MAKALAH
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS iDIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, rahmat
dan karunianya saya bisa membuat dan menyelesaikan makalah saya yang berjudul
“Analisis IUnsur IIntrinsik INovel I86 IKarya IOkky IMadasari Iyang IDikaitkan
Idengan ITeori ISosiologi ISastra” dengan baik sehingga dapat diterima oleh
pembaca.
Linda Febriyanti
(13010120140058)
i
DAFTAR iISI
C. Tujuan Analisis.................................................................................................... 3
D. Manfaat Analisis.................................................................................................. 3
1. Tema .............................................................................................................. 14
3. Latar ............................................................................................................... 32
7. Amanat ........................................................................................................... 44
B. Analisis Keterkaitan Isi Novel 86 dengan Teori Sosiologi Sastra Teori Sosiologi
Sastra ................................................................................................................. 44
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 49
ii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ iv
LAMPIRAN ........................................................................................................................ v
B. Identitas Buku...................................................................................................... v
iii
BAB iI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Novel iberjudul i86 ikarya iOkky iMadasari iyang iterbit ipada
itahun i2011 iini imembahas itentang isebuah ikecurangan iyang isering
iterjadi idalam idunia ihukum. iJika idicerminkan idengan ijelas, isimulasi
ikecurangan-kecurangan iyang iada idi idunia ihukum iseperti ihalnya
ikutipan iberikut, i“Ya ikalau ibegitu, itolong isaya idihubungkan idengan
ibosnya iMbak. iSudahlah itidak iusah isungkan-sungkan. iKita imemang
ibaru ikenal, itapi iya isama-sama itahulah, idelapan ienam iaja ideh!”
iLaki-laki iitu imengakhiri ipembicaraan idengan imengacungkan idua
ijempolnya idan itersenyum ilebar (86: i94). iUngkapan i86 iawalnya
idigunakan idikepolisian, iyang imemiliki imakna isudah idibereskan, idan
isama-sama. iTetapi ikemudian iistilah iini idigunakan isebagai itanda
ipenyelesaian iberbagai ihal idengan imenggunakan iuang, ikhususnya idi
ipengadilan.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Arimibi, si gadis polos dan
serba kekurangan dari desa yang bekerja sebagai juru ketik di pengadilan
negeri Jakarta. Ia bekerja keras banting tulang demi dirinya sendiri yang
mempunyai impian menjadi seseorang yang bisa hidup berkecukupan dan
demi kedua orang tuanya yang telah membesarkannya dan mendukungnya
sampai di titik ini, walaupun terkadang kedua orang tuanya memiliki sedikit
kesombongan akan anaknya yang dianggap telah sukses bisa bekerja di
pengadilan negeri, padahal kehidupan anaknya tak semudah itu karena
pekerjaan sebagai juru ketik di pengadilan dianggap sebagai pegawai
rendahan yang gajinya tidak bisa dinikmati secara berlebih.
Novel iini isangat irealistis idengan ikehidupan inyata. iHukum
iyang imemiliki idasar iperaturan iperundang-undangan idalam iKitab
iUndang-undang iHukum iPidana i(KUHP) ibisa ikalah idengan iorang-
orang iyang imemiliki ikendali iakan ihukum idan imemiliki ibanya iuang,
iseakan-akan iperaturan iyang itelah iditetapkan ihanya idigunakan isebagai
iformalitas isaja idalam idunia ihukum. i“Orang iyang ilebih ipaham
ihukum ilebih iberbahaya idaripada iorang iyang isama isekali itidak
ipernah imemahaminya”, ikutipan itersebut isaya idapatkan idari isebuah
2
idrama iKorea iyang imengangkat itopik itentang ipendidikan ipascasarjana
ijurusan ihukum iberjudul iLaw iSchool, idan inyatanya imemang iseperti
iitu. iOrang iyang ipaham itentang iaturan-aturan ihukum icenderung ilebih
iberani iuntuk imelakukan ikejahatan, isedangkan iorang iyang itidak
ipaham itentang iaturan-aturan ihukum icenderung itakut idan iselalu
imenimbang-nimbang iperbuatannya. iDari isini isaya imulai itertarik
idengan ikenyataan iapa isaja iyang isaya ilewatkan isebagai imanusia iyang
ihidupnya ibiasa isaja idengan imembaca idan imenganalisis isebuah inovel
itentang ihukum. iAnalisis iyang iakan isaya igunakan imenggunakan
ipedoman iteori isastra isosiologi ikarena idalam inovel iini iterdapat
ibanyak ipelajaran itentang ikenyataan isosial idi idunia ihukum.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Analisis
D. Manfaat Analisis
3
Manfaat idari ianalisis inovel i86 iini iada idua ijenis, iyang ipertama
iadalah imanfaat ipraktis. iManfaat ipraktis iyang ididapatkan iadalah
ipenulis ibisa imendalami ipesan imoral iyang iterdapat idalam inovel iini
idan imenjadi ipribadi iyang ilebih ibaik idi imasa idepanikarena idalam
imenjalani ikehidupan itidak isemudah iyang iterlihat. iBegitun ibagi ipara
ipembaca, iselain imendapatkan iilmu idan ipengalam ibaru, ipembaca
idiharapkan ibisa imenerapkan kesan ipositif iuntuk ikedepannya. iManfaat
ikedua iadalah imanfaat iteoritis iyang iberkaitan idengan iperkembangan
iilmu ipengetahuan, imanfaat iini ibisa idiambil isebagai ibahan ireferensi,
imenambah ikhazanah iilmu idalam ibidang isastra, ikhususnya itentang
iteori isastra imodern, iyaitu isosiologi isastra idalam inovel i86 ikarya
iOkky iMadasari iini.
E. Landasan Teori
1) Tema
4
dimunculkan lewat motif yang dilakukan secara implisit
(Nurgiyantoro, 1994).
5
Berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan, namu
teknik arus kesadaran lebih digunakan untuk melukiskan sifat-
sifat kedirian tokoh dan berusaha untuk menangkap pandangan
dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera
bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran,
perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams,
1999: 298).
e. Teknik Reaksi Tokoh
Reaksi yang dimaksudkan adalah ketika terjadi suatu
masalah dalam bentuk apapun, seperti kata-kata, sikap, tingkah
laku, dan lain sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri
tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-
hal tersebut dapat dipandang sebagai bentuk penampilan tokoh
yang mencerminkan kediriannya.
3) Latar
6
lokasi. Namun, banyak atau tidaknya latar tempat tidak
berhubungan dengan kadar kelitereran karya yang bersangkutan.
Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketetapan
deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang
lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi (Nurgiyantoro,
1994)
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu yang faktual, waktu yang ada
kaitannya atau waktu yang dapat dikaitkan dengan peristiwa
tersebut. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan
fungsional jika dikerjakan dengan teliti, terutama jika
dihubungkan dengan waktu sejarah atau pun masalalu. Masalah
“kapan” juga berkaitan langsung dengan keadaan tempat dan
cara hidup para tokoh cerita (Nurgiyantoro, 1994).
c. Latar Sosial-budaya (desa, kota, tingkat sosial tinggi dan
menengah)
Latar sosial-budaya merujuk pada hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan masyarakat di suatu tempat dalam cerita. Pada
tata cara kehidupan sosial masyarakat, latar ini mencakup
berbagai masalah yang cukup kompleks. Ia dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong
Jatar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Selain itu, latar
sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh,
misalnya status sosial dari rendah, menengah, atau atas.
7
stukutur plot sebagai salah satu kekuatan dari novel tersebut untuk
mencapai efek estetis. Pada novel-novel yang demikian, unsur plot
biasanya disiasati dan didayakan sehingga yampak berbeda, tidak
seperti plot yang sudah ada dan menjadi biasa saja (Nurgiyantoro,
1944: 167). Stanton (1965: 14) mengemukakan bahwa suatu alur
dapat diartikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, namun
tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa
yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang
lain.
Jika dilihat lebih mendetail, alur dibagi menjadi enam
bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Penyituasian
Pada bagian penyituasian, pengarang akan mengenalkan
tokoh utama, seperti ciri-ciri tokoh utama, keadaan tokoh utama,
dan sebagainya. Kemudian ada penataan adegan cerita, sampai
hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain.
b. Awal Konflik
Pengarang akan menyajikan konflik yang akan menjadi
jalannya cerita.
c. Konflik
Di sini konflik akan mulai dibahas dengan lebih mendetail,
kejadian yang tergolong penting, berupa peristiwa fungsional,
dan yang utama.
d. Klimaks
Merupakan puncak dari permasalahan, klimaks menjadi hal
yang amat penting dalam struktur alur cerita. Menurut Stanton
(1965: 16) klimaks merupakan suatu konflik yang telah
mencapai tingkat intensitas tertinggi dan tidak dapat dihindari.
e. Leraian
Setelah adanya klimaks dalam suatu cerita, biasanya akan
ada tokoh ketiga ataupun tokoh lain yang akan melerai tragedi.
8
f. Penyelesaian
Setelah peleraian yang dilakukan oleh tokoh ketiga ataupun
tokoh lain, maka selesailah karangan fiksi tersebut.
5) Sudut Pandang
9
b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Narator sebagai seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia
adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran
akan dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang
ia ketahui.
a) “Aku” Tokoh Utama
Si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan
tingkah laku yang telah ia lakukan dan ia alami, baik yang
bersifat fisik, batiniah, dalam diri sendiri, maupun
hubungannya dengan sesuatu yang ada di luar dirinya. Si
“aku” menjadi pusat kesadaran dan pusat cerita.
b) “Aku” Tokoh Tambahan
Tokoh “aku” muncul sebagai tokoh tambahan yang
hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca,
sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian
dibiarkan untuk mengisahkan dirinya sendiri.tokoh yang
dibiarkan itulah yang menjadi tokoh utama. Dengan
demikian si “aku” hanya tampil sebagai saksi kehidupan
tokoh utama saja.
c. Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”
Sudut pandang persona kedua memang jarang ditemukan
dalam berbagai cerita fiksi, tapi tidak menutup kemungkinan
bahwa sudut pandang ini ada di beberapa cerita fiksi, walaupun
hanya sekadar selingan dari gaya “dia” atau “aku”. Sudut
pandang gaya “kau” merupakan cara pengisahan yang
memperguakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara dalam
memandang tokoh aku dan dia.
d. Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang campuran berupa penggunaan
sudut pandangn persona ketiga dengan teknik “dia” mahatau dan
10
“dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku”
sebagai tokoh utama dan “aku” sebagai tambahan.
6) Gaya Bahasa
11
7) Amanat
12
dominan dominan adalah hiburan, informasi, hakikat kemanusaiaan,
moral, atau pengalaman-pengalaman spiritual dan batiniah, Persoalan
fungsi teks sastra dapat dipelajari lebih dalam konteks fungsi sosial-
kultural sastra. Bagaimana sebuah teks sastra dapat berperan dalam
pembangunan moral dan peradaban manusia, sehingga manusia
semakin lebih dekat dengan hakikat kemanusiaannya. Bagaimana
sebuah teks sastra mampu mengembalikan manusia kepada hakikat
kemanusiaannya. Sapardi Djoko Damono menjabarkan fungsi sosial-
kultural sastra itu dalam tiga anggapan (Damono, 1984:68-7).
13
BAB II
PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang analisis unsur intrinsik dari novel berjudul 86 karya Okky
Madasari serta kaitannya dengan teori sastra modern berupa sosiologi sastra.
Unsur intrinsik sebuah novel ada beberapa macam, mulai dari tema
sampai dengan amanat. Berikut adalah analisis unsur intrinsik novel
berjudul 86 karya Okky Madasari:
1. Tema
Tema pokok atau tema mayor dalam novel ini adalah korupsi, dapat
dilihat dengan jelas dari konflik yang menonjol dalam suap menyuap
dan penerapan prinsip 86 di kantor pengadilan yang artinya sudah
dibereskan, tahu sama tahu. Novel ini banyak membahas tentang
tercelanya dunia hukum di Indonesia, bbahkan sebagian besar pegawai
hukum melakukannya.
Tema tambahan dalam novel ini adalah perbedaan keadaan sosial,
ekonomi, dan budaya pada kasta atas dengan kasta menengah. Masalah
hidup lain yang tidak terlalu menonjol adalah kisah romansa antara
Arimbi, Ananta, dan Tutik. Di novel ini ada sedikit hubungan terlarang
antara Arimbi dan Tutik di penjara karena suatu alasan sehingga sama-
sama mau.
1) Teknik Ekspositoris
14
Di usianya yang sudah 45 tahun, Bu Danti selalu
segar dan cantik. Badannya subur dengan lemak yang
menggelembung di perut dan lengan. Dia selalu
terlihat modis meski menggunakan seragam. Sepatu
dan tasnya selalu berganti setiap dua hari sekali,
menyesuaikan dengan warna seragam yang
dipakainya. Mukanya putih mengilap dengan tata
rias yang lengkap. Pemulas mata, perona pipi, lipstik,
hingga pulasan maskara dan pembuat bingkai mata,
semuanya terpoles sempurna. Rambutnya yang
sebahu disasak sebagian, tepat di bagian samping dan
atas. Tak pernah lupa ia memakai kalung, giwang,
dan cincin. Ada yang berhias intan, ada yang mutiara,
ada juga yang emas kuning polos tanpa hiasan apa
pun (86, 2011: 26).
2) Teknik Dramatik
15
b. Teknik Tingkah Laku
Tingkah laku tokoh dari dialog maupun narasi.
"Dia pengacara, kan?"
Anisa mengangguk.
"Ah, masa sih dia selingkuhan Bu Danti?" Arimbi
berbisik di telinga Anisa.
"Jangan omong sembarangan."
"Eee. aku sering lihat Bu Danti dijemput orang itu.
Mereka sering jalan bareng."
"Ah, bisa saja ada urusan."
"Urusan kok sering-sering. Sudah gitu, Bu Danti
setiap mau ketemu pasti dandan menor habis-
habisan. Setiap habis ketemu, pipinya itu jadi merah
semua dan tertawa seharian."
Arimbi tertawa mendengar omongan Anisa.
"Terus lagi, Bu Danti pernah ngomong dia habis
ketemu Albert di hotel mana gitu, aku lupa."
"Namanya Albert?"
Anisa mengangguk. Arimbi kembali tertawa.
Makanannya sudah habis. Kantin mulai sepi. Bu
Danti masih terus mengobrol dengan laki-laki itu.
(86, 2011: 30).
16
"Kalau bukan gara-gara ibu, nggak mungkin saya
nyasar ke tempat seperti ini," kata Arimbi dengan
suara tinggi.
"Eee... jangan asal omong ya! Kita kerja sama-sama
untung. Kamu juga senang kan dapat 50 juta!"
"Lima puluh juta apa, Bu? Nggak ada duitnya, sudah
di- ambil semua. Malah sekarang saya mesti
sengsara."
"Itu namanya risiko, Mbi. Memang kamu pikir aku
nggak sengsara?" suara Bu Danti melunak.
Tapi Arimbi tak mampu meredam emosi. Nada
suaranya makin tinggi, "Memang saya sengaja
dijadikan umpan, kan- Ibu mau menjebak saya, kan?"
bagi untung ke kamu. Apa kamu pikir aku nggak tahu
kelakuanmu sama pengacara-pengacara itu? Jangan
sok bersih!" (86, 2011: 152)
Di sini Arimbi dan Bu Danti sama sama
mengeluarkan keluh kesahnya, terutama Arimbi yang
merasa benar-benar dikhianati oleh bosnya, bahkan
Arimbi sengaja dijadikan sebagai umpan dalam kegiatan
korupsinya.
17
bersama Tutik. Apakah suaranya masih akan
didengar Tuhan? Keraguan itu membuatnya berhenti.
Arimbi tak mampu lagi mengatakan apa yang dia
inginkan dan dia risaukan. Air matanya terus
menerus mengalir tanpa lagi bersuara (86, 2011:
238).
Menggambarkan kesadaran dari tokoh Arimbi. Di
sini Arimbi berniat meminjam uang kepada Tutik untuk
membeli sebuah rumah, tetapi alasan yang diberikan
kepada Tutik adalah untuk kesembuhan ibunya. Ia
merasa menyesal dan sangat berdosa, meyesal karena
telah melakukan hal yang tidak benar dengan Tutik, yaitu
hubungan antar wanita dengan nafsu semata, menyesal
karena telah membohongi Tutik dan suaminya, hingga
akhirnya merasa sangat berdosa akan dosa-dosanya.
Ketika ia ingin memasrahkan diri kepada Tuhan ia tak
sanggup memikul segala dosa-dosanya dan yang tersisa
hanya genangan air mata.
18
persediaan. Tapi bukankah Tutik se dang
menawarkan cara mencari uang?
Kondisi Arimbi yang tidak memungkinkan untuk
menolak akhirnya pun menerima tawaran tersebut
demi kesembuhan ibunya (86, 2011: 197).
Reaksi Arimbi ketika tahu cara Tutik menjadi kaya
walaupun tinggal di penjara, adalah karena ternyata dia
merupakan perantara dari narkoba, sabu-sabu.
19
"Ooo." Arimbi mengangguk-angguk. Bukan pura-
pura, ia memang benar-benar baru paham (86, 2011:
98)
20
mata terpejam, lalu berkata, "Mbak, sampeyan
nglindur?"
Tutik membuka mulut, "Ssst. tidak apa-apa. Biar
kamu nggak sedih terus. "Maksudmu apa, Mbak?"
tanya Arimbi pelan, tapi dengan suara bergetar.
"Nggak ada maksud apa-apa. Manut saja ya, nggak
apa- apa. Biar kamu enak, nggak sedih-sedih terus,"
kata Tutik sambil terus menggerakkan tangannya.
Memainkan puting, meremas daging, menyusuri
dada ke bawah, lalu menyusup ke balik celana dalam
Arimbi. "Mbak. jangan, Mbak," rengek Arimbi
setengah menangis. "Ssst. nggak apa-apa. Besok pagi
kita pikirkan duit buat ibumu lagi (86. 2011: 194-
195).
21
dengan gaji PNS dan gaji Ananta setiap harinya. Beban
hutang kepa Cik Aling untuk membayar DP rumah pun
tidak akan pernah lunas jika terus seperti itu. Niat awal
yang ingin terlepas dari perdagangan sabu-sabu hilang
sekelebat mata karena kebutuhan primer keluarga
mereka. Walaupun kini Arimbi sedikit-sedikit telah
menjalankan usaha menjual sembako di gang rumahnya,
tetapi Ananta masih bekerja keras untuk mengedarkan
sabu-sabu demi membayar hutang dan menghidupi
keluarganya. Hingga pada akhir cerita, Ananta
tertangkap oleh oleh polisi ketika sedang mengantarkan
sabu-sabu ke tempak pelanggannya.
22
"Mbi," bisik Ananta sambil membelai tangan istrinya,
"aku juga nggak mau terus-terusan jualan sabu-sabu.
Tapi biarkan sebentar dulu. Paling tidak kita mesti
punya modal dulu. Kalau kemarin-kemarin mesti
dikirim buat Ibu, sekarang bisa kita tabung." (86,
2011: 247).
23
Sikap-sikap tercela yang dilakukan oleh Bu Danti
adalah, korupsi, suap menyuap, mendukung adanya
kecurangan, bahkan Bu Danti melakukan beberapa
perselingkuhan dengan rekan-rekannya untuk
kesenangan diri dan pastinya untuk kelancara dalam
pekerjaannya juga. Setiap yang berkuasa datangnya,
dari uang. Sikap lain yang tak kalah mengejutkan
adalah ketika Bu Danti menyewa dukun supaya bisa
membuat kericuhan di sidang gugatannya.
Bu Danti bukanlah sosok orang kaya yang sombong,
jika ada orang yang memang ketara beda kasta
dengannya, ia tak akan bersikap sombong kepadanya,
sebaliknya Bu Danti akan membantu orang tersebut,
walaupun cara yang dilakukan didapatkan dari
perbuatan tercela, atau haram. Dalam satu kasus, Bu
Danti masuk ke dalam jajaran orang-orang nakal, yaitu
pecandu narkoba. Beliau sangat cerdas ketika
melakukan dan menyembunyika hal-hal tercela
tersebut, hingga orang lain pun tak sadar bahwa ia
memang senakal itu.
Bu Danti masuk ke dalam jajaran tokoh statis karena
memang sifat aslinya seperti yang telah digambarkan
di atas dan terbukti dari kutipan-kutipan berikut:
24
Sebuah SMS dari Bu Danti masuk menjelang tengah
malam. "Besok jam sembilan ketemu pengacara di
restoran Ayam Bakar Tebet. Bilang semua urusan
lewat kamu."
"Pengacara yang mana, Bu? Urusan apa?" balas
Arimbi.
"Langsung saja ke ruang VIP. Ada kasus korupsi.
Bilang tak bisa kalau kurang dari dua. Buat hakim
saja paling sedikit satu setengah. Sisanya bagian kita.
Semua lewat kamu saja." (86, 2011: 137).
25
"Beres, Cik. Masih ada stok di kamar. Besok minta
dikirim."
"Itu. juragannya, yang katanya pejabat pengadilan,
langganan tetap kita sekarang." kata Aling pada
Arimbi.
Arimbi menyipitkan mata, tak percaya."Bu Danti?
Bu Danti makai juga?"
Aling tertawa. "Ternyata sudah makai lama dia. Dari
za- man di luar. Ya, Tik, ya?"
Tutik mengangguk. "Iya. Aku juga telat tahunya.
Pintar banget dia nyembunyiin. Makai malam-
malam. Barang di- simpan di laci." (86, 2011: 202).
26
dan mengajak setiap orang berkenalan. Pada hari-
hari tertentu, ia datang ke tempat-tempat yang dekat
dengan SMA-SMA. Duduk di warung langganan
anak-anak sekolah, hanya untuk menunggu
kesempatan membuka percakapan dan menjadikan
mereka langganan. Semuanya dilakukan sambil tetap
bekerja menyurvei orang-orang yang mengajukan
kredit dan tetap mengantar barang sesuai perintah
Cik Aling (86, 2011: 207).
27
Tutik masuk ke dalam jajaran perempuan desa yang
nakal, pasalnya dia bisa masuk penjara karena
berhubungan intim dengan majikannya di kota.
Sebenarnya Tutik memiliki sifat yang ramah dan suka
menolong orang lain, buktinya ketika Arimbi
kesusahan di dalam penjara, ia sigap membantunya.
Tapi entah bagaimana isi pikiran Tutik ketika ia
pertama kali menyetubui Arimbi itu hanya karena rasa
kasihan atau memang karena nafsu semata. Jika di lihat
dari riwayat hidupnya, saya berpikir bahwa awal niat
baik tersebut karena nafsu, beruntung jika yang diajak
mau sama-sama melakukan, jika tidak, ya sudah.
Mungkin hal itu yang tersirat dalam pikiran Tutik.
Tutik sudah tiga tahun dipenjara. Asalnya dari
Wonogiri, lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Karena
merasa berasal dari daerah yang berdekatan, sejak
awal dia selalu ramah dan baik pada Arimbi (86,
2011: 175).
28
Setelah dua pulukan nasi, dia berkata, "Lha iya, kalau
ibumu sakit, apa kamu mau ikut-ikutan sakit di sini?"
Tutik memuluk nasi lagi. Tapi kali ini bukan
dimasukkan ke mulutnya. Tangan kanannya menuju
mulut Arimbi. "Ayo, ini makan." "Ah, Mbak Tutik
ini apa to?” "Lha kalau nggak mau makan, malah tak
jejeli terus. Ayo pilih mana?" (86, 2011: 189).
29
Bertanya dengan suara tinggi penuh emosi, tapi
kemudian melemah dan menangis tersedu-sedu.
Beberapa hari kemudian Arimbi yang menelepon
orangtuanya, meyakinkan semua akan baik-baik
saja, dan ini cuma permainan orang-orang yang
dengki. Bapaknya berbicara lembut,
membesarkan hati anaknya dan meyakinkan
mereka percaya Arimbi orang baik. Anak mereka
bukan pencuri atau perampok. (86, 2011: 156).
30
Dasarnya seorang pengacara nakal tidak akan
menepati janji-janjinya, mereka adalah orang-orang
yang gila akan harta dan jabatan.
Adrian ditahan. Hanya beberapa jam setelah Arimbi
menyampaikan kisah karangan, demi uang 500 juta.
Arimbi kena tipu. Adrian bersekongkol dengan
orang-orang Bu Danti (86, 2011: 168).
31
3. Latar
1) Latar Tempat
a. Ponorogo
Ponorogo adalah kampung halaman Arimbi. Di sana
suasananya sangat ramah karena mayoritas orang-
orang pedesaan memiliki rasa kekeluargaan yang
tinggi.
Hari pertama di rumah, dari pagi sampai malam,
orang- orang tak henti berdatangan. Orang-orang itu
bertanya bagaimana hidup di Jakarta (86, 2011: 50).
b. Klaten
Klaten merupakan rumah kedua orang tua Ananta.
Suasana kota Klaten yang penuh kendaraan dan toko
sudah tak berbekas lagi di daerah ini. Mereka turun
dari bus di tempat yang menyerupai pasar. Lalu naik
ojek dengan ongkos masing-masing lima ribu rupiah
(86, 2011: 127).
c. Solo
Solo merupakan tempat kuliah Arimbi selama empat
tahun.
Di Solo, Arimbi juga tinggal di gang buntu. Ia
menyewa kamar di rumah tua. Meski sama-sama
tinggal di gang, tetap saja gang yang ditinggalinya
saat ini jauh lebih suram dan membosankan
dibanding gang yang ditinggalinya di Solo (86,
2011: 13).
32
d. Jakarta
Gang kecil di Jakarta (letak kontrakan Arimbi)
Empat tahun lalu Arimbi datang ke gang ini. Inilah
ibu kota yang sering dia tonton di televisi. Rumah-
rumah ukuran satu petak berdempetan, gang kecil
berbau got, orang-orang berwajah masam, dan
anak-anak kurus penuh ingus (86, 2011: 11).
e. Kantor
a) Arimbi mulai membongkar tumpukan kertas di
mejanya. Itu semua bahan-bahan yang harus
diketik ulang, dirapikan, dan di-fotocopy. Arimbi
membaca kertas-kertas itu sekilas, memilih mana
yang lebih dulu akan dikerjakan. Dia melirik jam,
sudah jam setengah sebelas. Jam satu nanti akan
ada sidang yang harus diikutinya. Sambil
menguap, Arimbi meng- ambil satu berkas sudah
ditandai dengan kata "Segera" yang oleh Bu Danti
(86, 2011: 27).
b) Hari pertama bekerja setelah libur panjang, Bu
Danti meletakkan catatan kecil di meja Arimbi.
Isinya perkara-perkara yang putusannya harus
selesai diketik minggu ini. Arimbi mem- bacanya
sambil menggerutu. Dalam lima hari, ada lima
surat harus selesai diketik, dibendel, lalu
diserahkan putusan yang ke Bu Danti (86, 2011:
66).
f. Ruang Sidang
a) Ruang sidang ini ada di kantor Arimbi.
Arimbi masuk ke ruangan sidang yang sudah
dipenuhi banyak orang. Bangku pengunjung dari
yang paling depan hingga paling belakang tak ada
lagi yang kosong. Beberapa laki-laki berbadan
tegap berdiri di dekat pintu masuk. Arimbi duduk
di meja yang berada di belakang kursi hakim. Ia
amati orang- orang yang berada di dalam ruangan.
Belum pernah ada sidang sengketa tanah dengan
orang sebanyak ini (86, 2011: 32).
33
bangku paling depan, bersebelahan dengan
seorang perempuan. Kamera-kamera TV tersebar
di mana-mana. Juru foto hilir-mudik, menjepret
wajah Arimbi dan Bu Danti berulang kali (86,
2011: 157).
g. Ruang Panitera
Di ruang panitera, Adrian kebingungan mencari
ruang panitera
"Cari siapa, Pak?"
"Mmm... bagian panitera di mana ya?" "Ini bagian
panitera."
"Anda panitera?"
"Bukan, atasan saya yang panitera. Saya panitera
peng ganti."
"Bisa ketemu atasan Anda?"
"Dinas luar kota. Seminggu baru kembali." (86,
2011: 92).
h. Restoran VIP
Restoran ini memang belum buka, tetapi sudah ada
seorang pelayan menyapa Arimbi. Arimbi
langsung menyebut ruang VIP. Arimbi lalu
mengikuti langkah pelayan itu menuju ke bagian
dalam restoran. Mereka masuk ke ruangan
tertutup. Di dalamnya sudah ada dua laki-laki.
Arimbi tak mengenal mereka (86, 2011: 138).
i. Rumah Bu Danti
Siang itu, Arimbi datang ke rumah Bu Danti.
Jaraknya tak jauh dari restoran bertemu pengacara-
pengacara itu. Arimbi sebenarnya sempat heran,
kenapa bukan Bu Danti sendiri yang menemui
mereka untuk mengambil koper berisi uang 2
miliar ini? (86, 2011: 141).
j. Penjara
a) Penjara khusus perempuan di Jakarta Timur
Arimbi dan Bu Danti dipindah dari tahanan
markas polisi. Mereka berdua dibawa ke penjara
besar yang hanya dihuni perempuan di Jakarta
Timur (86, 2011: 172).
34
Tutik mengajak Arimbi masuk ke sebuah kamar
yang di dalamnya sudah dipermak, jauh lebih
bagus daripada sel-sel di sebelahnya. Begitu
masuk ruangan, terasa adem, ada AC yang
disembunyikan entah di mana.
Tutik mengajak Arimbi ke belakang sekat.
Seorang perempuan berbaring di kasur menghadap
televisi. Tutik menyapa "Cik... ini orangnya, Cik."
(86, 2011: 201).
2) Latar Waktu
a. Senin, Juli
Pada hari senin pertama di bulan Juli, Arimbi
terbangun. Separuh kontrakannya masih gelap. Jam
di handphone-nya menunjukkan angka 05.43 (86,
2011: 19).
b. Sabtu, Juli
Pada Sabtu siang yang seperti biasanya selalu
membosankan. Arimbi menelungkupkan tubuhnya di
kasur dan berniat tidur di tengah hari yang garang,
mengabaikan tetesan keringat di leher dan dahinya.
Kaus singlet tipis dan celana pendek yang dipakainya
sama sekali tak mengurangi rasa tempat tidur. Ia
panas ruangan itu (86, 2011: 41).
c. Februari
Awal bulan Februari, Bu Danti meninggalkan
selembar kertas di meja Arimbi. Isinya jadwal sidang
yang harus diikuti Arimbi. Di bagian bawah dia
menulis, "Besok aku ada urusan ke Singapura. Senin
baru mulai ngantor." (86, 2011: 86).
d. Mei
Pada pertengahan Mei, saat Bu Danti ke luar kota
lagi, Anisa tak masuk kerja, dan Wahendra keluyuran
entah ke mana, seorang laki-laki muda masuk ke
35
ruangan Arimbi. Gerakan tubuhnya penuh
ketergesaan, sementara raut mukanya tampak
kebingungan. Dia berhenti di depan pintu, celingak-
celinguk mencari sesuatu tanpa tahu apa atau siapa
yang hendak dituju. (86, 2011: 92).
e. Juni
Hari pertama Juni, Arimbi dan Ananta berada di
antara kerumunan orang yang menunggu kereta di
Stasiun Pasar Senen. Mereka hendak pulang
kampung. Ke Klaten, lalu ke Ponorogo. Berkenalan
dengan masing-masing keluarga, lamaran, lalu
menikah saat itu juga. Semuanya dalam satu waktu.
Agar lebih gampang dan hemat biaya. Arimbi
mengiyakan. Ia belum pernah naik kereta (86, 2011:
110).
f. Agustus, 2007
Bulan Agustus, 2007. Seorang sipir memanggil
Arimbi. Bukan panggilan biasa, sipir itu
mengajaknya ke ruangan petugas. Mereka duduk
berhadapan. "Sebentar lagi Agustusan, Mbak," sipir
itu memulai bicaraan. "Seperti biasanya nanti kan
ada potongan," lanjutnya (86, 2011: 215).
g. Desember
Desember tiba. Janji itu benar-benar menjadi nyata.
Beberapa lembar kertas telah diserahkan kepala
penjara pada Arimbi. Ia sudah bisa keluar mulai hari
ini (86, 2011: 222).
36
di dua ruas sebelahnya dan di belakang Kopaja.
Semuanya diam berhenti. Hanya sepeda motor yang
masih bisa bergerak, meliuk-liuk di antara celah-
celah kendaraan besar, kadang dengan menabrak
spion dan menyisakan goresan kecil di badan mobil-
mobil pribadi yang mengilap (86, 2011: 22).
37
kebangkrutan otomatis langsung terkena PHK. Masih
untung jika bisa kerja di pabrik lain, jika tidak ya balik
ke kampung.
38
4. Alur dan Pengaluran
1) Penyituasian
2) Awal Konflik
3) Konflik
39
memberikan sedikit suap kepada pegawai KAU agar surat-surat
pernikahannya segera diproses dan segera selesai. Di sini telah
terlihat bahwa Arimbi telah melakuakan hal yang tercela, yaitu
menerima suap dan menyuap.
4) Klimaks
5) Leraian
6) Penyelesaian
1) Penyituasian
40
Dalam bab 8, Bu Danti dipindah dari tahanan markas polisi
ke tahanan besar yang hanya dihuni oleh perempuan di Jakarta
Timur. Pada bab ini mereka saling menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Arimbi berada di lingkungan penjara biasa, dan Bu
Danti berada di lingkungan penjara elit.
Saat pertama kali ke kamarnya Arimbi berkenalan dengan
Tutik yang sudah tiga tahun berada di penjara ini, dia adalah ketua
kamar.
2) Awal Konflik
Awal mula adanya konflik masih berada di bab 8. Ibu Arimbi
jatuh sakit saat mendengar anaknya masuk ke dalam penjara. Setiap
hari sakit beliau bertambah parah hingga harus dioperasi, tetapi
keluarga yang bisa diandalkan untuk membiayai operasi tersebut
hanya Arimbi.
3) Konflik
Arimbi sebagai anak satu-satunya dan tulang punggung
keluarga merasa sangat bertanggung jawab akan pengobatan ibunya.
Dia bingung bagaimana caranya mendapatkan uang dengan cepat.
Pertama Tutik meminjamkannya uang untuk biaya operasi, tetapi
ternyata ibunya tidak hanya membutuhkannya untuk sekali saja, di
hari yang akan datang ibunya harus cuci darah, dan cuci darah itu
harus dilakukan setiap minggu.
4) Klimaks
Pada bab 8 bagian akhir, Tutik menawarkan kerjasama. Dan
kerjasama tersebut adalah perdagangan sabu-sabu. Pada bab 9,
karena sudah benar-benar kebingungan, akhirnya Arimbi mau ikut
bekerjasama. Sampai Arimbi keluar penjara pun bisnis ini masih
terus berjalan dalam beberapa bulan.
5) Leraian
Leraian ini diperankan oleh bayi Arimbi, pasalnya ketika
Arimbi telah melahirkan bayinya dia sudah berniat untuk berhenti
41
melakukan bisnis tersebut, tetapi sebenarnya masih berjalan lancar.
Leraian kedua diperankan oleh ibu Arimbi yang telah meninggal.
Arimbi merasa kematian ibunya disebabkan oleh dosa-dosanya.
6) Penyelesaian
Pada bab 10 ini, Arimbi sudah benar-benar berubah, dia telah
bertobat kepada Tuhannya. Dia sudah berniat jika uang hasil sabu-
sabu telah banyak terkumpul untuk melunasi cicilan rumah dan bisa
untuk ditabung demi masa depan nanti, Arimbi akan benar-benar
menyelesaikannya dan memulai bisnis baru. Tetapi apa daya jika
Tuhan tidak meridhoi niat tersebut. Ananta masuk penjara ketika
sedang mengantarkan sabu-sabu ke rumah langganannya. Kini
Arimbi akan hidup hanya dengan anaknya dan mulai mencari
penghasilan yang sepantasnya.
Pengaluran dalam novel ini menggunakan alur campuran
karena dalam penyituasian di awal kasus, Arimbi membayangkan
masa-masa ia berada di Solo untuk menempuh pendidikannya.
Di Solo, Arimbi juga tinggal di gang buntu. Ia
menyewa kamar di rumah tua. Meski sama-sama
tinggal di gang, tetap saja gang yang ditinggalinya
saat ini jauh lebih suram dan membosankan
dibanding gang yang ditinggalinya di Solo (86,
2011: 13).
5. Sudut Pandang
42
Setiap pukul setengah tujuh pagi, gang kecil tanpa
nama ini menjadi seperti pasar. Orang-orang
berdesakan, berjalan cepat-cepat, berebut mencari
celah agar bisa lebih ke depan. Sesekali terdengar
teriakan meminta yang berjalan lambat mempercepat
langkah (86, 2011: 9).
6. Gaya Bahasa
43
dari mana? Nggak akan bisa kalau cuma dari gaji."
"Ya dari suamimu." (86, 2011: 70).
7. Amanat
Amanat yang bisa didapatkan dari membaca novel ini, antara lain:
a. Utamakan kejujuran dalam melakukan suatu pekerjaan
walaupun hasil dari kejujuran tersebut dirasa masih kurang.
b. Korupsi memang sudah umum dilakukan oleh para pekerja,
apalagi pekerja pengadilan yang memiliki jabatan tinggi seperti
tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam novel ini. Penyalahgunaan
kekuasaan bisa merugikan banyak orang, terutama diri sendiri.
Jadi amanat dari kasus ini adalah bersegeralah menyadarkan diri,
kenikmatan dari hasil haram tidak akan pernah abadi, suatu saat
kerugian yang lebih besar akan menimpa keharaman tersebut.
c. Hati-hati dalam memilih, seperti memilih teman, pekerjaan, dan
lain sebagainya karena jika pilihan tersebut merupakan akar
kejahatan, niscaya kejahatan pun akan tumbuh dalam diri kita.
d. Orang tua merupakan tiang pembimbing bagi anak-anaknya,
walaupun seorang anak telah tumbuh dewasa dan menguasai
berbagai hal yang tidak dikuasai oleh orang tuanya, peran orang
tua sebagai penasihat adalah hal yang paling penting untuk
menata kehidupan yang lebih baik.
44
kemasyarakatan lainnya, tetapi sosiologi memandang peristiwa sosial
dengan caranya sendiri, cara yang mendalam, sampai pada hakikatnya
segala pembentukan kelompok, hakikat kerja sama, serta kehidupan
bersama dalam arti kebudayaan dan kebendaan (Bouman dalam Santosa dan
Wahyuningtyas, 2011:20).
Soekanto (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2011:21)
menyatakan bahwa fungsi sosiologi adalah untuk memahami perilaku
manusia karena dalam peranan kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh
subsistem sosialnya. Subsistem sosial tersebut pada dasarnya mencakup
unsur-unsur pribadi atau individu dalam kehidupan yang dihasilkan oleh
masyarakat tersebut.
Teori sosiologi sastra tidak jauh berbeda dengan pengertian
sosiologi secara individu. Keduanya sama-sama membahas tentang
hubungan yang tercipta antar manusia, entah itu hubungan saudara,
hubungan tetangga, hubungan antar masyarakat, dan lain sebagainya.
Hubungan-hubungan ini disimpulkan dalam kata sosial. Hubungan antar
manusia yang tercipta disebut dengan hubungan sosial.
Dalam novel 86 yang membahas tentang dunia hukum pastinya
terdapat banyak hubungan sosial yang tercipta antar manusia, seperti
hubungan pengacara degan kliennya, hubungan hakim dengan pengacara,
hubungan hakim dengan jaksa, dan sebagainya. Dalam hubungan ini pun
tidak selalu memiliki dampak yang positif antar satu sama lain, hubungan
sesaat ini bisa saja membuat orang lain terluka.
Contoh hubungan tersebut ada dalam kasus korupsi di novel ini.
Ketika Arimbi diajak bekerjasama dengan Bu Danti untuk menangani kasus
korupsi dengan jalan suap menyuap, yang paling dirugikan adalah Arimbi
karena Arimbi hanyalah seorang pegawai biasa yang tidak memiliki kuasa
apa pun, dan yang paling ditonjolkan dalam novel ini adalah persoalan
keuangan, siapa yang kaya, dia yang menang.
Dalam novel ini juga ada beberapa kasus sosial yang membuat orang
lain merasa tertampar.
45
Bus Kopaja berjalan merambat di sepanjang
Mampang. Di depan kantor stasiun televisi, Kopaja
itu berhenti. Bukan menurunkan penumpang, tapi
hanya diam tak bergerak. Di depan Kopaja, mobil-
mobil mengular, juga diam tak bergerak. Begitu juga
di dua ruas sebelahnya dan di belakang Kopaja.
Semuanya diam berhenti. Hanya sepeda motor yang
masih bisa bergerak, meliuk-liuk di antara celah-
celah kendaraan besar, kadang dengan menabrak
spion dan menyisakan goresan kecil di badan mobil-
mobil pribadi yang mengilap (86, 2011: 22).
Dari kutipan tersebut telah jelas, mana golongan kasta tinggi, mana
golongan kasta tengah, dan mana golongan kasta rendah. Kasta tertinggi
diduduki oleh orang-orang yang memiliki kendaraan berupa mobil, kasta
tengah berupa sepeda motor, dan kasta rendah berupa kendaraan umum
yang penuh peluh. Pencerminan yang sangat jelas ini kadang kala membuat
hati sangat sesak, keinginan hati ingin berada di golongan kasta tinggi, tapi
apa daya, diri belum sanggup mencapainya.
Kasus lain adalah hubungan sosial di pedesaan. Disajikan dua
kutipan yang menjelaskan bahwa kehidupan di desa bisa dibilang lebih
berat, bisa juga dibilang lebih ringan.
"Kapan balik ke Jakarta?" Pertanyaan Narno
menghentikan lamunan Arimbi. "Besok sore.
Awakmu" kapan?" "Kapan apanya?" Narno balik
bertanya dengan tertawa. "Aku di sini saja sekarang."
lanjutnya. "Lho, bukannya di Surabaya?" "Memang
ibumu belum cerita?" Arimbi menggeleng. Ibunya
sekarang jarang bercerita soal orang lain. Setiap
menelepon atau ketemu, hanya soal jodoh Arimbi.
"Kena PHK. Sudah setahun ini mbalik ndeso18"
Narno menjawab sambil tertawa.
"Ya seperti ini. Tani. Maksudnya nggarap sawah
orang, bukan tani sawah sendiri." (86, 2011: 56).
46
"Hah...?" Arimbi tak percaya. "Jadi pamong bayar 40
juta?" (86, 2011: 60).
47
pencerahan supaya bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan menciptakan
keadaan sosial bermasyarakat yang lebih sejahtera.
48
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
49
5. Novel yang menyuarakan kritik sosial seperti ini patut untuk
ditunjukkan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia supaya
manusia-manusia di Indonesia menjadi lebih sadar akan keadaan sosial
di negaranya dan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih
sejahtera, aman, dan makmur sesuai dengan isi dari pandangan hidup
Indonesia.
50
DAFTAR PUSTAKA
iv
LAMPIRAN
B. Identitas Buku
v
Penulis : Okky Madasari
Halaman : 256
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Tebit : 2011
C. Sinopsis
vi
vii