Anda di halaman 1dari 14

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN STUDI KASUS

3.1. Pendekatan/ Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriftif dengan pendekatan studi

kasus bertujuan untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada

klien stroke hemoragik di ruangan Intensive Care Unit Rumah Sakit Embung

fatimah tahun 2021. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asuhan

keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi dan dokumentasi.

3.2. Subyek Studi Kasus

Untuk studi kasus tidak dikena populasi dan sampel, namun lebih mengarah

kepada istilah subyek studi kasus oleh karena yang menjadi subyek studi

kasus sekurang-kurangnya dua klien (individu, keluarga, atau masyarakat

kelompok khusus) dengan masalah keperawatan yang sama yang diamati

secara mendalam. Subyek studi kasus perlu dirumuskan kriteria inklusi dan

eksklusi.

3.2.1. Kriteria inklusi

3.2.1.1. Klien yang dirawat di ruangan intensive care unit (ICU) RSUD

Embung Fatimah dengan kasus stroke hemoragik

3.2.1.2. klien stroke hemoragik baik laki-laki maupun perempuan tanpa

batasan umur

3.2.1.3. Klien dan keluarga bersedia menjadi responden

3.2.1.4. Klien dan keluarga yang dapat membaca dan menulis


3.2.2. Kriteria eksklusi

3.2.2.1. Klien dan keluarga tidak bersedia menjadi responden.

3.2.2.2. Klien yang tidak kooperatif

3.2.2.3. Klien yang dirawat disertai dengan penyakit lainnya. (hipertensi,

penyakit jantung, diabetes melitus, dan kolestrol tinggi)

3.2.2.4. Keluarga klien yang tidak berada ditempat pada saat penelitian.

3.3. Fokus Studi

Fokus studi adalah kajian utama dari msasalah yang akan dijadikan

titik acuan studi kasus. Fokus studi dari kasus adalah Asuhan Keperawatan

gawat darurat yang mengalami stroke hemoragik.

3.4. Definisi Operasional

3.4.1. Studi kasus asuhan keperawatan

3.4.1.1. Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan

penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani

secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak

yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya

gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja

dan kapan saja (Mutaqqin, 2011).

3.5. Instrumen Pengumpulan Data

Alat atau instrument pengumpulan data menggunakan format pengkajian

asuhan keperawatan sesuai ketentuan yang berlaku dan ballpoin, untuk

observasi menggunakan tensi meter, stetoskop, monitor, saturasi dan

thermometer
3.6. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara atau metode yang digunakan

untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data dalam studi kasus ini

adalah sebagai berikut:

3.6.1. Wawancara (hasil anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan

utama, riwayat penyakit sekarang – dahulu – dll). Sumber data dari

klien, keluarga, perawat lainnya.

3.6.2. Observasi dan pemeriksaan fisik (dengan pendekatan: inspeksi,

palpasi, perkusi, auskultasi/IPPA) pada sistem tubuh klien.

3.6.3. Studi dokumentasi (hasil dari pemeriksaan diagnostik) berikut ini

penjelasan tentang metode pengumpulan data yaitu sebagai berikut:

3.6.4. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di

lapangan oleh orang yang bersangkutan dalam pelaksanaan studi

kasus maupun penelitian. Data primer dapat diambil dari:

a. Wawancara mendalam

Salah satu metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan data

adalah dengan wawancara. Dimana penulis mendapatkan

keterangan atau informasi secara lisan dari seorang responden.

Anamnesa dilakukan dengan dua cara yaitu.

1) Autoanamnesa
Autoanamnesa merupakan anamnesa yang dilakukan kepada

pasien secara langsung.

2) Alloanamnesa

Alloanamnesa merupakan anamnesa yang dilakukan kepada

keluarga pasien untuk memperoleh data tentang pasien contoh

ke informen dari ibu/ ayah klien atau perawat.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui

gejala/masalah kesehatan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan

fisik meliputi:

1) Inspeksi

Adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan secara

sistematik dengan menggunakan indra penglihatan sebagai

suatu alat untuk pengumpulan data, pada stroke hemoragik

adanya batuk, peningkatan sputum, sesak nafas, penggunaan

otot bantu nafas, peningkatan frekuensi nafas.

2) Palpasi

Adalah suatu tehnik yang menggunakan indra peraba tangan

dan jari-jari adalah suatu instrumen yang sensitif yang

digunakan untuk mengumpulkan data tentang temperature,

turgor, bentuk kelembapan vibrasi dan ukuran, seperti meraba

nadi.
3) Perkusi

Adalah melakukan pengetahuan dengan ujung-ujung jari pada

daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara

untuk mendapatkan data suara paru normal, pada stroke

hemoragik dapat menggunakan refleks hamer untuk

mengetahui kelemahan otot.

4) Auskultasi

Adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara yang

dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan stetoskop untuk

mendengarkan suara nafas, pada stoke hemoragik didapatkan

bunyi napas tambahan seperti ronkhi

5) Observasi

Adalah suatu prosedur yang berencana antara lain meliputi

melihat, mencatat, jumlah dan taraf aktifitas tertentu yang ada

hubungannya dengan masalah yang diamati. Pemeriksaan fisik

pada stroke hemoragik. Setelah melakukan anamnesis yang

mengarah pada keluhan keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat

berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-

B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3

(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan

dari klien.
a. B1 (Breathing)

Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak

napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi

pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien

dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun

yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat

kesadaran koma.Pada klien dengan tingkat kesadaran composmetis,

pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks

didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak

didapatkan bunyi napas tambahan.

b. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok

hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah

biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan

darah >200 mmHg).

c. B3 (Brain)

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi

lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya

tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi

otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain)

merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian

pada sistem lainnya.


d. B4 (Bladder)

Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara

karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan

ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan

kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal

hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi

intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat

penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

f. B6 (Bone)

Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol

volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas

menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh

dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang

berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia

(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.

Hemiparesis atau kelemahan salahsatu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan jika

kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga

dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena

klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/

hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas

dan istirahat.

g. Pengkajian Tingkat Kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan

parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat

keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling

sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan

untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan

keterjagaan.Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya

berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah

mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai

tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian

asuhan.

h. Pengkajian Fungsi Serebral

Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan

bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.


i. Status Mental

Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan

aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status

mental klien mengalami perubahan.

j. Fungsi Intelektual

Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek

maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.

Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk

mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.

k. Kemampuan Bahasa

Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi

fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian

posterior dari girus temporalis superior (Area Wernicke) didapatkan

disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau

bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis

inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat

mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak

lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang

sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung

jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk

melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika

klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.


1. Pengkajian Saraf Kranial

Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf

kranial I-X11.

1. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi

penciuman.

2. Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori

primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan

visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam

area spasial) sering terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri.

Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena

ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

3. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis,

pada Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan

gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.

4. Saraf V: Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis

saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan

mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta

kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus.

5. Saraf VII: Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah

asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

6. Saraf VIII: Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli

persepsi.
7. Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan

membuka mulut.

8. Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius.

9. Saraf XII: Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan

fasikulasi, serta indra pengecapan normal.

m. Pengkajian Sistem Motorik

Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan

kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN

bersilangan, gangguan control motor volunter pada salah satusisi tubuh

dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.

1. Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)

karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau

kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.

2. Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.

3. Tonus Otot. Didapatkan meningkat

3.6.5. Data sekunder

Adalah data yang diperoleh dari mempelajari status maupun

dokumentasi milik pasien, data dari catatan keperawatan PO dan studi,

data sekunder meliputi: 2

a. Studi pustaka

Penulis mencari, mengumpulkan, mempelajari referensi, yang

membahas tentang asuhan keperawatan dan konsep penyakit tersebut.


b. Studi documenter

Studi dilakukan dengan mempelajari status kesehatan klien yang

bersumber dari catatan dokter, bidan maupun sumber lain yang

menunjang seperti hasil pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan

penunjang, test laboratorium dan penelitian pendukung adalah

komponene essensial dari pengujian fisik sebagai test dan penelitian

yang dilakukan sebagai bagian dari skrinig rutin.

3.7. Lokasi waktu studi kasus

3.7.1. Lokasi Studi Kasus

Akan dilakukan di Ruangan Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit

Umum Daerah Embung Fatimah tahun 2021.

3.7.2. Waktu Studi Kasus

Penelitian akan dilakukan pada maret tahun 2021

3.8. Analisa Data Penyajian Data

Analisa data dilakukan sejak penelitian di lapangan, sewaktu

pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisis data

dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan

dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.

Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban-jawaban

dari penelitian yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam

yang dilakukan dengan menjawab rumusan masalah penelitian, teknis analisis


digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang

menghasilkan data dan selanjutnya diinterpretrasikan dan dibandingkan teori

yang ada sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi

tersebut. Penyajian data disesuaikan dengan desain studi kasus deskriptif

yang dipilih. Untuk studi kasus, data disajikan secara tekstur/narasi dan dapat

disertai dengan cuplikan ungkapan verbal dari subyek studi kasus yang

merupakan data pendukungnya.

3.9. Etika Studi Kasus

Dalam melakukan penelitian ini peneliti mendapatkan rekomendasi dari

InstitutKesehatan Mitra Bunda dan permintaan izin kepada kepala ruangan

Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Embung Fatimah

Batam. Setelah mendapat persetujuan (izin) barulah melakukan penelitian

dengan menekan masalah etika yang meliputi:

3.9.1. Informed Consent (Persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti

yang memenuhi kriteria inklusi, bila responden menolak maka peneliti

tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.

3.9.2. Anomity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberi kode.

3.9.3. Menunjukkan surat izin penelitian

Peneliti datang menunjukkan surat izin penelitian dari fakultas untuk

melakukan penelitian di tempat tersebut.


3.9.4. Penjelasan tentang peneliti

Responden dalam peneliti ini akan diberikan informasi tentang sifat dan

tujuan penelitian yang akan dilakukan

3.9.5. Confidentiallity (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai