8. Definisi Operasional

2.8.1. Studi kasus asuhan keperawatan


2.8.1.1.Stroke atau gangguan peredaran darah otak merupkan pen

yakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani

secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi

otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena

terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi

pada siapa saja dan kapan saja (Mutaqqin, 2011)

2.8.1.2.Hambatan mobilitas fisik merupakan: keadaan dimana

seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karna kondisi

yang menggangu pergerakan (aktivitas), misalnya

mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat

disertai fraktur pada ekstremitas dan faktor yang

berhubungan dengan hambatan mobilitas (Heriana, 2014).

2.9. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data

instrument yang penulis gunakan dalam studi kasus ini adalah format

asuhan keperawatan gawat darurat Prodi D-III Keperawatan Institut

Kesehatan Mitra Bunda Batam.

2.9.1. Alat-alat yang digunakan dalam pengambilan data:

2.9.1.1. Format pengkajian gawat darurat

2.9.1.2. Alat tulis

2.9.2. Alat yang dibutuhkan dalam melakukan pemeriksaan fisik dan

observasi:
2.9.2.1. Sphygmomanometer

2.9.2.2. Stestoskop

2.9.2.3. Thermometer

2.9.2.4. Jam tangan

2.9.2.5. Handscone

2.9.2.6. Tensi meter

2.9.2.7. Reflek hammer

2.9.2.8. Garputala

2.9.2.9. Penlight atau senter kecil

2.9.2.10.Tongue spatel

2.10. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara atau metode yang

digunakan untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data dalam

studi kasus ini adalah sebagai berikut:

2.10.1. Wawancara (hasil anamnesis berisi tentang identitas klien,

keluhan utama, riwayat penyakit sekarang – dahulu – dll).

Sumber data dari klien, keluarga, perawat lainnya.

2.10.2. Observasi dan pemeriksaan fisik (dengan pendekatan: inspeksi,

palpasi, perkusi, auskultasi/IPPA) pada sistem tubuh klien.

2.10.3. Studi dokumentasi (hasil dari pemeriksaan diagnostik) berikut ini

penjelasan tentang metode pengumpulan data yaitu sebagai berikut:

2.10.4. Data primer


Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung

dilapangan oleh orang yang bersangkutan dalam pelaksanaan studi

kasus maupun penelitian. Data primer dapat diambil dari:

a. Wawancara mendalam

Salah satu metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan

data adalah dengan wawancara. Dimana penulis mendapatkan

keterangan atau informasi secara lisan dari seorang responden.

Anamnesa dilakukan dengan dua cara yaitu.

1) Autoanamnesa

Autoanamnesa merupakan anamnesa yang dilakukan kepada

pasien secara langsung.

2) Alloanamnesa

Alloanamnesa merupakan anamnesa yang dilakukan kepada

keluarga pasien untuk memperoleh data tentang pasien

contoh ke informen dari ibu/ ayah klien atau perawat.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui

gejala/masalah kesehatan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan

fisik meliputi:

1) Inspeksi

Adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan secara

sistematik dengan menggunakan indra penglihatan sebagai

suatu alat untuk pengumpulan data, pada stroke hemoragik


adanya batuk, peningkatan sputum, sesak nafas, penggunaan

otot bantu nafas, peningkatan frekuensi nafas. Sedangkan

pada klien yang tidak mengalami penurunan kesadaran

pernapasannya tidak ada kelainan, kemampuan menelan

kurang baik kesulitan membuka mulut, nafsu makan

menurun, mual-muntah pada fase akut, kulit tampak pucat,

tugor kulit buruk, kesulitan beraktivitas, mengalami

kelemahan, penurunan tingkat kesadaran, penurunan

kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, wajah

asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat,

didapatkan hemiplegia, dan hemiparesis pada salah satu sisi

tubuh

2) Palpasi

Adalah suatu tehnik yang menggunakan indra peraba tangan

dan jari-jari adalah suatu instrumen yang sensitif yang

digunakan untuk mengumpulkan data tentang temperature,

turgor, bentuk kelembapan vibrasi dan ukuran, seperti

meraba nadi.

3) Perkusi

Adalah melakukan pengetahuan dengan ujung-ujung jari

pada daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan

suara untuk mendapatkan data suara paru normal, pada


stroke hemoragik dapat menggunakan refleks hamer untuk

mengetahui kelemahan otot.

4) Auskultasi

Adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara yang

dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan stetoskop untuk

mendengarkan suara nafas, pada stoke hemoragik

didapatkan bunyi napas tambahan seperti vasikuler

5) Observasi

Adalah suatu prosedur yang berencana antara lain meliputi

melihat, mencatat, jumlah dan taraf aktifitas tertentu yang

ada hubungannya dengan masalah yang diamati.

Pemeriksaan fisik pada stroke hemoragik. Setelah

melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung

data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya

dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus

pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah

dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

a. B1 (Breathing)

Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan

produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu

napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi

bunyi napas tambahan seperti vasikuler pada klien


dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan

batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien

stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada

klien dengan tingkat kesadaran composmetis, pengkajian

inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi

toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan

kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

b. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan

renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada

klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan

dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200

mmHg).

c. B3 (Brain)

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis,

bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang

tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat,

dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi

otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus

dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem

lainnya.
d. B4 (Bladder)

Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia

urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan

untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan

kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter

urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode

ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik

steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan

kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu

makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual

sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi

asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi

konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya

inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan

kerusakan neurologis luas.

f. B6 (Bone)

Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan

kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.


Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan

kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat

menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada

sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling

umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)

karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis

atau kelemahan salahsatu sisi tubuh, adalah tanda yang

lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan

tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor

kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda

dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena

klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya

kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,

kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah

lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan

istirahat.

g. Pengkajian Tingkat Kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang

paling mendasar dan parameter yang paling penting yang

membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan

respons terhadap lingkungan adalah indikator paling

sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa

sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan


dalam kewaspadaan dan keterjagaan.Pada keadaan lanjut

tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada

tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien

sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat

penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan

evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

h. Pengkajian Fungsi Serebral

Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,

kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.

i. Status Mental

Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,

ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien

stroke tahap lanjut biasanya status mental klien

mengalami perubahan.

j. Fungsi Intelektual

Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik

jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan

kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa

kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan

untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak

begitu nyata.

k. Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi

yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah

hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus

temporalis superior (Area Wernicke) didapatkan disfasia

reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan

atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian

posterior dari girus frontalis inferior (area Broca)

didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti,

tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya

tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan

dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan

oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk

menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk

melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti

terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk

menyisir rambutnya.

1. Pengkajian Saraf Kranial

Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi

pemeriksaan saraf kranial I-X11.

2. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan

pada fungsi penciuman.

3. Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan

jaras sensori primer di antara mata dan korteks visual.


Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan

hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)

sering terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri.

Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa

bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan

pakaian ke bagian tubuh.

4. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke

mengakibatkan paralisis, pada Satu sisi otot-otot

okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan

konjugat unilateral di sisi yang sakit.

5. Saraf V: Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan

paralisis saraf trigenimus, penurunan kemampuan

koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan

rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan

satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus.

6. Saraf VII: Persepsi pengecapan dalam batas normal,

wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi

yang sehat.

7. Saraf VIII: Tidak ditemukan adanya tuli konduktif

dan tuli persepsi.

8. Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik

dan kesulitan membuka mulut.


9. Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus

dan trapezius.

10. Saraf XII: Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu

sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.

m. Pengkajian Sistem Motorik

Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan

mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap

gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan,

gangguan control motor volunter pada salah satusisi tubuh

dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi

berlawanan dari otak.

1. Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada

salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang

berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi

tubuh adalah tanda yang lain.

2. Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.

3. Tonus Otot. Didapatkan meningkat

2.10.5. Data sekunder

Adalah data yang diperoleh dari mempelajari status maupun

dokumentasi milik pasien, data dari catatan keperawatan PO dan

studi, data sekunder meliputi: 2

2.10.5.1.Studi Pustaka
Penulis mencari, mengumpulkan, mempelajari referensi,

yang membahas tentang asuhan keperawatan dan konsep

penyakit tersebut.

2.10.5.2.Studi documenter

Studi dilakukan dengan mempelajari status kesehatan

klien yang bersumber dari catatan dokter, bidan maupun

sumber lain yang menunjang seperti hasil pemeriksaan

diagnostik. Pemeriksaan penunjang, test laboratorium

dan penelitian pendukung adalah komponene essensial

dari pengujian fisik sebagai test dan penelitian yang

dilakukan sebagai bagian dari skrinig rutin.

2.11. Lokasi waktu studi kasus

2.11.1. Lokasi Studi Kasus

Akan dilakukan di Ruangan Intensive Care Unit (ICU) Rumah

Sakit Umum Daerah Embung Fatimah tahun 2021.

2.11.2. Waktu Studi Kasus

Penelitian akan dilakukan pada maret tahun 2021

2.12. Analisa Data Penyajian Data

Analisa data dilakukan sejak penelitian di lapangan, sewaktu

pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisis data

dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya

membandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan

dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang digunakan dengan cara


menarasikan jawaban-jawaban dari penelitian yang diperoleh dari hasil

interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan dengan menjawab

rumusan masalah penelitian, teknis analisis digunakan dengan cara

observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data

dan selanjutnya diinterpretrasikan dan dibandingkan teori yang ada

sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut.

Penyajian data disesuaikan dengan desain studi kasus deskriptif yang

dipilih. Untuk studi kasus, data disajikan secara tekstur/narasi dan dapat

disertai dengan cuplikan ungkapan verbal dari subyek studi kasus yang

merupakan data pendukungnya.

2.13. Etika Studi Kasus

Dalam melakukan penelitian ini peneliti mendapatkan rekomendasi

dari Institut Kesehatan Mitra Bunda dan permintaan izin kepada kepala

ruangan Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Embung

Fatimah Batam. Setelah mendapat persetujuan (izin) barulah melakukan

penelitian dengan menekan masalah etika yang meliputi:

2.13.1. Informed Consent (Persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang

akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi, bila responden

menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati hak-hak responden.


2.13.2. Anomity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan

nama responden, tetapi lembar tersebut diberi kode.

2.13.3. Menunjukkan surat izin penelitian

Peneliti datang menunjukkan surat izin penelitian dari fakultas

untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.

2.13.4. Penjelasan tentang peneliti

Responden dalam peneliti ini akan diberikan informasi tentang

sifat dan tujuan penelitian yang akan dilakukan

2.13.5. Confidentiallity (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil

penelitian.

Anda mungkin juga menyukai