LP Diabetic Foot Fix
LP Diabetic Foot Fix
A. DEFINISI
Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala
klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh,
gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga
gangguan metabolisme lemak dan protein. (Askandar, 2000).
Diabetic Foot (Kaki diabetik) adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus; merupakan suatu penyakit pada penderita diabetes
bagian kaki. (Misnadiarly, 1997). Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita
diabetes adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf,
pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.(Thoha,
Wibowo.EW)
B. ANATOMI FISIOLOGI
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum dan terdapat
kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau Langerhans. Dalam pulau langerhans jumlah sel
beta normal pada manusia antara 60% - 80% dari populasi sel Pulau Langerhans. Pankreas
berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini merupakan kelenjar majemuk yang
terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan enzim-
enzim pankreas seperti amylase, peptidase dan lipase, sedangkan jaringan endokrin
menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, glukagon dan somatostatin (Dolensek, Rupnik
& Stozer, 2015).
Pulau Langerhans mempunyai 4 macam sel yaitu (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015) :
a. Sel Alfa sekresi glukagon
d. Sel Pankreatik
Hubungan yang erat antar sel-sel yang ada pada pulau Langerhans menyebabkan
pengaturan secara langsung sekresi hormon dari jenis hormon yang lain. Terdapat hubungan
umpan balik negatif langsung antara konsentrasi gula darah dan kecepatan sekresi sel alfa,
tetapi hubungan tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel beta. Kadar gula
darah akan dipertahankan pada nilai normal oleh peran antagonis hormon insulin dan
glukagon, akan tetapi hormon somatostatin menghambat sekresi keduanya (Dolensek,
Rupnik & Stozer, 2015).
C. ETIOLOGI
Etiologi ulkus diabetik temasuk neuropati, penyakit pembuluh darah (vaskulopati), tekanan
dan deformitas pada kaki. Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki
diabetik. Secara umum faktor-faktor tersebut dibagi menjadi :
Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan
makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.
2. Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik,
neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata
kabur).
3. Neuropati sensorik pada kaki bisa menyebabkan terjadinya trauma yang tidak
disadari. Neuropati motorik juga menyebabkan otot intrinsik lemah ntuk menampung
berat badan seseorang dan seterusnya terjadilah trauma.
Faktor Presipitasi
1. Perlukaan di kulit (jamur).
2. Trauma.
3. Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
Faktor Yang Memperlambat Penyembuhan Luka
1. Derajat luka.
2. Perawatan luka.
3. Pengendalian kadar gula darah.
D. PATOFISIOLOGI
Terjadinya masalah pada kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM
yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Diabetes
seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang menghambat sirkulasi darah. Dalam
kondisi ini, terjadi penyempitan di sekitar arteri yang sering menyebabkan penurunan
sirkulasi yang signifikan di bagian bawah tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut
berperan terhadap timbulnya kaki diabetik dengan menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi
yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain, akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari
tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan tindakan amputasi.
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan
faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai
dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga
terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran
pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik,
pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama derah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan
untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat
adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi
komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.
Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita diabetes
lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel darah putih ‘memakan’
dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah (KGD) diatas 200 mg%.
Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri
anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik
mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat.
Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka sukar sembuh
dan kuman anaerob berkembang biak.
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
a. Sering kesemutan/gringgingan (asimptomatis)
b. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil)
c. Nyeri saat istirahat
d. Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus)
e. Adanya kalus di telapak kaki
f. Kulit kaki kering dan pecah-pecah
G. KOMPLIKASI
Menurut (Mansjoer dkk, 1999) beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus adalah
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia secara harafiah berarti kadar glukosa darah di bawah harga normal.
Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5
mmol/L), tetapi kadar <180 mg% (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar glukosa
plasma kira-kira 10 % lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan
(whole blood) karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif lebih rendah. Kadar
glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler
diantara kadar arteri dan vena (Wahono Soemadji, 2006).
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia dapat terjadi karena meningkatnya asupan glukosa dan meningkatnya
produksi glukosa hati. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisme habis secara
normal melalui glikolisis. Tetapi, sebagian melalui perantara enzim aldose reduktase akan
diubah menjadi sorbitol, yang selanjutnya akan tertumpuk dalam sel/jaringan tersebut dan
menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi (Arifin).
c. Penyakit makrovaskuler seperti Penyakit pembuluh darah
d. Ulkus/gangren
e. Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah kaki diabetik.
Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat membedakan
suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Ankle-Brachial Index (ABI)
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan ABI sebagai tes untuk
evaluasi vaskuler. ABI menilai patency sistem arteri ekstremitas bawah menggunakan
tensimeter. Ankle brachial index dinilai sebagai rasio tekanan darah sistolik yang diukur
pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior pada ankle dibandingkan dengan tekanan
darah sistolik pada arteri brakial yang diukur pada lengan pasien pada posisi supine
selama 5 menit. Interpretasi diagnostik mengindikasikan bahwa rasio ABI yang rendah
berhubungan dengan risiko kelainan vaskuler yang tinggi (tabel 1). Ankle brachial index
harus dilakukan dengan perhatian khusus pada limitasinya terhadap pasien diabetes. Nilai
ABI yang lebih dari 1,2 bisa sekunder terhadap kalsinosis pembuluh darah dan ABI bisa
menjadi false negative pada pasien diabetes dengan stenosis aortoiliaka. Resting ABI
Severity 0.91 – 1.30 Normal 0.70 – 0.90 Mild Obstruction 0.40 – 0.69 Moderate
obstruction < 0.40 Severe obstruction Karena beberapa pasien diabetes mengalami
glikosilasi atau kalsifikasi pada arteri ekstremitas bawah yang bisa meningkatkan tekanan
ankle, toe brachial index (TBI) dilakukan. Nilai normal TBI bisa mengeksklusi
keberadaan kelainan arterial.
b. Segmental Pressure Pulse Volume (SPPV)
Segmental pressure pulse volume (SPPV) dilakukan pada pasien dengan nilai ABI
yang normal dengan kecurigaan penyakit vaskuler perifer. Pemeriksaan ini dilakukan
berdasarkan prinsip bahwa obstruksi pembuluh darah yang terjadi timbul pada proximal
tempat tekanan darahnya turun. Untuk mengetahui lokasi lesi, tensimeter diletakkan di
paha, betis, dan ankle secara berurutan dan tekanan darahnya dicatat. Bentuk gelombang
catatan tekanan darah digunakan untuk menilai kehadiran, tingkat keparahan, dan lokasi
utama kelainan vaskuler. Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan daripada TBI pada
pasien diabetes dengan DFU pada jempol.
c. Skin perfusion pressure (SPP)
Skin perfusion pressure (SPP) merupakan penilaian laser Doppler yang
mengggunakan tensimeter pada ankle, bisa mengindikasikan terganggunya perfusi pada
ekstremitas bawah. Pemeriksaan ini merupakan penilaian sirkulasi kapiler kutaneus.
Walaupun SPP membutuhkan peralatan khusus, pemeriksaan ini lebih sensitif daripada
teknik lain untuk mendeteksi kelainan arteri perifer ekstremitas bawah.
d. Transcutaneous oxygen tension (TcPO2)
Transcutaneous oxygen tension (TcPO2) menilai tekanan oksigen pada area yang
berhubungan dengan luka dan pemeriksaan ini telah disarankan menjadi alat diagostik
untuk menilai kemungkinan penyembuhan luka. Pemeriksaan ini telah dianjurkan
menjadi alat screening pada populasi berisiko tinggi untuk kelainan vaskuler. Karena
TcPO2 tidak dipengaruhi oleh kalsifikasi arteri seperti 7 ABI, TcPO2 bisa digunakan
untuk mengevaluasi pasien diabetes dengan critical limb ischaemia.
e. Ultrasonography Doppler dan Laser Doppler velocimetry
Ultrasonography Doppler dan Laser Doppler velocimetry saat ini menjadi alat yang
sangat populer. Mudah, murah serta metode yang valid dalam menilai derajat stenosis
arteri, obstruksi hingga keadaan aliran darah pasca revaskularisasi. Lokasi stenosis arteri
dapat diidentifikasi dengan menempatkan secara serial probe Doppler sepanjang
ekstremitas.
f. Vascular Imaging
Jika hasil pemeriksaan ABI dalam batas normal sementara pada pemeriksaan klinis
ditemukan gejala dan tanda penyakit arteri perifer, diperlukan pemeriksaan lanjutan
berupa vascular imaging meliputi CT-angiografi (CTA), MRA (magnetic resonance
angiography), dan DSA (digital substraction angiography). Tidak hanya untuk
mendiagnosis, pemeriksaan ini juga dapat menilai derajat keparahan dan lokasi lesi. Saat
ini, percutaneus transluminal angioplasty (PCTA) merupakan gold standard dalam
menentukan apakah terdapat penyempitan pembuluh darah yang kemudian diikuti dengan
pemasangan stent ataupun tanda stent untuk memperbaiki aliran darah dan membantu
proses penyembuhan ulkus.
g. Neurological and Musculoskeletal Assessment
Pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal bertujuan untuk mengetahui adanya
neuropati otonom, sensorik, dan motorik. Pada neuropati otonom terjadi perubahan
regulasi suhu yaitu ditandai dengan suhu yang lebih dingin, kulit yang kering, dan hilang
atau berkurangnya rambut pada ekstremitas bawah. Pada neuropati sensorik terjadi
kehilangan sensasi sensoris yang diperiksa dengan benang mikrofilamen
(semmesweinstein monofilament). Pada neuropati motorik terjadi kerusakan saraf otot
pada kaki. Pemeriksaan neuropati motorik meliputi pemeriksaan kekuatan otot dan range
of motion tumit, kaki, dan jari-jari kaki.
h. Tuning fork (garpu tala)
Metode pemeriksaan konvensional ini sangat mudah, noninvasif, murah dan
gampang dilakukan di poliklinik rawat jalan. Tujuan pemeriksaan dengan 8 garputala ini
adalah untuk mengetahui sensibilitas kaki melalui vibrasi. Deteksi dengan garputala dapat
dimulai di plantar hallux. Garputala standar dengan ukuran 128 Hz bisa digunakan
sebagai pemeriksaan tunggal, yang hasilnya setara dengan pemeriksaan garputala yang
dikombinasikan dengan Semmes Weinsten Monofilament (SWM) dalam mendeteksi
neuropati diabetik.
i. Semmes weinstein monofilament (SWM)
Alat monofilamen yang sederhana ini mula-mula diperkenalkan di Amerika.
Bahan dasarnya adalah 10 gram plastik nilon. Penderita duduk di atas kursi, lalu kaki
diluruskan ke depan, telapak kaki tegak lurus dengan lantai. Penderita dipersilahkan
menutup mata dengan tangannya. Monofilamen disentuhkan pada permukaan kulit
sampai tekanan monofilamen sedikit melengkung. Titik-titik yang dites dianjurkan 10
titik, yaitu sisi plantar jari 1, 3, 5, sisi plantar dari metatarsal 1, 3, 5, sisi plantar dari
pertengahan medial dan lateral, sisi plantar tumit dan sisi dorsal sela jari 1 dan jari 2.
I. PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan
Untuk mencegah penyakit diabetes, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
b. Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum:
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda –
tanda vital.
- Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-
kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah
menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah
penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
- Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan
shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur
rambut dan kuku.
- Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi
infeksi.
- Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi,
hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
- Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat
badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
- Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
- Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan
nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
- Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat,
kacau mental, disorientasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua
jam post prandial > 200 mg/dl.
2. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan
cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau
( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
3. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis
kuman.
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai
berikut :
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah
ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
6. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota
tubuh.
7. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
3. Perencanaan
1) Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah ke
daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.
Kriteria Hasil :
- Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
- Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan :
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah :
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ),
hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang
lutut dan sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi oedema.
3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa :
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan
penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi
efek dari stres.
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula
darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga
perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat
mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi
daerah ulkus/gangren.
4) Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria Hasil :
- Pergerakan paien bertambah luas
- Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan (duduk, berdiri, berjalan).
- Rasa nyeri berkurang.
- Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan.
Rencana tindakan :
1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.
Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.
2. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula darah
dalam keadaan normal.
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan
keperawatan.
3. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan.
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.
4. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga
fisioterapi.
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk melatih
pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.
6) Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota
tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya secar
positif.
Kriteria Hasil : Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa
malu dan rendah diri. Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.
Rencana tindakan :
1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan dengan
keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal.
Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya.
2. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.
3. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.
Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.
4. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan orang
lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.
5. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan.
Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang normal.
6. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai pemecahan
masalah yang konstruktif dari pasien.
Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.
7) Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil :
- Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.
- Pasien tenang dan wajah segar.
- Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
Rencana tindakan :
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika
tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obat-
obatan dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan
dirasakan pasien.
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi .
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik
relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat
gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan
yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan
dalam pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang
diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman, (2015). Diabetes Mellitus. Dalam: Arisman, ed. Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas,
Diabetes Mellitus dan Dislipidemia. Jakarta: EGC, 44-54.
Bilotta, Kimberly. A. J (ed). 2015. Kapita selekta penyakit : dengan implikasi keperawatan.
Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth, 2016, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Brunner & Suddarth. 2016. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito & suddarth.2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2016. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2017. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Santosa, Budi. 2017. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2015-2016. Jakarta: Prima
Medika